The Critique of Mysticism: Sebuah Kritik Kemanusiaan Muhammad Iqbal
Oleh: Risalatul Hukmi
INTSARI
Tema besar dalam artikel ini adalah memahami kembali makna filsafat sebagai ‘cinta kearifan’, bukan ‘benci kearifan’. Hal tersebut merupakan salah satu alasan mengapa Iqbal menjadi tokoh yang penting untuk dikaji pemikirannya lebih dalam. Dengan mengumpulkan sumber-sumber pustaka yang ada, serta menggunakan metode analisis yang mendalam, makalah ini diharapkan dapat memberi sebuah wacana baru tentang pemurnian kembali pemikiran filsafat. Hasil yang diperoleh dalam usaha analisis pemikiran Iqbal atas kritiknya terhadap mistisisme dapat disimpulkan dalam beberapa poin berikut: pertama, Iqbal menganggap sufisme lahir dari pengaruh idealisme Plato yang menyimpang oleh ajaran Plotinus. Akan tetapi kemungkinan bahwa Plotinus terpengaruh oleh pemikiran timur merupakan hal yang secara historis sementara dapat diterima. Kedua, kritik kemanusiaan terhadap mistisisme yang dilontarkan Iqbal merupakan usaha purifikasi atas kecenderungan philosophia menuju misosophia. Ketiga, sifat implikatif filsafat memberikan satu pertanyaan terhadap pemikiran Iqbal yang bersifat sintesis. Jika kearifan adalah sintesa beberapa pemahaman dan menempatkannya dengan tepat, lalu bagaimana posisi individu kreatif yang dimaksud Iqbal? Bukankah hal tersebut membuat keterikatan pada banyak entitas yang berbeda dan menuntut untuk cenderung bersikap munafik.
Kata Kunci: Iqbal, Sufisme, Kritik kemanusiaan
Viltalisme Spiritual Henry Bergson
Oleh:Khoiril Maqin
INTSARI
Materialisme dan mekanisme memandang yang hidup tidak lebih dari benda. Penganut materialisme, melihat organisme hidup dipandang seperti mesin yang rumit. Bagian-bagiannya saling tergantung dan memengaruhi; sedangkan mekanisme, melihat organisme hidup hanya berdasarkan hukum kimia-fisika. Segala sesuatunya cukup diterangkan melalui rumus-rumus yang rumit. Lawan dari dua paham itu adalah vitalisme. Menurut kaum vitalisme, organisme hidup secara fundamental berbeda dari entitas non-hidup. Pada dasarnya, diatur oleh prinsip-prinsip yang berbeda dari hal-hal yang mati. Ada dua kutub vitalisme, biologis dan spiritual. Paper ini berusaha mengungkap pemikiran filsuf Perancis Henri Bergson (1874–1948) tentang Elan Vital, untuk mengatasi hambatan materi dalam pembentukan tubuh makhluk hidup. Terutama ditekankannya vitalitas spiritual, yaitu kebebasan dan spontanitas, yang tidak dapat dikembalikan ke keadaan sebelumnya; mendobrak segala hukum kausalitas. Dinamik itu membawa manusia menuju penghayatan yang semakin tinggi.
Kata Kunci: Materialisme, Mekanisme, Vitalisme Spiritual, Elan vital
Mengukuhkan Filsafat Pancasila sebagai Dasar Mentalitas Bangsa
Oleh: Fadhila Rachmadani
INTSARI
Artikel ini bertujuan memaparkan pengaruh negatif globalisasi terhadap penurunan kualitas mental bangsa Indonesia. Mengukuhkan Filsafat Pancasila penting utuk membentuk dasar mentalitas bangsa Indonesia, karena hal yang bersifat mental berimplikasi pada hal lain yang bersifat nonmental seperti sesuatu yang konkret. Secara umum bangsa bermental kuat dapat mengembangkan aspek fisik yang lain. Oleh sebab itu membangun dasar mentalitas suatu bangsa penting bagi keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara hingga masa mendatang. Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia mengandung beragam nilai yang terwujud di dalam lima sila Pancasila. Memberikan pemahaman Pancasila secara mendasar dan menyeluruh kepada seluruh elemen masyarakat Indonesia pun dapat menjadi satu upaya membangun dasar mental positif bangsa Indonesia.
Kata kunci: Dilema Globalisasi, Filsafat Pancasila, Mentalitas Bangsa Indonesia.
Film Saving Private Ryan dalam Hierarki Nilai Max Scheler
Oleh: Febrianto Adi Saputro
INTSARI
Artikel ini bertujuan untuk mengetahui hierarki nilai yang terdapat dalam Film Saving Private Ryan. Pemilihan film Saving Private Ryan sebagai objek kajian karena film ini pernah menjadi film terbaik dan menerima banyak penghargaan. Menurut Max Scheler, ada empat nilai yang tersusun secara hierarki, yaitu Nilai Kesenangan, Nilai Vital, Nilai Spiritual, dan Nilai Kekudusan. Dalam Film Saving Private Ryan tersebut terdapat nilai-nilai yang termasuk dalam Hierarki Nilai menurut Max Scheler. Nilai-nilai yang terdapat dalam Film Saving Private Ryan yaitu Nilai Kesenangan, meliputi rasa senang, rasa nikmat, rasa sakit dan rasa nyaman; Nilai Vital, meliputi rasa mendekati kematian dan penyakit; Nilai Spiritual, meliputi nilai perjuangan dan nilai kemanusiaan; dan Nilai Kekudusan, yaitu sikap penyembahan, yang dialami oleh banyak tentara dalam gambaran Film Saving Private Ryan tersebut.
Kata Kunci : Film Saving Private Ryan, Hierarkhi Nilai, Max Scheler.
Pergulatan di Atas Ranjang: Perbincangan Terbatas Dualisme Platon (Psyche dan Soma) dalam Keroncong Motinggo Karya Subagyo Sastrowardoyo
Oleh: Danang Tp.
INTSARI
Berangkat dari kenyataan diseminasi filsafat pada bidang sastra, maka penulis tertarik mengkaji sajak Keroncong Motinggo karya Subagio Sastrowardoyo dari sudut pandang filsafat khususnya persoalan filosofis dualisme psyche dan soma Platon sebagai sebuah usaha pemahaman atas pergulatan jiwa-badan yang di alami manusia. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa Sajak Keroncong Motinggo karya Subagio Sastrowardoyo dengan jelas melukiskan suasan pergulatan antara psyche dan soma. Pergulatan jiwa dan badan diungkapkan dalam sebuah sajak yang terdiri dari lima bagian yang secara garis besar menghadirkan peristiwa pengenangan sebuah perjamahan antara laki-laki dan perempuan yang telah berlangsung. Jika Platon mengidealkan sikap asketis untuk mengutamakan psyche daripada soma. Maka Subagio dalam sajaknya tidak memberikan sebuah sikap yang jelas. Hanya lukiskan sebuah pergulatan manusia dengan jiwa dan hasrat ke tubuhanya yang dilihatkan.
Kata kunci: Platon, Psyche, Soma, Pergulatan, Sajak
Habermas, Speech-Act, dan Verstandingung
Oleh: Banin Diar Sukmono
INTSARI
Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi pemikiran Habermas tentang Speech Act. Hal ini dilakukan karena masih sedikit literatur yang membahas tentang hubungan teori tindakan komunikatif Habermas dan Speech Act nya. Hasil penelitian ini memperlihatkan: 1) menurut Habermas, bahasa mempunyai kekuatan untuk membuat manusia mencapai konsensus yang legitim. Karena itu analisis tentang bahasa, khususnya tentang teori pragmatik yang universal menjadi diperlukan. 2) untuk mengembangkan teori pragmatik universal, Habermas menggunakan teori Speech Act Austin dan Searle sebagai basis untuk teori tindakan komunikatif. 3) Habermas melakukan rekonstruksi terhadap pemikiran Austin dan Searle, sehingga muncullah konsep Speech Act konstantif, yang mempunyai validitas klaim kebenaran; regulatif, yang mempunyai validitas klaim ketepatan; dan representatif, yang mempunyai validitas klaim kejujuran. Ketiga klaim itu harus dipenuhi secara serentak untuk mendapatkan konsensus yang legitim.
Kata kunci: Universal Pragmatics, Speech Act, Pemahaman.