Cukup berlebihan jika penjelasan tentang apa itu akal sehat dalam berbagai macam tradisi filosofis sebagaimana dilakukan oleh al-Fayyadl[1] dirasa diperlukan untuk memperjelas maksud dari kata akal sehat dalam diskusi-diskusi publik, dan bahkan juga pada tingkat teoretis. Akal sehat bukanlah konsep rumit seperti “ada” yang perlu dipahami konteks historis dan filsafatinya sebelum makna sesungguhnya menjadi jelas. Lain dari itu, akal sehat merupakan kata yang jelas dan tidak ambigu (univocal) yang tidak jauh dari kata, sebagai contoh, makanan; kecuali tentu saja kita adalah Heidegger! Oleh karena itu, definisi ensiklopedis dan praktis sudah lebih dari cukup. Saya akan coba tunjukan.
Akal sehat adalah pikiran yang baik dan normal[2], begitulah definisi ensiklopedis bahasa Indonesia mengatakan, dan, dalam konteks ini, ini hanya berarti satu: akal sehat adalah pikiran yang logis dan secara fisik bekerja secara sehat. Alasannya, untuk yang pertama, kita tidak mungkin membayangkan seseorang memiliki pikiran yang baik tetapi tidak logis, dan, untuk yang kedua, itu adalah prasyarat fisik dari pikiran disebut pikiran (normal). Sekarang, coba bayangkan kalimat:
- “Gunakan akal sehat anda!”
Ini secara sederhana hanya berarti: “gunakan pikiran logis anda yang bekerja secara fisik!” atau lebih singkat: “gunakan logika anda.”
Apa yang saya maksud di sini dengan logika adalah seperangkat aturan valid dalam menarik kesimpulan. Dengan demikian, jika terdapat kondisi “manusia adalah makhluk hidup”, dan “makhluk hidup pasti bernapas”, dan kita mengambil kesimpulan “manusia pasti bernapas”, kita menggunakan akal sehat. Sebaliknya, kita tidak menggunakan akal sehat jika kita mengambil kesimpulan bahwa “manusia pasti tidak bernapas”.
Interpretasi lain adalah menginterpretasikan pikiran baik secara moral. Dengan demikian, saat orang memiliki akal sehat, adalah memikirkan hal-hal baik yang dipahami secara moral, sebagai contoh, mungkin, mesum (pervert). Namun, jelas ini tidak cocok dalam konteks akal sehat. Kita tidak mungkin menempelkan sifat tidak berakal sehat pada orang yang mesum secara serta merta. Bahkan jikalau interpretasi moralitas ditarik sangat jauh, misal pembunuh, kata ini juga tidak dapat serta merta menjadi atribut akal sehat. Jika tidak, kita akan mengecap semua orang yang sering membunuh dengan orang yang tidak berakal sehat, termasuk tentara, pembunuh bayaran, mafia, dan mungkin politisi, yang sebenarnya sehat tidaknya akalnya ditentukan dari logis-tidaknya kesimpulan dari premis yang diajukan dibuat. Karenanya, baik di sini tidak dalam artian moral.
Beda halnya dengan orang-orang yang memiliki masalah pikiran secara fisik. Kita bisa mengatakan bahwa orang-orang tersebut tidak memiliki akal sehat karena simply mereka tidak bisa berpikir karena keterbatasan fisik. Mereka tidak memenuhi syarat yang kedua.
Kita tidak mungkin menempelkan sifat tidak berakal sehat pada orang yang mesum secara serta merta. Bahkan jikalau interpretasi moralitas ditarik sangat jauh, misal pembunuh, kata ini juga tidak dapat serta merta menjadi atribut akal sehat.
Meskipun terkesan akademis, kita mempresuposisikan arti dan kondisi tersebut secara sederhana setiap menggunakan kata akal sehat. Sebagai contoh:
- “Tejo tidak menggunakan akal sehatnya saat memilih calon X”
Hanya berarti Tejo tidak menggunakan prinsip-prinsip penalaran yang valid dengan memilih calon X Tentu kurang jelas tanpa mengetahui alur sebelumnya. Karenanya, untuk memperjelas kesehatan akal Tejo, pembuat kalimat harus memberikan asumsi atau informasi tambahan yang dipercayainya.
- “Tejo tidak menggunakan akal sehatnya saat memilih calon X. Jelas-jelas calonnya adalah koruptor!”
Pernyataan tersebut mengasumsikan “koruptor itu tidak boleh dipilih”, dan “X adalah koruptor”, sehingga jika menggunakan akal sehat, X tidak boleh dipilih. Kita bisa mengganti kalimat tersebut menjadi apapun, tetapi alurnya akan tetap seperti ini. Untuk menggagalkan seluruh argumen tulisan ini, cukup berikan arti lain dari kata akal sehat yang cocok dalam kalimat tersebut.
Pada titik ini, akal sehat tidak berdiri sendiri dan kemudian menyelesaikan segala masalah. Menentukan premis mana yang benar harus dibarengi penyelidikan saintifik dan kerja-kerja filosofis.
Dari sini, dapat diambil kesimpulan juga bahwa atribusi seseorang memiliki akal sehat atau tidak hanya mungkin jika orang-orang yang berkomunikasi memiliki pandangan yang sama atas premis yang dikeluarkan. Misal dalam contoh C adalah “koruptor tidak boleh dipilih” karena ada kepercayaan yang mungkin tak dipertanyakan (self-evident) tersebut, kita bisa menunjuk bahwa Tejo tidak menggunakan akal sehatnya saat memilih calon X. Atau contoh lain, kita tidak bisa mengatakan bahwa “orang berakal sehat pasti percaya Tuhan” sebelum ada asumsi bahwa “orang berakal sehat percaya pada yang-ada”, dan “Tuhan itu ada”. Dengan demikian, untuk menentukan apakah seseorang membuat pernyataan dengan akal sehat atau tidak, kita perlu melihat premis-premisnya.
Tentu saja, pandangan tersebut adalah pandangan isolasionis terhadap kata akal sehat. Dalam kehidupan sehari-hari, kita menerima banyak asumsi dan pengetahuan yang tidak diketahui validitasnya penyimpulannya, dan hal tersebut kita gunakan sebagai salah satu premis dalam mengambil kesimpulan. Konsekuensinya: kita dapat membuat kesimpulan yang salah meskipun menggunakan akal sehat karena premis yang kita gunakan ternyata salah.
Pada titik ini, akal sehat tidak berdiri sendiri dan kemudian menyelesaikan segala masalah. Menentukan premis mana yang benar harus dibarengi penyelidikan saintifik dan kerja-kerja filosofis. Pertanyaan apakah penyelidikan kita pasti benar atau apa itu kebenaran adalah pertanyaan lain di luar jangkauan penggunaan kata akal sehat. Meskipun begitu, agar penyelidikan empiris dan filosofis menjadi valid, akal sehat memiliki peran penting. Akal sehat, yang berarti pikiran yang baik, karenanya, adalah nama lain dari deduksi valid dan memiliki nilai guna tinggi.
Akal sehat tidak memiliki presuposisi tersebut, presuposisi tersebutlah yang membutuhkan akal sehat agar valid (disebut sehat).
Ini adalah alasan mengapa konteks umum akal sehat adalah praktis, di mana orang yang tidak memiliki informasi cukup tetap dapat mengikuti diskusi politis di warung kopi selama ia memiliki akal sehat. Akal sehat lebih merupakan kemampuan praktis daripada himpunan pengetahuan wawasan.[3] Praktis di sini juga dapat dipahami bahwa putusan yang dibuat dengan akal sehat sering bersandar pada dan menguji pemahaman-pemahaman (premis-premis) praktis. Membaca buku, melihat berita, mengamati dunia, dan memahami hasil riset, karenanya, tetap penting karena pengetahuan yang diberikan oleh hal-hal tersebut tidak serta merta diberikan akal sehat. Selain itu, hal-hal tersebut juga membantu siapapun mendapatkan premis yang (kurang-lebih) dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam pemahaman tersebut, akal sehat, karenanya, tidak mungkin didefinisikan dan diberi pemahaman lebih dari penyimpulan valid, misal bahwa akal sehat harus dijiwai emosi, semangat politis, atau kepentingan ekonomis. Ini bukan berarti akal sehat tidak bisa menerima konsep tersebut sebagai valid. Akal sehat tetap dapat memproses dan mengakui konsep-konsep tersebut, tetapi tugas utama akal sehat adalah menentukan, dengan premis yang sudah disiapkan, apakah kepercayaan kita terhadap, sebagai contoh, kepentingan politis kelas Y dalam hal B adalah valid. Akal sehat tidak memiliki presuposisi tersebut, presuposisi tersebutlah yang membutuhkan akal sehat agar valid (disebut sehat).
Lebih jauh, proses dan hasil akal sehat bersifat mandiri dan ideal, serta tidak dibentuk secara historis dari komunitas atau masyarakat yang menggunakan kata tersebut. Alasannya, tidak ada yang berubah dengan prinsip logis. Kita bisa menggunakan kata akal sehat tetapi tidak memproduksi argumen yang berakal sehat. Sebaliknya, kita dapat memiliki pandangan yang tidak revolusioner tetapi tetap berakal sehat; kita tetap dapat memiliki sentimen politis yang tidak antagonistik tetapi tetap memiliki akal sehat; dan kita tetap memiliki akal sehat meskipun ada atau tidak ada institusi politis yang memungkinkannya. Pada persilangan inilah kita mengetahui alasan al-Fayyadl meleset.
Akal Sehat Tidak Setara dengan Common Sense
Setidaknya terdapat 4 pengertian tentang common sense:
Keahlian berpikir secara logis dalam kehidupan praktis[4];
Pandangan yang sudah diterima (entah kritis atau tidak) dalam kehidupan sehari-hari[5];
Yang umum dari heterogenitas persepsi atau intuisi[6];
Yang umum dari heterogenitas tentang kebaikan;
Dua pertama digunakan dalam konteks praktis, sedangkan dua yang terakhir digunakan dalam konteks filsafat, yakni metafisik-epistemologis dan etis-politis.
Untuk arti yang pertama, kata tersebut digunakan untuk penalaran-penalaran logis dengan premis-premis kehidupan praktis. Sebagai contoh, “I hope she uses her common sense to not let strangers in.” Dalam arti ini, si pembicara berharap agar, sebagaimana arti ke-1, wanita yang dia bicarakan, menggunakan penalaran logis bahwa “jangan membahayakan nyawa saat berada di rumah sendirian” dan “orang asing berbahaya”, tidak membiarkan orang asing masuk. Arti seperti ini sangat sering digunakan dalam konteks apapun, terutama terkait masalah ekonomis (seperti rumah tangga, memilih teman, atau membeli sesuatu), karena premis yang digunakan diandaikan benar atau menguntungkan.
Arti kedua juga bisa berarti common sense. Common di sini benar-benar berarti common, yakni umum. Arti kedua ini digunakan, biasanya, untuk memperkuat argumen bahwa satu hal itu pasti benar karena kurang lebih diterima banyak orang. Sebagai contoh: “you should treat your parents well, it’s common sense!” dalam kasus tersebut, sang pembicara percaya bahwa memperlakukan orang tua dengan baik adalah hal yang benar. Pada kebanyakan kasus, sang pembicara biasanya tidak tahu mengapa hal tersebut benar secara mendalam. Dan memang itulah fungsi kata common sense dalam konteks ini. Melimpahkan kevalidan premis pada kebiasaan.
Menurut Aristoteles, pasti ada yang menyatukan indera kita, yang dalam Platoa adalah intuisi, sehingga kita dapat menangkap kebersamaan tersebut (distinct unity of distinct beings),[7] dan Aristoteles menamainya sebagai Κοινή, asal pemahaman kata latin communis yang akhirnya digunakan sebagai dasar kata common sense yang kurang lebih berarti umum.
Arti ketiga kemungkinan besar adalah penggunaan common sense yang pertama dalam artian filsafati. Kita bisa menelusurinya dari investigasi Aristoteles tentang objek-objek yang membutuhkan pemahaman lebih dari satu indera, seperti gerakan, angka, kesatuan, dll., tetapi yang tidak sampai ke ruang intelek, dan juga Plato tentang keumuman atau universalitas ide. Menurut Aristoteles, pasti ada yang menyatukan indera kita, yang dalam Platoa adalah intuisi, sehingga kita dapat menangkap kebersamaan tersebut (distinct unity of distinct beings),[7] dan Aristoteles menamainya sebagai Κοινή, asal pemahaman kata latin communis yang akhirnya digunakan sebagai dasar kata common sense yang kurang lebih berarti umum. Dengan kata lain, common sense digunakan untuk menyebut ruang umum pemersatu heterogenitas makna dasar latar belakang kita. Common sense model ini bertanya apa yang membuat x menjadi x, atau apa yang common dari sense, atau pertanyaan identitas penampakan.
Arti terakhir yang paling bersifat politis dan menjadi fokus pembahasan common sense dalam perbincangan diskursus filsafat kontemporer adalah pemahaman bersama atas apa yang baik, atau semangat transformatif publik. Dengan kata lain, pembahasan common sense dalam artian ini bertanya tentang apakah mungkin kita 1) memiliki pemahaman yang sama (sense yang common) 2) atas yang baik. Konsekuensinya pasti politis karena putusan politis selalu bertumpu pada apa yang dapat dipahami bersama atas yang baik dan common sense tepat berada dalam perbincangan tersebut untuk menunjuk ikatan sesama manusia. Beberapa penjelasan historis arti ini dapat dilihat di artikel al-Fayyadl[8], tetapi akar utamanya adalah pengembangan filsafat Plato-Aristoteles di Roma untuk menjustifikasi doktrin-doktrin teologis tentang manusia.
Dari pembagian tersebut jelas bahwa akal sehat dalam bahasa Indonesia hanya cocok pada yang arti pertama dan tidak dengan arti common sense yang lain karena lain memang tidak mengindikasikan arti kata akal sehat. Dari pembagian tersebut pula kita dapat mengetahui bahwa al-Fayyadl terjebak menjelaskan akal sehat dalam arti common sense yang keempat, walau pada beberapa titik menyinggung arti ketiga. Saya akan menjelaskan mengapa ketiga yang lain tidak cocok.
Dari pembagian tersebut jelas bahwa akal sehat dalam bahasa Indonesia hanya cocok pada yang arti pertama dan tidak dengan arti common sense yang lain karena lain memang tidak mengindikasikan arti kata akal sehat.
Untuk arti kedua jelas tidak cocok karena akal sehat dalam bahasa Indonesia sama sekali tidak mengandaikan keumuman dan pandangan umum masyarakat. Sebaliknya, justru kata akal sehat digunakan untuk menelaah dan menolak asumsi umum. Selain itu, secara anekdoktal, kita bisa mengatakan bahwa common sense dalam artian pemahaman umum masyarakat tidak sama dengan akal sehat karena tidak selalu pemahaman umum masyarakat itu sehat (baik, logis). Di sini kita melihat bahwa akal sehat bersifat normatif dan aktif daripada deskriptif dan pasif sehingga menyamakan akal sehat dengan pemahaman umum tidaklah cocok. Common sense ini lebih cocok bermakna asumsi kehidupan publik daripada akal sehat.
Untuk arti ketiga juga tidak mungkin karena apa yang dibicarakan common sense secara metafisik-epistemologis adalah ruang perangkai kespesifikan indera atau makna. Tidak mungkin kita menyebut hal-hal tersebut akal sehat yang hanya punya arti pikiran yang baik dan normal. Dalam konteks ini, kata kebermaknaan, latar belakang kesadaran, atau kategori penyatu (atau bahkan “ada”) jauh lebih sesuai dengan yang dimaksud Aristoteles meskipun namanya aneh dan, hal baiknya, dengan menghindari arti ini, kita tidak jatuh pada kalimat aneh seperti: “menurut Aristoteles keumuman fungsi indera untuk mengidentifikasi identitas objek yang tak terindera adalah akal sehat” atau arti dari “Tejo tidak memiliki akal sehat karena memilih calon X” adalah “Tejo tidak memiliki keumuman fungsi indera untuk mengidentifikasi identitas objek yang tak terindera karena memilih calon X.”
Untuk yang keempat, common sense di sini lebih berarti asumsi teoretis tentang semangat transformatif publik, atau konsensus publik tentang apa yang menurut mereka baik dan perlu diperjuangkan. Daripada akal sehat, pemahaman common sense model ini lebih merupakan pengarahan penggunaan akal sehat terhadap satu kasus tertentu daripada definisi akal sehat itu sendiri. Common sense dalam artian ini lebih bermakna sebagai perspektif atau asumsi teoretis. Dalam artian tersebut, arti keempat, yang juga artian yang secara umum dipahami al-Fayyadl sebagai maksud atau konsep akal sehat juga tidak cocok. Jika kita menerimanya, kita akan jatuh pada konsekuensi yang tidak dapat diterima:
- Makna akal sehat menjadi dibatasi secara politis
Hal ini terjadi karena akal sehat dibingkai secara politis dan menjadi sah jika dan hanya jika, sebagai contoh, bagi kaum kiri, bersifat revolusioner untuk melakukan perubahan sistem kapitalis dan mampu menjelaskan relasi kuasa, atau, bagi kaum Liberalisme Modern, terfasilitasi oleh forum publik. Padahal, akal sehat tidak memiliki presuposisi spesifik dan politis tersebut. Konsekuensinya, di luar bingkai tersebut, tidak ada akal sehat (sebagaimana diakui sendiri oleh al-Fayyadl), yang jelas tidak tepat mengingat kevalidan mengambil kesimpulan selalu sama, tidak dapat diintervensi dalam kondisi apapun, dan dapat dipraktekkan oleh siapapun. Strategi ini sama seperti membangun kota dengan tembok yang tinggi dan percaya bahwa tidak ada manusia selain di kota tersebut.
- Makna akal sehat menjadi kabur dengan makna perspektif
Akal sehat berbeda dari perspektif. Perspektif berguna untuk menentukan objek dan melihatnya secara unik lewat pengandaian-pengandaian atau nilai-nilai yang dipegangnya. Pada titik tertentu, memilih perspektif yang tepat sangat berguna secara politis karena hal tersebut dapat memberikan jawaban spesifik pada tujuan yang diinginkan. Sebagai contoh, kaum feminis akan lebih mudah untuk mendeteksi ketidakadilan gender pada regulasi dan tindakan praktis pemerintah daripada yang tidak.[9] Semua yang dijelaskan al-Fayyadl dalam artikelnya, kecuali Kant dan kaum pasca-strukturalis yang lebih memiliki pertanyaan seperti Aristoteles, berada di level ini. Akal sehat dibayangkan seperti pengarah fokus pikiran. Menyetujui ini membuat peran unik dari akal sehat sebagai penguji validitas yang umumnya digunakan dalam kontek praktis menjadi hilang. Menyetujui konsekuensi seperti ini juga membuat peran unik perspektif yang berguna sebagai kacamata juga hilang dan perspektif akhirnya ikut ambil alih menilai problem validitas segala hal, yang padahal, perspektif harus mengandaikan adanya akal sehat, akal yang tidak mengikuti garis politis perspektif, sebagai mekanisme konsistensi eksternal. Jika tidak, apapun asumsi yang dibangun, akan selalu mendukung perspektif tersebut.
Dengan ini, tidak perlu lagi ada pertanyaan tentang apa itu akal sehat karena panduannnya adalah buku logika dasar. Tidak perlu juga khawatir jika terdapat beberapa orang yang menganggap dirinya menggunakan akal sehat tetapi tidak logis dan politis karena mematahkan argumennya dengan akal sehat dan premis yang benar adalah cara terefektif.
Menimbang hal-hal yang sudah saya jelaskan, saya ingin mengulang bahwa akal sehat bukanlah sebuah kata berat yang harus dipertanyakan tendensi dan artian filsafat dan politiknya (berbeda dengan common sense). Akal sehat adalah pikiran yang baik dan normal, yang hanya berarti pikiran yang logis dan dapat bekerja secara fisik. Pemahaman yang lebih dari definisi minimal tersebut hanya akan membuat akal sehat bertabrakan dengan kata konsep yang lain. Pemahaman ini tidak berlaku hanya secara praktis tetapi juga teoretis. Pada titik ini, pada beberapa irisan dalam konteks teoretis, terutama filsafati, kita perlu memisahkan common sense dan akal sehat karena dua hal ini dapat memiliki arti yang berbeda.
Dengan ini, tidak perlu lagi ada pertanyaan tentang apa itu akal sehat karena panduannnya adalah buku logika dasar. Tidak perlu juga khawatir jika terdapat beberapa orang yang menganggap dirinya menggunakan akal sehat tetapi tidak logis dan politis karena mematahkan argumennya dengan akal sehat dan premis yang benar adalah cara terefektif. Bahkan, tidak perlu khawatir pula jika beberapa orang tersebut adalah orang filsafat sehingga pada satu titik dapat membuat filsafat membusuk. Alasannya, akal sehat yang memiliki sifat ideal, praktis, dan individual bukan hanya milik filsafat semata. Pembusukan filsafat bukanlah dikotorinya akal sehat ke ruang politis praktis tetapi tidak mampu bersuaranya ahli filsafat untuk melawan klaim aktor yang dianggap mengotori filsafat atau akal sehat dengan akal sehat yang sejati.
Artikel al-Fayyadl tentang akal sehat karenanya keliru dalam dua hal: 1) menyamakan akal sehat dengan common sense, dan mengaburkan akal sehat dengan perspektif (asumsi) politis/filosofis. Konsekuensinya, akal sehat menjadi kabur dan rumit, serta politis dan etis. Padahal, cukup sebaliknya.
Catatan Akhir:
[1] Lih. Muhammad al-Fayyad, “Akal Sehat: Prawacana’, https://lsfdiscourse.org/akal-sehat-prawacana/
[2] Lih. https://www.kbbi.kemendikbud.go.id/entri/akal_sehat/
[3] Alasan lebih dalamnya akan dijelaskan di sub-bab berikutnya.
[4] Lih. https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/common-sense . Bdk. https://en.oxforddictionaries.com/definition/common_sense.
[5] Lih. https://www.urbandictionary.com/define.php?term=common%20sense Rujukan ensiklopedis ini penting karena menangkap pemahaman umum dan praktis dari kata common sense.
[6] Lih. Aristotle, De Anime, terjemahan Mark Shiffman, Focus Publishing, NewBurry Port, 2011, Book III. Umumnya, saat filsuf membicarakan common sense, seperti Thomas Reid dan Hume mereka berada dalam ruang diskursus aristotelian berikut. Bdk. Stephen Boulter, The Rediscovery of Common Sense Philosophy, Palgrave Macmiliian, New York, 2007.
[7] Lih. Mark Schiffman, “Introduction”, dalam De Anima, Op.Cit, hal. 17.
[8] Contoh historis ini dapat ditemukan di artikel al-Fayyadl, Op. Cit.
[9] Lih. Mark Risjord, Philosophy of social science: a contemporary introduction, Routledge, New York, 2014, hal. 24-30.