spot_img
More

    Ampun, Romo Bertens: Argumen Absolutis Anda Bermasalah

    Featured in:

    Buang semua asumsi moral dan pengetahuan yang kita dapat dari peradaban modern ini untuk sementara. Mari bayangkan kita hidup di suatu desa terpencil yang terisolasi. Desa ini indah dan anggun; dihiasi bunga bermekaran di tiap sudutnya. Hunian-huniannya pun dibangun dan dirancang dengan begitu apik; ia sederhana, bersahaja, dan karena itu pula ia tampak berwibawa. Iklimnya begitu sejuk. Mentari terbit mengundang kegembiraan dan tenggelam meninggalkan kedamaian. Masyarakatnya rukun, saling menolong, bahkan anggotanya rela berkorban demi kepentingan bersama.

    Di desa ini, kita belajar untuk mengutamakan kebahagiaan orang banyak. Rasa takjub dan kasih kita yang begitu besar kepada desa tercinta membuat kita enggan merusak wibawa kebudayaannya. Kita khawatir bahwa kepentingan diri kita yang kecil akan mengganggu kepentingan warga desa yang agung sebab, bagaimanapun juga, yang-kecil tak akan sebanding dengan yang-agung.

    Suatu ketika, seorang kakek tua jatuh sakit. Kita dan warga desa menyambanginya dengan harapan dapat membantunya. Saat sampai di rumah sang kakek, kita mengamati badannya yang telah begitu ringkih lemas tak berdaya. Sesekali, sang kakek pun mengeluh kesakitan. Dengan kondisi kakek yang demikian, kita setuju bahwa jikapun sang kakek sembuh, ia tak akan mampu kembali bekerja. Saat mendengar rembuk kita ini, sang kakek mengangguk setuju dan meringkik lemas, “Saya kesakitan. Saya juga telah lelah. Penggal kepala saya dan berikan potongan tubuh saya kepada babi ternak kalian. Setidaknya potongan tubuh saya punya manfaat yang besar. Saya tak mau lagi merepotkan kalian, apalagi anak-anak saya yang cantik dan tampan.”

    cara pandang manusia mengenai moralitas dapat berbeda tergantung kebudayaan yang membentuk diri sang manusia.

    Setelah mendengar saran bijak sang kakek, tanpa berpikir panjang, warga desa mengamini saran kakek, termasuk anak-anaknya. Tubuh kakek segera dibopong ke rumah jagal karena kita tentu tak mau sang kakek menderita lebih lama lagi. Tubuhnya yang lemah digeletakkan sedemikian rupa. Kapak yang biasa dipakai membelah leher babi kini diayunkan menyasar leher kakek yang berkeriput. Kepalanya terpisah segera. Badannya dicincang, disortir, dan dilempar ke kandang babi. Entah bagaimana, kita bisa melihat senyum meringis para babi. Mereka begitu lahap memakan daging sang kakek dan menari kegirangan setelahnya. 

    Sekarang, kembalilah pada diri Anda sebagaimana umumnya produk zaman Anda. Saya berharap, jika Anda berhasil berempati dan merasuki pengandaian yang saya karang, patutnya Anda merasakan gejolak emosi yang menggoncang kemapanan moral dalam diri Anda. Dalam pengandaian di atas, persoalan moral yang mencolok adalah membunuh orang tua yang sakit parah. Tentu, dalam kebudayaan modern, preferensi etis seperti itu akan dibuang. Namun, jika kita mampu menunda asumsi moral kita, melepas kerangkeng kemewaktuan zaman, dan mengakui bahwa preferensi etis untuk membunuh orang tua yang sakit benar-benar hadir dalam tradisi suku-suku Eskimo, kita bisa melihat persoalan moral secara lebih terang dan menyeluruh.

    Gagasan yang sedang berusaha saya paksakan masuk ke kepala Anda adalah bahwa pikiran kita, manusia, sedemikian terbentuk oleh lingkungan kita dan, sebagai akibatnya, doktrin moral tertentu begitu dalam tertancap dalam pikiran kita. Doktrin itu menggiring pikiran dengan sedemikian rupa memandang realitas dengan cara tertentu. Dengan demikian, pada akhirnya, cara pandang manusia mengenai moralitas dapat berbeda tergantung kebudayaan yang membentuk diri sang manusia. Dalam perbedaan itu, tidak ada yang lebih benar antara doktrin moral dalam kebudayaan tertentu dan kebudayaan yang lain. Pandangan tersebut disebut relativisme moral.

    Relativisme moral, terlepas dari saya berhasil meyakinkan Anda atau tidak, pada kenyataannya ditentang berbagai pihak. Kees Bertens (2013, hlm. 120–121) menulis bahwa relativisme moral tidak bisa diterima. Alasannya, konsekuensi-konsekuensi dari diterimanya doktrin ini menimbulkan kemustahilan. Untuk mendukung klaimnya ini, Bertens (2013, hlm. 121–123) mengajukan tiga kritik argumentatif untuk menyoal relativisme moral. Ketiga argumen itu adalah sebagaimana berikut:

    1. “Seandainya relativisme moral benar, maka tidak bisa terjadi bahwa dalam satu kebudayaan mutu etis lebih tinggi atau rendah daripada dalam kebudayaan lain.”
    2. “Seandainya relativisme moral benar, maka kita hanya perlu memperhatikan kaidah-kaidah moral suatu masyarakat untuk mengukur baik tidaknya perilaku manusia dalam masyarakat itu.”
    3. “Seandainya relativisme moral benar, maka tidak mungkin terjadi kemajuan di bidang moral.”

    Selain itu, saya juga menemukan klaim-klaim lain Bertens di luar ketiga argumennya itu yang tak kalah bermasalah, sebagaimana saya rinci berikut ini.

    1. Relativisme moral memfalsifikasi dirinya sendiri sebab, jika ia benar, relativisme moral pun relatif sehingga tak layak diterima (Bertens, 2013, hlm. 124). Konsekuensinya, relativisme moral salah.
    2. Terdapat dua jenis norma: norma dasar dan norma konkret (Bertens, 2013, hlm. 125). Norma dasar bersifat universal, sedangkan norma konkret dapat bersifat relatif. Oleh karena itu, norma konkret dapat ditolak, sedangkan norma dasar tidak. Dalam kasus pembunuhan orang tua dalam tradisi Eskimo, norma dasar yang mendorong perlakuan etis itu adalah “berbuat baik kepada sesama” dan norma konkretnya adalah “orang tua dalam keadaan lemah atau sakit harus dibunuh”.
    3. Jika relativisme moral salah, secara logis, absolutisme moral benar (Bertens, 2013, hlm. 123).

    Untuk menjawab keberatan-keberatan Bertens tersebut, kiranya saya perlu perangkat analisis yang cukup mapan. Dalam tulisan ini, saya akan menggunakan perspektif Friedrich Wilhelm Nietzsche yang berkaitan dengan moral. Saya akan menguraikan terlebih dahulu beberapa konsep pemikiran sang filsuf: perspektivisme, genealogi moral, dan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht). Saya akan menguak berbagai kecacatan argumen Bertens setelahnya. Tak luput, saya hadirkan saduran kesimpulan di akhir. 

    Metaetika Nietzsche

    Sebelum memasuki pembahasan mengenai filsafat Nietzsche, perlu dijelaskan terlebih dahulu, ”Apa itu metaetika?”. “Meta” dalam metaetika dapat dipahami sebagai upaya menjaga jarak untuk memandang “etika” (Fisher, 2014, hlm. 2, penekanan saya). Metaetika berarti upaya metaetikawan untuk menilik persoalan etika secara mendalam tanpa perlu larut ke dalamnya. Dengan demikian, pemahaman tentang etika secara terang dan menyeluruh dapat diperoleh. Dalam diskursus metaetika, paling tidak terdapat tiga persoalan yang dapat dianalisis di antaranya: (i) kebahasaan moral, (ii) psikologi moral, dan (iii) ontologi moral (Fisher, 2014, hlm. 3). Baik relativisme moral maupun perspektivisme dapat digolongkan ke dalam pembahasan ontologi moral, sedangkan genealogi moral dan kehendak untuk berkuasa berkaitan dengan psikologi moral.

    • Perspektivisme

    Tiap kita adalah manusia yang unik: kita berbeda satu sama lain; kita hadir dalam ruang-waktu yang berbeda. Begitulah kata Nietzsche (2020, bag. 354). Namun, kebutuhan manusia untuk berkomunikasimemerintah, memahami perintah, dan memahami diri sendirimemaksa manusia mengembangkan kesadaran secara evolusioner. Alhasil, sistem bahasa pun timbul berkat kesadaran. Kesadaran dan bahasa berkembang secara beriringan. Dengan demikian, menurut Nietzsche, kesadaran sejatinya punya kaitan erat dengan kodrat sosial kemanusiaan, bukan dengan kodrat individualnya. Sayangnya, kesadaran hanya merupakan “bagian yang paling dangkal dan terburuk” dari semua bentuk penalaran. Nietzsche menulis:

    “Inilah esensi fenomenalisme dan perspektivisme saat aku memahaminya: Karena hakikat kesadaran hewani, dunia yang kita sadari hanya merupakan permukaan dari dunia-tanda, dunia yang awam dan rendah; apapun yang menjadi sadar, ia menjadi tanda yang sama dangkal, lemah, relatif bodoh, awam, tanda kawanan; semua itu melibatkan penyimpangan, falsifikasi, reduksi-pendangkalan, dan generalisasi besar dan menyeluruh” (Nietzsche, 2020, bag. 354).

    Maka dari itu, menurut Nietzsche (2020, bag. 6), seluruh hasil kontemplasi filosofis sejauh ini hanya merupakan pengakuan personal dari pengarangnya, persis seperti suatu memoar. Memoar ini muncul begitu saja tanpa disadari. Sebagai pengarang, para filsuf moral dan epistemolog pun “terjerat dalam perangkap gramatika (metafisika rakyat)” (Nietzsche, 2021, bag. 354) yang di dalamnya moralitas terberi begitu sajaoleh lingkungan, kelas sosial, institusi keagamaan, Zeitgeist, cuaca, dan wilayah mereka (Nietzsche, 2021, bag. 186). Landasan moral yang selama ini mereka pijak, kata Nietzsche, “hanya merupakan satu bentuk terpelajar dari keimanan bagus dalam moralitas dominan, satu cara baru untuk mengekspresikan-nya” (Nietzsche, 2021, bag. 186, penekanan dari Nietzsche).

    Dengan demikian, perspektivisme dapat dipahami sebagai kerangkeng yang menjebak perspektif individual dalam keniscayaannya untuk mengada dalam ruang dan waktu. Manusia, seketat dan seteliti apapun ia, “tidak bisa menghindar untuk melihat dirinya sendiri dalam perspektifnya sendiri” (Nietzsche, 2020, bag. 374). Manusia pun tidak akan mampu mengenal  “Yang Tak-Dikenal”. Namun, bukan berarti segala upaya filosofis sia-sia dan tidak memiliki makna.

    Nietzsche (2020, bag. 374) menyarankan suatu cara pandang baru dalam menafsirkan realitas dan menyikapi pengetahuan. Hal ini membuat “dunia menjadi ‘tak terbatas’ bagi kita sekali lagi”. Pertama-tama, kita harus merayakan perspektif yang beragam! (Nietzsche, 1989, bag. 12 Esai III) Meski terdapat kelicikan dan kesia-siaan dalam tiap-tiap perspektif itu, kita kemudian perlu menilik perbedaan untuk menguasai sisi baik dan buruk masing-masing perspektif demi memperluas cakrawala pengetahuan dan demi pengembangan ilmu yang asimtotik. Semakin kaya cara pandang kita, semakin beragam sudut yang terlihat, semakin sempurna pengertian kita dengan “objektivitas” kita yang baru. Oleh karena itu, tak sepatutnya kita menerima apapun bentuk absolutisme atau objektivisme yang berbahaya dan fiktif. 

    Jika semua orang terpaksa memandang dalam perspektif yang berbeda, tak ada satupun perspektif yang sedemikian otoritatif. Ilmu pengetahuan, termasuk fisika, tidak lain hanyalah interpretasi, bukan penjelasan atas dunia yang sahih (Nietzsche, 2021, bag. 14). Sebabnya adalah ilmu semacam fisika mengandalkan indera-indera dan konsep-konsep manusia yang terbatas, sedangkan dunia an sich tak relevan dengan hal semacam itu. Demikian pula dengan moralitas sebagaimana yang akan dibahas selanjutnya. Dengan demikian, perlu ditekankan bahwa, perspektivisme Nietzsche tidak sama dengan relativisme. Sementara relativisme moral menganggap tiap penafsiran sama sahihnya, perspektivisme menolak kesahihan semua bentuk moralitas dengan argumen yang lebih mendalam (Poole, 1993, hlm. 150).

    • Genealogi Moral dan Kehendak untuk Berkuasa

    Istilah genealogi moral termuat dalam judul karya Nietzsche On genealogy of morals. Buku ini adalah upaya Nietzsche untuk menyelidiki persoalan psikologis yang menjadi akar dari semua gagasan tentang moral (Sunardi, 2006, hlm. 109). Dengan demikian, genealogi moral dapat diartikan sebagai upaya Nietzsche untuk menafsirkan fenomena-fenomena moral, melampaui batas moral, melalui pengakuan atas perspektivismenya. Upayanya ini dapat kita kategorikan dalam diskursus metaetika, sesuatu yang ekstra-moral.

    Nietzsche (1968, bag. 641) menyatakan bahwa hidup adalah proses-pemeliharaan umum (mode of nutrition) yang menyatukan kekuatan-kekuatan. Hidup adalah kehendak untuk berkuasa. Moralitas ialah ungkapan dari kekuatan-kekuatan atau dorongan-dorongan itu sebab evaluasi moral sejatinya hanya “sebuah exegesis, suatu bentuk penafsiran” yang berasal dari pengaruh-pengaruh yang mengendap dalam diri (Nietzsche, 1968, bag. 254). Evaluasi moral semata merupakan gejala dan pertanda kebahasaan yang menyalahi proses-pemeliharaan hidup, suatu kesadaran atas perkembangan. “Tidak ada fenomena moral, yang ada hanya interpretasi moral atas fenomena-fenomena. Interpretasi itu sendiri adalah asal dari ekstra-moral” (Nietzsche, 1968, bag. 258).

    Tidak ada fenomena moral, yang ada hanya interpretasi moral atas fenomena-fenomena. Interpretasi itu sendiri adalah asal dari ekstra-moral (Nietzsche, 1968, bag. 258).

    Kehendak untuk berkuasa adalah esensi dari dunia (Nietzsche, 2021, bag. 186). Segala-galanya dijiwai oleh kehendak untuk berkuasa dalam dinamika dunia yang kacau (Sunardi, 2006, hlm. 62). Bagi Nietzsche, klaim-klaim moral karangan para filsuf, seperti “ada suara kebenaran dalam jiwa manusia” atau “terdapat moralitas yang absolut” semata merupakan buah dari kehendak mereka untuk berkuasa (Nietzsche, 2021, bag. 187). Karangan yang disebut moralitas itu, boleh jadi, ada untuk menjustifikasi, menenangkan, dan mengizinkan pengarangnya untuk berpuas diri atas binar mata kekaguman yang tampak dalam mata para kawanannya. “Singkatnya, bahkan moralitas hanya merupakan satu bahasa tanda dari perasaan!” hemat Nietzsche (2021, bag. 187, penekanan dari Nietzsche).

    Terdapat dua tipe moralitas: moralitas tuan dan moralitas budak. Moralitas budak harus selalu memusuhi dunia luar, suatu hal yang sama sekali berbeda dengan dirinya, demi eksistensinya (Nietzsche, 1989, bag. 10). Sebaliknya, moralitas tuan merayakan kehidupan; ia mengafirmasi dirinya sendiri. Ia menilik hal di luar dirinya semata untuk pertumbuhan dirinya.

    Naluri para budak membuat mereka takut sekaligus benci kepada tuan-tuan mereka yang kuat, cerdas, bebas, dan kreatif (Sunardi, 2006, hlm. 124–126). Dengan budak memusuhi kehendak untuk berkuasa, memusuhi konflik, mereka memusuhi kehidupan pula. Didorong oleh ressentiment itu, para budak mengarang landasan moral untuk membatasi tuannya: budak membelot dengan cara mengerangkeng tuannya dengan jeruji moralitas. Maka, sejatinya, kepengecutan adalah ibu dari moralitas (Nietzsche, 2021, bag. 201). Nietzsche pun menulis:

    “Satu kespiritan yang tinggi dan independen, satu kehendak untuk berdiri sendirian, bahkan satu bakat rasio yang sempurna, akan dipahami sebagai sebuah ancaman. Segala yang mengangkat individu ke atas kawanan dan menakutkan tetangga oleh karena itu akan disebut sebagai jahat; sikat patut, sederhana, rendah hati, menyamakan dan kemediokeran hasrat mendapatkan nama dan kehormatan-kehormatan moral. […] ‘kambing’ dan ‘domba’ bahkan lebih mendapatkan respek” (Nietzsche, 2021, bag. 201, penekanan dari Nietzsche).

    Oleh karena itu, para budak menerima moral tanpa syarat sebab, bagi mereka, ketaatan adalah hal yang utama. Sayangnya, kerangkeng moral karangan para budak tak mempan terehadap tuan mereka sebab para tuan adalah penjelajah artistik yang tak terikat oleh moralitas-kawanan milik para budak itu (Sunardi, 2006, hlm. 124–126). Moralitas tuan melampaui baik dan jahat (böse) ala budak. Bagi tuan, yang ada hanya baik dan jelek (schlecht). Jelek berarti semua kelemahan yang dicirikan oleh kawanan dekaden, sedangkan baik berarti sesuatu yang mengembangkan kehendaknya untuk berkuasa, membuatnya semakin edgy. Para tuan akan berteriak, “kamilah yang ningrat, kami baik, elok, dan bergairah” (Nietzsche, 1989, bag. 10 Esai I).

    Permasalahan Argumen Bertens

    Sampailah kita kepada inti persoalan: kecacatan argumen Bertens. Dari keenam poin argumennya, poin (a), (b), dan (c) memiliki maksud yang sama sehingga akar permasalahannya pun sama. Maka dari itu, saya akan meringkas poin-poin itu dalam Premis I. Untuk lebih menerangkan permasalahan, saya menafsirkan argumen Bertens ke dalam bentuk silogisme dan menambahkan asumsinya yang implisit sebagaimana berikut.

    • Premis I (deskriptif): Relativisme moral benar ⸧ masing-masing sistem moral telah sempurna ⸧ tidak ada moral yang lebih tinggi daripada yang lain ⸧ kemajuan moral tidak dimungkinkan.
    • Premis II (deskriptif): Terdapat kemajuan dalam bidang moral. (Akan saya bantah!)
    • Premis II’ (preskriptif): Harus ada kemajuan dalam bidang moral.
    • Kesimpulan I (deskriptif): Relativisme moral salah ⸧ absolutisme moral benar (Akan saya bantah!)
    • Kesimpulan II (deskriptif): Relativisme moral salah.

    Bertens (2013, hlm. 123) mengira moralitas sedang bergerak maju menuju kesempurnaan absolut hanya berdasarkan perbudakan dan penjajahan yang terhapuskan. Baginya, kemajuan moral adalah fakta dan oleh sebab itu adalah keharusan untuk membuat moralitas lebih maju. Persis, prasangka atas “kemajuan” itulah yang diejek Nietzsche (2021, bag. 201). Menurut Nietzsche, tidak ada kemajuan moral, tetapi hal yang ada hanyalah dinamika moral yang timbul dalam konflik antar-kehendak untuk berkuasa.

    Tampak bagi saya bahwa Bertens terjebak dalam kemenjadian-nya: ia terikat kepada lingkungannya secara niscaya. Dengan kata lain, pengetahuannya tersituasikan. Prasangka bahwa moralitas zamannya lebih maju adalah sebuah ilusi; ke-maju-an itu, pada kenyataannya, relatif. Bagaimanapun juga, Bertens tak akan mampu membayangkan betapa salahnya ia di hadapan manusia masa depan yang ia kira lebih bermoral. Oleh karena itu, Premis II saya bantah. Saya mengajukan Premis II’ sebagai gantinya sebab saya pikir itu yang Bertens inginkan.

    Menurut Nietzsche, tidak ada kemajuan moral, tetapi hal yang ada hanyalah dinamika moral yang timbul dalam konflik antar-kehendak untuk berkuasa.

    Dalam pandangan saya, Bertens telah membuktikan kualitasnya sebagai budak: spesimen ressentiment. Ia hanya mengandalkan naluri para kawanan atau jemaahnya untuk memenangkan argumennya. Absolutismenya tak lain hanyalah manifestasi dari kehendaknya untuk berkuasa yang lemah. Bertens, meminjam kata-kata Nietzsche (2021, bag. 186), “bahkan menegakkan satu tipe penyangkalan bahwa moral-moral ini bisa dipandang sebagai suatu masalah.”

    Bertens, secara ironis, tak mampu membedakan antara persoalan metaetika dan etika. Ironi ini dapat kita kenali melalui argumen Bertens poin (d). Relativisme moral sebagai teori metaetika berada di aras yang lebih tinggi sehingga kebal atas konsekuensi logis di aras lebih rendah yang menjadi sasarannya: etika normatif. Maka dari itu, konsekuensi dari teori metaetika tidak harus ditindaklanjuti dalam diskursus etika normatif; logika kita boleh melompat. Oleh karena itu, menurut saya, konsekuensi dari relativisme moral yang disebut oleh Bertens dapat sepenuhnya kita kesampingkan.

    Menyoal poin (e), Bertens tidak jelas dalam membedakan norma dasar dan norma konkret. Dipersenjatai oleh ketidakjelasan itu, ia memperlakukan moralitas kebudayaan lain secara semena-mena berdasarkan perspektif zamannya yang ekslusif. Atas dasar apa ia menilai “menolong sesama” itu lebih mendasar daripada “tidak membunuh orang lain”? Atas dasar apa pula ia menganggap “membunuh orang lain” lebih konkret daripada “menolong sesama”? Distingsi antara kedua jenis norma, tampak bagi saya, hanya mengada-ada.  

    Pada argumen Bertens di atas, kesimpulan yang diinginkannya adalah bahwa absolutisme moral benar dipaksakan masuk, bahkan sebelum dilakukan penalaran. Bertens mengharapkan suatu kemajuan moral dan secara implisit mengandaikan suatu tujuan akhir atas dinamika dunia, yakni moralitas yang absolut. Alhasil, ia hanya menyajikan argumen yang sirkular: kesimpulannya diasumsikan demi memperoleh kesimpulan. 

    Kecacatan argumen sirkularnya bisa saya ikhlaskan jika ia mengakui sifat asimtotis pengetahuan, sebagaimana Nietzsche. Namun, alih-alih demikian, ia malah terjebak dalam cacat logika yang lain: false dilemma. Bertens menghadirkan dilema palsu antara relativisme dan absolutisme, padahal masih ada alternatif lain yang dapat dijelajahi. Jika kita kesampingkan sejenak perbedaan subtil antara relativisme dan subjektivisme, antara absolutisme dan objektivisme, kita masih memiliki alternatif pandangan, yakni intersubjektivisme. Bertens, entah mengapa, menafikan pandangan ini. Berdasarkan kedua cacat logika di atas, saya menyangkal argumen Bertens poin (f) yang juga ada pada Kesimpulan I.

    Ironi lain dari Bertens adalah bahwa ia tampaknya memungkiri konten tulisannya sendiri. Untuk menunjukkan ironi itu, saya mengutip tulisan Bertens (2013, hlm. 17) sendiri, bahwa terdapat dua ranah berbeda: ranah faktual/deskriptif yang dicirikan oleh the is question dan ranah normatif yang dicirikan oleh the ought question. Metaetika, jelas, berada di ranah deskriptif, sedangkan etika umumnya berada di ranah normatif/preskriptif. Para filsuf bersepakat, masih kata Bertens, bahwa kesimpulan deskriptif tidak boleh dihasilkan oleh premis normatif/preskriptif. Dengan ini, pada akhirnya, keseluruhan argumen Bertens runtuh!

    Penutup

    Harus saya akui, saya belum mengkaji lebih jauh pandangan etika Bertens secara menyeluruh. Saya hanya menggunakan satu sumber karya Bertens, yaitu sebuah pengantar etika. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan revisi pemikiran oleh Bertens atau kompleksitas pemikirannya yang belum terakses. Singkatnya, tulisan ini memuat suatu kekurangan yang cukup fatal, di samping kekurangan-kekurangan lain.

    Selain itu, jika menimbang sekali lagi objek formal yang saya gunakan, terdapat banyak kontradiksi yang memusingkan dalam pemikiran Nietzsche sendiri, sebagaimana yang telah umum diketahui. Soal distingsi antara is statement dan ought statement, misalnya, Nietzsche sebetulnya menolak distingsi itu mentah-mentah (Sunardi, 2006, hlm. 116). Fakta maupun moral, bagi Nietzsche (1968, bag. 258), tidak ada. Hal yang ada hanya interpretasi–batas antara yang-faktual dan yang-moral lebur porak-poranda. Akan tetapi, kalau begitu, apa sebetulnya yang diocehkan Nietzsche selama ini? Apakah ia suatu fakta sosiologis yang harus kita terima: suatu hal yang katanya tidak ada dan hanya interpretasi? Atau sebetulnya hanya khotbah moral dalam bentuknya yang baru: suatu hal yang selama ini ia olok sendiri?

    Bagi saya, daya tarik filsafat Nietzsche bukan argumentasi logis yang sistematis karena itu pula yang ia tolak; kontradiksi dianggapnya sebagai mainan (Meyer, 2014, hlm. 230). Rasionalitas bukan lagi perangkat utama dalam menyelami enigma pemikirannya: rasionalitas telah ditendang. Daya tarik Nietzsche terletak di keberaniannya, ketulusannya, dan keterusterangannya dalam mengungkap kebenaran sebagai hal yang dihasrati oleh kehendak untuk kebenaran (will to truth) yang merupakan manifestasi dari kehendaknya untuk berkuasa. Nietzsche, pada kenyataannya, juga merupakan manusia pula yang tak luput dari filsafatnya sendiri; ia terjebak perspektif dalam kemewaktuan zamannya, seteliti apapun ia. Ia hanya menginterpretasi interpretasi.

    Mengulangi pola yang sama di atas, beberapa pembaca kemungkinan sangat besar, secara masuk akal, akan mengolok saya karena saya mencerca argumen cacat Bertens dengan argumen yang tak kalah cacat. Masuk akal pula jika saya diolok karena saya mengolok lompatan logika dan iman Bertens ketika saya sendiri pun melompat. Namun, bagaimanapun, biarlah kita saling olok cara melompat satu sama lain sebab demikianlah kita berdinamika: demikianlah kita mengadu kehendak untuk berkuasa kita. Berbahagialah jiwa yang gelisah dalam perbudakannya terhadap kehendak untuk berkuasa. Kesimpulan yang ganjil ini, saya akui, tak pernah patut dibaca.

     

    DAFTAR PUSTAKA

    Bertens, K. (2013). Etika. Kanisius.

    Fisher, A. (2014). Metaethics: An introduction. Routledge.

    Kaufmann, W. A. (2011). Nietzsche: Philosopher, psychologist, antichrist (4. ed., 20th pr). Princeton University Press.

    Meyer, M. (2014). Reading Nietzsche through the Ancients: An Analysis of Becoming, Perspectivism, and the Principle of Non-Contradiction. De Gruyter.

    Nietzsche, F. (1968). The will to power (W. A. Kaufmann, Ed.; W. A. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Penerj.; Vintage Books ed). Vintage Books.

    Nietzsche, F. (1989). On the genealogy of morals (W. Kaufmann, Ed.; W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Penerj.). Vintage Books.

    Nietzsche, F. (2020). The Gay Science: Sains yang mengasyikkan (H. Risalatul, Penerj.). Antinomi.

    Nietzsche, F. (2021). Beyond Good and Evil: Prelude Bagi Filsafat Masa Depan (C. S. KM, Penerj.). Jalan Baru.

    Poole, R. (1993). Moralitas dan modernitas: Di bawah bayang-bayang nihilisme (H. Fransisco Budi, Penerj.). Penerbit Kanisius.

    Sunardi, S. (2006). Nietzsche (Cet. 5). LKiS.

     

    Author

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Menyingkap Keterasingan Manusia Lewat Banalitas Keseharian

    Tidak dipungkiri lagi, mahasiswa erat dengan jadwal padat yang selalu menghampirinya setiap saat. Pagi hari, sekitar pukul...

    Post-Truth: Konsekuensi atas Keruntuhan Modernitas

    Seperempat paruh awal abad ke-21 ini, manusia dihadapkan kepada pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendisrupsi masyarakat....

    Hausu dan Hauntopoanalisis

    Rumah bukanlah sekadar bangunan fisik yang memiliki wujud konkret, melainkan ruang metafisik yang abstrak dan memiliki agensi...

    Sebuah Hikayat dari Tanah Para Pencari Kebenaran Dunia

    Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari...

    Polemik Hermeneutis Gadamer dan Habermas

    “Kalau Anda ingin mendengarkan Heidegger dengan lebih mudah, bacalah (tulisan) Gadamer.” Begitulah ucapan Fransisco Budi Hardiman saat...

    Metalearning? Di Balik Cognitive Load Theory

    Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari keberadaan seorang guru dalam melakukan pengajaran. Isu tentang pentingnya keberadaan seorang...