spot_img
More

    Mungkinkah Tuhan Itu Mungkin?

    Featured in:

    Problem filsafat apapun tentang Tuhan adalah superposisi prinsip-prinsip dan konsep-konsep logis atas objek yang dibicarakannya, dengan menetapkan prinsip atau konsep itu terlebih dulu, lalu memasukkan “Tuhan” ke dalamnya, mengukur dan menyesuaikannya dengan prinsip atau konsep itu, dan menutupnya dalam suatu konklusi atau tesis filosofis. Problem deduktif ini—disebut “deduktif”, karena mengandaikan bahwa prinsip itu lebih luas daripada Tuhan, bahwa prinsip itu akan mencakup Tuhan karena Tuhan merupakan bagian dari objek-objek ontologis dalam arti luas—yang juga menimpa Quentin Meillassoux, seperti diresume dengan baik oleh Banin D. Sukmono dalam “Meillassoux dan Tuhan yang Mungkin”.

    Argumen Meillassoux kurang lebih demikian: tidak ada satu alasan pun untuk membuktikan bahwa Tuhan niscaya ada, sebagaimana membuktikan bahwa Tuhan niscaya tidak ada, maka Tuhan hanya bisa dibuktikan mungkin ada. Jalan yang ditempuh Meillassoux adalah menetapkan prinsip kontingensi hiper-radikal (Hyper-Chaos) sebagai prinsip ontologis dari segala sesuatu, mengangkat prinsip itu menjadi keniscayaan dan menjadikannya gambaran deskriptif dari yang-riil itu sendiri (segalanya itu kaotis, disadari atau tidak disadari), lalu memasukkan Tuhan sebagai hal yang turut-serta atau tunduk kepada prinsip itu, karena jika tidak, maka niscaya ia menjadi noumenon Kantian.

    Jika kita bandingkan antara dua teks Setelah Keberhinggaan (SK)[1] dan Ineksistensi Ketuhanan (IK),[2] disertasi Meillassoux yang belum diterbitkan, sebenarnya tidak jelas dari manakah Meillassoux memulai. IK  dimulai dari penetapan prinsip-prinsip itu terlebih dulu, lalu memasukkan Tuhan ke dalamnya, sementara SK dimulai dari problem Tuhan untuk kemudian menetapkan prinsip itu (kita sebut saja Prinsip, dengan “P” kapital). Pilihan SK untuk memulai dari problem Tuhan sebelum tiba pada Prinsip mengisyaratkan bahwa soal Tuhan harus diselesaikan, karena inilah ganjalan utama dari misi Meillassoux: menegakkan suatu kontingensi murni yang niscaya. Ada dua faktor: pertama, karena Tuhan adalah prinsip generator-kausal dari seluruh keberhinggaan (finitude) yang menghalangi akses kepada yang absolut, maka Tuhan harus “dibereskan” (kritik atas korelasionisme).  Kedua, karena dalam metafisika (idealis), Tuhan diposisikan sebagai yang absolut, sementara bagi Meillassoux ada yang lebih absolut daripada Tuhan, yaitu Prinsip (kritik atas prinsip nalar Leibniz). Maka misi Meillassoux adalah membuktikan bahwa Tuhan bukanlah yang absolut, karena keniscayaan kontingensi mengungguli keniscayaan ilahi; maka karena itu Tuhan adalah mungkin (Tuhan itu kontingen) sebagaimana yang lain. Dengan begitu, Meillassoux ingin mendorong fideisme ke ateisme.

    Pemikiran Meillassoux melucuti Tuhan dari keistimewaannya dalam diskursus skolastik (dan dalam agama apapun) sebagai ens primum,[3] pengada yang utama, yang berbeda dari pengada-pengada lain. Alteritas radikal Tuhan dilucuti sedemikian rupa sehingga Tuhan hanyalah satu dari sekian objek ontologi yang biasa. Keluarbiasaan Tuhan hanyalah karena ia, klaim Meillassoux, ditempatkan oleh metafisika entah sebagai kausa atau yang absolut, padahal kategori-kategori itu hanyalah konsep-konsep spekulatif yang dilekatkan oleh metafisika untuk menjustifikasi keberhinggaan. Kemungkinan untuk menjawab tantangan ini bisa dilakukan melalui dua cara: jalan teologi—saya akan menyebutnya jalan teologi negatif, satu versi dari teologi negatif—dengan merehabilitasi alteritas radikal Tuhan yang dihancurkan oleh Meillassoux dengan menarik Tuhan kepada yang tak dapat dipikirkan (radikalisasi noumenon Kantian), dengan menyatakan bahwa ketidakmampuan Meillassoux mengakui keniscayaan eksisnya Tuhan adalah karena ketidakmampuannya keluar dari logika metafisik dan masuk ke dalam jalan intuitif. Atau jalan kedua, tetap dengan jalan spekulatif-rasional. Dan untuk itu, kita harus menguji dan bermain-main dengan hipotesis-hipotesis Prinsip. Kita akan coba menempuh jalan kedua.

    “Tuhan tidak niscaya ada”

    Menurut Meillassoux, Tuhan tidak niscaya ada, karena tidak ada alasan metafisik untuk membuktikannya niscaya ada. Argumen ini awalnya kedengaran seperti argumen skeptis seorang agnostik yang meragukan keniscayaan adanya Tuhan, tetapi tidak tahu bagaimana membuktikan keraguannya. Namun, Meillassoux lebih jauh lagi melangkah; dia berpretensi tahu membuktikan keraguannya.

    Untuk itu, kita lacak dulu mengapa dianggap tidak ada alasan untuk membuktikan Tuhan niscaya ada. Di sini Meillassoux hanya perlu sedikit memperalat kritik Kant atas Descartes, yaitu kritik atas argumen eksistensi sebagai kesempurnaan (perfectio). Salah satu argumen yang diajukan Descartes tentang keniscayaan eksistensi Tuhan menyatakan bahwa Tuhan niscaya eksis, karena konsep “eksistensi” itu sendiri termasuk ke dalam konsep “Tuhan”, sehingga memikirkan Tuhan otomatis berarti mengakui bahwa ia eksis. Kita menyebutnya, problem predikat-subjek. Eksistensi adalah predikat bagi Tuhan, sebagaimana tiga sudut predikat bagi segitiga. Dengan cara ini, Descartes menarik postulat keniscayaan eksistensi Tuhan secara langsung dari cogito. Kant mengkritik argumen ini dengan logika terbalik, dan menyatakan bahwa benar, predikat tidak mungkin dipikirkan tanpa subjeknya (“tiga sudut” tidak terpikirkan tanpa “segitiga”; “eksistensi” tidak terpikirkan tanpa “Tuhan”), namun meniadakan subjek sekaligus dengan predikatnya tidak kontradiktif sama sekali.[4] Maka, menurut Kant, tidak kontradiktif menyatakan bahwa Tuhan tidak eksis.

    Tujuan Kant dengan kritiknya itu semata untuk menyatakan kesia-siaan meyakini keniscayaan eksistensi Tuhan melalui argumen ontologis dan upayanya membangun argumen alternatif, argumen etis. Namun oleh Meillassoux, kritik Kantian itu ditelikung untuk membangun argumen ontologis lain yang ingin meruntuhkan argumen ontologis pertama (Cartesian) dengan aksentuasinya yang ateistik.[5] Kant hanya menyatakan bahwa statemen Tuhan tidak eksis tidak kontradiktif, namun Meillassoux mendorong statemen ini lebih jauh dengan argumen bahwa mungkin untuk menegasikan Tuhan sama sekali, karena mungkin memikirkan ketidakniscayaan eksistensinya.

    Sampai di sini, pertanyaannya: bagaimana kita membuktikan balik bahwa Tuhan niscaya ada, berlawanan dengan argumen Meillassoux? Di sini ada celah menganga yang dibuka oleh Kant dan tanpa disadari oleh Meillassoux, yaitu, ya, benar, non-kontradiksinya “Tuhan tidak eksis” memungkinkan kita untuk berpikir tentang tidak niscayanya eksistensi Tuhan, tetapi hal itu tidak otomatis membuktikan bahwa Tuhan tidak niscaya ada. Kita mungkin saja berpikir bahwa Tuhan tidak niscaya ada, bahkan tidak memikirkannya sama sekali dengan membuang Tuhan jauh-jauh dari pikiran kita, tetapi hal itu tidak otomatis membuktikan bahwa Tuhan benar-benar tidak ada, karena bisa jadi—kita akan menggunakan argumen probabilitas ini untuk menghantam argumen probabilitas yang sama yang digunakan oleh Meillassoux—Tuhan tetap ada di sana, dan adanya adalah semata niscaya karena ia ada.[6] Jadi, meskipun Tuhan telah direduksi keniscayaannya, reduksi itu tidak menghilangkan sama sekali eksistensinya, karena kemungkinan tidak niscayanya Tuhan secara logis tidak otomatis membatalkan eksistensinya yang “mungkin”, yang karena kemungkinannya maka ia niscaya ada.

    Argumen terakhir ini dikemukakan oleh Leibniz, yang sama sekali dilewatkan oleh Meillassoux. Argumen Leibniz ini relatif tidak populer, namun penting diangkat karena menunjukkan bahwa kemungkinan eksistensi sesuatu tidak identik dengan keniscayaan non-eksisnya hal tersebut, justru sebaliknya dapat menunjukkan keniscayaannya. Argumen ini kurang lebih berbunyi: Sesuatu itu tidak niscaya sampai ia mungkin.

    Argumen ini merupakan argumen realis dan matematis, yang akan disukai oleh Meillassoux, namun dengan konsekuensi yang berlawanan. Leibniz menarik argumen ini, berbeda dari Descartes dan para metafisikus lain sebelumnya, bukan dari problem “eksistensi”, melainkan dari “esensi”.  Kita ringkaskan kurang lebih demikian:[7]

    1. Kemungkinan eksisnya X, atau eksistensi yang mungkin dari X, dan esensi X tidak terpisahkan.

    Menurut Leibniz, kemungkinan dan esensi tidak terpisah. Begitu kita menetapkan kemungkinan sesuatu, maka kita sekaligus menetapkan esensi sesuatu itu. Contoh: begitu kita menetapkan bahwa suatu segitiga itu mungkin, maka kita juga menetapkan esensi segitiga itu. Begitu kita menetapkan bahwa Tuhan itu mungkin, maka kita menetapkan esensi Tuhan.

    1. Esensi X dan eksistensinya yang aktual tidak terpisahkan.

    Terlepas dari dipikirkan atau tidak, diakui secara empiris atau tidak, begitu esensi itu ditetapkan, maka esensi itu eksis secara aktual. Segitiga eksis sebagai esensi, maka ia juga eksis sebagai eksistensi. Esensi Tuhan otomatis menunjukkan eksistensinya yang aktual.

    1. Eksistensi X yang aktual menunjukkan keniscayaan eksistensinya. Tetapi di antara eksistensi-eksistensi yang niscaya, hanya esensi yang mampu mengaktualkan dirinya secara terus-menerus yang benar-benar niscaya. Dengan demikian, eksistensinya tidak lagi mungkin, tetapi niscaya. Itulah Tuhan.

    Eksistensi segitiga yang aktual menunjukkan bahwa eksistensinya, pada saat itu juga, niscaya. Diakui atau tidak. Tetapi segitiga tidak mampu mempertahankan terus-menerus eksistensinya yang aktual, karena sifat esensinya yang terbatas dan tetap (tidak bisa berubah bentuk menjadi segiempat, segilima…). Ada esensi yang terus mengaktualkan eksistensinya, dan karenanya menyandang keniscayaan itu terlepas dari aktualitasnya pada momen tertentu. Itulah Tuhan.

    Maka, kata Leibniz, “Jika Tuhan itu sekadar mungkin, maka ia niscaya eksis dalam kenyataan” (If God is merely possible, he necessarily exists in fact).

    Argumen Leibniz ini tidak hendak menunjukkan kemungkinan pada tingkat hipotesis saja (ex hypothesi), yaitu bahwa apa saja yang mungkin dipikirkan maka eksis secara aktual. Tetapi, argumen itu juga dapat dipahami secara realis, bahwa sesuatu yang mungkin eksis, maka eksis secara niscaya. Maka, sesuatu yang mungkin ada, ada, dan adanya niscaya. Hal ini berlaku pada segala sesuatu, namun Tuhan membedai karena keniscayaannya terus aktual; ia tidak hanya ada, tetapi meng-ada.

    Argumen ini otomatis menentang prinsip faktualitas[8] yang dibangun dari dua proposisi:

    Bahwa yang ada itu kontingen, itulah keniscayaan

    Bahwa yang ada itu niscaya, itulah kemustahilan[9]

    dengan menunjukkan bahwa yang ada itu niscaya, persis karena ia kontingen; bahwa Tuhan itu niscaya, persis karena ia mungkin.

    “Tuhan tidak niscaya tidak ada”

    Sejalan menurut prinsip kontingensi, maka Tuhan tidak niscaya ada, tetapi Tuhan juga tidak niscaya tidak ada. Argumen ini lebih mudah dipatahkan, karena menyatakan demikian berarti memberi ruang bagi kemungkinan adanya Tuhan. Walau sebatas kemungkinan. (Dan bagi Leibniz, kemungkinan itu tidak sekadar kemungkinan.) Dalam kata-kata Banin, “Tuhan dapat hadir suatu saat sebagai kemungkinan virtualitas dari kontingensi”.

    Alih-alih ateisme, Meillassoux dapat mendorong keimanan sang religius kian tebal. Jika Tuhan eksis kini, maka ia sudah selayaknya eksis—karena menunjukkan kemungkinan adanya Tuhan (yang tidak niscaya tidak ada). Jika Tuhan eksis suatu saat nanti (sebagai efek dari kontingensi), maka setidaknya itulah harapan seorang religius, menunggu Tuhan yang-akan-tiba, meminjam bahasa Derrida, Dieu-à-venir. Ketidakniscayaan tidak-adanya Tuhan merupakan ruang abu-abu yang ditunggu oleh setiap homo religiosus. Hal ini karena efek dari dua negasi yang terkandung di dalam prinsip faktualitas. Kita kutipkan teks Meillassoux sendiri:

    “Prinsip faktualitas mengandung di dalam dirinya dua negasi yang pembedaannya penting bagi pemahamannya. Kita mulai dengan negasi yang terlibat di dalam gagasan kontingensi sendiri. Yang ada kontingen: itu berarti bahwa apa yang ada dapat tidak ada, dan bahwa apa yang tidak ada dapat ada. Dua negasi ini secara esensial identik: negasi-negasi itu menunjuk sekaligus logika kontingensi sebagai kemungkinan murni, yaitu peralihan tanpa alasan sama sekali dari eksistensi ke ineksistensi, dan dari ineksistensi ke eksistensi. Ineksistensi tidak lebih “negatif” daripada eksistensi, karena esensi eksistensi terberi kepada kita oleh kemungkinannya yang esensial untuk ditiadakan, sementara ineksistensi hadir sebagai kemungkinan esensial untuk muncul kepada eksistensi”.[10]

    Tuhan “ineksis”: Tuhan dapat eksis, tetapi sebagaimana Leibniz tunjukkan, ke-dapat-eksis-an Tuhan tak lain adalah ke-telah-eksis-anNya.

    “Tuhan mungkin ada”

    Konklusi Meillassoux mengerucut: jika Tuhan tidak niscaya ada tetapi juga tidak niscaya tidak ada, maka Ia hanya mungkin ada. Tetapi, bagaimana kemungkinan-ada ini dipahami? Apakah mungkin-ada ini melibatkan suatu hubungan korelasionis (“mungkin-ada” buat subjek) atau tidak (melekat esensial pada esensi)? Di sini kita menggarisbawahi perbedaan antara kemungkinan yang dipahami Meillassoux dan Leibniz. Leibniz memahami kemungkinan pada taraf hipotetik (ex hypothesi) dan realis (per se) sekaligus, sehingga konsekuensinya ada dua: a) Tuhan yang ditetapkan oleh pikiran sebagai mungkin ada, niscaya ada secara aktual; dan b) Tuhan pada diriNya mungkin ada, mungkin meng-ada (atas kehendakNya), maka Ia niscaya ada. Sementara itu, Meillassoux, karena sedemikian ingin menundukkan segalanya di bawah hukum kontingensi, menyebut kontingensi itu sebagai sifat dasar yang melekat pada esensi pengada (la contingence propre à l’étant),[11] maka Tuhan pun dianggap kontingen, yang berarti bahwa Tuhan menurutnya dapat tidak ada tetapi juga dapat ada. Inilah arti mungkin-ada-nya Tuhan menurut Meillassoux. Kontingensi tidak ditempatkan Meillassoux eksternal terhadap esensi, tetapi melekat pada esensi itu sendiri.

    Kalau konsepsi kontingensi mau diikuti, pertanyaan-pertanyaan spekulatif akan berkembang: bagaimana Tuhan meng-ada dan meniada? Dapatkah Tuhan membuat diriNya eksis dan menghancurkan sendiri eksistensiNya? Pertanyaan-pertanyaan yang akan dianggap “bid’ah” oleh teologi dan filsafat, tetapi mungkin tidak bagi ambisi lancang ateisme Meillassoux. Di sini Leibniz tidak bisa membantu, karena Leibniz tampaknya lebih banyak berkutat pada konsekuensi pertama (a) yang bersifat ex hypothesi dan tidak berspekulasi lebih jauh tentang mungkin-ada-nya Tuhan.

    Di tengah kesulitan ini, Meillassoux tampaknya tidak sadar bahwa ia sedang membuka sendiri liang kubur bagi pertanyaan-pertanyaan spekulatif tadi yang pasti tidak dapat dijawabnya sendiri. Liang itu adalah apa yang bisa disebut “bias fenomenologis” dari konsepnya tentang ineksistensi. Ketika membahas gerak negasi dari eksistensi/ineksistensi, Meillassoux memahami eksistensi/ineksistensi, dalam konteks kontingensi, sebagai penampakan dan kelenyapan (apparition/disparition).

    “Negasi pertama—negasi perantara antara eksistensi dan ineksistensi, dan yang menjamin peralihan dari satu ke yang lain—mengungkapkan kontingensi itu sendiri, yaitu bahwa negasi itu menghampar di dalam dirinya keseluruhan ranah dari yang-mungkin: dari yang ada sebagai sesuatu yang berarti dapat-ada, yaitu sebagai [ranah] penampakan/kemunculan (apparition) dan kelenyapan (disparition).”[12]

    Poin ini krusial. Dalam konteks ketuhanan, jika eksistensi/ineksistensi Tuhan dipahami sebagai negasi di antara/dari/ke “penampakan” dan “kelenyapan” Tuhan, maka mungkin-ada-nya Tuhan itu semata-mata ada pada taraf “fenomenal”, atau epifenomenal secara ontologis (sekunder karena fenomenal, tetapi tetap ontologis, dalam arti bukan fenomenal-empiris). Ibn ‘Arabi akan menyebut bahwa negasi itu—operator eksistensi/ineksistensi—ada pada tingkat tasybih, maka kontingensi itu ada pada level tasybih di mana Tuhan “hadir” di dalam alam, melalui alam. Bagi Ibn ‘Arabi, memang, pada dimensi tasybih ini Tuhan pun kontingen, bisa hadir atau tidak hadir, menampak atau melenyap, muncul atau menghilang, eksis atau ineksis. Tingkat tasybih ini merupakan taraf epifenomenal, di mana Tuhan juga dapat masuk dan turut serta dalam kontingensi yang bekerja di dalam alam. (Kita dapat memahami “alam” ini tidak dalam pengertian Abad Pertengahan, tetapi sebagaimana Meillasoux pahami: Yang Luar Agung, le Grand Dehors.)

    Kalau mungkin-ada-nya Tuhan ini dipahami pada taraf epifenomenal, maka berabad-abad sebelumnya Ibn ‘Arabi telah memberikan jawaban atas Meillassoux. Dengan kata lain, pertanyaan Meillassoux tak lain mencerminkan pencapaiannya yang baru mencari Tuhan dengan masuk ke dalam tingkat tasybih Tuhan (atau Wujud), kemudian, sebelum benar-benar menemukannya, mensubordinasikan ia yang belum benar-benar dikenalnya itu ke dalam prinsip yang diklaimnya sendiri—Prinsip kontingensi—padahal tak lain, menurut Ibn ‘Arabi, prinsip itu adalah prinsip dari Wujud itu sendiri (taqlib al-wujud).[13]

    Ini ibarat seorang anak yang baru mempelajari arsitektur sebuah rumah besar yang tak dikenal dan baru ditemuinya, dan anak itu masuk dengan penuh takjub ke dalam rumah, dan menemukan dengan penuh girang bahwa rumus-rumus arsitektur yang dipelajarinya cocok dengan yang ditemukannya di dalam rumah, lalu mengklaim dirinya penemu pertama yang genius. Ia tidak menyadari bahwa rumus arsitektur itu telah ditemukan jauh hari sebelumnya oleh pemilik rumah itu, yang mungkin mengintip dari sebuah loteng menara di kejauhan dan dengan senyum turut girang dengan penemuan si anak, tetapi tidak pernah menemui si anak, karena ingin membiarkan si anak mencari dan menjelajahi seisi rumah. []


    Catatan akhir

    [1] Quentin Meillassoux, Après la finitude. Essai sur la nécessité de la contingence, Préface d’Alain Badiou (Paris: Seuil, Coll. “L’Ordre philosophique”, 2006).

    [2] Quentin Meillassoux, L’Inexistence divine, Thèse, Département de philosophie de l’Université Paris I (Panthéon-Sorbonne), dirigée par M. Bernard Bourgeois, 1997.

    [3] Jean-Luc Marion, “Is the Ontological Argument Ontological?”, Journal of History of Philosophy, 30: 2 (1992), h. 204.

    [4] Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer & Allan Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), h. 565.

    [5] Meillassoux, Après la finitude, h. 44.

    [6] Di akhir tulisan, Banin menyinggung argumen ini sekilas tanpa mendalaminya.

    [7] G.W.F. Leibniz, “A proof of the existence of God from his essence (January 1678)”, The Shorter Leibniz Texts, ed. Llyod Strickland (London: Continuum, 2006), h. 183-186.

    [8] Banin secara keliru menyebutnya “faktialitas”.

    [9] Meillassoux, L’Inexistence divine, h. 83.

    [10] Ibid., h. 87.

    [11] Ibid., h. 88.

    [12] Ibid., h. 87.

    [13] Bdk. Muhammad Al-Fayyadl, Teologi Negatif Ibn ‘Arabi. Kritik Metafisika Ketuhanan (Yogyakarta, LKiS, 2012), h. 183.

    Author

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Sebuah Hikayat dari Tanah Para Pencari Kebenaran Dunia

    Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari...

    Ampun, Romo Bertens: Argumen Absolutis Anda Bermasalah

    Buang semua asumsi moral dan pengetahuan yang kita dapat dari peradaban modern ini untuk sementara. Mari bayangkan...

    Polemik Hermeneutis Gadamer dan Habermas

    “Kalau Anda ingin mendengarkan Heidegger dengan lebih mudah, bacalah (tulisan) Gadamer.” Begitulah ucapan Fransisco Budi Hardiman saat...

    Metalearning? Di Balik Cognitive Load Theory

    Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari keberadaan seorang guru dalam melakukan pengajaran. Isu tentang pentingnya keberadaan seorang...

    Kultur Toksik Pengabdian Kampus: Mempertanyakan Kembali Makna Keberlanjutan

    Pengabdian kepada masyarakat merupakan serangkaian pola pikir dan tindakan dengan dasar sukarela untuk membantu korban dari...

    Seni AI dan Artstyle Manusia

    Setiap seniman memiliki gaya mereka sendiri dalam berkarya. Hal tersebut merupakan unsur yang membuat sebuah karya memperoleh...