“Bulu Angsa” dalam realitasnya digunakan untuk beberapa keperluan seperti kemoceng, shuttlecock atau pena (yang terakhir ditulis, erat kaitannya dengan bidang keilmuan, namun pena dari bulu sudah tidak dimanfaatkan lagi). Dari banyak kegunaan bulu angsa, mungkin dapat ditarik kesimpulan bahwa bulu angsa adalah benda yang memberi manfaat. Namun kesimpulan tersebut tentu saja melukai intelektualitas kita. Bahkan (mungkin) seorang bocah pun dapat membuat kesimpulan seperti itu, tapi seorang bocah tak pantas atau dianggap (belum) pantas untuk menulis sebuah esai. Tapi bukankah kita semua adalah bocah?
Dalam kegelapan pikiran, sejujurnya tidak ada ide apapun yang timbul untuk menjelaskan mengenai “Bulu Angsa” secara jelas, apalagi secara filosofis. “Bulu Angsa” hanya dimaknai sebagai “Bulu Angsa” tanpa anggapan tertentu mengenai hal tersebut. Selain karena keterbatasan kemampuan berpikir, tentu saja kurangnya pengalaman empiris mengenai “Bulu Angsa” memaksa otak untuk berpikir dan menjawab keraguan mengenai hal yang tidak dipahami. Menemukan makna terpendam dari “Bulu Angsa” membutuhkan proses berpikir yang amat sangat melelahkan.
Dan saat kembali ke tema, dari kerumitan proses berpikir, anggapan bahwa “Bulu Angsa” dapat dijelaskan dan bermakna dengan melupakan “Angsa” adalah sesuatu yang salah. Maka, “Angsa” yang sebenarnya pantas menjadi tema. Jika mengulas mengenai “Angsa” didapati bahwa: ia dikenal sebagai makhluk yang indah, menggambarkan sebuah romantisme dan kesetiaan, karena angsa dikenal sebagai hewan monogami, atau hanya memiliki satu pasangan. Maka tak salah apabila Angsa dipandang sebagai simbol dari cinta dan kesetiaan.
Meskipun setia terhadap pasangan tak membuat Angsa hanya hidup berdua. Mereka tetap setia pada pasangan tanpa melupakan kolektivitas mereka sebagai sebuah kawanan. Bahkan, dalam melakukan migrasi mereka berkelompok dalam suatu formasi yang menunjukan kecerdasan mereka. Formasi “V” yang diterapkan sekelompok Angsa membuat jarak tempuh perjalanan menjadi semakin jauh dari perjalanan yang dilakukan sendirian karena tekanan angin dapat dihadapi secara bersama-sama. Dari hal tersebut dapat diambil pelajaran bahwa Angsa memiliki sebuah kecerdasan dan kerjasama tim.
Selain perlambang cinta dan memiliki kecerdasan serta kekompakan, ada satu hal yang tidak dapat dipisahkan dari Angsa, yaitu kemampuan hidup di langit, darat maupun air. Kemampuan “Angsa” untuk hidup di tiga tempat merupakan suatu anugerah dari apa yang ada padanya. Sebuah hal kecil yang sepele, “Bulu Angsa”. Di sinilah peran penting “Bulu Angsa” dalam menunjang “Angsa” untuk menjalani kehidupan. Di kehidupan air, “Bulu Angsa” membantu “Angsa” untuk tetap kering meskipun menenggalamkan diri ke dalam air. Mengapa demikian? Karena pada “Bulu Angsa” terdapat semacam lapisan minyak yang menjaga air agar tidak terserap “Bulu Angsa”. Di udara, “Angsa” akan sangat terbantu dengan kemapuan aerodinamis “Bulu Angsa” dan sudah barang tentu jika “Angsa” dapat menulis sebuah catatan, seharusnya “Bulu Angsa” masuk ke dalam daftar hal-hal yang seharusnya “Angsa” syukuri.
Sebuah pernyataan konyol yang seharusnya tidak masuk ke dalam esai ini dan bahkan dibuang dari pemikiran. Bagaimana mungkin berharap “Angsa” untuk dapat menulis? Pemikiran imajinatif semacam ini hanya ada dalam cerita fiksi anak-anak. Namun sebenarnya dari pemikiran ini, didapat sebuah pertanyaan yang lagi-lagi konyol, jika “Angsa” dapat menulis, apakah dia dapat menulis sebagus manusia atau malah menandingi kualitas tulisan manusia?
Di masa ketika “Bulu Angsa” merupakan hal penting dalam proses penulisan, Kitab Suci ditulis dan disebarkan, dan mungkin beberapa hasil tulisan dari para pemikir abad pertengahan telah lahir. Ide-ide yang tertuang bersamaan dengan tarian jari-jemari dengan “Bulu Angsa” sebagai teman tarian, yang menghasilkan pemicu-pemicu untuk pemikiran-pemikiran yang hadir di masa selanjutnya. Descartes lahir kembali dari sekadar seorang anak manusia, penganut agama menjadi seorang yang dipandang sebagai pemikir yang membawa alam pemikiran manusia ke dalam era yang baru, rasionalitas. “Bulu Angsa” seakan tidak memiliki peran dalam hal ini, tapi bukankah tanpa “Bulu Angsa” yang dengan rela menari memenuhi hasrat penuh gairah dari para penulis untuk menyalurkan ide ke dalam secarik kertas, Galileo akan mencoret seluruh Italia, Shakespeare akan lelah bercerita, Descartes akan kebingungan sendirian, dan Amerika tak dapat merdeka? Maka, “Bulu Angsa” dapat dimaknai sebagai sebuah simbol kemajuan.
Namun, sudah beratus-ratus tahun lalu semenjak “Bulu Angsa” terakhir dimanfaatkan untuk sebuah penulisan. Sepanjang waktu yang berlalu itu, sudahkah tulisan manusia meningkat, dalam hal kualitas? Kini dari hanya sekadar ide yang tertanam dalam tumpukan kertas-kertas lusuh, telah hadir pensil, pulpen, mesin cetak, mesik ketik, keyboard, komputer, smartphone, dan masih dalam pertanyaan yang sama, sudahkah kualitas tulisan manusia meningkat? Malulah umat manusia jika sekiranya segala alat yang ada hanya dapat menyuguhkan romantisme semu para remaja di hadapan para pedofil binal di media sosial. Jika kemajuan dan modernitas hanya dimaknai dengan pemikiran yang berpusat pada sisi emosional manusia, malulah umat manusia kepada “Angsa” yang dapat menjadi simbol kesetiaan dan bahkan manusia harus kebingungan dengan penemuan Angsa hitam.
Ada baiknya bila manusia kritis terhadap nasib spesies mereka sendiri. Sepeninggal Socrates dan beberapa para pemikir lain yang dengan susah payah menyibak tirai ketidaktahuan yang membawa peradaban melaju hingga masa modern bukannya melahirkan para pemikir cemerlang lain dan malah menjadi umat manusia yang puas meminum keringat jerih payah ketimbang memilih menyibukkan diri dengan kerumitan alam berpikir pemikir-pemikir dunia.
“Bulu Angsa” masihkah menjadi simbol progresivitas umat manusia? Di masa kini, di saat manusia tak lagi peduli, pada alam, pada sesama manusia atau bahkan kepada apapun, sikap apatis harus dilawan dengan kesucian niat untuk setidaknya sekadar peduli terhadap segala hal, apapun, bahkan mungkin hal-hal yang tidak dianggap penting. “Bulu Angsa” harus dimaknai dengan sisi dari dirinya yang lain, yaitu kesucian. Bukan karena ia putih bersih, tapi kemampuan untuk tetap kering meski tenggelam dalam genangan jutaan butir air, menggeser makna “Bulu Angsa” sebagai simbol progresivitas alam pemikiran umat manusia menjadi sebuah simbol kesucian alam berpikir dari kerumitan realitas-realitas di sekitar kita. Simbol niat untuk tetap peduli dan menjawab setiap permasalahan keduniaan.
Hingga akhirnya, di manakah posisi kita? Bagian dari arus umat manusia yang memilih tak peduli dan mencampakan keinginan untuk tetap menjadi seorang pemikir atau sebagai para pemikir yang seringkali dipandang dan dinistakan sebagai pengkhianat terhadap ketetapan-ketetapan irasional yang tumbuh dari sikap tak peduli? Jika kita memilih untuk tak peduli dan memutuskan menjadi seorang apatis, serahkan saja tugas kepenulisan kepada “Angsa”, biarkan mereka tulis kebodohan-kebodohan umat manusia yang memilih untuk menyingkirkan akal dari pikiran mereka.
*Esai ini ditulis dalam rangka penerimaan anggota baru Lingkar Studi Filsafat Cogito generasi III 2015