spot_img
More

    Bertuhan Di Ujung Batas Sepi

    Featured in:
    sumber: www.telegraph.co.uk
    sumber: www.telegraph.co.uk

    Tanggapan atas BAB 2 Filsafat Agama Einstein, karya Max Jammer

    Para ahli fisika berkumpul di sebuah ruangan yang berada dalam sebuah gedung besar. Pagi itu di luar salju turun ragu-ragu, awal musim dingin mulai datang, lamban. Kebanyakan orang memilih berlindung di balik selimut, cuaca awal musim selalu disambut dengan kemalasan. Tapi tidak dengan para ahli fisika itu, mereka berdebat, berdiskusi, sementara salju turun lamban tapi pasti di luar ruangan.

    Peristiwa tersebut terjadi pada 1927 di salah satu kota di Eropa. Kebetulan saya lupa nama kotanya. Akan tetapi saya benar-benar teringgat sebuah kalimat yang terlontar dalam diskusi para ahli fisika tersebut. Mereka para ahli fisika –Max Planck, Pauli, dan Heisenbergh– sedang membahas tentang Einstein, teoritikus fisika terbesar abad ini. Diskusi mereka menitik pada pokok soal, Einstein yang terlalu sering berbicara tentang Tuhan dalam setiap esai dan ceremahnya. Kata Einstein, “aku ingin membaca pikiran Tuhan”, “Tuhan tidak bermain dadu”. Lalu bagaimana para ilmuwan harus menyikapi kelakukan Einstein tersebut? Setelah perdebatan senggit akhirnya Pauli mengatakan –kata-kata inilah yang saya ingat:

    “Kalau batas antar bidang-bidang pemikiran dan pengalaman kita semakin menajam, pada akhirnya kita akan masuk pada sebuah kesepian yang menakutkan dan kita harus ijinkan air mata menetes”.

    Saya tidak tahu kenapa, begitu akan mengerjakan tugas Filsafat agama tentang Einstein, tiba-tiba saja teringat cerita tentang kejadian tersebut dan kata-kata dari Pauli. Akan tetapi, ketidaktahuan saya sedikit menemu titik simpulnya ketika selesai membaca bab Filsafat Agama Einstein. Baiklah titik simpul tersebut akan coba saya urai dalam tulisan ini.

    Pada intinya kosmologi adalah sebuah bidang yang sangat menarik. Bidang tersebut secara langsung beririsan dengan teologi, ilmu fisika, kimia, dan filsafat. Penyelidikan fisika yang ditarik pada konsepsi abstrak teoritikal akan menemu ujungnya pada filsafat tentang kosmos atau kosmologi. Setidaknya itulah yang telah dilakukan oleh Einstein.

    Pada ujung penarikan fisika pada konskuensi paling jauhnya, bisa saja  juga akan bertemu dengan teologi. Bisa juga tidak bertemu dengan apa-apa, hanya ada ruang kosong kosmos. Hampa. Tak bisa lagi disimbolkan dengan bahasa matematika. Ilmuwan harus berhenti. Alam sudah tidak bisa ditembus lagi. Lalu alam akan mengajak ilmuwan menyadari keterbatasan dirinya sebagai manusia, yang bertentangan dengan kehendaknya yang selalu ingin menembus batas kosmos.

    Alam mengajak ilmuwan masuk ujung paling sepi dari semua kerja kerasnya menteorikan alam. Batas sudah sangat menajam, ilmuwan harus berhenti tertunduk, dan mungkin meneteskan air mata. Einstein telah sampai pada titik ini sehingga ia pun berkata “ alam adalah misteri”. Hal tersebut tentu akan sangat berpengaruh bagi pandangan Einstein tentang agama. Karena sekali lagi, kosmologi adalah ilmu yang beririsan salah satunya dengan teologi.

    Maka, Sebagai ilmuwan, Einstein menolak konsepsi agama tentang Tuhan yang Antroposentris. Einstein melihat ide Tuhan personal sebagai bentuk antropomorfisme. Pada intinya seperti alam, Tuhan adalah misteri tak terlukiskan dengan bahasa manusia. Kenapa? Karena ia pun tidak bisa melukiskan batas sepi kosmos, sehingga ia pun harus terpaksa berhenti pada E=mc2. Itupun tidak juga menuntaskan misteri kosmos. Kosmos dan Tuhan tetap misteri yang tak akan pernah terungkap tuntas.

    Kita melihat fatamorgana disiang hari sebagai cakrawala batas terdekat kita, tapi begitu kita mendekat batas itu menjauh. Hanya itu yang bisa dilakukan manusia, berjalan lamban mendekati batas dengan niat menembus batas, akan tetapi kita ternyata hanya bergerak sedikit saja, dan di depan akan ada batas lagi yang menyambut.

    Einstein meyakini agama yang ia sebut sebagai agama kosmis. Tentu agama tersebut adalah agama dengan Tuhan yang tidak bisa dilukiskan. Agama yang menumpu pada religiusitas penghayatan manusia atas alam sebagai sebuah misteri terbesar. Agama yang merupakan titik kulminasi paling ujung dari penyelidikan ilmiahnya atas alam. Pada titik itulah alam memaksanya bertuhan. Berikut kata Einstein:

    “…Dalam hukum-hukum alam termanifestasikanlah eksistensi roh yang lebih superior terhadap diri manusia, dan bila seseorang berhadapan dengannya, kita dengan seluruh kekuatan kita seharusnya merasa rendah dan hina”.

    Kalimat itu bagi saya adalah sebuah kalimat yang bernada penyerahan diri. Kalimat yang tidak jauh beda dengan perkataan Pauli pada sebuah seminar di Eropa. Kalimat penyerahan diri pada batas kesepian kosmos, dimana ilmuwan sebagai manusia biasa harus benar-benar tunduk dengan kenyataan bahwa alam, bagaimanapun juga tetaplah misteri agung yang tak tertuntaskan.

    Penyangkalan Einstein tentang Tuhan personal, adalah juga penolakanya terhadap agama-agama Ibrahimiah. Akan tetapi yang harus dipahami, bahwa Einstein menolak Tuhan personal bukan dalam rangka sebuah argumen ateisme. Setelah memperolah wawasan luas tentang hubungan sebab –akibat, Einstein selalu menolak dikatakan ateis. Kata Einstein “bahwa yang membuatku marah adalah, ketika orang-orang yang menyangkal Tuhan, mengunakan argumenku untuk mendukung pandangan mereka.”

    Einstein adalah seorang yang bertuhan dengan mengalami dan menghayati penyelidikanya akan kosmos. Sebuah cara bertuhan yang naturalistik. Kosmos membawanya pada sebuah kenyataan tentang batas pengetahuan manusia dihadapan misteri kosmos. Dia tertunduk di ruang sunyi dari ujung penyelidikanya tentang kosmos, yang tidak bisa tertembus lagi. Mau tidak mau manusia harus bertuhan jika telah dihadapkan pada ruang sunyi tersebut.

    Pada akhirnya, perjalanan Einstein, dengan kerja keras yang maha yang telah mengantarnya dengan E = MC2 menjadi teoritikus terbesar abad ini. Kerja tersebut adalah sebuah gerak yang didorong oleh rasa religiusitas yang meletup-letup, seperti kata Einstein  “religiusitas adalah ruh dari sains.” Maka pertemuanya dengan Tuhan adalah pertemuan dengan jalur sains yang tidak bisa dilukiskan.

    Pertemuan dengan Tuhan di ujung batas kosmos dimana bahasa matematika tidak lagi berguna. Dan menjadi benar kata Manggunwijaya, “kata membunuhmu ruh menghidupkanmu”, dan pada batas sunyi kosmos semoga “kita tidak dipaksa meneteskan air mata”, seperti kata Pauli. (Danang Tp., Mahasiswa Filsafat UGM 12′, Pemimpin Litbang LSF Cogito)

    Author

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Menyingkap Keterasingan Manusia Lewat Banalitas Keseharian

    Tidak dipungkiri lagi, mahasiswa erat dengan jadwal padat yang selalu menghampirinya setiap saat. Pagi hari, sekitar pukul...

    Post-Truth: Konsekuensi atas Keruntuhan Modernitas

    Seperempat paruh awal abad ke-21 ini, manusia dihadapkan kepada pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendisrupsi masyarakat....

    Hausu dan Hauntopoanalisis

    Rumah bukanlah sekadar bangunan fisik yang memiliki wujud konkret, melainkan ruang metafisik yang abstrak dan memiliki agensi...

    Sebuah Hikayat dari Tanah Para Pencari Kebenaran Dunia

    Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari...

    Ampun, Romo Bertens: Argumen Absolutis Anda Bermasalah

    Buang semua asumsi moral dan pengetahuan yang kita dapat dari peradaban modern ini untuk sementara. Mari bayangkan...

    Polemik Hermeneutis Gadamer dan Habermas

    “Kalau Anda ingin mendengarkan Heidegger dengan lebih mudah, bacalah (tulisan) Gadamer.” Begitulah ucapan Fransisco Budi Hardiman saat...