“di mana karya seni hadir, maka kegilaan tidak pernah ada”[1]
/1/
Beberapa bulan lalu, Jati Bayubroto, camat Banguntapan, Bantul menyatakan bahwa pondok pesantren khusus waria (wanita pria) Al-Fatah resmi ditutup. “Ponpes akhirnya ditutup,” tegas Jati, kamis (25/2) kepada wartawan yang melaporkan untuk BBC Indonesia. Penutupan tersebut, dituturkan oleh Jati, merupakan hasil perundingan malam sebelumnya yang dihadiri pimpinan RT, RW, pejabat kecamatan, Kapolsek, Danramil, KUA, beberapa tokoh masyarakat, perwakilan Front Jihad Indonesia (FJI), dan Shinta Ratri sendiri selaku pendiri dan pemimpin Ponpes.
Ponpes Al-Fatah didakwa telah meresahkan warga dan tidak memiliki izin karena beroperasi di kediaman Shinta. Selain itu, pernah juga ditemukan botol minuman keras di tempat tersebut meski belum ada penyelidikan lebih lanjut mengenai kepemilikannya. Sementara di kesempatan lain, mantan lurah jagalan yang lengser April 2015, Sholehudin, mengakui bahwa belum pernah ada laporan masuk dari warga yang resah dengan adanya aktivitas ponpes waria Al-Fatah. Aditia Firmanto selaku perwakilan LBH Yogyakarta merasa perundingan yang berujung penutupan ponpes Al-Fatah sangat timpang dan cenderung menghakimi Shinta Ratri secara sepihak. Shinta sama sekali tak diberi kesempatan mengklarifikasi tudingan miring yang datang khususnya dari ormas FJI.[2]
Bukan sesuatu yang mengherankan. Kebencian terhadap eksistensi kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) memang sudah terpupuk-subur di kalangan orang-orang konservatif terutama dalam hal ini religio-Fasis. Kasus penutupan ponpes waria Al-Fatah bukanlah pertama kali tindakan intoleransi terhadap LGBT terjadi di Indonesia. Masih segar dalam ingatan kita saat pernikahan sesama jenis di jombang menjadi bahan celaan publik dan terpaksa dibatalkan. Atau beberapa gelaran diskusi maupun perkumpulan kelompok LGBT mendapatkan represi dari beberapa ormas yang sebagian besar mengatas-namakan agama. Ormas religio-Fasis tersebut “Menerobos-bubarkan” semua yang berbau LGBT tanpa pandang bulu sembari meneriakkan “Allahu Akbar” silih berganti umpatan “Asu!”.
Kelompok LGBT tak hanya menerima represi secara fisik, mereka juga terus ditekan melalui pewacanaan bahaya penyimpangan seksual. Seakan jika Anda menyimpang secara seksual maka Anda merupakan penyebar epidemi yang perlu diwaspadai dan dijauhi. “Homo sesuatu yang menular tak jauh beda dengan kudis, jadi waspadalah! setidaknya jika ke-homo-an tak dapat ditularkan langsung, perilaku “kotor” mereka, secara tak diragukan lagi, merupakan sumber penyakit mematikan (AIDS)”.
Saya turut Prihatin—layaknya apa yang bisa dilakukan politikus di luar sana—terhadap nasib saudara kita. Tapi apa daya seorang mahasiswa Fakultas Filsafat yang masa depannya belum jelas ini selain hanya turut prihatin? Namun melihat fenomena LGBT yang semakin menggores sembilu di nurani seorang pengangguran intelektual, dan dengan ke-tak-berdaya-an, timbul sebuah penasaran, sedari kapan sih sikap represif menjangkiti masyarakat terhadap berbagai penyimpangan seks? Maka dari itu, melalui tulisan ini, saya ingin berusaha mencari tahu seluk-beluk kebencian—atau lebih tepatnya ketakutan—kita pada penyimpangan.
… hingga kini teknologi mutakhir belum mampu memberikan jawaban yang mendalam dan memuaskan tantang hal ini. Perdebatan masih menyelimuti pemahaman homoseksualitas dan justru semakin membawanya ke jurang tabu yang lebih dalam. Sementara kaum LGBT semakin tersudut di luar sana.
/2/
Sebelum menelusuri sejarah represi terhadap seksualitas manusia, akan naif rasanya jika kita tak menelusuri terlebih dahulu “Apa itu penyimpangan seks?” tetapi saya tidak menjamin akan memberikan penjelasan yang memadai tentang definisi dan penyebab penyimpangan seks. Karena sampai detik ini masih banyak simpang siur tentang pembuktian penyebab manusia dapat memiliki orientasi yang berbeda dari umumnya.
Penjelasan bersifat saintifik pernah membuktikan bahwa homoseksualitas merupakan faktor hereditas. Setiap pelaku homoseks ialah mereka yang memiliki gen gay dan penurunannya bersifat acak. Penelitian dilakukan terhadap sepasang saudara yang kebetulan gay dan ada gen yang mirip dan diklaim sebagai gen pembawa sifat gay. Jadi, homoseksualitas merupakan kodrat dan tak dapat disembuhkan karena faktor genetik yang melekat dalam tubuh manusia. Namun beberapa waktu belakangan, sempat ada penelitian juga yang hasil akhirnya justru membantah asumsi “genetika gay”. Artinya, hingga kini teknologi mutakhir belum mampu memberikan jawaban yang mendalam dan memuaskan tantang hal ini. Perdebatan masih menyelimuti pemahaman homoseksualitas dan justru semakin membawanya ke jurang tabu yang lebih dalam. Sementara kaum LGBT semakin tersudut di luar sana.
Keterbatasan sains dan teknologi dalam memberi penjelasan tentang orientasi seks menyimpang, boleh jadi lama-kelamaan akan segera teratasi dalam perkembangannya. Namun tak kalah penting bila kita menyimak kembali teori Psikoanalisis Freud yang banyak memaparkan perihal seksualitas an sich. Teori Freud ini menjadi penting sebab selain menjadi satu-satunya teori yang menentang setiap dampak politis-administratif dari kecurigaan yang menyelubungi pemahaman akan seksualitas[3], Psikoanalisis juga “memainkan cukup banyak peran sekaligus: sebagai mekanisme yang mengaitkan seksualitas dengan sistem kekerabatan; yang berkedudukan sebagai lawan terhadap teori degenerasi; yang berfungsi sebagai unsur pembeda di dalam teknologi seks yang berlaku”.[4] Freud yang memulai karier sebagai Neurolog mengemukakan teori Psikoanalisisnya yang menitik beratkan hasrat (terutama hasrat seksual) sebagai elemen pendorong utama perilaku manusia. Hasrat seksual adalah motivasi paling penting baik bagi orang dewasa maupun anak-anak dan bayi[5].
Dalam Neurologi, perihal orgasme dan kenikmatan seksual yang berkaitan dengan organ genital bukan hal asing, tetapi Freud menolak pemahaman bahwa seks adalah semata perihal rangsangan kelamin dan kenikmatan orgasme. Baginya, seksualitas termasuk juga sensasi yang lahir dari sentuhan kulit—oleh teoretikus kemudian dinamakan daerah erogen (erogenous)—termasuk kenikmatan yang dirasakan bayi ketika menyusu pada ibunya.[6]
Berdasarkan pengamatannya pada tumbuh-kembang anak, Freud menyusun tahap-tahap perkembangan psikologis manusia sebagai berikut: Pertama, bayi berusia 0-18 bulan dengan titik kenikmatan terletak pada mulut (tahap oral). Dibuktikan dengan kebiasaan bayi pada usia ini untuk menghisap dan memasukkan sesuatu ke dalam mulut; kedua, tahap anal, bayi usia 18 bulan s/d 3-4 tahun dengan titik kenikmatan utama di anus dan kebiasaan menggenggam sesuatu; ketiga, tahap phallic atau Phallus pada usia tiga sampai tujuh tahun, titik kenikmatan berada pada alat kelamin; keempat, tahap laten antara tujuh sampai 12 tahun (pubertas). Tahap ini menuntut pengalihan kenikmatan kepada proses pembelajaran di kelas; terakhir tahap genital, dorongan seks sangat besar terutama kalangan remaja yang mulai memproyeksikan diri untuk berhubungan seksual. Sementara identifikasi seksualitas dalam diri anak-anak berlangsung dalam penjelasan Oedipal Complex berikut: objek cinta yang pertama dikenali bayi ialah ibunya, tetapi kehadiran ayah mereka menjadi penghalang kasih tersebut.
Sosok ayah sudah bagaikan musuh bagi seorang bayi. Kecemburuannya terhadap sang ayah membuatnya mulai sadar tentang perbedaan spesifik antara lelaki dan perempuan: terdapatnya penis (Phallus). Karena sadar bahwa ia tak mungkin bersaing dengan ayahnya yang jauh lebih kuat dan besar, ia mulai melakukan pertahanan ego dengan mengalihkan ketertarikannya kepada wanita lain dan mulai mengidentifikasikan diri dengan ayahnya sebagai sesosok lelaki jantan. Hal yang hampir sama juga dialami bocah perempuan yang mulai sadar ‘kekurangan’ penis dalam dirinya membuatnya mulai mengalihkan cintanya pada lelaki (lain).[7]
Perihal seksualitas menyimpang, Freud menjelaskannya secara Psikoanalisis sebagai akibat dari trauma masa kecil. Menurutnya, pengalaman traumatis sangat berpengaruh dalam pembentukan kepribadian karena ia mengendap dalam alam bawah sadar setiap orang dan mempengaruhi pola dasar perilakunya. Gejala membekasnya ingatan traumatis ini disebut Freud sebagai fiksasi[8]. Psikoanalisis Freud memandang homoseksualitas muncul melalui fiksasi kepribadian phallic. Seorang anak laki-laki yang tidak mendapat kasih sayang yang cukup dari ibunya dan sangat terancam dengan kemaskulinan ayahnya akan cenderung merasa tak nyaman ketika berinteraksi dengan lawan jenisnya sekaligus membenci segala hal yang berbau kelaki-lakian. Begitu juga bocah perempuan yang diabaikan oleh ayahnya, akan terancam oleh kefeminiman ibunya sehingga tidak akan peka dengan potensi dirinya dan cenderung bertumbuh menyerupai lelaki. Namun sebaliknya jika perhatian yang didapat terlalu besar dari orang tua yang sama jenis kelaminnya, anak akan gagal mengidentifikasi potensi seksualitasnya.[9]
Penjelasan psikoanalisis tentang pembentukan kepribadian tersebut, walaupun dianggap menjadi satu-satunya teori seksualitas yang berani mengungkapkan hasrat alami manusia, yaitu seks, namun tak luput dari kritik. Salah satunya karena Freud dengan sangat teguh mempertahankan teorinya yang terkesan sexist dan memandang rendah rasa “kekurangan” akan penis pada perempuan. Tetapi setidaknya Freud telah mampu melucuti rahasia yang terdapat dalam seksualitas manusia. Kemudian, setelah mengetahui—setidaknya dari sudut pandang psikoanalisis—bagaimana homoseksualitas terbentuk, kita perlu kembali kepada pertanyaan awal: asal-usul sikap represif masyarakat modern terhadap penyimpangan seksual.
/3/
“Sejak lama dan sampai kini pun kita dibayangi oleh norma-norma zaman Victoria. Ratu yang angkuh dan puritan itu selama ini melambangkan seksualitas kita yang berciri menahan diri, diam, munafik.[10]”
Demikian kalimat yang dipakai Foucault untuk membuka karya monumentalnya tentang sejarah seksualitas. Foucault secara eksplisit memijakkan kaki pertama kali dalam pewacanaan seks dengan menuding Ratu Victoria sebagai orang yang patut dipersalahkan atas represi yang terjadi terhadap seks sejak sekitar 200 tahun lalu. Seksualitas dan segala yang berbau birahi, melalui wacana courtly love* kaum Victorian, telah menjumud dan diselubungi tabu. Tak ada lagi kial yang menjerumus, aurat yang diumbar, bocah-bocah berlarian tanpa pakaian, kata-kata mengandung unsur birahi, ataupun tubuh-tubuh yang tenggelam dalam keasyikan yang konon dapat ditemui sebelum abad ke-17.[11]Seperti halnya sekarang, seks telah dijerat dan dikungkung-redamkan dalam kompleksitas norma manusia “beradab” a la Victorian. Seks merupakan hak bagi suami-istri yang sah dan mau memperbudak seks dalam fungsi reproduksinya (kaum pro-kreasi), bahkan sampai segala pewacanaannya pun dibatasi, jika perlu dihilangkan sama sekali.
Lantas apa kaitannya puritanisme Victoria dengan represi homoseksualitas? Tentu ada. Jika sasaran utama dari normalisasi kehidupan masyarakat melalui pengaturan wacana seks adalah menciptakan seks yang beradab sesuai pola barat—atau dengan kata lain menciptakan masyarakat munafik. Maka homoseksualitas merupakan korban dari spesifikasi baru individu-individu yang merupakan salah satu bentuk operasi represi seksualitas[12]. Artikel yang ditulis Westphal pada 1870—dapat ditandai sebagai tahun kelahiran homo—mengenai “sensasi seksual menyimpang” mengubah cara pandang terhadap homoseksualitas dari perilaku sodomi kambuhan pada zaman dahulu, menjadi sebentuk ciri kualitatif dan kepekaan seksual khas. Sebuah kemampuan mengubah maskulinitas dan femininitas dalam diri. Akibatnya, homoseksualitas kini dipandang bukan sebagai penyakit kambuhan melainkan sejenis spesies tersendiri sebagai androgini batin atau hermaphrodisme jiwa.[13]
Pada abad ke-19, homoseksualitas diklasifikasikan menjadi lebih spesifik lagi layaknya spesies jangkrik. Penamaan tersebut antara lain: eksibisionis (lasegue), fetisis (Binet), zoofili dan zooerast (Krafft-Ebing), dan oto-monoseksualis (rohleder)[14]. Hal ini bukan berarti rasio normalitas barat sedang tidak berusaha menumpas penyimpangan itu. Namun dalam usaha peremuk-redaman wacana seks, logika kekuasaan Scientia Sexualist—bandingkan dengan seni erotika di Cina, Jepang, India, Roma, dan Arab-muslim—yang dikembangkan Barat, justru telah mempresentasikan untuk kemudian mengukuhkan dalam wilayahnya, berbagai penyimpangan seks ke dalam realitas sosial untuk kemudian dipadukan dengan individu.[15]
relasi kekuasaan-seks yang terjalin selama abad pertengahan sampai abad ke-19, yang dengan secara eksplisit, melalui instrumennya yaitu Pastor, Dokter, Psikolog, Psikiater, dan pendidik, setidaknya walaupun mungkin secara tidak merata, menunjukkan pada kita sebuah relasi represif. Sementara secara garis besar entah itu kalangan aristokrat pada abad Pertengahan sampai borjuasi mulai abad ke-18, mereka yang terus-menerus menindas seks dalam ruang gelap dengan berbagai motif (religius, ekonomi, sejarah), adalah mereka yang kita kenal sebagai : kelas yang berkuasa.
Abad pertengahan sebagai momentum penyebaran kristianitas juga membawa dampak tersendiri terhadap perkembangan represi seksualitas Barat. Salah-satu yang menjadi fokus perhatian Foucault dalam setiap karyanya adalah upacara pengakuan dosa kristen. Menurutnya, pengakuan yang biasa dilakukan di gereja, lama-kelamaan meresap-sebar dalam darah-daging bangsa Barat. Menciptakan pola down-top dalam Scientia Sexualis amat berbeda dengan seni erotika. Persamaan yang terdapat dalam masyarakat Barat dan Timur dalam hal seksualitas adalah begitu besarnya minat diskursus tentang seksualitas yang terus diproduksi dan berkembang biak. Namun bedanya, masyarakat Barat justru berusaha membentuk sebuah kajian ilmiah dengan disiplin pengakuan dosa. Seksualitas dipojokkan sembari dipergoki dan diinterogasi di sudut pengucilan demi sebuah pengetahuan tentangnya[16]. Sementara masyarakat yang lain di Timur, Romawi dan Yunani kuno justru dengan giat membentuk sebuah seni yang menghasilkan kenikmatan yang hendak dibuat paling intens dan mampu bertahan lama. Satu hal yang ingin diungkap melalui scientia sexualis adalah kebenaran tentang seks melalui studi tentang seksualitas orang lain. Di lain sisi, ars erotica justru memperkenalkan bagaimana cara memaksimalkan kenikmatan seks, mengintensifkan seks dan menghasilkan kenikmatan dalam diri orang lain.[17]
Dalam pemaksimalan metode pengakuan untuk terus memeras pengetahuan dari seksualitas, scientia sexualis menggunakan beberapa cara sebagai berikut: 1) pembakuan prosedur “menyuruh bicara” sebagai ilmu klinis. Sebuah bentuk kombinasi pengakuan dengan pemeriksaan untuk menghasilkan pengetahuan yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. 2) postulat suatu kausalitas umum dan ke segala arah. Setiap tingkah polah seksual sekecil apa pun dinilai dapat membawa dampak terhadap masa depan kesehatan manusia. Maka penyelidikan mendalam menjadi perlu dipaksakan ke dalam seksualitas. 3) menganggap seksualitas mengandung sifat laten dalam hakikatnya. Seks dipahami sebagai sebuah kekaburan yang senantiasa menghindar. Sehingga pengakuan tak hanya mengejar apa yang disembunyikan namun juga seksualitas yang tersembunyi. 4) metode interpretasi. Pendengar dalam upacara pengakuan tak hanya berwenang mengulik pengakuan dan menghakimi, tetapi mereka memiliki wewenang hermeneutis. 5) medikalisasi berbagai dampak pengakuan. Persoalan seks tak lagi hanya sekedar urusan halal-haram, ekses, dan dosa tapi sudah maujud dalam oposisi biner normal dan yang patologis.[18]
Jadi, relasi kekuasaan-seks yang terjalin selama abad pertengahan sampai abad ke-19, yang dengan secara eksplisit, melalui instrumennya yaitu Pastor, Dokter, Psikolog, Psikiater, dan pendidik, setidaknya walaupun mungkin secara tidak merata, menunjukkan pada kita sebuah relasi represif. Sementara secara garis besar entah itu kalangan aristokrat pada abad Pertengahan sampai borjuasi mulai abad ke-18, mereka yang terus-menerus menindas seks dalam ruang gelap dengan berbagai motif (religius, ekonomi, sejarah), adalah mereka yang kita kenal sebagai : kelas yang berkuasa.
/4/
Guna memudahkan kita melihat bagaimana kelas yang berkuasa menindas hasrat seksual, mari kita pecah kronologi represi yang terjadi dalam beberapa periode pemutusan:
- Abad ke-14 terjadi reformasi dan konsili Trente menyebabkan perpecahan “teknologi tradisional birahi”. Tetapi ritus bimbingan rohani dan pengakuan batin masih dilakukan. Bahkan semakin dibekukan dalam bentuknya yang semakin halus tetapi rumit pada abad ke-16.[19]
- Pemutusan abad ke-17 menandakan lahirnya pengukuhan yuridis terhadap kesantunan seks seperti sudah kita bahas di atas. Seluruh sistem birahi hanya diperbolehkan bagi orang dewasa dan pasangan suami-istri yang sah, keharusan perilaku santun dan pembungkaman seks-kewacanaan melalui penyensoran bahasa.[20]
- Melalui revolusi borjuasi Prancis, abad ke-18 mengantarkan kita pada sebuah bentuk baru teknologi seks yang belum sepenuhnya terlepas dari sistem dosa. Sebuah teknologi seks yang berporos pada trinitas represi: Pedagogi dengan sasaran anak-anak yang mulai melakukan masturbasi; medis dengan menyasar fisiologi seksual terutama wanita; dan poros demografi yang menyasar regulasi kelahiran.[21] Hal ini juga semakin dikukuhkan selama abad ke-19.
- Pemutusan berikutnya di abad ke-20. Terjadi pelonggaran membentuk infleksi kurva: toleransi muncul terhadap hubungan pra-nikah, diskualifikasi perversitas berkurang, hukumannya sebagian dihapuskan, dan konon sebagian tabu yang membebani anak-anak telah lenyap.[22]
Sejarah seksualitas menunjukkan, setidaknya, kehadiran represi di dalamnya dan kalangan aristokrasi-borjuasilah yang menyebarkan virus sistem seksualitas kepada kaum proletar. Karena, jika membincangkan sejarah dari sudut represi yang berkaitan dengan pemanfaatan tenaga kerja, pengendalian justru bermutasi menjadi lebih intensif dan jelimet terhadap kaum papa.[23] Sistem seksualitas yang dimaksud adalah himpunan perversitas-hereditas-degenerasi sebagai fondasi teknologi seks baru yang dibawa borjuasi.[24] Awalnya, kristianisme sudah mulai mengawasi seksualitas pada anak-anak (lihat Mollities karya Gerson di abad ke-15 dan L’ Onania suntingan Dekker di abad ke 18 yang menyalin secara cermat ajaran pastoral Anglikan) kemudian berbagai pengetahuan tersebut dibangkitkan kembali dengan mutasi kepada bentuk baru: medikalisasi teknologi seks. Mutasi yang terjadi antara abad ke-18 dan ke-19 berujung pada pemisahan kedokteran umum dan kedokteran spesialis seks. Akibat pemisahan ini, naluri seksual manusia dipaksa memilih antara kutub normal dan patologis. Perversitas menjadi fokus kajian dalam psikologi dan medis menggeser kategori moral kuno.[25]
Pada saat bersamaan, seks ditempatkan dalam sebuah analisis genetika. Segala yang berkaitan dengan seks (hubungan seks, perversitas, penyakit kelamin) dinilai tak hanya berbahaya bagi dirinya sendiri namun juga mampu membahayakan umat manusia. Sebab seks dianggap menjadi modal genetis manusia yang dapat mewariskan endemi. Maka hadirlah wacana pelimpahan tanggung jawab biologis kepada negara. Perkawinan, kelahiran, tingkat kesuburan dan seks itu sendiri harus diadministrasikan oleh lembaga sentral kekuasaan: negara. Teori hereditas ini berkait-kelindan dengan teori degenerasi. Sebuah generasi yang penyakitan diyakini akan menghasilkan anak-keturunan menyimpang secara seksual. Misalkan Anda homoseks, bisa jadi Anda terlahir dari silsilah nenek moyang pengidap bengek. Termasuk juga perversitas menjadi sebab bagi kemandulan atau degenerasi lainnya.[26] Di titik ini pertemuan antara kesintingan[27] medis kuno dan kepentingan politis negara telah mengendalikan apa yang Foucault sebut sebagai bio-politik.
Kekuasaan atas hidup membentuk dua kutub: pertama, pada abad ke-17, tubuh sebagai mesin. Tubuh di”sekolah”kan, diupgrade kemampuannya, ditundukkan, dan diintegrasikan dalam berbagai sistem pengendalian. Semua terjadi dalam lingkup kekuasaan yang disebut “disiplin: politik anatomis tentang tubuh manusia”; kutub kedua, terbentuk di pertengahan abad ke-18, badan sebagai jenis. Badan dijadikan sedemikian rupa agar dapat menunjang proses biologis: kelahiran, kematian, harapan hidup, kesehatan, kebugaran, dan perkembang-biakan dalam pengawasan serentetan pengawasan dan “pengendalian: bio-politik tentang populasi”. Demikianlah cara bagaimana bio-politik lahir dan meresapi setiap jengkal kehidupan manusia. Sistem politik tersebut membawa pesatnya pertumbuhan lembaga sekolah, kolese, dan munculnya kebijakan migrasi, juga tata hunian. Hal ini juga merupakan instrumen klasik pembentukan masyarakat berisi tubuh-tubuh yang mudah dikendalikan. Dengan demikian, selamat datang di zaman “bio kekuasaan”. Sebuah era yang menjadi unsur pembentuk sistem kapitalisme dan secara eksplisit, kapital menyusupkan tubuh-tubuh ke dalam alat produksi. Negara sebagai aparatur kekuasaan menjadi payung pelindung “hubungan produksi, rudimen-rudimen anatomis dan biologis, yang diciptakan pada abad ke-18, sebagai teknik-teknik kekuasaan yang hadir di segala tataran korps sosial”.[28]
Tentu jika kita membedah lebih lanjut pandangan tersebut dalam perspektif Marxisme akan jadi menarik. Saya tidak melakukannya bukan sebab takut tulisan ini kemudian dibakar pak kentara dan kulisi karena dituding kuminis dan ateis. Namun, ada sebuah keganjilan di sini. Benarkah borjuasi—baik oknum maupun kelompok—memiliki kuasa sebesar itu untuk mendikte kaum miskin agar menekan hasrat seksualnya? Dan apakah Borjuasi merupakan satu-satunya kelas—karena kuasanya—yang tidak melakukan represi terhadap seksualitas?
/5/
Sebagaimana telah didiskusikan sebelumnya, wacana represi seksualitas, jika ditilik dari ekonomi, berkaitan erat dengan penggeseran energi hasrat seks kepada mekanisme kerja wajib.[29] Namun, Foucault sendiri justru melihat tidak seluruhnya tepat. Justru borjuasi tidak semerta-merta memaksakan sistem tersebut kepada proletariat. Teknik-teknik penaklukan seks pertama kali muncul justru melalui kecemasan keluarga aristokrat dan borjuis dengan seksualitas anak-anak. Bagi mereka—kalangan atas—seks merupakan harta terpenting yang harus dijaga sebagai lambang kehormatan mereka. Maka mereka melit dan terus memproduksi wacana tentang seks. Korban pertama dari borjuasi adalah ibu rumah tangga yang diseksualkan, kemudian remaja yang “memboroskan masa depannya”, dan anak-anak yang mulai melakukan onani.[30] Barisan perversitas-hereditas-degenerasi berawal dari ketakutan borjuasi terhadap masa depan keturunannya. Mereka merasa berkewajiban menjaga garis keturunan sehat fisik dan mental demi kaumnya. Mereka telah mengonversi darah biru bangsawan dengan lembaga kebugaran dan kesehatan seksualitas.[31]
Borjuasi tidak sedang dalam usaha pengebirian diri melainkan ia sedang menciptakan, melalui seks, sebuah spesifikasi tubuh yang berciri higienis, sehat, bugar, memiliki keturunan unggul, dan ras berkelas.[32] Alasan yang dimiliki borjuis antara lain: menandai dan mempertahankan kasta. Jika aristokrasi sudah mriyayi sejak plecet (berdarah bangsawan), maka borjuis menjadikan seks (keturunan dan kesehatan kelamin) sebagai darah mereka di bawah penyamaran ajaran biologis, psikologis, dan medis; perluasan hegemoni melalui pengunggulan tubuh. “Pembudidayaan” tubuh sangat berarti secara politis, ekonomis, dan historis bagi kelangsungan kasta borjuis. Dengan begitu mereka telah menciptakan sebentuk “rasisme” yang tak hanya berkepentingan bagi masa depan kaumnya. Tetapi rasisme tubuh yang berciri eksploitatif dan menguasai; dan memberi dirinya sendiri tubuh dan seksualitas sebagai bentuk penegasan tubuh.[33] Metode yang dipakai untuk menyebarkan sistem seksualitas borjuasi cukup licik yakni dengan menciptakan konflik (ruang publik dan epidemi penyakit), membuat kondisi ekonomi krisis (pembangunan industri, demografi), dan membuat pengendalian dan pengawasan tubuh dan seksualitas. Sehingga rasisme borjuis dapat diterima kaum papa.[34]
Di lain sisi, kaum miskin, pada saat yang sama dapat lolos dari kemungkinan menciptakan sistem seksualitas bahkan mereka terhindar dari teknologi penanggulangan birahi a la kristianisme. Oleh karenanya, sistem seksualitas borjuis yang canggih dan jelimet di atas tidak dapat menyebar secara merata dan serupa di masyarakat. Sebab peran retrospektif instansi medis-yuridis pada zaman persebaran sistem tersebut tidak sama di sana-sini.[35]
Bagaimana dengan masyarakat timur? Apakah kita terpapar wabah rasisme tubuh borjuasi?
Melalui imperialisme dan kolonialisme kaum borjuasi Eropa sejak pertengahan abad ke-18, tentu sistem seksualitas turut merembes masuk kepada bangsa-bangsa jajahan bersama nilai-nilai masyarakat Barat lainnya. Lihatlah bagaimana gaya berbusana kita yang berkiblat ke Barat! Sekitar 100-200 tahun lalu nenek moyang kita hanya mengenal kemban. Bahkan wanita Bali mungkin masih asyik bergosip sambil mencuci baju di sungai dengan payudara bergelayut bebas tanpa penutup. Memiliki pemuda simpanan demi menjaga kesaktian juga mungkin masih dipraktikkan oleh pria-pria di Jawa bagian timur sana. Di luar pengaruh sistem seksualitas bawaan kolonial, faktor persebaran agama dan interaksi antar budaya juga membawa pengaruh cukup signifikan. Seperti halnya telah di jelaskan Foucault perihal sistem seksualitas proletar: persebarannya tidak dapat merata karena perbedaan pengaruh kekuasaan yuridis dan medis termasuk latar belakang budaya.
Dalam astronomi politik, Eropa sebagai unikum, jika mengalami perubahan, maka akan mengubah pulacara pandang kita terhadap seluruh ‘gelanggang’ dunia sebagai rasi bintangnya.
/6/
Lantas apa yang ditawarkan Foucault dalam mengatasi relasi seks-kekuasaan yang cenderung represif? Bagi Foucault, perkembangan sistem seksualitas, justru memberi celah untuk terjadinya pergeseran taktik: “menafsirkan kembali seluruh sistem seksualitas sebagai suatu represi yang merata; mengaitkan represi dengan mekanisme dominasi dan eksploitasi yang berlaku; mengaitkan berbagai proses yang memungkinkan kita untuk membebaskan diri dari represi dan eksploitasi”.[36] Jadi kesempatan yang paling mungkin diupayakan ialah menggeser dan memutar-balikkan strategi dalam sistem seksualitas. Dengan begitu, kita bisa terhindar dari rasisme tubuh borjuasi yang turut menyumbang klasifikasi individu berdasar seks—di dalamnya kita mengenal homoseksualitas. Pola klasifikasi manusia tersebut yang menjadi penyebab penindasan baik kelas ekonomi maupun kelas identitas sosial.
Solusi lain yang saya rasa perlu kita diskusikan adalah apa yang ditawarkan oleh kaum liberal: teori multikulturalisme. Politik identitas memang tengah menjadi perbincangan hangat kalangan kanan kontemporer terkait isu ras, warna kulit, orientasi seksual, penyandang difabel dlsb. Multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam ke-sederajat-an. Tidak ada dominasi dari kelompok mana pun. Maka, dominasi maupun fusi diasumsikan tidak terjadi dalam konteks multikulturalisme. Visualisasinya adalah seperti salad bowl di mana berbagai unsur menyatu tanpa kehilangan identitasnya bukan melting pot yang menghilangkan latar belakang dan menghasilkan identitas baru hasil peleburan. Sekedar memberikan toleransi pada kelompok masyarakat minoritas dikatakan masih belum cukup baik ketika ingin memandang mereka sebagai warga dengan hak-hak yang setara. Akan tetapi, pengakuan dan akomodasi positif terhadap perbedaan juga dibutuhkan melalui pemenuhan hak-hak kelompok yang berbeda.[37]
Perihal posisi homoseksualitas dalam perbincangan multikulturalisme, kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender diklasifikasikan sebagai kelompok subculture diversity. Menurut Parekh, kelompok ini merupakan kelompok yang memiliki sistem nilai dan praktik berbeda dari mayoritas. Mereka menuntut pengakuan dan penghargaan atas keberlainan mereka dari mayoritas. Ini adalah upaya politik rekognisi sebagai langkah awal kelompok ini untuk mendapat haknya secara penuh dalam masyarakat sebagai bagiannya. Namun ketika politik identitas ini berbenturan dengan kepentingan kaum-kaum konservatif, apalagi—seperti yang sudah saya sebut di awal—kelompok fasisme agama, maka pertaruhannya terletak pada pemerintah sebagai pusat kuasa. Jika pemerintahan sudah dikuasai oleh borjuasi ‘otak udang’ yang berpikiran Barat dengan paradigma Developmentalis dan memegang teguh sistem seksualitas yang rasis, maka multikulturalisme telah sampai pada jalan buntunya. Dan kita mau-tak-mau harus memutar balik kepada jalur ‘perang wacana’ Foucault.
/7/
Kecenderungan masyarakat untuk menolak segala bentuk kelainan dan abnormalitas sebenarnya dapat dirunut jauh melalui sejarah peradaban manusia. Foucault sudah mulai mengendus keanehan sejak terbitnya Maleus maleficarum dan lenyapnya endemi lepra di Eropa abad pertengahan. Sejak perang salib, Eropa tak pernah tidur nyenyak sebab mewabahnya Lepra, Tapi pada abad ke-14, wabah itu berangsur hilang dengan saksama dan tempo yang sesingkat-singkatnya.[38] Meninggalkan tanah-tanah kosong tempat pengasingan. Rumah-rumah sakit yang dahulu penuh-sesak digunakan untuk merawat—meski lebih tepat memenjarakan mereka—pasien lepra, kini sepi. Mereka, orang-orang yang dulu disingkirkan karena tidak hanya penyakitnya menular, tetapi juga kurang sedap dipandang, sudah lenyap bersama pembusukan tubuh mereka. Pada abad ke-15 muncul ide “kapal orang dungu”. Masyarakat Eropa mulai memikirkan bagaimana memanfaatkan lahan tak bertuan itu dengan mendefinisikan kembali abnormalitas di kalangan mereka dan mulai membuang orang-orang dungu ke bekas pengasingan penderita lepra tersebut.[39]
Manusia pada umumnya terus saja mengkualifikasikan dan mendiskualifikasikan diri mereka. Menciptakan fragmentasi di antara masyarakat hingga kini—termasuk sistem seksualitas. Fajar pencerahan juga turut menyumbang klasifikasi manusia, kita diukur dengan skala rasionalitas. Yang tidak rasional menurut rasio mayoritas harus menormalkan diri atau lenyap. Kenormalan terus diproduksi atas nama kehidupan yang lebih baik. Sejarah membuktikan pada kita bahwa manusia memang sudah terkena candu keadaban. Sesungguhnya kita ingin membangun peradaban yang penuh normalitas atau menciptakan masyarakat beradab? Bahkan klasifikasi ‘beradab’ pun adalah konsensi rasionalitas kelompok dominan. Mungkin, kita memang harus mengukur diri kita sendiri di hadapan kegilaan dan penyimpangan.
Trias.
[1] Kalimat penutup dalam Foucault, Michel. Madness and Civilization, h. 334
[2] BBC Indonesia.
[3] Foucault, Michel. La Volonte De Savoir: Histoire de la Sexualite. Terjemahan Forum Jakarta-Paris., h. 153.
[4] Ibid., h. 167.
[5] Zaviera, Ferdinand. Teori Kepribadian Sigmund Freud., h. 109.
[6] Ibid.
[7] Ibid., hh. 110-113.
[8] Ibid., h. 117.
[9] Ibid.
[10] Foucault, Michel. La Volonte De Savoir: Histoire de la Sexualite. Terjemahan Forum Jakarta-Paris., h. 19.
[11] Ibid.
[12] Ibid., h. 65.
[13] Ibid., h. 66.
[14] Ibid.
[15] Ibid., h. 67.
[16] Ibid., h. 103.
[17] Carrette, Jeremy R.. Agama, Seksualitas, Kebudayaan: Esai, kuliah, dan wawancara terpilih Michel Foucault., h. 169.
[18] Lih. Foucault. La volonte…, hh. 91-95.
[19] Ibid., h. 149.
[20] Ibid., h. 148.
[21] Ibid., h. 149.
[22] Ibid., h. 148.
[23] Ibid., h. 153.
[24] Ibid., h. 152.
[25] Ibid., hh. 150-151.
[26] Ibid., hh. 151-152.
[27] Fillingham, Lydia A.. Foucault Untuk Pemula., h. 139.
[28] Lih., Foucault, Michel. La volonte…, hh. 174-177.
[29] Ibid., hh. 153-154.
[30] Ibid., hh. 154-155.
[31] Ibid., h. 161.
[32] Ibid., h. 159.
[33] Ibid., hh. 159-161.
[34] Ibid., hh. 161-162.
[35] Ibid., hh. 155-156.
[36] Ibid., h. 167.
[37] Kymlicka, Will. Kewargaan Multikultural.
[38] Lih., Foucault. Madness and…, h. 1.
[39] Lih. Fillingham. Foucault Untuk…, h. 35.