Spesialisasi Ilmu: Hidup Bukan Hanya Soal Gigi
Beberapa waktu lalu, menjelang subuh, seorang teman bercerita: “Betapa sulitnya hidup di tengah jeratan kapitalisme”. Ketika itu di benak saya “Ah, biasa”, kapitalisme seperti juga istilah populer lain: postmodernisme, nihilisme, kritisisme dan segudang isme-isme lainnya sudah lama menjadi atribut kecentilan intelektual kelas menengah kita. Jangan gampang terpesona dengan omongan seorang yang sering mengaku ateis, mengkritik Marxisme atau bahkan membelanya mati-matian, bisa jadi dan sangat mungkin istilah itu hanya pelicin lidah yang asal comot saja tetapi tidak faham betul duduk perkara epistemologisnya. Sudah lama laku intelektual berubah menjadi gelar yang dengan gampang dinisbahkan pada mereka yang rajin mencomot istilah-istilah filosofis di tengah obrolan sembari mencari cara bagaimana orang harus tunduk pada perkataannya.
Tapi saya agak terkaget, ketika teman yang calon dokter gigi itu menjelaskan dengan cukup memadai mengapa kapitalisme buruk dan betapa kapitalisme menyembunyikan berbagai ketidakadilan dalam segala segi kehidupan. Singkat cerita, teman saya itu baru saja mendirikan klinik gigi kecil dengan modal patungan bersama calon-calon dokter gigi lain. Merasakan betapa sulitnya mencari uang. “Betapa dalam bidang kesehatan monopoli faktor produksi sangatlah terasa, baik lewat institusi resmi pemerintah ataupun lewat dokter-dokter profesional yang telah memiliki nama beken”.
“Betapa sulitnya menjadi orang kecil,” tegas teman saya. Sebab itu sejak awal dia ketika masuk pendidikan tinggi Fakultas Kedokteran Gigi, sudah berniat tidak akan hanya belajar soal gigi. “Hidup bukan hanya soal gigi,” katanya. Kini setelah hampir selesai pendidikan dokter, dia merasa memang tidak cukup mahir dalam ilmu gigi—dibanding teman-teman lainnya yang hanya belajar ilmu gigi—,sebab memang dia belajar banyak hal. Lebih tegasnya dia tidak bisa membohongi hasrat purba pikiran kemanusiaannya yang selalu bertanya dan meragukan banyak persoalan.
Setelah berhasil mendirikan klinik gigi, dia berkata: “Memang benar menjadi dokter bukan hanya urusan kesehatan”. Mendirikan klinik gigi harus faham bagaimana sirkulasi uang (red: faktor produksi), singkatnya harus mengetahui bagaimana monopoli dalam bisnis kesehatan berlangsung. Lebih dahulu teman saya itu faham, bahwa soal kesehatan bukanlah soal bisnis, tapi soal bagaimana masyarakat terjamin akses kesejahteraan hidupnya melalui pelayanan kesehatan yang baik dan humanistik. Untuk tujuan itu tidak mudah, sebab sebagian calon dokter gigi memang hanya belajar soal gigi dan bagaimana merekayasa faktor produksi untuk kelangsungan akumulasi keuntungan bisnis klinik gigi.
“Kebanyakan dari kita tidak berusaha belajar ilmu lain, tidak menggunakan rasionalitasnya dengan baik,” sekali lagi teman saya itu benar-benar membuat saya terdiam beberapa saat. Di akhir perbincangan kami dia bertanya pada saya: “Mengapa ya semakin banyak peminat jurusan kedokteran di perguruan tinggi?” “Sepertinya lama kelamaan saya membaca gejala spesialiasasi yang begitu menakutkan. Coba kamu lihat kedokteran umum dipecah jadi kedokteran bagian gigi, bagian saraf, bagian keperawatan, kesehatan masyarakat dan masih banyak lagi, kenapa seperti itu? Saya takut nanti suatu saat akan ada fakultas kedokteran khusus bagian telinga kiri,” terang teman saya sambil tertawa. Dan saya hanya bisa menjawab: “Sangat mungkin”.
Kokok ayam jantan terdengar dan pembicaraan kami pun berakhir, tetapi tidak dengan soal yang kami bicarakan: pendidikan, kapitalisme, dan hal-hal lain tentang begitu banyak dari kita yang tenggelam dalam spesialisasi ilmu dan merasa teramat nyaman di dalamnya. Saya ketika itu merasa tersindir juga dengan perkataan teman saya, “Jangan-jangan saya selama ini hanya berada dalam filsafat dan tidak berusaha berdialog dengan ilmu-ilmu lain”. “ Jangan-jangan jalan filsafat yang saya ambil adalah model dunia ide yang mensahihkan tesis apriori dengan argumen apriori, saya terjebak di kubangan itu, dan otomatis filsafat saya jauh dari konteks praksis.” Semoga tidak dan semoga (dengan izin Tuhan) saya bisa keluar dari kubangan idealisme.
Lebih lanjut cerita di atas hanyalah pengantar. Melalui problem yang kita tangkap dalam cerita, saya akan mensistematisasi persoalan pendidikan tinggi dalam iklim kapitalisme neo-liberal kaitannya dengan gejala spesialisasi. Sistematisasi problem akan dilakukan secara general, untuk kemudian melihat: geliat apa yang ada di balik fenomena spesialisasi pendidikan?; apa konsekuensi di balik spesialisasi bidang ilmu? Dengan menjawab pertanyaan tersebut harapannya kita akan lebih mudah menentukan ke arah mana setiap mahasiswa harus melakukan perlawanan praksisnya.
Spesialisasi Pendidikan Tinggi dalam Alur Reproduksi Faktor Produksi
Marx dalam suratnya kepada Kugelman tertanggal 11 Juli 1868 mengatakan: “Setiap formasi sosial yang tidak mereproduksi kondisi produksi seperti pada saat awalnya, niscaya hanya akan hidup seumur jagung”[1]. Reproduksi menjadi keniscayaan untuk menjamin setiap formasi sosial dapat eksis, begitu juga dengan kapitalisme. Tipologi formasi sosial kapitalis harus menjamin setiap organ-organnya untuk senantiasa bereproduksi seperti tipologi awal kapitalisme. Lewat tesis Marx kemudian Louis Althusser membuat dua poin rincian apa yang harus direproduksi oleh tatanan sosial: 1) faktor-faktor produksi; 2) relasi produksi yang sudah ada[2].
Kini jelas, tatanan kapitalisme yang digerakkan oleh sektor industri makro harus dapat menjawab pertanyaan tentang bagaimana mengganti sumber daya yang sudah aus dalam masa pemakaian. Bahan baku, bangunan, piranti produksi (mesin) sebagai sumber daya material yang menggerakkan sektor industri haruslah tersedia ketika yang sedang dipakai telah aus. Selain faktor produksi material, reproduksi harus juga menyediakan tenaga jasa sumber daya manusia (buruh) yang tidak kalah penting dengan sumber daya material. Singkatnya, logika reproduksi adalah logika keterjaminan persediaan faktor produksi awal.
Lantas siapa yang harus menjamin ketersediaan semua faktor produksi pengganti? Perusahaan industri makro sebagai tulang punggung paling nyata praktik kapitalisme jelas tidak berurusan dengan hal itu. Perusahaan hanya menerima jadi pasokan faktor-faktor produksi pengganti. Apa yang terjadi dalam tingkat perusahaan hanyalah akibat yang hanya memberikan gambaran betapa pentingnya reproduksi. Reproduksi kondisi material awal produksi tidak bisa dipikirkan dalam tingkat perusahaan, sebab alur reproduksi tidak mengada pada tataran yang nyata[3]. Itulah sebabnya segala sektor di luar perusahaan haruslah dikoordinasikan dalam satu irama untuk menyuplai faktor-faktor produksi awal bagi perusahaan sehingga reproduksi dapat terlaksana.
Yang paling esensial bagi kelangsungan reproduksi material bagi perusahaan adalah terjaminya faktor produksi sumber daya manusia. Buruh harus benar-benar dijamin keberadaannya untuk dapat menghasilkan faktor-faktor produksi lain (red: alat, bahan baku). Oleh sebab itu perusahaan dalam neraca akuntansi selalu menyediakan “modal upah” (wage capital). Tapi perlu diketahui bahwa upah bukanlah jaminan reproduksi sumber daya manusia. Upah hanyalah representasi nilai yang diproduksi akibat pengeluaran biaya sumber daya manusia semata, yang hal itu tidak boleh diabaikan demi reproduksi perusahaan. Upah menjadi jaminan yang diikatkan pada buruh agar tetap hidup dan setiap pagi bisa berangkat ke pabrik untuk melakukan ibadah produksi. Melalui upah itu jugalah perusahaan mendapatkan tambahan nilai sebab buruh pasti mendayakan upah untuk pendidikan anak-anaknya—sebuah reproduksi kaum proletariat sebagai sumber daya manusia penyokong perusahaan.
Apa yang terjadi melalui upah tidak mungkin dijadikan sandaran utama untuk menjamin proses reproduksi. Setiap pekerja haruslah mempunyai keahlian khusus sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Guna menjamin adanya keahlian tersebut upah yang sebenarnya didayakan dari diri buruh sendiri jelas bukan kekuatan produksi yang memadai. Anak-anak buruh harus dijamin kelak menjadi buruh juga dengan spesialisasi keahlian yang sesuai dengan kebutuhan industri seiring perkembangan zaman. Oleh karena itu proses spesialisasi dan peningkatan keahlian haruslah direproduksi di luar alur produksi perusahaan. Althusser dengan tegas mengatan bahwa sistem pendidikan kapitalis lewat berbagai instansi dan institusi adalah “pabrik” besar yang akan menjamin spesialisasi dan peningkatan keahlian para calon buruh. Singkatnya lembaga pendidikan bisa jadi sarat dengan kecenderungan sebagai pabrik tenaga kerja, bukan pengembangan pemikiran.
Dalam alur pemahaman pentingnya reproduksi faktor produksi, dan pendidikan sebagai institusi di luar perusahaan yang bertugas menjamin eksistensi produksi dan keberlansungan sistem kapitalis, kita dapat lebih berhati-hati dan kritis terhadap setiap kebijakan-kebijakan pendidikan—khususnya pendidikan tinggi. Cerita yang saya jadikan pembuka tulisan ini hanya contoh kecil tentang gejala yang disebut Althusser sebagai proses reproduksi faktor produksi melalui spesialisasi bidang ilmu, otomatis juga keahlian dalam pendidikan tinggi. Dalam skala yang lebih makro kita dapat mencermati betapa kebijakan pendidikan tinggi kita amatlah populis, oleh karenanya hanya main-main untuk menutupi keberpihakan pemerintah terhadap tatanan global kapitalisme neo-liberal. Untuk itu mari kita cermati apa yang dilakukan pemerintah kita terhadap institusi pendidikan tinggi.
Kebijakan Pemerintahan Joko Widodo memisahkan kelembagaan antara Pendidikan Dasar dan Menengah dengan Pendidikan Tinggi yang kemudian digabungkan dengan Ristek (Riset dan Teknologi) merupakan persoalan besar. Pemisahan tersebut adalah salah satu contoh kebijakan populis yang tanpa dasar kuat. Tidak ada jaminan peningkatan mutu pendidikan tinggi sebagai tempat produksi wacana ilmu pengetahuan. Pemisahan tersebut menunjukkan gejala spesialisasi yang ujungnya adalah sikap pragmatis dalam pendidikan. Kultur pragmatis diharuskan ada untuk menjamin pasokan tenaga kerja yang sesuai dengan permintaan pasar. Pada titik itulah tugas utama pendidikan untuk transformasi kultural, politik dan ekonomi diabaikan demi suatu jaminan penuh ketidakpastian—“kualitas riset meningkat” melalui penggabungan kelembagaan pendidikan tinggi dengan riset dan teknologi.
Riset-riset pragmatis menjadi tolok ukur meningkatnya kualitas pendidikan. Riset seperti itu jelas diperlukan untuk kelangsungan sektor industri makro. Selain pokok soal pemisahan tersebut, melalui UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, kita bisa melihat jelas, pendidikan akan dijadikan bidang jasa yang bisa dikomersialkan untuk nantinya diharapkan dapat meningkatkan perekonomian negara. UU tersebut adalah bukti nyata kepatuhan pemerintah pada regulasi WTO dalam meliberalisasi jasa di bidang pendidikan tinggi, di mana prinsip National Treatment dan Market Access berlaku juga terhadapnya. WTO butuh jaminan bahwa semua sektor di bawah lembaga negara harus menjadi moncong paling depan untuk menyusupkan ideologi ekonomi kapitalis. Setiap perusahaan besar di negeri ini membutuhkan jaminan pemerintah bahwa bonus demografi kita bisa diarahkan untuk juga menjadi bonus demografi bagi tatanan ekonomi kapitalis.
Selain itu institusi pendidikan tinggi juga rajin melakukan pemeringkatan kasta fakultas-fakultas terfavorit, yang dasar dari pemeringkatan itu tidak jelas. Saya bisa menjamin hampir di setiap perguruan tinggi pasti fakultas-fakultas ilmu terapan (kedokteran, teknik, farmasi) adalah fakultas unggulan pertama, sementara dalam peringkat kedua adalah ilmu eksakta (biologi, fisika, kimia) dan dalam urutan terakhir pasti ilmu sosial humaniora. Pemeringkatan tersebut jelas berguna untuk “membimbing” setiap lulusan pendidikan menengah memilih fakultas-fakultas favorit. Bahkan secara pribadi saya sudah bosan selalu mendapat pertanyaan “Mahasiswa filsafat nanti kerja apa?”. Belajar di perguruan tinggi tidak ubahnya mendaftar lowongan pekerjaan.
Institusi pendidikan yang menjadi wadah reproduksi tenaga kerja hanya mengajarkan “know how”, pengetahuan dalam level praktis. Setiap mahasiswa dalam pendidikan tinggi lewat fakultas-fakultas ilmu terapan hanya diajari bagaimana membuat kapal yang baik, bagaimana mencabut gigi yang benar, bagaimana mengatur manajemen perusahaan dan mendapatkan keuntungan yang maksimal. Bentuk pengetahuan tersebut bukan tidak penting, akan tetapi berbahaya, sebab lewat pengetahuan spesialis yang praktislah daya kritis dibunuh.
Pendidikan sebagai Wadah (Re)Produksi Ideologi
Reproduksi tenaga kerja melalui pendidikan tidak hanya berlaku pada aras spesialisasi dan peningkatan keterampilan praktis, tetapi juga pada aras kepatuhan pada ideologi yang sedang terlaksana di suatu negara. Althusser menjelaskan bahwa reproduksi keahlian buruh hanya dapat dilakukan dalam bentuk dan di bawah bentuk kepatuhan ideologis. Maka jangan heran jika setiap awal mula ajaran baru di pendidikan tinggi selalu ada masa orientasi untuk mendidik karakter patuh. Selanjutnya ketika menjadi mahasiswa haruslah menaati setiap aturan disiplin diri yang ketat: masuk pukul 07.00 pulang pukul 15.00; tidak diperkenankan memakai kaos oblong dan bersandal jepit; harus mencukupi persyaratan kehadiran 75% untuk dapat ikut ujian; masa studi maksimal 5 tahun.
Tentang aturan terbaru pemerintah kita yang mewajibkan setiap mahasiswa lulus maksimal 5 tahun, waktu dipersingkat dan peluang-peluang mahasiswa untuk berdialog dengan ilmu-ilmu lain di luar bidang studi utamanya semakin menipis. Maka jangan heran jika mahasiswa kedokteran gigi hanya tahu bagaimana cara mencabut gigi yang baik. Tapi memang sebagai calon pekerja yang baik tidak dibutuhkan ilmu yang luas, asal tunduk dan bisa menghasilkan barang yang laku dijual sudah cukup. Melalui regulasi-regulasi itulah mental pekerja disusupkan secara halus, ideologi kapitalis yang hanya berurusan dengan kelangsungan produksi dan monopoli produksi membutuhkan ketaatan pada setiap aturan “moral yang baik”, dan untuk tujuan itu calon pekerja harus sudah dibiasakan sejak dalam intitusi pendidikan.
Pada ranah infrastruktur (tenaga produktif dan relasi produksi) kita telah mengetahui bahwa kebijakan pendidikan kita khususnya melalui spesialisasi tujuannya jelas, untuk mereproduksi tenaga produktif demi kelangsungan ideologi ekonomi kapitalis. Sementara pada level suprastruktur kita bisa mengatakan bahwa negara sebagai institusi politico-legal bertangung jawab untuk menyuntikkan sikap tunduk pada ideologi kapitalis. Negara adalah state aparatus yang selalu bersifat represif. Represifitas negara dalam pemahaman teori klasik negara Marxis melulu mewujud dalam tindak fisik. Guna memperluas cakupan tindak represif yang ternyata tidak melulu fisik tetapi juga nonfisis—kaitanya dengan internalisasi ketundukan—Althusser mengungkapkan sebuah istilah baru: ISA (Ideological State Apparatuses) untuk memahami pluralitas peran indoktrinasi ketundukan ideologis negara yang tidak selalu tertampak jelas.
ISA tidak selalu melakukan represi fisis, ideologi disuntikkan justru lewat represi nonfisis. Ideologi dalam identifikasi Althusser adalah sistem gagasan dan pelbagai representasi yang mendominasi benak manusia atau kelompok sosial. Aparatus ideologis bekerja seturut dengan beban indoktrinasi ketundukan yang dibawanya, sifat-sifat dan karakter ideologi memanglah amat halus, tidak kentara bahkan simbolik. Lewat hukuman, seleksi, normalisasi, moralisasi dan berbagai basa-basi administratif itulah subjek ditundukkan secara pelan-pelan, agar negara sebagai institusi politico legal tetap legitimate dan terus bisa memproduksi manusia-manusia tunduk yang siap meneruskan oligarki, pengisapan dan rupa tindak eksploitasi kelas lainnya.
Dalam perjalanan sejarah kita, Orde Baru adalah potret negara yang represif secara fisik maupun nonfisik. Orde Baru berhasil melakukan indoktrinasi ideologisnya melalui berbagai macam kebijakan pendidikan. Masih ingatkah kita bagaimana buku-buku sejarah selama ini menceritakan kekejaman PKI? Kebijakan penataran P4 bagi PNS pada masa itu tidak lain adalah untuk mengendalikan setiap aparatur negara, bagaimana mungkin rasa bela negara hanya diukur dengan standar nilai penataran P4? Kita juga melihat internalisasi pendidikan militer—ketundukan militer—pada pendidikan formal non-militer, poin terkahir inilah yang masih dilestarikan hingga hari ini. Secara pribadi saya pernah diancam oleh guru SMA tidak akan naik kelas sebab saya tidak ikut upacara 17 Agustus. Saya yakin teman-teman sekalian juga pernah merasakan militerisasi dalam aras pendidikan, tentu dalam berabagai rupa yang berbeda-beda.
Bagi yang menjadi mahasiswa, ingat kembali berbagai aturan “moral” di kampus. Mengapa kita harus memakai kemeja rapi dan bersepatu? Mengapa kita harus taat pada administrasi kehadiran? Mengapa kita harus meng-iya-kan setiap perkataan dosen untuk mendapat nilai A? Mengapa kita harus lulus lima tahun? Mari endapkan pertanyaan itu di benak masing-masing kita dan Anda tidak harus menemukan jawaban secepatnya. Selebihnya, rasakan dan amati siapa sebenarnya yang sedang mendidik Anda?
Tak satu pun kelas yang mampu memegang kuasa negara dalam periode yang lama tanpa sekaligus menjalankan hagemoninya melalalui dan di dalam Aparatus Negara Ideologis (ISA)[4]. Kita lihat antara negara sebagai intitusi formal yuridis yang represif bekerja sama dengan setiap aparatus ideologisnya. Hanya dengan interaksi timbal balik, kekuasaan bisa ditegakkan untuk terus mengeksploitasi kelas-kelas masyarakat. Untuk kegagahan sebuah formasi sosial antara suprastruktur dan infrastrktur harus menjalankan tugas bersama dan saling membantu. Tipologi Marxian—suprastruktur, infrastruktur—membantu kita memahami bagaimana setiap tugas indoktrinasi ideologis mesti dilindungi di bawah suprastruktur ideologis dan politik legal (status quo).
Negara berperan mengondisikan political will—lewat kebijakan ekonomi-budaya—agar setiap kebijakan dan tugas Aparatus Negara Ideologis bisa berjalan dengan baik bahkan secara politik mendapatkan legalitasnya. Maka jangan kaget dengan kebijakan penyensoran dan berbagai rupa pasal-pasal hukum yang berbau “penertiban moral”. Althusser telah melakukan identifikasi terkait dengan institusi-institusi yang bertindak sebagai aparatur negara ideologis[5], secara hierarkis gereja menepati urutan pertama disusul institusi pendidikan. Akan tetapi sejarah terus mengalir, perubahan-perubahan revolusioner tak dapat ditolak, oleh sebab itu daftar aparatus ideologis yang dibuat Althusser memang semestinya tidak kita baca secara hierarkis—kaku. Daftar tersebut mestilah dibaca sesuai konteks material yang mengondisikan setiap formasi sosial.
Dalam formasi sosial kapitalis kontemporer aparatus negara ideologis efektif bekerja dalam institusi: pendidikan, serikat buruh, lembaga komunikasi dan budaya. Lewat saluran-saluran itulah negara mendidik warganya untuk tunduk. Kelas kapitalis yang menguasai akumulasi kapital harus mendapatkan jaminan bahwa reproduksi faktor produksi—tenaga buruh—harus diorganisir secara massif lewat institusi tersebut. Mengapa pendidikan yang sebelumnya berada pada tingkatan kedua di bawah gereja kini dalam kondisi kiwari malah menjadi aparatus ideologis yang utama? Tanpa harus berpanjang lebar kita tahu pencerahan, modernitas telah merendahkan martabat gereja, institusi agama telah kehilangan wibawanya sesaat setelah para filsuf menelanjangi borok-borok yang melekat pada gereja. Pada saat itulah pendidikan menjadi institusi paling efektif ketika gelombang sekularisasi dan kepercayaan pada institusi religius memudar.
Sekolah sebagai institusi pendidikan dalam konteks negara kita memang amat efektif guna melanggengkan ideologi dan terus mencipta manusia-manusia tunduk. Kita bisa hitung dalam satu kabupaten berapa jumlah sekolah? Hanya sekolahlah yang memiliki audiens wajib (murid) dalam skala jam yang harus dipatuhi dari pukul 7 pagi hingga pukul 12 siang. Bahkan banyak orang tua yang mempercayakan anaknya pada sekolah yang menerapkan sistem full day (seharian penuh). Hanya lewat institusi pendidikan indoktrinasi ideologi bisa dijamin tetap eksis secara budaya dan legal secara politik. Dalam sekolah-sekolah itulah kemudian kita melihat gejala spesialisasi yang amat massif—khususnya dalam tataran perguruan tinggi.
Ketika seorang mahasiswa masuk jurusan politik pemerintahan, kedokteran dan semacamnya, pada saat itulah sebenarnya bahaya mengintainya dari setiap sudut. Perguruan tinggi tidak lebih dari institusi yang mengajarkan know how, memastikan setiap audiensnya benar-benar menjadi mesin yang cakap dan baik secara moral. Spesialisasi bidang ilmu tidak cukup untuk tujuan itu, perlu juga normalisasi secara moral. Umum kita ketahui banyak institusi pendidikan tinggi yang tidak mengajarkan pengetahuan dengan baik meskipun itu sekadar know how. Dosen-dosen yang tidak kompeten, dosen yang lebih disibukkan dengan urusan administratif, memenuhi jam mengajar demi lolos sertifikasi gaji, kita barangkali bisa memaafkan mereka sebentar saja, sebab sepertinya menjadi pendidik di tengah kondisi realitas material yang “susah” memang susah. Lebih dari hanya menyalahkan dosen, kita pun bisa bertanya bagaimana komitmen negara pada soal pendidikan yang benar-benar mendidik? Jangan mengharapkan dapat jawaban! Kita pun akhirnya juga bisa berkata institusi pendidikan tinggi tidak ubahnya lembaga moralitas yang harus menjamin setiap mahasiswanya tidak telat masuk kelas dan selalu bersepatu ke kampus.
Satu hal yang tidak boleh diluapakan, banyak pendidik yang benar-benar serius mendidik siswa secara kritis, yang memahami hakikat pengetahuan lebih dari segala dalil normalisasi moral. Untuk mereka saya harus meminta maaf, sebab mereka sepertinya berada dalam sebuah kondisi yang amat sulit. Dan pada merekalah kita harus berterimakasih.
Begitulah ideologi, sebagai mahluk yang harus tetap hidup untuk menjamin formasi sosial kapitalis eksis. Sebagai mahluk yang merasuk pada setiap diri dan membuat kedua kaki kita tiba-tiba lesu dan lumpuh dalam segala bentuk ketundukan demi menyumbang kukuhnya formasi sosial kapitalis yang selalu membutuhkan pasokan faktor-faktor produksi guna melakukan reproduksi seperti awal. Sebuah gerak melingkar yang didukung oleh berbagai faktor eksternal yang kadang kala tidak selalu kasat mata, sebab memang ancaman materialisme adalah idealisme yang kerap kali bertopeng pada “moralitas, pendidikan” yang secara material berbau sedap tetapi jelas tidak mengenyangkan.
Konsekuensi Spesialisasi Pendidikan dan Menerobos “Kotak” Spesialisasi
Lewat spesialiasi bidang ilmu, tenaga kerja ahli dapat dipasok dengan baik. Pendidikan harus menjamin seorang dokter gigi hanya benar-benar ahli dalam mencopot gigi. Seorang tukang kayu hanya boleh berpikir tentang meja dan kursi. Seorang sarjana filsafat harus berpikir tentang dan dalam nuansa pencarian otentisitas diri yang tiada pernah menemu akhir. Setiap mahasiswa yang dididik secara spesialis harus dijamin mengalami regenerasi lima tahun sekali, sebab jika tidak, ekonomi akan macet, pasokan tenaga produktif tidak berjalan dengan baik. Hidup hanya urusan bagaimana membuat sebuah kursi yang baik dan layak jual, hidup tidak memberikan porsi pada tataran pertanyaan mengapa kita harus membuat kursi? Pada saat ada pertanyaan mengapa, saat itu jugalah tatanan mapan terancam, maka selain harus mendidik seorang spesialis ahli, pendidikan juga harus memastikan ketundukan pada ideologi.
Marx terlalu ekstrim ketika mengatan bahwa pendidikan haruslah sebuah domain yang dipisahkan dari negara. “Pendidikan rakyat oleh negara adalah gagasan yang meragukan. Menetapkan dengan undang-undang pembiayaan sekolah dasar, kualifikasi staf pengajar, dan para siswa…..mensupervisi dipenuhinya spesifikasi-spesifikasi legal oleh negara merupakan sesuatu yang sangat berbeda dengan menunjuk negara sebagai pendidik rakyat. Pemerintah dan gereja haruslah dikecualikan pengaruhnya kepada sekolah-sekolah.”[6] Lebih pas, negara harus tetap menjamin tersedianya akses pendidikan untuk semua kalangan melalui kebijakan-kebijakan finansial guna menyokong keberadaan sekolah. Akan tetapi, negara tidak berhak melakukan intervensi formal dalam hal pengajaran. Negara cukup hanya memastikan setiap infrastruktur pendidikan tersedia dengan baik dan memadai.
Beberapa waktu yang lalu, Romo Magnis mengkritik pendidikan tinggi terkait dengan beban yang ditumpukan pada setiap pengajar untuk mendapatkan kredit kenaikan pangkat, otomatis juga diikuti kenaikan gaji. Kritik Romo Magnis menyasar pada kebijakan pengangkatan guru besar yang diharuskan sudah melakukan publikasi di jurnal internasional. Sementara iklim pendidikan tinggi kita berbeda dengan iklim pendidikan di Eropa. Jurnal internasional mengikuti perkembangan pendidikan di Eropa yang sarat dengan spesialisasi sebab kematangan dikursif mereka atas sebuah tema spesial memang amat mumpuni. Untuk menulis di jurnal internasional, untuk menjadi guru besar, seorang pendidik diharuskan seorang spesialis. Kebijakan Dikti tersebut tidak mempertimbangkan bagaimana kondisi pendidikan, terlebih perdebatan teoretik diskursif di negeri kita.
“Mempersyaratkan publikasi di jurnal internasional tidak menaikkan mutu para akademisi kita, tetapi mencekiknya! Hal yang memang perlu adalah agar di perguruan tinggi masing-masing diciptakan suasana, di mana para dosen dapat melakukan penelitian (pustaka): ada kantor pribadi, perpustakaan yang bagus, dan jumlah kuliah tidak berlebihan (studi penelitian apa yang mau diharapkan kalau dosen diandaikan mengajar 12 jam per minggu seperti sekarang?)[7]
Secara khusus spesialisasi ilmu yang kemudian juga diikuti dengan spesialisasi keahlian (kerja) memang dalam beberapa konteks tidak selalu buruk. Dengan spesialisasi setiap pekerjaan bisa mendapatkan jaminan dilakukan dengan baik. Tapi lagi-lagi manusia adalah daya yang amat kaya, kita tentu tidak ingin nalar industri (kapitalisme) mendikte setiap laku kehidupan sehingga apa yang disebut one dimensional man oleh Max Horkheimer memanglah harus kita tangung. Sebuah tilikan futuristik Horkheimer terhadap manusia, yang membuka cakrawala kita tentang, bagaimana konsekuensi industrialisasi dan modernitas melahirkan manusia yang hanya memiliki daya nalar instrumentalis. Sebuah laku nalar yang hanya mengenal bagaimana eksploitasi sumber daya bisa dilakukan secara maksimal.
Kita bisa mengendus, bagaimana dalam kodifikasi material yang tidak merata antar kelas, setiap laku ketidakadilan lahir dan diperparah oleh cara berpikir spesialis. Setiap orang mendaku diri telah memegang kebenaran dengan amat pasti, ataupun varian lainnya, setiap orang menyangkal adanya kebenaran yang objektif. Keduanya sama-sama bermasalah: yang satu lahir dari kesempitan sudut pandang yang akut, diramu dengan rasa diri sebagai “kemutlakan purna”, sementara yang kedua lahir dari tren pesimisme era postmodernitas yang menyangkal adanya titik objektif dan mencurigai setiap kehendak untuk sebuah objektivitas sebagai laku tiranik. Bukankah bisa mengatakan Benar atau Salah adalah titik awal, sebuah koordinat prasyarat agar setiap fungsi-fungsi (argumentatif) bisa disangkal maupun dibenarkan. Tanpa titik koordinat awal setiap fungsi dalam deret matematik tidak akan pernah bisa diverifikasi benar-salah, logis-tidaknya, jangankan untuk sebuah gerak verifikasi, tanpa koordinat awal setiap fungsi tidak akan pernah bertemu. Kita selamanya akan berjalan sendiri-sendiri saling memalingkan muka dan takut untuk bertegur sapa. Lalu bagaimana kita bisa berharap ada solidaritas komunal yang solid untuk melakukan upaya-upaya alternatif guna mengimbangi kekuatan kelas dominan yang selalu melakukan indoktrinasi kepatuhan ideologis lewat jalur pendidikan.
Kekerasan pada minoritas, penghisapan kelas pekerja, pemutlakan pendapat yang sering berakhir dengan laku intimidasi, represi, diskriminasi dan rupa ketidakadilan lainnya bisa dilawan jika dan hanya jika institusi pendidikan benar-benar mampu mencetak daya kritis dan menghadirkan ruang diskursif-dialektis. Jauh dari kewajiban patuh terjadap suatu idelogi. Pendidikan benar-benar disiapkan untuk orientasi umum memperluas nalar dan selalu berdialog dengan berbagai macam ilmu. Tantangan kapitalisme kontemporer yang menyelundupkan strategi pengisapannya melalui berbagai cara tidak bisa dilawan hanya dari satu sudut. Fondasi teoretis yang dibuat Marx dalam karya-karyanya sejak awal tidak hanya berkutat pada soal-soal filosofis, tapi juga memadukan nalar filosofis dengan kaidah-kaidah ekonomi, sejarah, antropologi bahkan biologi. Tujuanya barangkali agar kita yang tidak pernah bertemu dhohir dengannya memahami pentingnya generalitas dan macam-macam sudut pandang untuk menyelesaikan setiap persoalan.
Belum lagi, ketimpangan ekonomi diperparah dengan rendahnya keterlibatan politis. Lihat saja, banyak dari kita (termasuk saya) yang enggan terlibat dalam hal-hal politik semata karena politik di negeri ini sudah sarat dengan berbagai tipu daya yang memikat. Politik dipersempit hanya menyangkut urusan kekuasaan, padahal dimensi dan domain politik tidak melulu berurusan dengan kekuasaan legal-formal. Lebih dari itu politik adalah jalan keterlibatan yang amat luas, secara sederhana, menyangkut bagaimana kita memutuskan berbagai aktivitas sehari-hari dengan kesadaran akan adanya aparatur negara ideologis yang mengintai dari tiap sudut .
Konsekuensi negatif spesialisasi memang sulit kita hindari. Tatanan kapitalisme kontemporer membutuhkan jaminan terpenuhinya faktor produksi secara terus menerus, agar setiap reproduksi bisa berjalan dengan mudah. Tenaga produktif kelas proletar secara diam-diam diproduksi mental ketundukan ideologisnya melalui pendidikan, nalarnya mudah saja n= 0,1,2,3,4 dan seterusnya. Hanya dengan itu formasi kapitalis bisa tetap tegak.
Tapi di luar nalar akumulatif tersebut, mendesak adalah menolak segala macam spesialisasi sebagai sebentuk perlawanan halus. Menolak mahasiswa eksak hanya belajar ilmu eksakta, menolak mahasiswa humaniora hanya belajar humaniora. Penolakan adalah sebentuk negasi diri yang tentu mensyaratkan kondisi material-formal yang mendukung. Tetapi karena basis utamanya adalah negasi diri maka memulai dari hal kecil lebih utama daripada menunggu perbaikan kondisi material-formal. Bukankah setiap perlawanan justru menguat dalam kondisi spasio-temporal dan kultural yang tidak mendukung penuh?
Saya teringat Umar Kayam di akhir orasi ilmiahnya tentang tranfomasi budaya. Setelah memaparkan dengan amat detail bagaimana setiap kebudayaan di indonesia bergerak, eksis, dan melakukan perubahan-perubahan, tiba-tiba saja beliau menutup orasinya dengan sebuah seruan yang dahulu juga pernah dikeluhkan C.P Snow tentang “jurang” yang amat sulit ditembus antara ilmu eksakta dan humaniora.
“Maafkanlah. Guru-guru Anda, termasuk yang sekarang berdiri di hadapan Anda, adalah produk dari kurikulum yang terkotak. Dan guru-guru kami juga hasil dari produk yang terkotak pula. Jadi embah buyut kotak, melahirkan embah kotak, embah kotak melahirkan bapak kotak, bapak kotak melahirkan anak kotak, anak kotak melahirkan cucu kotak. Kotak, kotak, kotak, kotak, kotak. Justru karena Anda berada dalam kondisi dan situasi demikian dan berani lantang saya ingin menganjurkan dari balik mimbar ini agar Anda membebaskan diri melepaskan dari penjara ilmu kotak tersebut. Mulailah menyapa teman Anda yang terkotak di dekat-dekat Anda”.
Jika pun pada akhirnya kita amatlah sulit keluar dari kotak, paling tidak kita bisa memodifikasi kotak segi empat, mejadi bentuk heksagonal, bintang dan lain-lain: dengan itu kotak yang kita tempati semakin banyak sudut. Semoga.
[1] Marx kepada Kugelman 11 Juli 1868, Selected Correspondence, Moskow, 1995, p. 59.
[2] Louis Althusser, Lenin and Philosophy and Other Essays, New York, Mothly Review Press, 2002, p.127
[3] Ibid, p. 131
[4] Ibid. p.147.
[5] 1. ISA Agama 2. Pendidikan 3. Keluarga 4. Hukum 5. Politik 6. Serikat Buruh 7.Lembaga Komunikasi 8. Budaya
[6] Marx and Engels, Collected Work jilid 24, London, , Lawrence and Wishart, 1975-2005. P 97
[7] Magnis Suseno, “Publikasi di Jurnal Internasional”, dalam koran Kompas, 9 Juli 2015