spot_img
More

    Aku dan “Yang Lain” dalam Hotel Rwanda

    Featured in:

    “Mengapa orang sangat kejam?” tanya Dube, seorang staf hotel kepada Paul.

    Paul menjawab, “Kebencian.”

    -Sebuah adegan ketika Paul Rusesabagina menceritakan adanya ratusan jenazah

    yang tergeletak di jalan kepada Dube, staf yang bekerja di hotel yang sama dengannya.

    Menurut penulis, tragedi kemanusiaan terjadi ketika suatu pihak sebagai subjek, atau aku, alergi terhadap pihak lain sebagai objek, atau yang lain, yang sama sekali berbeda denganku. Bagaimana maksudnya? Untuk memperjelas klaim tersebut, mari sejenak melihat salah satu tragedi kemanusiaan yang menggentarkan hati, yakni tragedi genosida di Rwanda pada tahun 1994. Saat itu, kelompok Hutu ekstremis yang dikenal dengan nama “Interahamwe” membunuh sekitar 800.000 orang kelompok Tutsi dan sebagian kelompok Hutu moderat. Kelompok Hutu ekstremis menganggap orang Tutsi adalah “kecoa-kecoa” yang pantas dimusnahkan.

    Untuk memotret tragedi tersebut, seorang produser dan sutradara bernama Terry George membuat film yang berjudul Hotel Rwanda pada tahun 2004. Secara khusus, ia membidik peran sentral seseorang bernama Paul Rusesabagina. Dalam tragedi tersebut, Paul Rusesabagina, seorang Hutu moderat, mengalihfungsikan hotel tempatnya bekerja sebagai house manager menjadi tempat berlindung bagi orang-orang Tutsi dan Hutu moderat, termasuk keluarganya sendiri. Dengan segala caranya, ia berupaya menyelamatkan orang-orang Tutsi dan Hutu moderat dari ancaman kelompok Hutu ekstremis. Atas jasanya, sekitar 1.200 orang Tutsi dan Hutu moderat dapat terselamatkan. Paul Rusesabagina sendiri mendapatkan beragam penghargaan atas jasanya tersebut. Salah satunya adalah penghargaan Presidential Medal of Freedom dari Presiden Amerika Serikat George W. Bush pada tahun 2005.

    Di dalam tulisan berikut, penulis akan membahas film Hotel Rwanda ini berdasarkan pemikiran seorang filsuf bernama Emmanuel Levinas. Pemikiran Levinas yang secara khusus penulis gunakan dalam membahas film ini adalah pemikirannya mengenai etika. Etika Levinas berbeda dengan etika tradisional dan umum yang berbicara mengenai sistematisasi pengetahuan atau diskusi mengenai baik dan buruk atau tentang “bagaimana kita harus hidup”.[1] Etika Levinas merupakan sebuah perjumpaan konkret dan suatu bentuk tanggung jawab terhadap orang lain. Secara sistematis, penulis membagi tulisan ini ke dalam 6 (enam) bagian, yakni (1) pengantar, (2) kilasan sejarah tentang genosida Rwanda, (3) tematisasi sebagai penyebab tragedi kemanusiaan, (4) wajah yang meminta pertanggungjawaban, (5) sebuah panggilan untuk membangun perjumpaan, dan (6) penutup.

    Kilasan Sejarah tentang Genosida Rwanda[2]

    Sebagaimana telah penulis sampaikan di bagian pengantar, film Hotel Rwanda merupakan sebuah potret terhadap tragedi kemanusiaan di Rwanda yang secara khusus membidik peran seseorang bernama Paul Rusesabagina. Meski demikian, film ini tentu tidak menggambarkan atau mewakili secara keseluruhan peristiwa genosida di Rwanda. Oleh karena itu, di dalam bagian ini penulis akan menyampaikan secara singkat sebuah kilasan sejarah yang melatarbelakangi peristiwa genosida di Rwanda tahun 1994.

    Di awal tahun 1990, Rwanda merupakan sebuah negara dengan jumlah penduduk terbanyak di benua Afrika. Perkenomian negara ini bertumpu di bidang pertanian. 85% penduduknya merupakan orang-orang yang berasal dari suku Hutu. Sisanya merupakan suku Tutsi dan sekelompok kecil suku Twa yang merupakan orang-orang asli (original inhabitants) Rwanda. Setelah Perang Dunia I, Rwanda dan Burundi merupakan dua negara yang berada di bawah jajahan Belgia. Di bawah penjajahan Belgia, orang-orang dari suku Tutsi menjadi “anak emas”. Penjajah Belgia dengan sengaja mengatakan bahwa orang-orang dari suku Tutsi tampak lebih menyerupai orang-orang dari ras kaukasian dibandingkan dengan suku Hutu. Hal ini tentu menimbulkan konflik di antara orang-orang Tutsi dan Hutu. Orang-orang Hutu tidak begitu senang dengan pembedaan yang bernada politis ini. Tidak heran apabila kemudian di tahun 1959 terjadi Revolusi Hutu yang menyebabkan sekitar 300.000 orang Tutsi melarikan diri dari Rwanda.

    Pembunuhan massal di Rwanda dengan cepat tersebar dari Kigali ke seluruh penjuru negeri. Dalam tiga bulan berikutnya, 800.000 korban jiwa kembali berjatuhan akibat kekerasan para Hutu ekstremis.

    Di awal tahun 1961, orang-orang Hutu berhasil di satu sisi memaksa orang Tutsi tetap berada di pengasingan dan di sisi lain mendeklarasikan Rwanda sebagai sebuah negara republik. Puncaknya, di bulan Juli tahun 1962, Rwanda berhasil mendapatkan kemerdekaan negara mereka dari tangan penjajah Belgia. Meski demikian, konflik etnis belum juga berhenti sejak kemerdekaan Rwanda terjadi. Pada tahun 1971, seorang mayor jenderal dari suku Hutu yang bernama Juvenal Habyarimana memegang kendali politik dan kekuasaan di Rwanda. Ia mendirikan sebuah partai yang bernama National Revolutionary Movement for Development (NRMD). Ia kelak dipilih menjadi presiden pada tahun 1978 di bawah konstitusi Rwanda yang baru dan nantinya dipilih kembali pada tahun 1983 dan 1988. Pada tahun 1990, tekanan politis datang dari kelompok Rwandese Patriotic Front (RPF) yang mayoritas adalah para pengungsi Tutsi. Mereka datang dari Uganda untuk masuk ke Rwanda dan secara khusus ingin terlibat lagi di dalam pemerintahan Rwanda.

    Pada tahun 1992, gencatan senjata diberlakukan untuk menghindari pecahnya korban. Di bulan Agustus 1993, di sebuah kota bernama Arusha, Tanzania, Presiden Habyarimana menandatangani sebuah perjanjian yang berisi rencana untuk membuat pemerintahan baru yang mencakup kelompok RPF di dalamnya. Hal ini tentu ditentang oleh orang-orang Hutu ekstremis. Pada tanggal 6 April 1994, pesawat yang ditumpangi Presiden Habyarimana dan Presiden Burundi yang bernama Cyprien Ntaryamira jatuh ditembak di atas Kota Kigali. Kejadian ini menimbulkan kabar angin di sana-sini. Ada pihak yang mempersalahkan kelompok Hutu ekstremis dan ada pula pihak yang mempersalahkan kelompok RPF. Satu jam setelah kejadian tersebut, kelompok pengaman presiden, tentara Rwanda, dan kelompok milisi Hutu yang bernama “Interahamwe” (yang berarti ‘Mereka yang Menyerang Bersama-sama’) mulai memasang barikade, menutup jalan, dan membunuh orang-orang Tutsi dan orang-orang Hutu moderat tanpa ampun. Sejak saat itu, pembunuhan dan pembantaian terus terjadi. Salah satu korban pertama pembantaian itu adalah Perdana Menteri Agathe Uwilingiyimana, seorang Hutu moderat. Ia dibunuh bersama dengan 10 tentara Belgia sebagai pengawalnya.

    Pembunuhan massal di Rwanda dengan cepat tersebar dari Kigali ke seluruh penjuru negeri. Dalam tiga bulan berikutnya, 800.000 korban jiwa kembali berjatuhan akibat kekerasan para Hutu ekstremis. Mereka memeriksa setiap identitas orang-orang Rwanda dan berpawai di jalan-jalan untuk menunjukkan kekuatan mereka. Sebagai tanggapan atas tragedi kemanusiaan ini, beberapa tempat pengungsian didirikan di sekitar Rwanda. Salah satu tempat pengungsian ini berada di Kongo, yang sekarang merupakan negara Zaire.

    Tematisasi sebagai Penyebab Tragedi Kemanusiaan

    Pertanyaan awal yang mungkin muncul dalam benak setiap penonton film Hotel Rwanda adalah: Mengapa ada orang-orang atau kelompok tertentu yang begitu tega menghabisi nyawa orang lain? Pertanyaan ini lebih-lebih muncul mengingat korban yang direnggut nyawanya merupakan pihak yang tidak bersalah. Satu-satunya “kesalahan” mereka mungkin adalah bahwa mereka tidak “sama” dengan para pembunuh yang bersorak-sorai di atas kematian mereka. Mereka, para korban dari suku Tutsi dan Hutu moderat, bukanlah merupakan anggota Hutu ekstremis. Salah satu adegan yang sangat baik memotret persoalan identitas ini terjadi saat petugas medis bernama Madam Archer mencoba bercerita pada Paul dan Tatiana mengenai kejadian di panti asuhan saat tentara “Interhamwe” membunuh anak-anak keturunan Tutsi yang tidak bersalah. Madam Archer mengisahkan demikian,

    “Ketika aku sampai di panti asuhan, Interhamwe juga di sana. Mereka mulai membunuhi anak-anak. Mereka memaksaku untuk melihatnya. Ada seorang gadis di sana. Dia menggendong adiknya yang masih kecil di punggungnya. Saat mereka akan membantainya, dia menangis padaku. ‘Tolong jangan biarkan mereka membunuh aku. Aku berjanji aku tidak akan menjadi Tutsi lagi.’”

    Adegan tersebut menggambarkan dengan jelas betapa persoalan identitas menjadi suatu alasan yang digunakan untuk melenyapkan nyawa orang lain. Konsep bahwa suatu identitas lebih tinggi (superior) daripada identitas lain mampu membuat orang lupa diri. Dia tidak lagi peduli dengan sesamanya manusia yang pada dasarnya berhakikat sama.

    Ketidakpedulian akan sesamanya yang lain tampak jelas di dalam adegan-adegan di mana orang-orang Hutu ekstremis tanpa pandang bulu menggunakan setiap kesempatan untuk membunuh orang-orang Tutsi dan Hutu moderat. Mereka menganggap bahwa orang-orang Tutsi tidak sama dengan mereka. Mereka menganggap diri sebagai pemilik asli dari negara Rwanda. Sebaliknya, orang Tutsi dianggap sebagai pemberontak yang datang kembali dari tempat pengasingan. Orang Tutsi dianggap sebagai ancaman yang hendak mengganggu ketenangan di Rwanda. Bukan hanya sekadar pemberontak, orang-orang Tutsi disamakan dengan binatang kecoa yang layak untuk dimusnahkan. Atas alasan itulah, mereka tidak memberi ruang kepada orang-orang Tutsi sedikitpun. Bahkan, orang-orang Hutu ekstremis tidak memberikan toleransi bagi sesama orang Hutu yang tidak sepaham dengan mereka. Mereka menganggap bahwa orang Hutu yang melindungi orang Tutsi juga layak dibunuh, karena martabat mereka tidak lagi murni.

    Di dalam etika Levinas, klaim atau anggapan yang dilakukan oleh orang-orang Hutu ekstremis terhadap orang-orang Tutsi merupakan sebuah tematisasi atau konseptualisasi. Di dalam tematisasi, seseorang memiliki tema atau konsep tertentu tentang orang lain. Hal ini menjadi sebuah cara bagi seseorang untuk menundukkan orang lain. Menundukkan di sini berarti mereduksi eksistensi orang lain ke dalam sebuah pemahaman, tema, atau konsep tertentu. Usaha untuk menundukkan ini tidak lain dilakukan oleh subjek atau “the Same” (‘Yang Sama’) atau “the I” (‘Sang Aku’). Sang Aku sebagai subjek bukanlah semata-mata sesuatu yang diperlawankan dengan objek atau yang lain. Sang Aku bukan hanya merupakan individuasi atau konsep orang per orang, melainkan sebuah identitas diri yang khas. Sang Aku menjadi tempat dirinya mengidentifikasikan dirinya sendiri. Menjadi Sang Aku berarti tidak mau ada yang asing di dalam diri saya, di dalam tempat saya “tinggal”. Dalam berelasi dengan yang lain, Sang Aku selalu berupaya untuk mentematisasi atau mengkonsepkan yang lain.[3]

    Dengan demikian, Sang Aku memiliki sifat untuk mengasimilasikan segala sesuatu yang asing ke dalam dirinya. Mengasimilasikan yang asing berarti menjadikannya identik dengan Sang Aku. Rasa aman dan nyaman akan muncul ketika segala sesuatu yang asing sudah dapat diidentikkan. Apabila ada sesuatu yang tidak dapat diasimilasikan, maka sesuatu itu akan menjadi sesuatu yang asing bagi Sang Aku. Sesuatu yang asing itulah, menurut Levinas, yang akan menimbulkan rasa tidak aman dan nyaman bagi Sang Aku. Yang asing akan terus mengganggu Sang Aku. Meski demikian, Colin Davis dalam bukunya yang berjudul Levinas: An Introduction mengatakan bahwa bagi Levinas, Sang Aku bukanlah sesuatu yang tetap atau tidak berubah. Sang Aku mampu mengasimilasikan setiap perubahan yang ada di dalam dirinya, sehingga menjadi identik dengan dirinya sendiri. Itulah mengapa Levinas mengatakan demikian, “The I is identical in its very alterations.”[4]

    Untuk itu, segala sesuatu yang asing harus dilenyapkan bagaimanapun caranya, termasuk membunuh orang-orang Tutsi dan Hutu moderat. Levinas mengatakan bahwa pembunuhan merupakan suatu bentuk tindakan paling ekstrem yang dapat diambil terhadap sesuatu yang asing.

    Levinas tidak serta-merta memaparkan konsep tentang tematisasi dan asimilasi ini. Ia sendiri banyak dipengaruhi oleh fenomenologi Husserl. Di dalam fenomenologi, terdapat konsep mengenai intensionalitas kesadaran. Intensionalitas kesadaran berarti bahwa kesadaran manusia selalu merupakan kesadaran akan sesuatu atau objek tertentu. Kata “intensi” di sini berarti keterarahan kepada sesuatu hal. Dengan demikian, kesadaran manusia tidaklah pernah merupakan kesadaran yang kosong atau terarah ke dirinya sendiri. Apa yang dikatakan Husserl ini tentu menjadi buah kritik bagi pemikiran Descartes. Descartes, dengan pemikiran filosofisnya yang terkenal: cogito ergo sum, mengatakan bahwa sesuatu yang kita sadari adalah diri kita atau ide-ide yang ada di dalam pemikiran kita sendiri, bukannya sesuatu yang ada di luar pemikiran kita.[5]

    Meski Levinas dipengaruhi oleh Husserl. Ia tidak mengikutinya begitu saja. Bagi Levinas, intensionalitas Husserl yang menekankan kesadaran manusia dalam idealisme transendental masih jatuh pada sikap menundukkan objek atau yang lain. Sesuatu yang lain akan selalu dicoba untuk dipahami oleh kesadaran manusia. Dengan kata lain, sesuatu yang lain yang ada di dalam diriku lebih merupakan objek yang sudah masuk dalam kesadaran diriku (the Other-for-me), bukan lagi objek pada dirinya sendiri (the Other-in-himself). Dengan demikian, bagi Levinas, agak diragukan apakah objek sebagai sesuatu Yang Lain itu benar-benar dapat hadir sebagai sebuah fenomena dengan sungguh menampakkan kesejatian atau esensi dirinya yang adalah keberlainan (alterity). Sikap menundukkan objek atau yang lain inilah yang menggambarkan sebuah upaya tematisasi atau konseptualisasi.[6]

    Upaya tematisasi tergambarkan di dalam film Hotel Rwanda dalam situasi orang-orang Hutu ekstremis yang menemukan bahwa orang-orang Tutsi berbeda dengan mereka. Orang-orang Tutsi dianggap sebagai pihak yang dulu bekerja sama dengan penjajah Belgia dan menindas mereka. Mereka merasa terganggu dengan kembalinya orang-orang Tutsi ke Rwanda. Konsepsi demikian menempatkan orang-orang Hutu ekstremis dan orang-orang Tutsi tidak dalam kelompok yang sama. Oleh karena itu, orang-orang Hutu ekstremis menganggap orang-orang Tutsi sebagai pihak yang asing. Orang-orang Hutu ekstremis tidak mau ada sesuatu yang asing di tempat mereka tinggal. Untuk itu, segala sesuatu yang asing harus dilenyapkan bagaimanapun caranya, termasuk membunuh orang-orang Tutsi dan Hutu moderat. Levinas mengatakan bahwa pembunuhan merupakan suatu bentuk tindakan paling ekstrem yang dapat diambil terhadap sesuatu yang asing.[7]

    Wajah yang Meminta Pertanggungjawaban

    Pembunuhan terhadap orang-orang Tutsi tidak dapat dielakkan lagi. Jalan-jalan besar penuh dengan jenazah-jenazah yang dibunuh secara sadis. Bahkan, di sebuah jalan besar di pinggir sungai, mobil yang ditumpangi Paul dan stafnya tidak dapat melintas, karena jenazah-jenazah orang yang dibunuh tergeletak di mana-mana. Beberapa dari mereka yang mampu bertahan mencari tempat yang aman untuk berlindung. Salah satu tempatnya adalah hotel des Mille Collines, tempat Paul Rusesabagina bekerja. Etika Levinas melihat orang-orang Tutsi dan Hutu moderat yang menjadi korban kekejaman orang-orang Hutu ekstremis sebagai “the Other” (‘Yang Lain’). Menurut Levinas, Yang Lain bukanlah sekadar pihak yang diperlawankan dengan Sang Aku. Di dalam kesejatian dirinya, Yang Lain sungguh-sungguh lain secara metafisis (the metaphysical other). Yang Lain tetap akan selalu menjadi pihak yang asing bagi Sang Aku. Ia akan selalu bebas dan tidak akan pernah dapat ditematisasi, dikonsepkan, atau dipahami seutuhnya. Ia tidak dapat dimiliki. Keberadaan Yang Lain atau pihak yang asing bagi Sang Aku ini akan memunculkan momen etis. Yang Lain selalu akan menghantui dan mengganggu kenyamanan Sang Aku.[8]

    Di dalam perjumpaan antara Sang Aku dan Yang Lain, Yang Lain menampakkan wajahnya. Ia seolah meminta pertanggungjawaban kepada Sang Aku. Ketika berhadapan dengannya, ia seolah berkata, “Apa yang dapat kamu lakukan untukku?”. Dengan kata lain, Sang Aku tersandera oleh Yang Lain. Interupsi dari Yang Lain inilah yang memunculkan etika. Etika berarti bahwa Sang Aku tidak mendominasi Yang Lain. Sang Aku sungguh menghormati keberlainan dari Yang Lain yang memang tidak akan pernah dapat ditundukkan oleh Sang Aku dalam konsep atau tema tertentu. Sang Aku membuka diri untuk dipertanyakan dan dimintai tanggungjawabnya oleh Yang Lain.[9]

    Wajah di sini tidak berarti wajah secara fisik seperti yang kita lihat sehari-hari. Wajah (the face atau le visage) di sini berarti keseluruhan diri Yang Lain berada dan menunjukkan dirinya. Wajah Yang Lain tidak dapat direduksi ke dalam fisik semata. Wajah Yang Lain tetap akan menampakkan dirinya meskipun secara fisik kita tidak berjumpa dengannya. Wajah Yang Lain tampak nyata digambarkan dalam film Hotel Rwanda ketika Paul Rusesabagina, seorang tokoh utama, meminta mereka yang mengungsi di Hotel des Mille Collines menghubungi kerabat dan sanak saudara yang mereka miliki. Usaha ini dilakukan semata-mata agar mereka mendapatkan bantuan. Wajah Yang Lain dalam situasi tersebut sungguh menginterupsi kenyamanan dari Sang Aku. Orang-orang yang dihubungi oleh para pengungsi di hotel ketika dihubungi pasti akan merasa ada sesuatu yang mengganjal hatinya jika mereka tidak berbuat sesuatu bagi para pengungsi. Mereka tidak dapat bersikap tenang begitu saja seolah-olah tidak sedang terjadi apa-apa. Dalam adegan ini, Wajah Yang Lain tetap akan menunjukkan dirinya meskipun saudara dan kerabat yang dihubungi tidak berjumpa secara langsung dengan para pengungsi yang ada di hotel des Mille Collines. Hal ini nantinya terbukti. Bantuan dari sanak saudara dan kerabat yang mereka hubungi terwujud dalam rupa visa untuk pergi ke negara lain di luar Rwanda.

    Fenomena interupsi Yang Lain terhadap Sang Aku juga dapat dilihat dari sosok Paul Rusesabagina. Di sepanjang film, penulis berpendapat bahwa Paul sendiri merupakan seorang tokoh yang tidak dapat lepas atau lari dari interupsi wajah Yang Lain. Dengan segala caranya, Paul berupaya melindungi orang-orang Tutsi dan orang-orang Hutu moderat. Ketika para tentara mengetahui bahwa sekelompok orang yang dibawa oleh Paul di dalam mobilnya merupakan orang-orang dari suku Tutsi, tentara itu mengancam akan membunuhnya. Berhadapan dengan situasi langsung (immediate) tersebut, Paul tidak banyak mempertimbangkan atau memikirkan hal-hal ini atau itu, melainkan langsung berjanji akan menebus mereka dengan imbalan 100.000 franc. Paul sungguh merasa bertanggungjawab atas kelangsungan hidup orang-orang dekatnya itu.

    Tidak hanya melindungi orang-orang terdekatnya, Paul juga menjadikan hotel tempatnya bekerja sebagai tempat berlindung bagi orang-orang Tutsi dan Hutu moderat lain yang diancam dibunuh oleh orang-orang Hutu ekstremis. Ia juga menerima anak-anak panti asuhan yang dibawa oleh Madam Archer dan para religius. Lebih dari itu, Paul juga berupaya menyediakan kebutuhan harian, seperti makan dan minum bagi mereka. Perjumpaan dengan Wajah Yang Lain membuat Paul merasa bertanggungjawab terhadap mereka.

    Perjumpaan (encounter) antar wajah jelas bukan merupakan sebuah perjumpaan konseptual atau tematisasi. Di dalam perjumpaan wajah dengan wajah, orang tidak akan sampai hati untuk membunuh orang lain.

    Selain Paul, sebenarnya ada beberapa tokoh lain yang juga berupaya menolong korban. Beberapa dari mereka misalnya Madam Archer yang menyelamatkan beberapa anak dari suku Tutsi yang tinggal di panti asuhan St. Fransiskus dan para religius yang membawa orang-orang Tutsi dan Hutu moderat, terutama anak-anak, untuk ikut diselamatkan dalam rombongan orang kulit putih yang hendak meninggalkan Rwanda.

    Hal ini agak berkebalikan dengan seorang tokoh yang bernama Jenderal Bizimungu yang merupakan pimpinan Tentara Rwanda. Alih-alih menjaga keamanan Rwanda dengan cara mencegah aksi kekerasan orang-orang Hutu ekstremis dan menolong para korban, ia tidak melakukan hal apapun. Ia baru mau melaksanakan tugasnya menjaga keamanan ketika disuap oleh Paul Rusesabagina dengan uang dan wiski buatan Eropa. Hatinya sama sekali tidak tergerak oleh penderitaan yang dialami para korban. Ketika Paul tidak memiliki uang yang cukup, Jenderal Bizimungu tidak mau lagi menolongnya untuk melindungi para pengungsi yang ada di hotel des Mille Collines dari serangan para Hutu ekstremis. Tanpa rasa bersalah, ia berkata kepada Paul, “Kau tidak punya apa-apa, tetapi berani-beraninya menelepon meminta bantuanku… Tidak ada lagi yang dapat aku lakukan untukmu, Paul. Tidak ada polisi, tidak ada perlindungan. Biarlah PBB yang mengurusimu.”

    Sebuah Panggilan untuk Membangun Perjumpaan

    Genosida Rwanda seharusnya tidak akan terjadi ketika Sang Aku berelasi dengan Yang Lain dalam perjumpaan wajah dengan wajah. Perjumpaan (encounter) antar wajah jelas bukan merupakan sebuah perjumpaan konseptual atau tematisasi. Di dalam perjumpaan wajah dengan wajah, orang tidak akan sampai hati untuk membunuh orang lain.[10] Perjumpaan tersebut justru mengimplikasikan sebuah panggilan untuk bertanggung jawab terhadap Yang Lain. Bertanggung jawab di sini berarti tidak tinggal diam terhadap “teriakan-teriakan” Yang Lain. Bertanggung jawab berarti menanggapi mereka.[11]

    Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan perjumpaan itu sendiri? Colin Davis mencoba menjelaskan apa yang dimaksud oleh Levinas dengan perjumpaan. Dalam menjelaskan tentang perjumpaan, Levinas tidak ingin jatuh pada sebuah sikap mengobjekkan Yang Lain. Untuk itu, bagi Levinas, perjumpaan adalah relasi dengan Yang Lain yang memiliki karakter paradoksal sebagai sebuah “relasi tanpa relasi”. Relasi adalah “relasi”, karena perjumpaan terjadi di dalam ruang. Relasi adalah “tanpa relasi”, karena perjumpaan tidak bermaksud untuk memahami dan menjadikan Yang Lain sebagai milikku. Yang Lain tetaplah yang lain.[12]

    Film Hotel Rwanda sejatinya menawarkan apa yang bagi Levinas sangatlah penting, yakni mengenai Yang Etis (The Ethical). Momentum Yang Etis ini dihadirkan melalui tokoh Paul Rusesabagina dalam pertanggungjawabannya terhadap korban-korban genosida Rwanda. Awalnya, Paul memang hanya berusaha untuk menyelamatkan keluarganya saja, istri dan anak-anaknya. Hal ini dilakukannya mengingat istrinya sendiri, yang bernama Tatiana, berasal dari suku Tutsi. Meski demikian, ia ternyata tidak dapat lari dari tanggungjawabnya begitu saja untuk menyelamatkan tetangga-tetangganya dan akhirnya semua orang yang berasal dari suku Tutsi dan Hutu moderat.

    Apabila di dalam hati orang mungkin muncul pertanyaan mengenai mengapa orang dapat begitu kejam terhadap orang lain, penulis berasumsi bahwa sebaliknya, ketika menonton film Hotel Rwanda di dalam benak orang mungkin juga dapat muncul pertanyaan: Mengapa ada orang yang begitu baik menyelamatkan korban-korban genosida dengan segala macam cara yang dapat dia lakukan, termasuk kemungkinan mengorbankan nyawanya sendiri?

    Di dalam kacamata pikir Levinas, apa yang menggerakkan Paul untuk melakukan hal tersebut adalah perjumpaannya dengan wajah Yang Lain. Perjumpaan ini “memaparkannya” langsung dengan Yang Lain. Tidak ada sekat, pembatas, konsepsi, maupun tematisasi. Perjumpaan ini berarti membiarkan diri terbuka pada Yang Lain, mau diinterupsi dan diganggu, dan pada akhirnya ikut bertanggungjawab terhadap Yang Lain.[13] Hal ini tercermin dalam diri Paul yang mengalami perjumpaan langsung dengan orang Tutsi dan Hutu moderat yang teraniaya. Tidak ada sekat atau konsep-konsep yang membatasinya. Ia hadir langsung dan berada bersama dengan mereka yang diancam dan dianiaya oleh orang-orang Hutu ekstremis. Ia “terpapar” oleh situasi dan kondisi mereka yang teraniaya. “Paparan” dengan Yang Lain inilah yang menyebabkan dirinya merasa bertanggungjawab. Mereka yang terancam dan teraniaya “meminta” Paul untuk hadir dan mengupayakan segala cara untuk menolong mereka.

    Tak diragukan lagi, untuk membangun sebuah kedamaian yang sejati, dengan demikian, sikap tanggung jawab terhadap orang lain merupakan sebuah sikap yang terus-menerus harus dipupuk dan ditumbuhkembangkan.

    Di dalam momentum perjumpaan, di satu sisi, Sang Aku terpaksa keluar dari dirinya sendiri. Tidak ada egoisme lagi di dalam dirinya. Ia terarah kepada Yang Lain dan akhirnya bertanggungjawab terhadap Yang Lain. Tanggungjawab ini merupakan sebuah struktur yang ada di dalam subjektivitas atau Sang Aku. Sejak awal, struktur Sang Aku memang bagi Yang Lain. Sifat struktur ini pasif, tanpa fondasi, dan bukanlah merupakan hasil dari kesadaran. Franz Magnis-Suseno menyebut tanggungjawab ini sebagai sesuatu yang “sudah mendahului, atau mendasari, sikap yang dalam bahasa sehari-hari kita sebut ‘tanggungjawab’ (misalnya tanggungjawab orangtua terhadap anak mereka)”.[14] Di dalam etika Levinas, dengan demikian di dalam relasi antarsubjek, orang lain itu lebih tinggi daripada saya. Relasi yang terbangun di antara saya dan orang lain adalah sebuah relasi asimetris.[15]

    Sebagai seorang manusia, penulis berpikir bahwa Paul tentu punya banyak kesempatan untuk memikirkan diri dan keluarganya sendiri. Ia dapat bersikap tidak acuh terhadap orang lain yang teraniaya. “Untuk apa memikirkan mereka? Memiliki hubungan darah dengan mereka saja pun tidak. Tidak ada sedikitpun keuntungan yang dapat kuambil dari tindakan menolong mereka.” Pikiran demikianlah yang mungkin mungkin muncul apabila Paul hanya memikirkan dirinya sendiri. Kenyataannya, di dalam film Hotel Rwanda, Paul bahkan berani meninggalkan keluarganya untuk tinggal bersama dengan para pengungsi di hotel, meskipun ia memiliki visa untuk meninggalkan Rwanda.

    Di dalam perjumpaan, Sang Aku tidak hanya keluar dari dirinya sendiri, melainkan Sang Aku juga akan terus mengenal Yang Lain. Yang Lain sungguh memperlihatkan keberlainannya di hadapan diri kita. Saat itulah ia menolak untuk ditundukkan oleh kita. Ia menunjukkan esensi dirinya sebagai Yang Lain yang sungguh absolut. Ia tidak mau disama-samakan, karena sejatinya ia memang lain. Kalau sudah demikian, sikap hormat terhadap keberlainan Yang Lain menjadi cara ampuh untuk memelihara perjumpaan. Lebih dari itu, dalam pembacaannya terhadap Levinas, Rudolf Bernett juga mengatakan bahwa wajah Yang Lain dapat menjadi jejak dari keberadaan Tuhan. Itulah mengapa, dalam perjumpaan dengan Yang Lain, kita dapat mendengar Yang Lain terus-menerus berteriak, “Kamu tidak boleh membunuh!”[16]

    Bagi Levinas, sikap untuk menjaga dan menghormati keberlainan dan keunikan Yang Lain merupakan sebuah bentuk kedamaian yang sejati. Kedamaian bukanlah sebuah konsep kebenaran semata, melainkan sebuah relasi dengan orang lain yang sungguh-sungguh lain.[17] Tak diragukan lagi, untuk membangun sebuah kedamaian yang sejati, dengan demikian, sikap tanggung jawab terhadap orang lain merupakan sebuah sikap yang terus-menerus harus dipupuk dan ditumbuhkembangkan.

    Penutup

    Film Hotel Rwanda pertama-tama tentu ingin menunjukkan kepada para penontonnya bahwa tragedi genosida adalah suatu fenomena yang wajib ditentang sebab berlawanan dengan peri kemanusiaan. Oleh karena sikap berelasi dengan orang lain dalam ranah konseptualisasi dan tematisasi, orang dapat mengagungkan diri atau kelompoknya sendiri dan memandang rendah pribadi atau kelompok lain. Kalau sudah demikian, mereka yang menganggap dirinya superior merasa seolah memiliki kuasa sewenang-wenang terhadap pihak lain yang lebih inferior, termasuk hal-hal menyangkut hidup dan mati. Padahal, sejatinya setiap manusia adalah makhluk yang berharga pada dirinya sendiri.

    Secara khusus, film Hotel Rwanda ingin menawarkan sebuah nilai yang penting, yang dalam pemikiran Levinas disebutkan sebagai sebuah pertanggungjawaban terhadap orang lain. Sikap bertanggungjawab ini tampak nyata di sepanjang film dalam tokoh sentral bernama Paul Rusesabagina. Sikap tanggungjawab ini muncul dalam perjumpaannya dengan orang-orang Tutsi dan Hutu moderat yang dikejar-kejar, diancam, dan dibunuh oleh orang-orang Hutu ekstremis. Di satu sisi, Paul tidak mementingkan diri atau keluarganya sendiri dengan cara meninggalkan mereka yang teraniaya di hotel des Mille Collines. Di sisi lain, ia seolah tidak mampu lepas dari “teriakan-teriakan” para pengungsi yang memintanya untuk tetap tinggal dan menolong mereka. Oleh karena itu, Paul mengerahkan segala daya dan upayanya untuk menolong para pengungsi, termasuk bersedia mengorbankan nyawanya sendiri.

    Penulis berkesimpulan bahwa film Hotel Rwanda dan pemikiran Levinas mengenai tanggungjawab terhadap orang lain merupakan pemikiran yang sangat relevan dengan situasi dan kondisi masyarakat yang terjadi saat ini. Dunia saat ini dipenuhi dengan kekerasan-kekerasan yang diakibatkan oleh prasangka-prasangka yang belum tentu benar. Prasangka-prasangka yang sama membuat orang enggan menjalin relasi nyata dalam perjumpaan dengan orang lain. Dorongan untuk memperhatikan diri sendiri sedemikian besar sehingga menutup mata orang untuk peduli pada penderitaan orang lain. Di dalam dunia macam inilah, etika Levinas dalam rupa tanggungjawab terhadap yang lain sungguh-sungguh dibutuhkan.


     

    Catatan Akhir:

    [1] Bdk. James Rachels, Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 17.

    [2] Bagian ini disarikan dari tulisan berjudul The Rwandan Genocide. Diakses dari http://www.history.com/topics/rwandan-genocide, tanggal 2 Desember 2017, pukul 18.30 WIB.

    [3] Bdk. Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: an Essay on Exteriority (transl. by Alphonso Lingis) (Pittsburg: Duquesne University Press, 1969), 37-8. Levinas mengatakan tentang “the I” demikian, “The way of the I against the “other” of the world consists in sojourning, in identifying oneself by existing here at home with oneself… Everything is here, everything belongs to me; everything is caught up in advance with the primordial occupying of a site, everything is comprehended.”

    [4] Bdk. Colin Davis, Levinas: An Introduction (Indiana: University of Notre Dame Press, 1996), 42. “So Levinas describes the self as neither different from nor opposed to the Other, but separate from it. The self is the site where the Same identifies itself as such. This does not mean that the self is unchanging and inalterable; on the contrary, it is constantly caught unawares by the world and by itself, forever finding itself to be unlike what it believed it was.”

    [5] Bdk. Thomas Hidya Tjaya, Enigma Wajah Orang Lain (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), 26-7.

    [6] Bdk. Rudolf Bernet, “The Encounter wuth the Stranger: Two Interpretations of the Vulnerability,” dalam Jeffry Bloechl, The Face of the Other and the Trace of God (New York: Frodham University Press, 2000), 44. “Unfortunately, the appeal to a Husserlian phenomenology does little to simplify matters. This is so not only because Husserlian phenomenology is itself a complicated matter, but also and mainly because it has been widely doubted whether the Other can even become a phenomenon without betraying his essence, that is, his alterity. What appears to me, it is said, has to adapt itself to my mental framework in order to be apprehended by me. What is given to me is therefore the Other-for-me and not the Other-in-himself.”

    [7] Bdk. Emmanuel Levinas, “Is Ontology Fundamental?” dalam Basic Philosophical Writings (ed. Adriaan T. Perperzak) (Bloomington dan Indianapolis: Indiana University Press, 1996), 9. Levinas mengatakan, “The Other (Autrui) is the sole being whose negation can only announce itself as total: as murder.”

    [8] Bdk. Levinas, Totality and Infinity, 39. Levinas mengatakan tentang “the Other” demikian, “The absolutely other is the Other… Neither possession nor the unity of number nor the unity of concepts link me to the Stranger, the Stranger who disturbs the being at home with oneself. But Stranger also means the free one. Over him I have no power. He escapes my grasp by an essential dimension, even if I have him at my disposal. He is not wholly at my site.”

    [9] Bdk. Thomas Hidya Tjaya, Enigma Wajah Orang Lain, 64-5.

    [10] Bdk. Levinas, “Is Ontology Fundamental?”, 9. Levinas mengatakan, “To be in relation with the other (autrui) face to face is to be unable to kill.”

    [11] Bdk. Emmanuel Levinas, Otherwise than Being or Beyond Essence (transl. by Alphonso Lingis) (Pittsburg: Duquesne University Press, 1998), 47. Levinas mengatakan, “To maintain that the relationship with a neighbor, incontestably set up in saying, is a responsibility for the neighbor, that saying is to respond to another, is to find no longer any limit or measure for this responsibility.”

    [12] Bdk. Colin Davis, Levinas: An Introduction, 45. “To avoid this (totalizing perspective), the relationship with the Other is characterized paradoxically as a ‘relation without relation’. It is a relation because an encounter does take place; but it is ‘without relation’ because that encounter does not establish parity or understanding, the Other remains resolutely Other.”

    [13] Bdk. Levinas, Otherwise than Being, 49. Levinas mengumpamakan perjumpaan demikian, “Here exposure has a sense radically different from thematization. The one is exposed to the other as a skin is exposed to what wounds it, as a cheek is offered to the smiter.”

    [14] Lih. Franz. Magnis-Suseno, Etika Abad Kedua Puluh (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 86.

    [15] Bdk. Levinas, Otherwise than Being, 110-1.

    [16] Bdk. Rudolf Bernet, “The Encounter wuth the Stranger,” 55. “He (Levinas) also said that the face og the Other bears the trace of God and that the command expressed by the face of the Other comes from God: “Thou shall not kill!””.

    [17] Bdk. Emmanuel Levinas, “Peace and Proximity”, dalam Basic Philosophical Writings (eds. Adriaan T. Perpezak, et al.) (Bloomington dan Indianapolis: Indiana University Press, 1996), 166. Levinas mengatakan, “Here, on the contrary, in ethical peace, the relation is with the inassimilable other, the irreducible other, the other, unique. The unique alone is irreducible and absolutely other!”

    Daftar Pustaka:

    Bernet, Rudolf. “The Encounter with the Stranger: Two Interpretations of the Vulnerability of the Skin.” Dalam Bloechl, Jeffry. The Face of the Other and the Trace of God. New York: Fordham University, 2000.

    Davis, Colin. Levinas: An Introduction. Indiana: University of Notre Dame Press, 1996.

    Levinas, Emmanuel. “Peace and Proximity.” Dalam Basic Philosophical Writings (eds. Adriaan T. Perpezak, et al.). Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1996.

    ________________. Otherwise than Being or Beyond Essence (trans. Alphonso Lingis). Pittsburg: Duquesne University Press, 1998.

    ________________. Totality and Infinity: An Essay on Exteriority (trans. Alphonso Lingis). Pittsburg: Duquesne University Press, 1969.

    ________________. “Is Ontology Fundamental?” Dalam Basic Philosophical Writings (eds. Adriaan T. Perpezak, et al.). Bloomington and Indianapolis: Indiana Universty Press, 1996.

    Magnis-Suseno, Franz. Etika Abad Kedua Puluh. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

    Rachels, James. Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

    Tjaya, Thomas Hidya. Enigma Wajah Orang Lain: Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012.

    SUMBER INTERNET:

    “The Rwandan Genocide”, http://www.history.com/topics/rwandan-genocide.

    Author

    • Paulus Bagus Sugiyono

      Penulis merupakan mahasiswa sarjana di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta. Penulis memiliki kegemaran membaca buku, menulis, dan menonton film.

      View all posts

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Menyingkap Keterasingan Manusia Lewat Banalitas Keseharian

    Tidak dipungkiri lagi, mahasiswa erat dengan jadwal padat yang selalu menghampirinya setiap saat. Pagi hari, sekitar pukul...

    Post-Truth: Konsekuensi atas Keruntuhan Modernitas

    Seperempat paruh awal abad ke-21 ini, manusia dihadapkan kepada pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendisrupsi masyarakat....

    Hausu dan Hauntopoanalisis

    Rumah bukanlah sekadar bangunan fisik yang memiliki wujud konkret, melainkan ruang metafisik yang abstrak dan memiliki agensi...

    Sebuah Hikayat dari Tanah Para Pencari Kebenaran Dunia

    Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari...

    Ampun, Romo Bertens: Argumen Absolutis Anda Bermasalah

    Buang semua asumsi moral dan pengetahuan yang kita dapat dari peradaban modern ini untuk sementara. Mari bayangkan...

    Polemik Hermeneutis Gadamer dan Habermas

    “Kalau Anda ingin mendengarkan Heidegger dengan lebih mudah, bacalah (tulisan) Gadamer.” Begitulah ucapan Fransisco Budi Hardiman saat...