spot_img
More

    Antara Cogito dan Solitude

    Featured in:

    “Cogito Ergo Sum,” demikian satu kalimat terkenal dari salah seorang filsuf asal Prancis, Rene Descartes (1596-1650). “Aku berpikir, maka aku ada,” demikian pula jika kalimat di atas diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

    Dengan kalimat itu, Descartes hendak mengatakan bahwa aktivitas berpikir bagitu urgen bagi manusia. Betapa tidak, Descartes secara tegas mensyaratkan “keberadaan manusia” (ergo sum) dengan “aktivitas berpikir” (cogito). Baginya, manusia bisa dikatakan “ada”, jika ia mampu “berpikir”.

    Karena itulah, kalimat itu kemudian menjadi kontroversial, dan banyak sekali orang yang menentang. Salah satu orang yang menentang pemikiran Descartes ini adalah Pierre Gassendi (1592-1655). Gassendi mengatakan, bahwa setiap kegiatan apapun, tidak hanya berpikir, juga dapat menghasilkan kesimpulan “keberadaan” manusia. Karena, lanjut Gassendi, setiap sesuatu yang melakukan suatu hal pasti ia ada.

    http://www.positivityblog.com/
    http://www.positivityblog.com/

    Berpijak pada sanggahan Gassendi, maka dapat pula kita katakan, “aku berjalan, maka ada.” Tetapi, hal itu segera dijawab oleh Descartas. Ia menyangsikan setiap kegiatan selain kegiatan berpikir. Sebab, kata Descartes, “aku” tidak bisa dikatakan “ada” jika yang dimaksud “aku berjalan” di situ hanyalah gerakan badan. Aku baru bisa dikatakan “ada”, apabila “aku berjalan” di situ bukan hanya gerakan badan, melainkan juga kesadaran perihal makan, yang juga merupakan proses pemikiran (Toety, 2013: 30).

    Di situ, tampak bahwa semua kegiatan harus disertai dengan kesadaran perihal kegiatan tersebut. Berarti juga bahwa setiap aktivitas manusia mesti selalu melalui proses pemikiran. Sebab, hanya dengan begitu, bagi Descartes, manusia bisa disimpulkan ada. Sebab itulah, manusia kemudian sering disebut sebagai makhluk yang berpikir (homo rationale).

    Dari “cogito ergo sum” tersebut, muncul satu pertanyaan lagi: apa sebenarnya yang dimaksud dengan “berpikir”? Descartes menjawab pertanyaan itu dalam karyanya Meditation II. Ia menulis, “Apakah aku ini? Suatu yang berpikir? Aku merupakan sesuatu yang menyangsikan, mengerti, mengiakan, mengingkari, menginginkan, menolak, membayangkan dan merasa” (Toety, 2013: 27).

    Dari penjelasan Descartes di atas tentang berpikir, kita menemukan bahwa aktivitas berpikir sebenarnya erat kaitannya sebuah pencarian. Pencarian di situ harus dimulai dengan sikap meragukan atau menyangsikan segala sesuatu. Berawal dari keraguan tersebut, kemudian lahir rasa keingintahuan terhadap hakikat sesuatu. Atas dorongan keingintahuan, maka dilakukanlah sebuah pencarian, yang di situ mesti melibatkan proses pemikiran.

    Dengan semangat keraguan, keingintahuan, dan kemudian dilanjutkan dengan pencarian inilah manusia sebenarnya bisa dikatakan “ada”. Sebab, dengan begitu, manusia bisa dibedakan dengan makhluk hidup lainnya, seperti tumbuhan dan binatang. Jika misalkan ada manusia yang tidak berpikir, maka pada hakikatnya ia sama dengan hewan. Hewan hidup hanya makan dan tidur, sebab ia tidak pernah berpikir sehingga kemudian merasa gelisah untuk melakukan sebuah “pencarian” atas dasar keingintahuan.

    Dengan cogito, manusia bukan hanya sekumpulan tulang, darah dan daging, melainkan jauh lebih berharga dari itu. Ia adalah makhluk yang senantiasa mencari makna atas keberadaan dirinya. Dengan cogito, manusia bisa menjadi lebih dinamis, tak pernah puas dengan satu premis.

    Pertanyaan berikutnya adalah, dimanakah cogito ini bisa mendapatkan relevansinya? Di dalam catatan sejarah, banyak para pemikir melahirkan suatu karya yang luar biasa ketika ia berada dalam suasana sunyi. Maka, cogito atau aktivitas berpikir itu mendapatkan relevansinya di dalam kesunyian atau solitude.

    Antara Cogito dan Solitude

    Cogito atau aktivitas berpikir ini seakan tidak bisa dilepaskan dari solitude atau kesunyian. Ibarat orang ingin makan, maka solitude ini adalah dapur dan perabotnya yang mesti disediakan. Jika dapur sudah ada dan perabotnya juga sudah lengkap, maka seseorang dapat leluasa untuk memasak apa saja sesuai dengan selera makannya.

    Namun, dengan begitu bukan berarti jika tidak ada dapur dan perabotnya seseorang tidak bisa makan. Ia masih bisa membeli makanan di warung makan. Tetapi, makan di warung makan pasti tidak akan sama dengan makan di dapur sendiri. Makan di warung makan tidak bisa sekehendak hati, dan mesti sesuai dengan porsi.

    Begitu juga berpikir kaitannya dengan kesunyian. Bukan berarti tanpa adanya kesunyian seseorang tidak bisa berpikir. Hanya saja pasti akan berbeda proses berpikir yang dijalani dalam suasana sunyi daripada proses berpikir yang dijalani di tengah hiruk-pikuk keramaian. Orang yang melakukan kontemplasi atau perenungan akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa apabila dilakukan dalam kesunyian. Hasil perenungannya akan terlepas dari kepentingan-kepentingan duniawi yang sangat pragmatis.

    Hal itu telah dibuktikan oleh pemikir-pemikir besar terdahulu.. Para filsuf, pemikir, dan penulis besar, melahirkan ide dan karya-karya monumental bukan di tengah keramaian dan kegaduhan, tapi di jalan sunyi yang memberikan ketenangan. Semisal, Friedrich Nietzsche, tokoh filsafat nihilisme. Di usianya yang ke-26, ia mengalami sakit disentri dan difteri. Pada tahun 1879, tepat di usianya yang ke-35, penyakitnya semakin parah, sehingga memaksanya untuk istirahat dari aktivitasnya sebagai dosen.

    Dalam masa istirahat ini, Nietzsche hanya berteman dengan sunyi. Namun, dalam kesunyian itu, ia tidak tinggal diam. Di hari-hari itu, ia justru semakin produktif melahirkan karya-karya yang kontroversial, dan kelak menjadi sangat monumental. Di antaranya, pada tahun 1881, ia menulis buku Fajar; Gagasan-gagasan tentang Praanggapan Moral. Tahun berikutnya, ia menerbitkan buku Die Frohliche Wissenschaft. Tiga tahun kemudian, ia berhasil menulis buku Thus Spoke Zarathustra, sebuah buku yang memuat gagasan Nietzsche yang luar biasa: Ubermensch (manusia yang sempurna). Dan masih banyak karya-karya Nietzsche yang belum sempat diterbitkan, seperti Pudarnya Para Dewa (1889), Antikristus (1895), dan Ecce Homo (1908).

    Ada juga filsuf besar Islam yang hidup di abad pertengahan, melahirkan ide-ide cemerlang dan karya-karya monumental. Ia adalah Abu Hamid Muhammad al-Ghazali. Biasa disebut al-Ghazali. Menurut Abdurrahman Badawi, ia menulis sebanyak 101 kitab. Di antaranya, al-Munqidz min ad-Dhalal, Tahafut al-Falasifah, Misykat al-Anwar, Kimya’ as-Sa’adah, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, dan yang paling populer Ihya’ ‘Ulumiddin. Kitab-kitab itu lahir dari tangan al-Ghazali, ketika ia menjauh dari hiruk-pikuk dunia dan menempuh jalan sunyi (‘uzlah).

    Bahkan, terkadang para pemikir besar dunia mencapai puncak ekstase dalam berpikir dan berkarya, justra ketika mereka mendekam di dalam penjara. Di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk dunia. Sebut saja, misalkan, Antonio Gramsci (1891-1937), seorang teoretikus berdarah itali. Di usianya yang ke-37, ia dijatuhi hukuman penjara 20 tahun oleh pemerintah fasis, Mussolini. Namun, di balik kesunyian ruang tahanan, ia justru berhasil menulis sebanyak 34 buku catatan—yang kelak dikenal dengan The Prison Notebooks.

    Di dunia Islam, kita mengenal Sayyid Qutb. Terlepas dari gerakan radikalismenya, Qutb banyak menulis kitab-kitabnya—yang kelak menjadi rujukan ideologis dari gerakan radikalisme—di dalam penjara. Semisal, kitab Fi Zilal al-Qur’an.

    Saat itulah kesunyian menjadi sebuah ruang yang sangat mengasyikkan. Jika Jorge Luis Borges, salah seorang sastrawan besar asal Argentina, membayangkan perpustakaan seperti surga karena di situ kita bisa memenuhi kebutuhan akan pengetahuan, maka kesunyian sejatinya adalah taman surga yang begitu mengasyikkan. Sebab, di dalam kesunyian, seseorang merasa nyaman bermain-main dengan tulisan, pemikiran, dan bahkan dengan Tuhan.

    Akan tetapi, dengan begitu bukan berarti manusia harus selalu mengasingkan diri demi mencapai sebuah hasil pemikiran yang jernih. Hanya saja, di tengah hiruk-pikuk kehidupan ini, kita harus bisa menemukan sisi paling sunyi dalam diri kita, yakni hati nurani. Dengan kembali kepada hati nurani, sekalipun tidak dalam suasana sunyi, kita dapat melakukan aktivitas berpikir yang lebih jernih dan bebas dari segala kepentingan duniawi. (TAUFIQURRAHMAN, mahasiswa s1 fakultas filsafat UGM, anggota redaksi LSF Cogito)

    Author

    • Taufiqurrahman

      Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM, penikmat sastra, fokus belajar pemikiran Martin Heidegger dan metafisika. Sesekali menulis untuk media cetak nasional.

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Sebuah Hikayat dari Tanah Para Pencari Kebenaran Dunia

    Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari...

    Ampun, Romo Bertens: Argumen Absolutis Anda Bermasalah

    Buang semua asumsi moral dan pengetahuan yang kita dapat dari peradaban modern ini untuk sementara. Mari bayangkan...

    Polemik Hermeneutis Gadamer dan Habermas

    “Kalau Anda ingin mendengarkan Heidegger dengan lebih mudah, bacalah (tulisan) Gadamer.” Begitulah ucapan Fransisco Budi Hardiman saat...

    Metalearning? Di Balik Cognitive Load Theory

    Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari keberadaan seorang guru dalam melakukan pengajaran. Isu tentang pentingnya keberadaan seorang...

    Kultur Toksik Pengabdian Kampus: Mempertanyakan Kembali Makna Keberlanjutan

    Pengabdian kepada masyarakat merupakan serangkaian pola pikir dan tindakan dengan dasar sukarela untuk membantu korban dari...

    Seni AI dan Artstyle Manusia

    Setiap seniman memiliki gaya mereka sendiri dalam berkarya. Hal tersebut merupakan unsur yang membuat sebuah karya memperoleh...