Judul Buku | Akal Sehat dan Ancaman Nuklir |
Penulis | Bertrand Russell |
Penerbit | Ikon Teralitera |
Tahun Terbit | 2002 |
Halaman | 137 |
Sampai Punah
Pasca perang dunia II kehidupan masyarakat dunia jauh mengalami perubahan. Dari segi ekonomi, politik, sosial dan perkembangan IPTEK. Namun perkembangan positif ini justru membuat Uni Soviet (USSR) dan Amerika serikat (USA) jatuh dalam persaingan. Kedua Negara super power ini saling berlomba menyebarkan Ideologi negaranya kepada seluruh dunia. Dimulai dengan inisiatif Truman, ia menginginkan diselenggarakanya pemilu yang bebas di seluruh dunia dimulai dari Eropa Timur. Namun, hal tersebut malah ditanggapi oleh Soviet sebagai ancaman atas ideologi sosialis-komunis.
Kemudian hubungan antara negara yang pernah bersekutu untuk menjatuhkan Hitler pada perang dunia II ini mulai memanas. Puncaknya, Amerika menggandeng beberapa Negara Eropa lain membentuk NATO pada 1949 (Blok barat) dan tidak mau kalah. Soviet bersama Hungaria, Rumania dan sekutu lain melakukan penanda-tanganan pakta warsawa tahun 1955(blok timur). Perselisihan ini kemudian dinamai oleh Baruch dan Lippman sebagai perang dingin atau cold war.
Dari sinilah suasana persaingan mulai terlihat jelas. Kedua blok berusaha sekuat tenaga memperbanyak sekutu. Bukan hanya itu, terror dan rasa takut akan “musuh” disebarluaskan bukan hanya kepada penduduk negara yang berseteru namun juga pada seluruh umat manusia. Pengembangan IPTEK juga tak kalah gencarnya dilakukan, termasuk pengembangan di bidang militer dan pertahanan. Di bidang ini baik blok barat maupun timur secara intens mengembangkan sebuah senjata pembunuh massal yang mengerikan. Bom nuklir: sebuah “bibit malapetaka” bagi dunia ini dan keberadaan spesies manusia.
Perang Nuklir Dan Ancaman Akan Kepunahan Umat Manusia
Boleh saja kita tidak memerdulikan akan nasib perang dingin yang telah terjadi maupun ancaman akan terjadinya perang nuklir. “Toh yang berseteru kan hanya para elit pemerintah dan negarawan saja” atau kalau bukan merupakan penduduk negara-negara yang berseteru, sah saja berujar bahwa “ bukan urusan kami”.
Namun perlu dicermati bahwa perang ini tidak hanya berhenti pada kedua blok yang berseteru. Dewasa ini, perselisihan sudah melebar sampai pihak-pihak yang tadinya tidak terlibat dalam blok manapun. Sebagai contoh perselisihan Cina dan Taiwan, tidak dinafikan ada campur tangan Amerika Serikat dengan mengirim bantuank armada tempur bahkan rudal nuklir (untuk situasi mendesak) kepada pemerintahan Chiang Kai-sek di Taiwan. Akibatnya Cina mulai kewalahan menghadapi Taiwan yang ditunggangi Amerika dan “si provokator” ulung Kai-Sek, Cina akhirnya meminta bantuan Soviet. Walau sempat muncul kekhawatiran, namun akhirnya Soviet setuju memberikan contoh bom atom dan cara pembuatannya.
Selain Cina dan Taiwan, perang dingin juga berimbas pada pecahnya perang saudara di Korea, dan puncaknya adalah saat terjadi tragedi Kuba. Baik Amerika maupun Soviet sudah dalam kondisi siap tempur. Amerika yang sudah menduduki Kuba menyiapkan rudal nulir dan begitu pula Soviet yang membawa armada kapal lengkap dengan rudal nuklir. Beruntungnya Soviet lebih dulu membatalkan serangan saat detik-detik akhir konfrontasi militer tersebut.
Walaupun tragedi kuba sudah berlalu. Namun kita masih belum dapat bernafas lega, karena masih ada sejumlah Negara yang berpotensi mengembangkan senjata nuklir. Sebagai contoh Jerman, Jepang, Ukraina, si anak nakal korea utara dan tidak menutup kemungkinan negara lain pun akan ikut dalam kegilaan ini (Mandelbaum,1995). Kemudian atas apa kita bisa mengambil posisi nyaman “ kemanusiaan kita nyata terancam”.
Andaikan Masa Itu Terjadi
Terjadinya perang nuklir sudah dikhawatirkan oleh banyak tokoh dan akademisi di segala penjuru dunia. Mereka menyadari bahwa perang ini bukan hanya membawa dampak kehancuran melainkan kepunahan populasi bagi pihak yang kalah juga.
Kekhawatiran ini juga dirasakan Bertrand Russell. Dalam “Common Sense and Nuclear Warfare”, Russell memberikan prediksi angka kerugian yang akan dialami pasca perang nuklir terjadi. Menurut tala-hitung yang dilakukan Badan Pertahanan Sipil Federal Amerika, dalam satu hari pengeboman dengan senjata berdaya ledak 2.500 mega ton di Amerika (tahun 1950 dengan populasi sekitar 151 juta jiwa) diprediksi akan membunuh 36 juta jiwa dan 57 juta terluka. Dampak itu baru hari pertama dan belum ditambah bila angin bertiup kencang maka dampaknya akan menyebar ke belahan bumi lain. Itu baru satu hari, tapi sejak kapan perang hanya berlangsung satu hari?
Belum lagi dampak pasca pengeboman: nuklir akan menyebabkan kecacatan, potensi tumor, dan kelainan genetis pun mengancam bayi kita. Ditambah tenaga medis yang tidak memadahi pasca pengeboman. Dan pernyataan ini kurang lebih masih senada dengan pernyataan Soviet. Bagian yang paling mengerikan bukan hanya itu. Bahaya radioaktif –baik bagi Negara yang selamat- akan tetap bertahan selama sekitar 8000 tahun. Meskipun yang digunakan adalah bom “bersih”.
Lebih “sinting” lagi, ada wacana bahwa perang ini tidak hanya berhenti di bumi. Diketahui bahwa Amerika Serikat sedang memperhitungkan untuk membuat pangkalan senjata di bulan. Neil armstrong dengan moonshot-nya ternyata bukan hanya membawa misi penelitian ruang angkasa saja tetapi juga misi “perdamaian”.
Namun ada fakta lain yang mungkin akan membuat Paman-sam murka. Rupanya Soviet telah lebih dulu melakukan penelitian tentang pangkalan senjata di bulan. Ini juga dikuatkan dengan fakta bahwa ternyata manusia pertama yang menginjakkan kaki di bulan adalah orang Soviet. Muncul pertanyaan, mengapa bulan? bulan dinilai strategis untuk memantau lawan dan meluncurkan rudal. Selain itu pangkalan ini akan sulit untuk diserang akibat gaya gravitasi bumi.
Tidak puas dengan proyek bulan. Perang dingin pun diisukan akan sampai pada planet Mars. Pihak berwenang Amerika menyatakan ketertarikan mereka untuk membuat pangkalan senjata tandingan di Mars. Dengan ini sudah dapat disimpulkan kalau kemungkinan bahaya perang nulir bukan hanya mengancam bumi tapi juga tata surya. Mungkin saja akan terjadi sebuah “perang bintang” dan kepunahan umat manusia semakin jelas. Ironisnya itu semua diakibatkan oleh arogansi sejumlah manusia, atau lebih spesifik egoisme tirani.
Brinkmanship : Ketika Para Negarawan Menjadi Gila
Dengan dampak se-mengerikan itu, lantas siapa yang harus dipersalahkan jika perang akhirnya terjadi?
Meruntut fakta sejarah, perang nuklir terjadi sebagai dampak dari perang dunia II yang melahirkan perang dingin antara kaum kapitalis-liberal dan sosialis-komunis. Jadi perang nuklir merupakan perang lanjutan dari perang dunia.
Ego antar golongan adalah penyebab utama dari semua perselisihan ini. Dan para negarawan dipertanyakan ke-negarawan-annya. Mereka para pemimpin dunia yang telah membuat kondisi ini semakin sulit dan memperkeruh keadaan dengan egoisme yang mereka sebut demi bangsa dan negaranya: demi “perdamaian”.
Lagi-lagi kita menyaksikan tujuan mulia “perdamaian” bisa lekat dengan kekerasan dan penghancuran. Kuasa bisa selip menjadi sangat tiran dan represif.
Maka tidak salah jika Bertrand Russell mengutip semacam teori dalam sebuah metafora dari John Foster Dulles tentang “Brinkmanship”, kritik akan perilaku para politisi yang menguji nyali mereka selama perang dingin. Brinkmanship berasal dari sebuah permainan remaja urakan. Dua mobil dipacu saling berhadapan di jalan yang lurus dengan garis putih di tengah, siapapun yang menghindar terlebih dahulu sebelum bertabrakan diteriaki sebagai pengecut (Inggris=chicken!). Begitulah dalam permainan ini, yang mundur di sebut chicken. Lantas “majulah perang harus tetap dilanjutkan”.
Bayangkan jika yang beradu adalah seorang negarawan degan mengendarai sebuah negara yang berisi jutaan jiwa. Permainan chicken! Dilakukan 2 remaja dan bila terjadi tabrakan hanya merugikan keduanya. Namun bila seorang yang bertanggung jawab atas jutaan nyawa melakukan adu nyali membenturkan negaranya dengan negara lain maka jutaan nyawa melayang sia-sia
Namun, para negarawan itu sudah dibutakan oleh ketakutan akan dipanggil pengecut oleh lawannya jika menyerah. Rasa malu untuk mengalah justru membuat semakin banyak korban jatuh, karena mereka tidak segan melakukan brinkmanship berkali-kali. Kesadaran yang bisa hadir sewaktu-waktu dalam tengkar kemanusiaan ini untuk sementara harus disisihkan –jika tidak untuk selamanya-.
Adakah jalan keluar ?
“We shouldn’t be looking for heroes we should be looking for good ideas” –Noam Chomsky-
Dengan kondisi para negarawan dunia yang ada, masihkah ada harapan bagi umat manusia untuk lolos dari jurang yang digali sendiri? Memang sulit di percaya, hanya gara-gara segelintir orang mengabaikan akal sehatnya, alam semesta – jika berdasar kemungkinan terburuk- dalam bahaya dan eksistensi umat manusia juga terancam.
Tampaknya mustahil menghentikan kemungkinan terjadinya perang nuklir. Seperti halnya menghentikan terorisme. Namun ada satu cara ampuh, yakni kita jangan sekali-kali ikut di dalamnya. Dengan begitu tidak ada lagi yang akan mengembangkan senjata pembunuh seperti bom nuklir (Noam Chomsky).
Rumusan Otoritas Internasional Russell
Bertrand Russell dalam Common Sense and Nuclear Warfare mencoba menjabarkan beberapa jalan keluar beserta kendala-kendalanya. Salah satu jalan keluarnya yang paling konkrit dan niscaya dilaksanakan, adalah menciptakan organisasi yang memiliki otoritas internasional lebih dari yang dimiliki United Nation.
Russell menganggap PBB telah gagal dalam usahanya mencegah perkembangan senjata nuklir di Negara-negara maju. PBB memang tidak memiliki banyak kewenangan dan sangat lemah kala berhadapan dengan negara yang menjadi Dewan keamanannya seperti Amerika dan Cina. Ini terjadi karena para Negara yang menjadi Dewan keamanan diberi hak istimewa yakni hak veto. Dimana Negara yang bersangkutan dapat lolos dari hukuman yang dijatuhkan PBB.
Diharapkan, Otoritas Internasional yang dirumuskan Russell dapat memiiki kewenangan yang lebih dari yang PBB miliki. Dengan begitu solusi pengurangan percobaan nuklir, pelucutan senjata unilateral dan keputusan vital menyangkut hal-hal yang membahayakan keselamatan bersama dapat dilaksanakan secara tegas.
Rumusan ini tak luput dari kendala. Kendala paling besar adalah menjaga independensi setiap anggota dalam otoritas internasional tersebut. Namun Russel menyadari hal itu, sehingga ia membuat catatan penting bahwa setiap anggota haruslah orang yang tidak memihak blok manapun.
Poin lain yang di tulis dalam Common Sense and Nuclear Warfare adalah perlunya perubahan mindset. Russell menyarankan ditanamkan paradigma baru pada setiap orang. Fanatisme dan nasionalisme berlebihan akan menjadi ancaman akan independensi otoritas internasional. Perubahan fundamental lain yang perlu dilakukan oleh setiap negara adalah mengalihkan rasa takut dan benci akan ideologi bangsa lain menjadi rasa takut kepada terjadinya perang nuklir. Dengan pandangan bahwa senjata nuklir merupakan “musuh ” bersama umat manusia, maka akan tercipta pola psikologis pada masyarakat bahwa perang itu tidak baik, perang itu menakutkan, dan semacamnya.
Hal ini bukan tanpa bukti. Pada abad ke 14 muncul wabah mematikan yang dinamakan Black death (semacam sampar) wabah ini bahkan telah merenggut setengah populasi di Eropa Barat. Karena belum ada pengetahuan yang memadai, akhirnya seluruh dunia bersatu untuk menangkal penyebaran penyakit tersebut. Andaikan saat ini wabah black death diibaratkan sebagai perang nuklir. Maka seluruh populasi di dunia berusaha untuk menjauhinya. Namun sekarang perang nuklir justru dianggap sebagai alat mencapai “perdamaian”. Perdamaian macam apa yang menggunakan senjata untuk membunuh?
Bukan Akhir
Sebenarnya rumusan Russell dalam buku Common Sense and Nuclear Warfare adalah alternatif yang cukup melegakan. Ia berusaha memberi jalan keluar dengan seadil-adilnya tanpa memihak blok manapun. Russell memang dikenal sebagai orang yang selalu dipihak netral ketika pertentangan ideologi terjadi.
Sayangnya otoritas internasional yang diidamkan tampak seperti utopia. Karena pasti, akan sangat sulit mencari sejumlah orang yang netral dari pengaruh salah satu ideologi. Kemudian apakah ada jaminan setelah otoritas itu berjalan tidak aka ada intervensi pada para anggotanya dari negara –negara adikuasa? Pastinya Russell sudah memikirkan tentang hal itu.
Mengenai wacana untuk mengurangi penanaman nasionalisme dan larangan atas fanatisme niscaya mendapat penolakan oleh sebagian Negara. Dan kendala terbesar sebenarnya ada pada otoritas internasional itu sendiri. Dikhawatirkan apabila sebuah lembaga memiliki kewenangan terlalu besar maka akan menjadi boomerang bagi organisasi tersebut. Kewenangannya bisa saja menyebabkan lembaga ini menjadi sewenang-wenang. Yang paling gawat, apabila muncul dendam dari beberapa negara pada otoritas ini. Bisa saja perang nuklir dicegah, namun justru otoritas inil menjadi musuh bagi negara-negara di dunia.
Akan tetapi kita tidak bisa mementahkan begitu saja pendapat orang lain tanpa mengetahui hasil akhir usulan tersebut bila coba dijalankan. Hal ini mengingatkan kita akan analogi Russell tentang teko poci. Manusia cenderung menolak fakta yang bersifat omong kososng. Namun apabila omong kosong itu termaktub dalam naskah kuno atau kitab suci maka yang tidak meyakini kebenarannya akan dicap aneh.
Lagipula, perang belum terjadi walaupun situasi antar negara berseteru masih memanas. Jadi masih ada waktu bagi kita untuk memikirkan jalan keluar masalah ini. Perang nuklir adalah musuh bersama. Russell sudah semampunya mengupayakan terciptanya formula perdamaian. Maka sekarang giliran kita, para akademisi untuk melanjutkan upaya perdamaian yang dilakukan Russel. Perjuangan melawan kepunahan masih berlanjut dan tidak berakhir sampai Russell. “Ini” Belum berakhir. (Tria Setiawan, Mahasiswa Filsafat UGM ‘14, Anggota LitBang LSF Cogito)