Vol. 2 No. 1 Mei 2015

Perbandingan Gagasan Immanuel Kant  dengan Jacques Derrida tentang Konsep Hak Kosmopolitan

Oleh: Rizky Alif Alvian

INTISARI

Artikel ini bertujuan untuk membandingkan gagasan Immanuel Kant dan Jacques Derrida mengenai hak kosmopolitan atas keramahan (cosmopolitan right of hospitality). Perbandingan ini dilatari oleh men­guatnya isu penerimaan imigran, pengungsi, dan pencari suaka di dalam diskursus hubungan internasional. Perbandingan atas keduanya menunjukkan bahwa Kant dan Derrida menginterpretasi hak tersebut secara berbeda. Sementara Kant mengadvokasi hak manusia untuk saling mengunjungi, Derrida mendorong ter­ciptanya hak manusia untuk diterima. Perbedaan ini berpengaruh terhadap struktur kosmopolitanisme yang didorong oleh keduanya.

Kata Kunci: Immanuel Kant, Jacques Derrida, Hak Kosmopolitan atas Keramahan

 

Analisis Filosofis Nalar Publik Terhadap Islam, Hukum, dan Kesetaraan  di Indonesia menurut John R. Bowen

Oleh: Joseph Biondi Mattovano

INTISARI

Prinsip nalar publik menjamin penerapan prinsip hukum adat dan agama di tengah masyarakat maje­muk. Perbedaan prinsip hukum agama dan adat disikapi melalui jalan diskursus. Masyarakat dituntut untuk menggunakan nalarnya dalam proses diskursus ini. Diskursus mengarahkan pemikiran-pemikiran yang ber­beda menuju kepada suatu konsensus. Proses diskursus menuju konsensus ini membutuhkan argumentasi-ar­gumentasi rasional. Dengan menjadikan suku Gayo di Aceh sebagai objek kajian antropologi, Bowen memper­temukan adat dengan agama melalui pendekatan antropologi suku dan prinsip filosofis nalar publik. Adat dan agama memiliki hukum yang meregulasi masyarakat di dalamnya. Secara khusus, proses inilah yang hendak disampaikan dalam artikel ini. Tujuan dari penulisan yang hendak dicapai di sini adalah untuk menganalisis secara nalar publik realitas hukum adat yang berkolaborasi dengan hukum Islam. Agama yang berhadapan dengan adat dapat dijelaskan secara rasional di hadapan publik. Kolaborasi hukum adat dan agama membu­tuhkan suatu diskursus publik. Diskursus dengan melibatkan nalar publik melindungi masyarakat majemuk melalui distingsi yang tegas antara ruang privat dan ruang publik.

Kata Kunci: Adat, Agama, Nalar Publik, Konsensus

 

Tinjauan Feminisme Eksistensial Simone de Beauvoir dalam Film “Mona Lisa Smile”

Oleh: Fadhila Rachmadani

INTISARI

Latar belakang artikel ini bertolak dari ketertarikan terhadap diskusi seputar kajian feminisme kefilsafa­tan yang menitikberatkan pada posisi perempuan sebagai subjek pengambil keputusan secara sadar, bebas, dan bertanggung jawab. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan teori feminisme eksistensial Simone de Beauvoir, menguraikan inti cerita film “Mona Lisa Smile”, dan menganalisis makna filosofis cerita film “Mona Lisa Smile” dalam perspektif feminisme eksistensial Simone de Beauvoir. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah Hermeneutika Filosofis dengan unsur-unsur metodis deskripsi, interpretasi, dan refleksi. Perempuan dapat menjadi subjek otonom dengan mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan subjek dominan, sub­jek moral, ataupun subjek dominan agar tidak menjadi Liyan yang diobjekkan oleh laki-laki. Perempuan pada dasarnya bebas memilih ingin mengambil keputusan dengan pertimbangan subjek moral, subjek dominan, ataupun subjek eksisten asalkan bertanggung jawab atas segala konsekuensi yang ditimbulkan karena masing-masing pertimbangan subjek memiliki kekurangan dan kelebihan berbeda-beda. Perempuan yang berhasil menjadi subjek otonom dinilai mampu memahami jati dirinya, sehingga dapat mengambil keputusan ataupun pilihan yang tepat bagi dirinya.

Kata kunci: Film “Mona Lisa Smile”, Feminisme Eksistensial Simone de Beauvoir, Subjek Otonom

Subjek dalam Pemikiran Jacques Lacan dan Axel Honneth

Oleh: Arnold Yansen

INTISARI

Artikel ini merupakan elaborasi mengenai tema subjek yang terdapat dalam pemikiran Jacques Lacan dan Axel Honneth dalam perspektif psikoanalisis dengan tujuan mendapatkan konsepsi yang lebih memadai ten­tang subjek. Bagi Jacques Lacan, subjek akan menjadi dirinya sendiri bila mampu memiliki phallus yang ber­guna menutupi kekurangan eksistensialnya dan menopangnya di dalam proses perkembangannya. Axel Hon­neth, sebaliknya, dengan inspirasi dari teori psikoanalisa relasi objek, melihat subjek hanya dapat berkembang secara memadai dalam suatu relasi intersubjektivitas yang dirasakan. Bagi Honneth, subjek yang otonom dan independen ditentukan lingkungan sosialnya, berbeda dengan Lacan yang menganggap pembentukan sosial sebagai penyebab subjek terasing dengan dirinya sendiri.

Kata Kunci: Subjek, Hasrat, Pengakuan Intersubjektif