Gagasan bahwa karya seni harus merupakan artefak adalah asumsi yang perlu ditilik kembali. Gagasan itu terlihat pada paruh akhir abad ke-20 melalui George Dickie dalam perumusan teori institusionalisme seninya. Dalam The Art Circle, Dickie (1984) merumuskan teorinya sebagai berikut: “x adalah karya seni jika dan hanya jika (1) x adalah sebuah artefak dan (2) x merupakan bagian dari ragam (kind) yang dibuat untuk ditunjukkan kepada publik seni.” Dari hal ini, penulis akan memperlihatkan problem asumsi artefaktualitas seni. Penulis menggunakan seni AI (artificial intelligence)—objek yang dibuat tanpa agensi manusia dan, karenanya, bukan sebuah artefak—sebagai contoh untuk mempertimbangkan bahwa seni tidak niscaya merupakan artefak.
Gugatan penulis sekilas tampak mirip dengan penafian Weitz terhadap artefaktualitas seni. Bagi Weitz (1956), sebuah artefak “dibuat dengan kemampuan, kecerdikan, dan imajinasi manusia yang mewujud dalam medium indrawi publik ….” Dengan kata lain, sebuah artefak adalah benda fisik yang dibentuk oleh seorang manusia. Weitz memandang bahwa sebuah karya seni tidak niscaya memerlukan karakteristik sebuah artefak sebab terdapat beberapa kondisi yang memungkinkan penilaian artistik terhadap suatu objek yang tidak memenuhi kriteria artefak. Contohnya adalah objek yang terbuat akibat suatu kecelakaan, hanya eksis di dalam pikiran manusia, atau “tidak dibuat oleh siapapun”—disediakan oleh alam, misalnya. Kita dapat saja merekognisi matahari terbenam atau pohon pinus dengan bentuk yang indah sebagai karya seni.
Namun, Weitz menggagalkan dirinya sendiri ketika memberikan distingsi antara penggunaan kata “seni” secara deskriptif dan evaluatif. Penggunaan “seni” secara deskriptif adalah pengategorian suatu objek ke dalam ragam seni, sedangkan penggunaan “seni” secara evaluatif adalah penilaian suatu objek sebagai hal yang mengundang emosi. Melalui distingsi ini, tesis Weitz gagal sebab segala pengategorian sebuah objek non-artefak sebagai seni cukup dikaitkan dengan penggunaan “seni” secara evaluatif: objek itu hanya indah, tetapi dia bukan karya seni. Sesuai hemat Dickie (1969), rekognisi terhadap pohon pinus dengan bentuk indah tadi hanyalah evaluasi kita terhadapnya. Kita tidak benar-benar menganggapnya sebagai sebuah karya seni.
Penulis berargumen bahwa distingsi ini adalah distingsi yang salah. Hal ini dikarenakan sejatinya kita tidak dapat membedakan antara proposisi “x adalah karya seni” melalui penggunaan kata “seni” secara deskriptif dan evaluatif. Jika seseorang mengutarakan, “Pohon pinus ini adalah sebuah karya seni,” kita tidak memiliki cara untuk mengetahui antara orang itu mengategorikan pohon pinus itu sebagai seni atau sebatas mengatakan bahwa dia indah. Kita juga tidak memiliki basis dalam berasumsi bahwa ucapannya hanyalah penilaian belaka. Sebaliknya, kita dapat berargumen bahwa ketika seseorang menyebut suatu objek sebagai karya seni, dia juga sedang mendefinisikan objek itu—menggunakan bahasa Weitz—secara “benar dan nyata”. Hal ini adalah cara valid untuk mengategorikan suatu objek sebagai seni. Berleant (2000) benar dalam mengutarakan proses yang seharusnya ketika kita menilai suatu objek sebagai karya seni. Teori adalah suatu perumusan untuk menjelaskan pengalaman. Oleh karena itu, pembentukan teori seni seharusnya berawal dari pengalaman kita terhadap seni dan bukan sebaliknya.
Berleant (2000, hlm. 18) menulis,
“At this stage much theorizing about art makes a false step by taking as its terminus a quo a previously accepted body of art works whose choice predetermines the kind of conclusion to which one is led.”
Teori seni tidak seharusnya mengatur persepsi kita mengenai seni. Sebaliknya, persepsi kita terhadap senilah yang memungkinkan teoretisasi seni sedari awal. Berbagai teori filsafat seni sepanjang sejarah, termasuk representasionalisme, ekspresionisme, dan formalisme tidak dapat bertahan lama karena mereka mencoba menerapkan prinsip teoretis terhadap pengalaman dan menolak menjadikan pengalaman sebagai basis teori. Ketika teori representasional seni, misalnya, hanya mengategorikan objek representasional sebagai seni, kesalahannya akan terlihat: eksistensi karya seni non-representasional akan menggagalkan teori representasional seni secara instan.
Pengalaman manusia dalam memersepsi seni menunjukkan bahwa artefaktualitas bukanlah kondisi niscaya bagi seni. Hal itu akan tampak jelas melalui penilaian banyak orang terhadap seni AI. Dalam penelitian mereka, Mikalonyte dan Kneer (2022) menemukan bahwa mayoritas subjek penelitian menilai lukisan yang diciptakan AI sebagai sebuah karya seni. Mereka melakukan beberapa eksperimen dengan sebuah robot yang dikendarai AI (AI-driven) yang bertindak sebagai pencipta lukisan. Subjek penelitian kemudian diminta untuk menjawab pertanyaan mengenai status seni lukisan yang robot tersebut ciptakan. Hasil eksperimen itu adalah bahwa orang-orang, meskipun cenderung tidak mengakui agensi dan keadaan mental AI dan robot tersebut, tidak memiliki masalah dalam menilai lukisan itu sebagai sebuah karya seni. Dengan kata lain, sesuai pengalaman mereka terhadap objek lukisan, lukisan yang robot itu ciptakan adalah seni, tetapi robot itu sendiri bukanlah seniman. Kesimpulan ini tidak problematis. Hal ini karena pengategorian objek sebagai seni—dan formulasi teori seni—cukup dibangun di atas pengalaman manusia terhadap objek tersebut. Argumen yang mencoba meniscayakan agensi dan intensi seniman dalam seni dengan menjatuhkan pengalaman estetis pengamat seni tidak akan berhasil karena, mengikuti Berleant, argumen itu akan mengesampingkan pengalaman estetis dan menggantikannya dengan prinsip tanpa basis yang jelas. Rasa takjub Anda ketika melihat gambar ciptaan AI sudah cukup untuk meniadakan keniscayaan artefaktualitas seni.
Teori seni tidak seharusnya mengatur persepsi kita mengenai seni.
Dengan demikian, kita dapat melihat dengan jelas bahwa artefaktualitas tidak lagi adekuat sebagai kondisi niscaya sebuah karya seni. Pengalaman kita terhadap seni AI, di antara contoh-contoh lain, menuntut kita untuk menunda asumsi artefaktualitas, pace Dickie.
Referensi
Berleant, A. (2000). The aesthetic field: a phenomenology of aesthetic experience. Christchurch: Cybereditions.
Dickie, G. (1984). The art circle: a theory of art. New York: Haven.
Dickie, G. (1969). Defining art. American Philosophical Quarterly, 6(3), hlm. 253-256.
Mikalonyte, E. S., & Kneer, M. (2022). Can artificial intelligence make art?: folk intuitions as to whether AI-driven robots can be viewed as artists and produce art. ACM Transactions on Human-Robot Interaction, 11(4), hlm. 1-19.
Weitz, M. (1956). The role of theory in aesthetics. The Journal of Aesthetics and Art Criticism, 15(1), hlm. 27-35.