spot_img
More

    Albert-Yang Absurd-Camus

    Featured in:

    “ I don’t know wether the world has a meaning that transcends it. But I know that I can’t know the meaning & that it’s impossible for me just to know it. “ (Le Mythe de Sisyphe)

    Semua orang saya rasa menginginkan hidup yang baik-baik saja; lahir dari keluarga yang baik, lingkungan yang bersih, sekolah yang berkualitas dan menjadi murid yang disukai guru, memiliki banyak teman, mendapat universitas impian dan jurusan yang diinginkan, lulus tepat waktu, mendapat pasangan yang sempurna, menikah, sukses dalam pekerjaan, menjadi kaya, membimbing keluarga dengan baik, mempunyai generasi yang baik, menjadi tua dengan bahagia, hidup bahagia, kemudian mati dan masuk surga. Maka, banyak sekali wejangan-wejangan hidup yang mengingatkan bahwa hidup itu ‘indah’ dengan nasihat-nasihat yang menjanjikan contoh garis hidup tersebut.

    Namun bagaimana jika, seseorang lahir di luar kehendak orang tua, berada pada lingkungan yang buruk, ditolak sekolah karena tidak mampu membayar biaya sekolah, menjadi musuh masyarakat, tidak mampu kuliah, sakit-sakitan, tidak mampu membimbing keluarga, memiliki suatu keterbatasan, dan kemungkinan-kemungkinan buruk lainnya. Bayangkan ketika kita berada pada kondisi-kondisi tersebut, masihkah menjadi relevan nasihat-nasihat bijak seperti “semuanya akan baik-baik saja” atau “ini adalah cobaan hidup” atau “serahkan semuanya kepada Yang Kuasa”? Saya juga bertanya apakah kita masih harus memandang semua orang yang terjebak dalam kondisi-kondisi tersebut sebagai sesuatu yang hina, yang berdosa, yang terkutuk, atau yang menjauh dari ajaran-ajaran agama?

    Ada yang salah dalam kehidupan. Banyak tingkap misteri yang sukar dibuka atau mungkin tidak ditemukan. Hingga kemudian mengantarkan kita pada suatu pemaknaan nilai, masihkah hidup yang kita jalani bernilai?

    Atas kesadaran yang absurd ini manusia memilih untuk berontak pada keadaan. Berontak pada keadaan bukanlah menciptakan suasana yang lebih chaos, melainkan melakukan pergulatan eksistensi. Menyangkal eksistensi yang telah ditetapkan dengan menciptakan banyak ilusi-ilusi pemaknaan hidup.

    Sebelumnya saya pernah membahas tentang pandangan ketidakbermaknaan hidup menurut Albert Camus. Di sini saya akan melanjutkan pemikiran Albert Camus tersebut dengan menjelaskan ide “yang absurd” dengan tujuan menerangkan absurditas itu sendiri—hidup yang tidak bermakna ketika tiap individu mulai menyadari absurditas dan membiarkan absurditas melingkupi kehidupan yang katanya ‘indah’.

    Kembali pada kasus yang saya terangkan di atas, lalu mengajak kita berpikir siapa yang pantas disalahkan pada kondisi-kondisi tersebut. Bagi saya jawabannya tidak ada, dan oleh karena itu menjadi absurd. Menurut Camus, tidak perlu ada nilai pada kehidupan karena memang tak ada nilai pada kehidupan itu sendiri. Kesadaran pada kekosongan nilai di kehidupan ini menegaskan bahwa “yang absurd” kian nyata dalam kesadaran reflektif tiap manusia. Kesadaran akan kekacauan diri menyebabkan manusia menjadi tragis tapi tidak murung, hingga muncul ungkapan Camus yang fenomenal (baca: mitos Sisifus), “Haruslah dibayangkan bahwa Sisifus bahagia.”[1] Manusia tidak dapat menolak kondisi-kondisi yang telah menjadi tetap atau mutlak. Maka dari itu timbul perasaan keterasingan—yang dipenuhi kekosongan, ketidakbermaknaan, dan kesia-siaan. Sungguh kenyataan yang absurd.

    Atas kesadaran yang absurd ini manusia memilih untuk berontak pada keadaan. Berontak pada keadaan bukanlah menciptakan suasana yang lebih chaos, melainkan melakukan pergulatan eksistensi. Menyangkal eksistensi yang telah ditetapkan dengan menciptakan banyak ilusi-ilusi pemaknaan hidup. Secara sederhana dan sebagai contoh, manusia menolong orang dengan harapan agar kelak ia ditolong oleh orang lain atau manusia menjadi saleh agar hidupnya tenteram dan bahagia. Namun benarkah pemaknaan tersebut akan menjamin hidup menjadi baik-baik saja atau tidak, kembali pada “yang absurd” yang senantiasa mengiringi kehidupan dan kesadaran.

    Absurd yang diungkapkan Camus, bagi saya, tampak seperti realitas hidup yang tidak terelakkan. Maka di sini saya akan menggunakan kata “yang Absurd” untuk menjelaskan absurditas menurut Camus. Terdapat tiga bagian pada tulisan ini untuk menjelaskan “yang Absurd”, yaitu asal-usul, pengalaman dan penalaran, serta tentang sesuatu yang mutlak (kematian).

    Asalusul

    Beberapa pekerja yang sudah cukup umur di luar sana mengakhiri jam kerjanya dengan mampir ke bar dan memesan bir. Mereka meminum bir dan terkadang bercanda tawa dengan orang-orang di sekitarnya yang bahkan tidak mereka kenal. Kemudian kembali pulang, menuju kamar, memasang alarm, dan melanjutkan rutinitasnya. Beberapa orang yang mari kita sebut saja pekerja yang baik menganggap perbuatan tersebut membuang-buang waktu. Para pekerja yang mabuk bir dianggap bukan orang yang baik dan dewasa. Masih banyak pekerjaan yang seharusnya dapat dilakukan daripada pergi ke bar. Masih banyak susunan rencana hari esok agar kehidupan lebih terarah. Intinya adalah seakan-akan para pekerja yang pergi ke bar adalah contoh manusia yang buruk, karena pekerja baik lebih tahu bahwa perencanaan hidup lebih berarti dari pada minum bir.

    Hal yang sama juga berlaku pada “Yang Absurd”. Ia tidak muncul begitu saja seperti kelinci yang keluar dari topi pesulap. Sesuatu “Yang Absurd” berasal dari kejemuan. Kejemuan itu adalah akhir dari rentetan tindakan hidup bagai mesin, tetapi pada saat yang sama memulai gerakan kesadaran (Camus, 1999: 15). Kejemuan sendiri adalah kesadaran atas pergulatan diri yang dilakukan secara reflektif dalam kehidupan sehari-hari. Kasus di atas merupakan gambaran sederhana di mana pekerja cukup umur mulai merasa jemu pada rutinitas sehingga mencari sebuah jalan keluar, yang tentu saja dalam pencarian jalan keluar tersebut ia mengalami pemberontakan dalam diri. Segala sesuatu mulai direfleksikan ketika berada pada titik jemu, dan menjadi masalah serius ketika sesuatu yang menjemukan mencapai tataran kehidupan. Letak “Yang Absurd” bagi Camus pada kesadaran itu sendiri, ketika manusia mulai menyadarinya dan memikirkannya ia mulai memasuki alam absurditas. Tindak lanjutnya bisa berupa kembali secara tak sadar ke dalam kehidupan mekanis, atau masuk ke keadaan yang terjaga untuk seterusnya (Camus, 1999: 15). Persoalan utama yang juga Camus cemaskan, ketika manusia mulai memahami alam absurditas yang banyak mempengaruhi perjalanan hidupnya, mereka hanya tinggal menjalaninya atau menjadi tragis karena yang mereka lihat hanya sebuah kekosongan.

    Bagi jiwa absurd, nalar adalah sia-sia, dan di luar nalar tidak ada suatu apa pun (Camus, 1993: 44).

    Lalu mengapa pekerja baik begitu sibuk menyiapkan rencana yang sungguh tidak menjamin kepastian hari esok? Jawabannya adalah harapan. Harapan dibentuk manusia untuk menutup kemungkinan pada suatu kekosongan. Harapan, bagi Camus, merupakan rangkaian dari dua unsur yaitu kesatuan kerinduan sekaligus ketidaktahuan. Harapan ada dan statis, namun realitas bergerak secara absurd. Sejatinya harapan sebagai pengalihan akan eksistensi “Yang Absurd” yang mulai merasuk pada tiap kesadaran manusia yang hidup. Secara metaforis Camus menulis, ”Namun, begitu bergerak, realitas itu menjadi retak-retak dan hancur, serpih-serpih tak berhingga yang berkilauan tersaji untuk dipahami” (Camus, 1995: 22). Ketika hancur, kita akan merasa putus asa bila ingin membentuk kembali permukaan yang kita kenal memberi kedamaian di hati. Persoalannya pada kemampuan manusia menganggap bahwa “Yang Absurd” tidak pernah ada, dan anggapan seperti itu menjelaskan bahwa absurditas mulai merongrong kesadaran manusia.

    Perasaan Absurd

    “Apakah perlunya usaha yang begitu banyak, garis-garis lembut bukit itu dan tangan senja di atas hati yang gelisah ini lebih banyak mengajari saya. Saya kembali lagi ke awalnya” (Mite Sisifus (p. 24))

    Camus begitu serius menanggapi “Yang Absurd”. Bukan hanya sebatas sebuah kesadaran pada kejemuan, melainkan pada sebuah perasaan. Perasaan adalah sesuatu yang absurd juga, karena sejatinya perasaan tidak bersifat mutlak dan tidak bersifat jelas, tidak menjadi rasional dan juga tidak menjadi irasional, dipenuhi dengan kontradiksi-kontradiksi yang bertentangan. Perasaan sendiri tidak memiliki batasan tegas dan mutlak pada penggambaran suasana pada realitas. Ia tidak bersifat tenang atau dinamis, melainkan tak terarah dengan jelas. Ini sungguh absurd.

    Suatu saat saya menyalahkan seorang yang saleh taat agama melakukan suatu kekejian yaitu berzinah dengan adik perempuannya sendiri, namun saya tahu jika orang ini tidak melakukan perbuatan demikian. Sontak orang tersebut mengatakan hal itu absurd, ia menjadi marah pada sebuah sisi kekonyolan. Namun ia memiliki alasan untuk menjadi marah terhadap saya. Alasannya adalah sebuah kontradiksi mencolok antara sesuatu yang saya fitnahkan kepadanya serta prinsip hidupnya. Pada contoh ini terdapat suatu perasaan absurd, ketika terdapat ketidakseimbangan yang ada antara pernyataan dengan kenyataan yang ia hadapi, dalam kontradiksi antara kekuatan yang nyata dengan tujuan yang direncanakan (Camus, 1999: 37). Sesuatu menjadi absurd ketika suatu pernyataan yang menjadi perencanaan mendapati kontradiksi pada realitasnya, dan imbasnya adalah pada sebuah perasaan. Semakin dalam perasaan absurd akan semakin kelam. “Yang Absurd” mulai merasuk pada sebuah perasaan. Perasaan kian absurd ketika penyimpangan unsur-unsur pembandingnya bertambah. Perasaan absurd muncul dari perbandingan dari suatu tindakan dan dunia yang mengatasinya.

    Bagi jiwa absurd, nalar adalah sia-sia, dan di luar nalar tidak ada suatu apa pun (Camus, 1993: 44). Perasaan absurd mengantar manusia pada proses bernalar dan melahirkan nalar yang absurd juga. Karena perbandingan-perbandingan tersebut kian mendalam, manusia absurd mulai menginterpretasikan “Yang Absurd” itu sendiri dan menjadi absurd. Namun yang ditemui hanyalah ketidakberdayaannya dan tidak menemukan satu alasan pun untuk menyimpulkan suatu prinsip yang memuaskan. “Yang Absurd” kian membesar, pada penalaran yang jelas namun sia-sia dan di luar nalar yang berisi kekosongan.

    Bunuh diri adalah pengakuan pada keterbatasan dunia, yang tampak seakan-akan memutus absurditas, namun menjadi waspada karena “Yang Absurd” akan lebih berkuasa setelah kematian sebab manusia belum ada yang menjelaskan secara rasional setelah kepastian. Hal ini yang dicemaskan Camus, yaitu segala sebab dan akibat dari kepastian, sebab yang absurd sekaligus mengakibatkan absurditas yang lebih kuat.

    Pergulatan penalaran yang jelas dan irasional membawa manusia pada suatu kerinduan akan kesatuan (harapan yang telah kita bahas), mari kita sebut hal itu Yang Mutlak. Seringkali, pada pembahasan filsafat, kita mendengar bahwa sesuatu di luar kemampuan nalar manusia bukanlah kekosongan melainkan transendensi, sesuatu yang tak dapat dijangkau. Seketika juga, bagi Camus, “Yang Absurd” berubah jadi Tuhan (Camus, 1993:41). Mari kita kesampingkan dahulu persoalan Tuhan menurut perspektif ajaran-ajaran agama. Tuhan yang dimaksud Camus adalah ketika manusia bernafsu pada kerinduan tersebut untuk mengungkap sesuatu yang sesungguhnya tak dapat terungkap. Pada persoalan “Yang Absurd” yang kini menjadi Tuhan, Camus banyak mengutip pernyataan-pernyataan dari Lev Shestov. Dari Shestov, Camus menulis, “Satu-satunya jalan keluar yang benar adalah justru di mana menurut penilaian manusia tidak ada jalan keluar. Jika tidak, mengapa kita membutuhkan Tuhan? Kita hanya berpaling kepada Tuhan untuk memperoleh hal yang tidak mungkin. Sedangkan untuk hal yang mungkin manusia saja sudah cukup” (Camus, 1993: 42). Manusia berserah diri kepada Tuhan meskipun tidak cocok pada kategori rasional mana pun. Absurd ketika melihat manusia berpegang penuh pada sebuah harapan atau kerinduan akan kesatuan dan seakan-akan menegasikan realitas. Melepaskan diri pada belenggu ilusi-ilusi rasional dan menerima “Yang Absurd” bersamaan dengan absurditas adalah absurd. Tentu saja kita dihadapkan pada posisi yang serba salah di mana segala yang rasional absurd dan di luarnya adalah kosong, dan menggantungkan sesuatu pada harapan juga adalah absurd.

    Kematian

    “Should I kill myself, or have a cup of coffee?” (Albert Camus)

    Di sebuah kelas, George Zinavoy sedang asik mengarsir sketsa pada buku trigonometrinya. Ketika kelas dimulai, sang guru menghampiri meja tiap muridnya dan mengambil PR trigonometri. Sampai pada meja George, sang guru bertanya, “Kau menyelesaikan tugasmu, George?” George menjawab, “Tidak.” Sang guru kembali bertanya, “Mengapa?” George menjawab, “Aku depresi, karena suatu hari aku akan mati.” Sang guru kembali menanyakan, “Semua orang akan mati George, dan hal itu bukan alasan yang tepat untuk tidak mengerjakan PR-mu?” George menjawab, “Aku mencoba menyelesaikannya, tapi aku tak bisa menghentikan kecemasanku pada datangnya kematianku. Semuanya tampak tidak berarti, termasuk PR trigonometri ini.” Teman-teman George tertawa mendengar hal ini tapi George diperintahkan menuju kepala sekolah atas pelanggaran ini.[2]

    Kali ini, sesuatu yang tidak absurd yakni kematian. Kematian yang dipandang Camus adalah suatu kepastian. Namun “Yang Absurd” tetap ada dan itu adalah pra-kepastian juga pasca-kepastian. Akibat kepastian dari kematian menyebabkan “Yang Absurd” kian membesar dan mengalahkan beberapa orang dengan memutuskan untuk bunuh diri, dengan harapan dapat memutus rantai absurditas. Banyak orang menduga bahwa perbuatan bunuh diri biasanya disebabkan oleh depresi yang merasa bahwa hidup tidak layak untuk dijalani. Ada juga bunuh diri yang disebabkan sebuah gagasan atau ilusi yang diyakini memberikan kehidupan, contohnya bom bunuh diri dengan keyakinan masuk surga. Pada kasus seperti ini, makna hidup adalah pertanyaan yang mendesak sekaligus mendasar, Mereka (yang bunuh diri) terlebih menyadari kekosongan makna hidup dan tidak sanggup menerima kenyataan tersebut. Tinggal dua pilihan yang mereka lakukan secara ekstrem yaitu memutus absurditas atau mengejar kerinduan akan kesatuan, dengan bergantung pada kepastian (yang dipercepat).

    Tindakan bunuh diri berawal dalam keheningan hati seperti juga awalnya sebuah karya besar (Camus, 1993: 4). Camus mengatakan bahwa ulatnya terdapat dalam hati manusia itu sendiri. Bunuh diri bukan sama sekali disebabkan oleh pengaruh dari luar personal, pengaruh luar hanya merangsang dan mungkin meyakinkan untuk melakukannya. Keinginan bunuh diri muncul pada sebuah keheningan. Sedangkan keheningan merupakan suatu bentuk dari kejemuan akan kehidupan. Hal ini menjadi masalah yang serius ketika bergulat dengan eksistensi diri. Kita sudah mengenal perasaan berontak pada bagian pertama, pemberontakan juga terjadi dalam kegagalan pemaknaan kehidupan. Dalam bentuk yang ekstrem beberapa manusia beranggapan bahwa absurditas hidup dapat diputus melalui mengakhiri hidup. Tak ada suatu pun yang mempunyai arti, semuanya ternyata diingkari dengan cara yang mengerikan oleh absurditas adanya kematian (Camus, 1993: 71).

    Bunuh diri adalah pengakuan pada keterbatasan dunia, yang tampak seakan-akan memutus absurditas, namun menjadi waspada karena “Yang Absurd” akan lebih berkuasa setelah kematian sebab manusia belum ada yang menjelaskan secara rasional setelah kepastian. Hal ini yang dicemaskan Camus, yaitu segala sebab dan akibat dari kepastian, sebab yang absurd sekaligus mengakibatkan absurditas yang lebih kuat. Tentu saja Camus mengatakan bahwa bunuh diri bukan sebuah solusi. Bukti kemenangan absurditas dan kelemahan manusia ketika mereka tumbang oleh sebuah kenyataan hidup dan tidak berani menantangnya, tidak berani berontak, dan mengharap suatu yang instan.

    Sebagai penutup, pemikiran Camus tentang “Yang Absurd” terkesan gelap dan tidak memberikan jalan keluar sama sekali. Bukan ingin menakut-nakuti, namun Camus hendak mengabarkan kenyataan yang tidak bisa terelakkan yaitu kekosongan atau absurditas. Manusia dikabarkan bahwa kekosongan sesungguhnya eksis dibalik segala upaya pemaknaan manusia pada kehidupan. Sampai manusia menemukan titik jemunya mereka akan dilumat absurditas dalam bentuk kontemplasi tentang kehidupan. Satu-satunya upaya dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan absurditas adalah kembali pada ungkapan masyhur sang absurdis, “Harus dibayangkan bahwa Sisifus bahagia.” Hidup lebih baik dijalani ketika tidak mempunyai arti, tidak ada yang mutlak dan mengikat (Camus, 1993: 66). Hidup adalah menghayati absurditas. Nothing to lose, long live absurdism!


    Catatan Kaki:

    [1] Diambil dari pengantar “Mite Sisifus” yang ditulis oleh Bertrand Poirot-Delpech dari Academie Francaise

    [2] Kisah ini diambil dari film The Art of Getting By (2011)

    Daftar Pustaka:

    • Camus, Albert. 1993. Mite Sisifus Pergulatan dengan Absurditas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

    Author

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Polemik Hermeneutis Gadamer dan Habermas

    “Kalau Anda ingin mendengarkan Heidegger dengan lebih mudah, bacalah (tulisan) Gadamer.” Begitulah ucapan Fransisco Budi Hardiman saat...

    Metalearning? Di Balik Cognitive Load Theory

    Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari keberadaan seorang guru dalam melakukan pengajaran. Isu tentang pentingnya keberadaan seorang...

    Kultur Toksik Pengabdian Kampus: Mempertanyakan Kembali Makna Keberlanjutan

    Pengabdian kepada masyarakat merupakan serangkaian pola pikir dan tindakan dengan dasar sukarela untuk membantu korban dari...

    Seni AI dan Artstyle Manusia

    Setiap seniman memiliki gaya mereka sendiri dalam berkarya. Hal tersebut merupakan unsur yang membuat sebuah karya memperoleh...

    Banal Semakin Binal: Romantika Absurditas

    Absurditas dan Yang-Absurd   Seberapa keras usaha manusia dalam hidup, ia akan tetap menemui kematian sebagai akhir. Namun, manusia...

    Menggugat Artefaktualitas sebagai Kondisi Niscaya Seni (AI)

    Gagasan bahwa karya seni harus merupakan artefak adalah asumsi yang perlu ditilik kembali. Gagasan itu terlihat pada...