spot_img
More

    Antara “Dasein” dan “das Man”

    Featured in:

    Kita hidup di dunia yang semakin cepat. Kecepatan menjadi norma kehidupan sosial masa kini khususnya di kalangan urban society (masyarakat perkotaan), sebagaimana dikatakan Yasraf A. Piliang, “Kecepatan, kini tidak saja menjadi ukuran kemajuan, ia bahkan menjadi paradigma sosial, politik, ekonomi, budaya dan kehidupan kontemporer” (Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, 2010:81). Kecepatan adalah konsekuensi logis di mana masyarakat telah terkoneksi satu sama lain melalui revolusi teknologi komunikasi sehingga batas-batas antara satu wilayah atau negara tidak lagi menjadi halangan.

    Kehidupan yang menjadikan kecepatan sebagai norma sosial terkadang melarutkan diri manusia dalam anonimitas dan ketidaksadaran.

    Di balik dunia yang bergerak cepat dan memaksa kita beradaptasi untuk menyesuaikan irama kecepatan kita agar tidak tertinggal dalam kemajuan dan perubahan, sikap menjaga jarak terhadap arus kehidupan dan bersikap reflektif adalah barang mahal saat ini. Kecepatan, ketepatan, kecekatan telah mengonstruksi kepribadian kita menjadi mesin yang selalu harus bergerak cepat dan tepat. Namun manusia bukan mesin. Manusia bukan hanya seonggok daging tanpa sebuah kesadaran. Manusia bukan mesin kecerdasan tanpa perasaan. Ada aspek psikis dan spiritual yang harus dipenuhi untuk mengisi dan menyegarkan kembali fungsionalitas kesadaran, kecerdasan, kecepatan, kecekatan.

    Kehidupan yang menjadikan kecepatan sebagai norma sosial terkadang melarutkan diri manusia dalam anonimitas dan ketidaksadaran. Kita kerap mengabaikan persoalan-persoalan eksistensial yang kerap kita hadapi sehari-hari dan menjadikan rutinitas pekerjaan sebagai cara bagi kita untuk mengabaikan dan melupakannya.

    Ketakutan, keputusasaan, kebosanan, keterasingan (alienation), situasi yang tidak masuk akal (absurd), kebebasan, komitmen, ketiadaan (nothingness) adalah persoalan-persoalan eksistensial yang kerap dijumpai dan di alami dalam keseharian namun manusia tidak cukup waktu atau bahkan mengambil jarak untuk mengatasi semua persoalan eksistensial tersebut dengan cara yang otentik. Sebaliknya, kita kerap terjatuh pada sikap-sikap dan cara berada yang tidak otentik dalam mengatasi problem eksistensial tersebut.

    Dengan cara bagaimana kita mengambil sikap dan berada secara tidak otentik? Dengan melarikan diri dari kenyataan (keterlibatan pada obat-obatan terlarang), memasuki kelompok-kelompok penyimpang sosial, menyibukkan diri dengan pekerjaan dan menjadikannya sebagai medium melupakan persoalan eksistensial yang harus dihadapi. Bahkan yang terburuk adalah membunuh dirinya sendiri dikarenakan ketidakmampuannya mengatasi problem eksistensial yang begitu akut.

    Sikap dan cara berada yang tidak otentik ditunjukkan pula oleh ketidakmampuan mengambil keputusan secara invidual terhadap berbagai hal yang tidak menyukakan dirinya dan larut dalam lautan massa dan kolektivitas demi menyesuaikan diri. Suara orang banyak lebih menentukan sikap dan perilaku diri kita sehingga individualitas dan otentisitas kedirian kita tersembunyi atau bahkan tertindih.

    Dasein juga mewakili sikap-sikap dan cara berada manusia yang otentik dalam menghadapi berbagai persoalan eksistensial

    Sikap dan cara berada yang otentik dan tidak otentik manusia dalam menghadapi problem eksistensial melahirkan istilah yang oleh Martin Heideger, filsuf eksistensialis non teistik dalam bukunya Sein und Zeit (Being and Time) sebagai Dasein dan das Man. Apa itu Dasein dan das Man? Heideger menghindari istilah “manusia” (man) dan menggunakan istilah Dasein. Istilah manusia lebih menunjuk pada objek atau sesuatu sementara Dasein menunjukkan sikap dinamis dan aktif atau cara berada yang khas.

    Istilah Dasein sendiri adalah bahasa Jerman yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi Being-there (ada di sana). Apa yang dimaksudkan dengan “Ada di sana”? Bahwasanya Dasein tanpa diketahui telah ada begitu saja sebagai sebuah keniscayaan. Dalam bahasa Heideger diistilahkan dengan “faktisitas” dan “keterlemparan”. Nama lain untuk Dasein (Being in there) adalah In der Welt sein (Being in the world), maksudnya bahwa keseluruhan dari Dasein berada sepenuhnya di dalam dunia.

    Sikap-sikap tidak otentik dari manusia yang diwujudkan dalam anonimitas dan larut dalam berbagai gerak kehidupan tanpa sebuah kesadaran reflektif serta mengikuti arus kolektifitas kemanusiaan diistilahkan dengan das Man

    Dasein juga mewakili sikap-sikap dan cara berada manusia yang otentik dalam menghadapi berbagai persoalan eksistensial sebagaimana dikatakan Emanuel Prasetyono, Dengan istilah tersebut, dengan cukup pelik Heideger menguraikan tentang manusia sebagai entitas yang mengada yang terarah pada penemuan diri…Menurut Heideger, pilihan-pilihan dalam pelbagai kemungkinan adalah yang mewarnai Dasein. Dasein (Ada-di-sana) terbuka pada segala kemungkinan. Ada-ku berada dan mengada dalam kemungkinan-kemungkinannya. Otentisitas ditunjukkan dengan cara Ada-ku dalam memilih dan menetapkan pilihan-pilihan diantara segala kemungkinan yang ada. Dasein bisa memenangkan pilihan yang telah dipilihnya atau sebaliknya gagal. Hidup yang otentik berada dalam kesadaran diri sebagai Ada yang menyingkapkan rupa pemilihan-pemilihan. Dan itu tentu membutuhkan saat-saat reflektif. Hidup yang tak terefleksikkan dan yang tidak mengarah kepada kesadaran diri sebagai Ada yang menyingkapkan dirinya adalah hidup yang tidak otentik, sangat riskan oleh kamuflase dalam rupa-rupa gaya hidup yang larut dalam kegembiraan, euforia berlebihan, kenikmatan-kenikmatan (Tema-Tema Eksistensialisme: Pengantar Menuju Eksistensialisme Dewasa Ini, 2014:69). Otentisitas Dasein ditunjukkannya dengan kemampuannya menjaga jarak dengan berbagai peristiwa yang dialami dan harus dihadapinya dan berrefleksi serta mengambil keputusan secara eksistensial dan tidak larut dalam kolektivitas dan anonimitas

    Sementara sikap-sikap tidak otentik dari manusia yang diwujudkan dalam anonimitas dan larut dalam berbagai gerak kehidupan tanpa sebuah kesadaran reflektif serta mengikuti arus kolektifitas kemanusiaan diistilahkan dengan das Man sebagaimana dikatakan F.X. Hardiman, Cara berada Dasein dalam keseharian ini disebut oleh Heideger das Man, kata impersonal yang berarti ‘orang’. Dalam bahasa Indonesia, kata ‘orang’ juga bersifat impersonal, tidak menunjuk pada hidup seorang pribadi pun anonim. Kata orang begini. Orang bilang begitu. Tak jelas siapa yang berkata dan bilang” (Heideger dan Mistik Keseharian, 2016:72). Istilah das Man mewakili cara berada yang tidak otentik di mana individu kehilangan kemampuan untuk mengambil keputusan secara bertanggung jawab dan kerap terkurung dalam kesadaran palsu sehingga lebih mengikuti arus massa tanpa keberanian untuk mengambil sikap yang berbeda. Tegangan antara cara berada Dasein dan das Man digambarkan lebih lanjut oleh Hardiman sbb, Drama Dasein terjadi di dua sisi: pertama, apabila dia melarutkan diri sepenuhnya pada cara mengada das Man, yakni menjadi anonim dengan mengikuti mode….Kedua, jika Dasein mengalami patahan dari alunan kesehariannya atau katakanlah, menyembul keluar kolam keseharian dan bergumul dengan Ada-Nya” (Ibid., hal 73-74).

    Berkaitan dengan sikap dan cara berada yang otentik dan tidak otentik, filsuf eksistensialis teistik bernama Soren Kierkegaard yang dijuluki Bapak Eksistensialisme telah mengupas secara panjang lebar dalam bukunya. Baginya, Keberadaan tak sejati (inauthenthic exixtence) ini diterangkan oleh Kierkegaard sebagai suatu keadaan di mana manusia berada bukan sebagai individu di hadapan [Tuhan], melainkan sebagai sebuah fragmen, sebagai fraksi, sekadar sebagai anggota dari Yang Satu (The One) dari publik atau asosiasi yang tanpa wajah, melulu tenggelam dan lebur dalam universalitas, kolektivitas atau totalitas” (Ostina Panjaitan, Manusia Sebagai Eksistensi Menurut Pandangan Soren Kierkegaard, 1992:45). Sebaliknya, “…Eksistensi sejati manusia sebagai individu yang berada adalah keadaan di mana ia mengalami pertalian diri yang autentik dengan [Tuhan], sebab dalam hubungan dengan [Tuhan] inilah manusia mencapai penyempurnaan diri tertinggi” (Ibid., hal 55)

    Problem eksistensial akan tetap menyertai perjalanan manusia karena manusia sendiri adalah sebuah eksistensi. Manusia bukan sekadar ada melainkan menjadi dan terlibat serta membentuk garis kehidupannya sendiri. Cara berada manusia yang otentik adalah menghadapi dan mengatasi problem eksistensial bukan dengan mengabaikan serta melarikan diri darinya serta melarutkan diri dalam anonimitas gerak modernitas. Cara berada yang otentik adalah dengan keyakinan dan keberanian serta tanggung jawab sebagai individu mengatasi berbagai problem eksistensial. Menjadi Dasein atau das Man-kah Anda?

    Author

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Kritik Mukjizat dari Skeptikus Empirisme Radikal

    Doktrin agama memuat ajaran yang kebenarannya mutlak bagi suatu pemeluk agama tertentu. Doktrin merupakan aturan yang bersifat...

    Menyingkap Keterasingan Manusia Lewat Banalitas Keseharian

    Tidak dipungkiri lagi, mahasiswa erat dengan jadwal padat yang selalu menghampirinya setiap saat. Pagi hari, sekitar pukul...

    Post-Truth: Konsekuensi atas Keruntuhan Modernitas

    Seperempat paruh awal abad ke-21 ini, manusia dihadapkan kepada pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendisrupsi masyarakat....

    Hausu dan Hauntopoanalisis

    Rumah bukanlah sekadar bangunan fisik yang memiliki wujud konkret, melainkan ruang metafisik yang abstrak dan memiliki agensi...

    Sebuah Hikayat dari Tanah Para Pencari Kebenaran Dunia

    Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari...

    Ampun, Romo Bertens: Argumen Absolutis Anda Bermasalah

    Buang semua asumsi moral dan pengetahuan yang kita dapat dari peradaban modern ini untuk sementara. Mari bayangkan...