Hasrat manusia untuk mempertanyakan segala yang ada telah dapat kita lihat di sepanjang sejarah umat manusia: dari Ibrahim, Thales, hingga diri kita sendiri saat ini Tidaklah mengherankan bila dalam mengadanya, manusia senantiasa berbagi pertanyaan-pertanyaannya pada dunia. Mulai dari persoalan eksistensi diri, alam semesta, Tuhan, serta relasi di antara ketiganya: siapakah aku? Untuk apa aku ada? Bagaimana alam semesta ini ada? Siapa yang membuatnya ada? Benarkah Tuhan yang saya jumpai dalam doktrin-doktrin keagamaan itu yang menciptakannya? Lantas Tuhan yang seperti apa yang menciptakannya? Saya bingung, sebab saya melihat banyak sekali wajah Tuhan di dalam ratusan kitab suci yang saya baca.
Dalam sejarah pemikiran umat manusia, persoalan transendensi dan imanensi Tuhan seringkali muncul dalam diskursus tentang-Nya. Akan tetapi agaknya hingga saat ini tidak ada pembahasan atau argumentasi yang memadai terkait pembahasan ini. Orang pertama yang memberikan definisi mengenai transendensi dan imanensi Ilahi adalah Spinoza, seorang filsuf rasionalis yang menyatakan bahwa transendensi dan imanensi adalah dua atribut Tuhan yang tidak dapat dipisahkan. Ide-ide Plato, dan bahkan ide tentang Kebaikan yang merangkum semua ide yang lain dengan men-transendenkan-nya, sama sekali terpisah dari dunia karena hanya abstraksi murni. Demikian pula bagi Aristoteles dengan konsepnya tentang The First Unmoved Mover yang hanyalah suatu hasil akhir yang menjadi tujuan semua yang ada di dunia ini, suatu kesempurnaan yang tidak bisa ditembus. Dewa Stoa, baik sebagai pneuma yang menghidupkan segala sesuatu maupun sebagai logos yang memberikan indra dan rasio, terdapat dalam segala sesuatu, namun dalam keadaan kabur. Hanya di langit, ia ada secara penuh dan murni. Namun, di langit yang bergerak dan meliputi segalanya ini adalah lapisan luar dari dunia dan tidak terpisah darinya. Hal yang sama juga terjadi di dalam Neo-Platonisme. Pada Plotinos, dialektika transendensi dan imanensi jauh lebih rumit. Relasi di antara keduanya tampaknya berada dalam dua pandangan yang saling melengkapi dari realitas yang Satu dan sama[i]. Ia mengajarkan suatu pemahaman panteisme lunak di sini, sebab menurutnya Tuhan dan realitas berbeda sekaligus identik satu sama lain, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Di satu pihak, bila dipandang secara eksklusif dalam hal kesatuannya, meskipun Tuhan itu Satu, kesatuan ini juga merupakan dunia. Di pihak lain dunia merupakan Satu dalam keadaan terpisah-pisah.
Hal senada tentang persoalan transendensi dan imanensi ketuhanan dewasa ini juga dikemukakan Sindhunata dalam salah satu esainya yang berjudul “Terang yang Tersembunyi dalam Kegelapan”[ii]. Sindhunata menyatakan bahwa bagi manusia dewasa ini, Tuhan bukanlah Tuhan yang sudah jelas dengan sendirinya. Justru berbeda ketika zaman klasik, kini manusia hidup dalam suatu lingkungan yang ditandai dengan pengalaman akan Tuhan yang jauh dan tak terjangkau. Ini tidak langsung berarti, bahwa manusia hidup dalam lingkungan yang ateistis. Tetapi ateisme semacam itu ternyata ada dan bisa melingkupi kita. Tuhan dipercayai dan diakui, tetapi Tuhan tidak dirasa dan dialami dalam kehidupan manusia sehari-hari. Tuhan hanya ada sebatas pengertian, namun seakan tidak berperan dalam sejarah hidup manusia yang riil.
Dalam tulisan yang singkat ini penulis mencoba membahasakan hasrat keingintahuan manusia tersebut dengan hanya fokus pada persoalan eksistensi manusia dan persoalan ke-Tuhan-an melalui sudut pandang sebuah teks suci yang dipuja-puja di sepanjang negeri yang dialiri Sungai Gangga: Bhagavad Gita.
Mengenal Bhagavad Gita
Bhagavad Gita merupakan sebuah kitab yang penting kedudukannya di dalam tradisi Hindu. Walaupun secara historis penyusunannya terjadi sesudah kitab-kitab Veda, esensi dan popularitasnya tidak kalah dengan kitab-kitab tersebut. Uniknya, meskipun tidak termasuk bagian dari Veda, Bhagavad Gita secara kanonik telah terkodifikasi ke dalam kitab Sruti[iii]. Lebih jauh dari itu, Bhagavad Gita tidak hanya populer dalam kalangan Hindu saja, tetapi banyak sekali dihormati dan dibaca oleh kalangan luas, baik oleh ahli sastra, ahli agama, dan filsafat, dengan beragam interpretasi dan tendensi.
Bhagavad Gita juga dikenal sebagai Gitopanishad, yang merupakan esensi dari ilmu pengetahuan Veda dan juga salah satu Upanishad[iv] yang paling penting dalam literatur Veda. Sloka populer dari Waisnawa Tantrasara juga menyatakan bahwa Bhagavad Gita mengungkapkan kembali doktrin-doktrin primer dari kitab-kitab Upanishad, yang mana kitab-kitab Upanishad merupakan sapi-sapi dan putra penggembala sapi (Krishna) adalah pemerah susu; Arjuna sebagai anak sapi, sedangkan orang-orang bijak adalah si peminum susu dan Bhagavad Gita yang bagaikan nektar itu sendiri adalah susu yang hebat tersebut.
Banyak kalangan merasa tertarik mempelajarinya karena Bhagavad Gita ini merupakan anak cerita epos Mahabharata[v]. Meskipun masih banyak sekali perdebatan perihal asumsi tersebut, kebanyakan guru agung (mahacarya), dengan berbagai asumsinya, telah sepakat bahwa memang Bhagavad Gita merupakan bagian dari epos Mahabharata, bukan terpisah.
Selain perdebatan mengenai kedudukan Bhagavad Gita berkaitan dengan Mahabharata tersebut, persoalan lain yang muncul adalah: apakah Bhagavad Gita mengajarkan teisme[vi], monisme, atau mazhab ketuhanan lainnya? Ambiguitas itu muncul sebab di dalamnya mengandung dualisme unsur kefilsafatan (darsana) – Samkhya dan Vedanta—yang keduanya memiliki inti ajaran yang berlainan. Satu hal lagi yang tidak bisa ditampik dari ajaran Bhagavad Gita, meski tidak terlalu dominan adalah tentang metode meditasi Yoga. Selain itu, tak kalah pentingnya dalam kajian terhadap Bhagavad Gita, kita dituntut untuk mencermati kecenderungan visi dari Bhagavad Gita ini: membebaskan jiwa ataukah bhakti kepada Tuhan yang personal?
Terlepas dari persoalan itu semua, pembacaan dan pendalaman atas teks Bhagavad Gita sangatlah terbuka. Memperoleh tuntunan moral-etis, pemahaman tentang jiwa dan alam semesta, pencerahan tentang persoalan ketuhanan akan menjadi imbalan bagi siapa saja yang sudi menghirup nafas suci Bhagavad Gita.
Visi Bhagavad Gita
“Arjuna berkata: Krishna yang terkasih, melihat teman-teman serta sanak saudaraku berada di hadapanku dengan semangat perang membuat seluruh anggota tubuhku gemetar dan mulutku mengering.” (Bg. I. 28-29). Dan berturut-turut hingga sloka-sloka di dalam bab I usai, Arjuna mengalami kesulitan dan kecemasan eksistensi material hingga hampir memutuskan untuk mundur dari peperangan yang sudah di depan mata. Lalu dengan segenap pengetahuan dan kebijaksanaannya, Krishna memberikan pemahaman tentang tujuannya turun ke dunia (Bg. IV. 7-8).
Bhagavad Gita adalah untuk melepaskan manusia dari kebodohan dalam eksistensi material. Satu-satunya eksistensi kita hanyalah atmosfir non-eksistensi. Sesungguhnya kita tidak terancam oleh non-eksistensi tersebut, karena eksistensi yang kita miliki bersifat abadi. Namun, entah bagaimana kita ditempatkan dalam asat (mengacu pada sesuatu yang tidak eksis)[vii]. Ini sangat erat kaitannya dengan kesadaran diri – kesadaran akan penderitaan, kesulitan, kegelapan, dan kebodohan. Ketika kesadaran tersebut telah bersemayam di dalam diri seseorang, maka di sanalah sisi kemanusiaan dari manusia berawal.
Setiap laku manusia dianggap “sadar” ketika mampu mempertanyakan hal-hal asasi: mengapa mereka mengalami penderitaan, dari mana mereka berasal, dan ke mana mereka akan pergi setelah kematian. Dalam Bhagavad Gita, Krishna menjelaskan tentang pentingnya kelangsungan generasi manusia serta rencana kehidupan. Sebab hanya dengan itu manusia dapat bersikap sebagaimana mestinya dan juga dapat melengkapi misi kehidupannya. Bhagavad Gita mengajarkan bahwa kita harus menyucikan kesadaran yang telah terjamah oleh eksistensi material. Sebab ketika kita terkontaminasi secara material, maka kesadaran kita akan diselubungi oleh kepalsuan. Hal ini yang oleh Swami Prabhupada[viii] disebut ‘ego palsu’, yang, menurutnya, apabila seseorang telah terserap ke dalam pemikiran konsepsi ragawi, maka ia tidak akan sanggup untuk memahami keadaan ini. Dan Bhagavad Gita menawarkan diri untuk membantu roh kita terbebas dari konsepsi kehidupan ragawi ini dalam pendakiannya menuju Yang Ilahi – menjadi Mukti, Mokhsa (terbebas dari kesadaran material) melalui tiga disiplin yoga – karma-yoga (jalan kegiatan kerja), jnana-yoga (jalan pengetahuan), dan bhakti-yoga (jalan pengabdian).
Lalu apa yang dimaksud dengan eksistensi material? Di sini eksistensi material dideskripsikan sebagai sebuah pohon yang akar-akarnya tumbuh ke atas dan batang-batangnya berada di bawah. Kita pernah menjumpai sebuah pohon yang akar-akarnya tumbuh ke atas – jika seseorang berdiri di tepi sungai atau danau, dia akan melihat bahwa pepohonan yang berada di sana akan terefleksi di permukaan air secara terbalik. Batang-batangnya tumbuh ke bawah dan akar-akarnya tumbuh ke atas. Serupa dengan hal tersebut, eksistensi material ini merupakan sebuah refleksi dari eksistensi spiritual atau non-eksistensi. Eksistensi material merupakan bayangan dari realitas sesungguhnya, yang meminjam istilah Plato “dunia idea”. Di dalam bayangan tidak terdapat realitas atau substansi, namun, dari bayangan kita dapat memahami bahwa masih ada realitas atau substansi.
Manusia seringkali terobsesi akan kehormatan, kekayaan, syahwat, dan lain sejenisnya – namun, selama kita masih terikat dengan penanda-penanda tersebut, maka kita masih terikat dengan eksistensi material. Padahal, kita harus ingat, kita dalam hidup akan senantiasa berasosiasi dengan tiga mode kehidupan (tri guna): satvas, rajas, dan tamas. Satvas adalah keseimbangan, bila satvas dominan maka terjadi kedamaian atau ketenangan. Rajas adalah aktivitas yang menyebabkan munculnya kemungkinan dialektis – suka-tidak suka, cinta-benci, hemat-boros, dan lain sebagainya. Tamas adalah belenggu terhadap sesuatu sehingga muncul kelesuan, kemalasan, atau kegelapan. Bila satvas sedang berkuasa di dalam diri manusia, maka ia menjadi tenang, merenung, dan bermeditasi. Manusia yang dikuasai oleh sifat satvas akan berkarakter bijak dan bajik, berkecenderungan hidup secara murni, suci, mulia, dan religius. Pada saat lainnya sifat rajas yang menguasai diri manusia, maka ia akan mampu melakukan berbagai macam jenis laku duniawi penuh semangat dan bernafsu. Lain kemudian, ketika tamas yang berkuasa, maka manusia akan menjadi malas, bodoh, dan lalai[ix]. Ketiga mode ini berjalan di bawah kendali serta pengaruh waktu, sehingga terciptalah kegiatan-kegiatan yang disebut karma[x]. Kegiatan-kegiatan ini sudah ada sejak dahulu kala, dan terdapat hukum sebab-akibat di sana – entah kenikmatan ataukah penderitaan. Kebodohan, sebagai sumber penderitaan, dapat diatasi bila “Sang Diri” atau atman mampu mengatasi lima selubung kebodohan (panca maya kosa), yaitu: (1) lapisan makanan (annamaya kosa), (2) lapisan vital (pranamaya kosa), (3) lapisan mental (manomaya kosa), (4) lapisan intelektual (vijnanamaya kosa), (5) lapisan kebahagiaan (anandamaya kosa).
Namun, bukan berarti Bhagavad Gita mengabaikan sama sekali eksistensi material. Guna menjaga eksistensi material (baca: tubuh), setiap orang diharuskan untuk bekerja. Sebagaimana tertuang di dalam ajarannya, lingkungan sosial-masyarakat telah dibagi berdasarkan pekerjaan, yang kemudian di bagi pula ke dalam empat divisi strata sosial – brahmana, ksatriya, vaisya, dan sudra, yang di dalam lingkungan masyarakat semua orang harus bekerja untuk menjaga eksistensi materialnya sesuai dengan pembagian kerja. Hal ini dilakukan dalam rangka agar manusia mampu mempertahankan eksistensi spritualnya. Sebab ketika kita belum mampu menjaga eksistensi material (tubuh), kita akan sulit menjangkau eksistensi spiritual kita secara bersamaan dengan tugas-tugas material.
Samkhya dan Vedanta: Ambiguitas interpretasi tentang Tuhan
Ditulis R.C. Zaehner, Bhagavad Gita mencerminkan tiga unsur dominan yang membentuknya. Selain Upanishad (Vedanta), kitab ini juga merengkuh unsur-unsur Buddhisme dan Samkhya. Dari Upanishad, Bhagavad Gita masih mewarisi ketegangan antara ajaran monisme (kesatuan atau keunikan Brahman) di satu sisi dan teisme sisi lain (kebaktian kepada Vishnu). Dari Buddhisme, Bhagavad Gita mewarisi ajaran sunyavada[xi], dan dari Samkhya, dualisme purusha dan prakrti[xii]. Sehingga di sinilah letak keunikan dan paradoks sebuah susunan teks yang dalam satu kesatuannya masih menampakkan banyak kontradiksi di dalamnya – sehingga memerlukan tingkat kejelian yang tinggi untuk membaca sloka per slokanya.
Menurut Sudiarja[xiii], dari semua persoalan yang tampak tersebut, persoalan yang paling urgen untuk didiskusikan adalah apakah Bhagavad Gita mengajarkan paham teisme ataukah monisme. Dalam interpretasi Ramanuja, penggagas aliran Dvaita Vedanta, Vishnu yang mewujud sebagai Krishna mengatasi tidak hanya atas dunia fenomena, tetapi juga ia memiliki pengetahuan mutlak tentang Brahman. Sebab, menurutnya, meskipun Brahman merupakan realitas tertinggi, bukan berarti tanpa atribut yang dapat dikenali.
Di sisi lain, Shankara memandang Bhagavad Gita mengajarkan paham monisme – Brahman sebagai satu-satunya kenyataan. Sedangkan realitas jamak yang terlihat hanyalah bentuk dari manifestasi-Nya semata, yang dalam istilah Shankara disebut ‘ilusi’ dan ‘distorsi’[xiv]. Realitas jamak yang sesungguhnya tidak nyata ini, menurut Shankara dapat terlihat nyata apabila manusia hidup dalam kebodohan (avidya).
Sebelum melangkah jauh dalam pembahasan ini, alangkah baiknya jika kita terlebih dahulu menengok dan memahami apa itu Samkhya Darsana dan Vedanta Darsana. Samkhya Darsana didirikan oleh rsi Kapila. Aliran ini beranggapan bahwa tidak ada Tuhan yang berpribadi (personal God). Secara ontologis aliran ini beranggapan bahwa realitas tersusun atas dualisme purusha (jiwa) dan prakrti (materi). Purusha adalah yang mengetahui sedangkan prakrti yang diketahui. Prakrti adalah sumber alam semesta, sebagai penyebab material sekaligus penyebab efisien dari alam semesta. Dari prakrti muncullah buddhi kosmis atau mahat (total energi material). Dari mahat timbullah ahamkara kosmis atau prinsip keakuan atau ego palsu, di mana jiwa salah mengidentifikasi dengan tubuh material. Dari ego palsu ini muncullah sepuluh indriya dan pikiran pada sisi subjektifnya, dan lima tanmatra halus – suara, bau, rasa, warna, dan sentuhan dari sisi objektifnya. Dari tanmatra itu kemudian timbul tanmatra kasar atau panca mahabutha – tanah, air, api, udara, dan ether[xv].
Meskipun aliran ini sejak mula berasumsi bahwa tidak ada Tuhan, akan tetapi menurut tafsir penulis konsepsi tentang ketiadaan Tuhan tidak sesederhana demikian. Sebab konsep purusha atau Sang Diri atau roh sesungguhnya merujuk pada suatu pemahaman kecil tentang yang halus, yang pada perkembangannya kemudian seringkali dikonotasikan sebagai ‘Tuhan’.
Sedangkan Vedanta Darsana adalah aliran filsafat yang merujuk pada kitab-kitab Upanishad. Doktrin pokok dalam aliran ini adalah Tuhan (Brahman) dan jiwa individu (Atman) adalah sama. Sama, karena Brahman dan Atman adalah satu kesatuan tunggal – Atman adalah bentuk jamak akibat proses emanasi dari Brahman. Vedanta Darsana ini pun memiliki dua cabang aliran – Advaita (non-dualis) dengan tokohnya Shankara, dan Dvaita dengan tokohnya Ramanuja. Shankara berpendapat bahwa hanya ada satu realitas dan itu adalah Brahman (Tuhan). Di kutub yang berlainan, Ramanuja menerima dualisme realitas: pertama, realitas yang bergantung (materi dan jiwa), dan kedua, realitas tidak bergantung (Tuhan)[xvi].
Dalam Bhagavad Gita, menurut Radhakrishnan yang sejalan dengan pemikiran Shankara, tidak ada penjelasan sistematik tentang realitas Yang Absolut, karena sesungguhnya pengetahuan tentang Yang Absolut merupakan ranah mistik-spiritual, bukanlah sebuah dialektika[xvii]. Dengan demikian, Brahman, Yang Absolut merupakan satu-satunya realitas, tidak ada kemenduaan. Brahman adalah objek sekaligus subjek, rohani sekaligus jasmani, nirguna sekaligus saguna – mengatasi segalanya.
Selanjutnya, Radhakrishnan mengungkapkan bahwa Bhagavad Gita mendukung gagasan Upanishad tentang Brahman Yang Maha Unik, yang bersifat ambigu dan paradoksal. Brahman, berkali-kali disebut di dalam Bhagavad Gita menggunakan ungkapan yang negatif dan kontradiktif – ‘bukan ini, bukan itu (neti, neti)‘, ‘bergerak sekaligus tidak bergerak’ (Bg. XIII.16), ‘terbagi dan tidak pernah terbagi’ (Bg. XIII. 17), dan seterusnya. Dalam Upanishad juga dikatakan bahwa Dia sebagai ‘awal dan tujuan’, ‘ada di mana-mana’, ‘personal sekaligus impersonal’.
Sedangkan Ramanuja, sebagai penerima gagasan dualitas di dalam Samkhya, menafsirkan Bhagavad Gita secara lain sama sekali. Menurutnya, kedua entitas materi (prakrti) dan roh (purusha) merupakan satu kesatuan yang merupakan ‘diri Tuhan’. Brahman sendiri adalah Atman yang menjadi pusat keduanya – Sang Ilahi, Absolut, menguasai dunia kebendaan maupun kerohanian, segala sesuatu ada di dalam dirinya, sehingga dapat dikatakan Bhagavad Gita juga mengajarkan panenteisme[xviii] sebagai turunan pemahaman dualismenya. Ramanuja dalam ulasannya tentang Bhagavad Gita, mencoba mengembangkan jenis mistisisme. Di mana tempat rahasia roh manusia, Tuhan bersemayam, namun Tuhan tidak akan dikenali selama manusia masih terjerat pada selubung kebodohan dan tidak berusaha mencari pengetahuan penebusan kepada-Nya, Yang Tertinggi, Tuhan yang sejati – Vishnu Yang Agung.
Dengan demikian, interpretasi teisme Ramanuja, mengandaikan Brahman impersonal yang merupakan segala sesuatu hanya merupakan ‘diri Tuhan’. Sementara Shankara, mengandaikan Brahman tidak bisa diungkapkan dengan ungkapan yang afirmatif dan tegas, melainkan dengan ungkapan-ungkapan yang serba negatif bahkan kontradiktif. Sehingga, Bhagavad Gita, sebagaimana penulis pahami, sungguh menampakkan ‘ketersembunyian’ tentang realitas Sang Absolut melalui Dia, Tuhan personal, avatara Sang Vishnu, saguna Brahman, yang misterius – Sri Krishna Yang Agung.
Penutup
Dari pembahasan singkat di atas, kita telah mulai membuka hati dan pikiran kita untuk mengenal ‘Nyanyian Tuhan’ dari negeri India sebagai teks filsafat. Pemahaman di atas masih terlampau jauh untuk merepresentasikan ‘Nyanyian Tuhan’ yang sesungguhnya. Sebab untuk mencapai tahap itu kita perlu melakukan pendekatan hermeneutika filosofis yang memadai. Selain itu, perlu juga menggunakan pendekatan-pendekatan lain seperti sosio-kultural India, historis, dan teologi Hindu (Brahmavidya).
Mendalami Bhagavad Gita, selain menuntut keluasan dan keterbukaan pikiran, juga memerlukan ketajaman nurani dan kejernihan hati. Sebab, hanya dengan itulah kita semua dapat terus berupaya memahami eksistensi kita di dunia, menyingkap ‘ketersembunyian’ Brahman sekaligus mendapati makna sesungguhnya dari apa yang Sri Krishna nyanyikan.
Darinya, kita dapat memahami bahwa eksistensi manusia bukanlah permanen dan terikat pada dunia material saat ini. Meskipun demikian, dunia material, yang hanya bayangan ini, yang bukan substansi ini, bukan berarti tanpa arti. Dunia material ini adalah jalan yang harus dilalui, adalah pendakian yang harus ditempuh dalam rangka “mengetahui, bekerja, atau berbakti secara total” kepada yang Ilahi. Hingga akhirnya manusia harus menyadari “Sang Diri” sedang bersemayam di dalam dirinya, sadar akan tugasnya di dunia, dan bersiap-siap untuk suatu Kebebasan yang tak terperi – menuju Ketakterbatasan yang sejati.
Melihat fenomena keber-Tuhan-an belakangan ini, di mana Tuhan hanya diperdebatkan hanya dalam persoalan nama dan atribut, sungguh ditolak oleh Bhagavad Gita. Sebab Bhagavad Gita dengan tegas menyatakan bahwa Tuhan dapat diutarakan dengan sebutan mulia dan gelar apa saja, menangkap tanda-tanda-Nya lewat alam semesta, bertemu dengan-Nya melalui pengalaman akan-Nya, dan kembali manunggaling dengan-Nya dengan berbagai cara. Walaupun – sesungguhnya Tuhan sendiri tidak akan dapat ternamai. Simbol dan tanda di dalam semesta tidak akan mampu merangkum-Nya menjadi sebuah definisi yang tepat. Ciptaan-Nya juga tidak akan mampu menyerap Diri Tuhan, namun Tuhan dapat ditemukan di dalam ciptaan-Nya. Demikian kata Bhagavad Gita.
Membaca Tuhan – apapun sebutannya, tidak sedikit pun mereduksi segala hal ihwal tentang-Nya. Berusaha ketahuilah, setelah itu mengikuti kata Wittgenstein – “mengenai yang tidak kita ketahui, kita hanya bisa diam”. Sebagaimana dituturkan di dalam Upanishad: dua ekor burung yang bertengger pada satu pohon yang sama, di mana salah satu melahap buah-buahan dan yang satunya hanya menyaksikan saja – sebagai ‘saksi bisu’ yang menarik diri dari kenikmatan. Impersonalitas dan personalitas bukanlah suatu kontruksi realitas dari fiksi pikiran; sebab keduanya merupakan dua cara dalam memandang Yang Abadi. []
Catatan Akhir:
[i] Lih. Thomas Hidya Tjaya, Kosmos Tanda Keagungan Allah: Refleksi Menurut Louis Bouyer (Yogyakarta, Kanisius, 2002), hal. 116.
[ii] I. Wibowo & B. Herry Priyono, Sesudah Filsafat (kumpulan esai-esai untuk Franz Magnis-Suseno) (Yogyakarta, Kanisius, 2006), hal. 9-10.
[iii] Sruti adalah kelompok Kitab Suci Hindu yang utama, dianggap sebagai perwahyuan langsung, dibedakan dengan Smrti, yakni kelompok Kitab Suci Hindu yang sekunder, yang sudah mendapat penafsiran manusia.
[iv] Upanishad berisi108 pakta-pakta filosofikal yang tercantum di dalam kitab-kitab Veda.
[v] Delapan belas bab di dalam Bhagavad Gita menempati sub bab 23-40 dari Bhismaparva dalam Mahabharata. Bhagavad Gita sendiri terdiri dari 700 sloka.
[vi] Teisme di sini merujuk pada suatu kecenderungan pemujaan terhadap Krishna (Vishnu).
[vii] Lih. A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada, Bhagavad Gita (Yogyakarta, Narasi, 2010), hal. 15-16.
[viii] Penemu/Arcada (Guru) dari Komunitas Kesadaran Krishna Internasional.
[ix] Lih. I Ketut Donder, Brahmavidya: Teologi Kasih Semesta (Surabaya, Paramita, 2006), hal. 272
[x] Karma merujuk pada kegiatan-kegiatan material, menjadi salah satu tujuan hidup manusia di dalam Hindu – dharma-artha-karma-mokhsa.
[xi] Sunyavada adalah suatu doktrin di dalam Buddha yang mengajarkan tentang ‘kekosongan’.
[xii] Lih. R.C. Zaehner, The Bhagavadgita, with a Commentary Based on the Orisinal Sources (Oxford, Oxford University Press, 1973).
[xiii] Dosen Program Pascasarjana STF Driyarkara dan Pengampu Matakuliah Filsafat Timur.
[xiv] Lih. A. Sudiarja. “Mempelajari Bhagavad Gita”, Driyarkara, Th. XXXV No. 1/2014: hal. 7.
[xv] Lih. I Ketut Donder, Op. Cit., hal. 273.
[xvi] Lih. Ibid., hal. 284.
[xvii] Lih. S. Radhakrishnan, The Bhagavadgita, with an Introductory Essay, Sanskrit Text, English translation and Notes (London, 1973), hal. 20-28.
[xviii] Panenteisme sangat terlihat di dalam Bab XI Visvarupa Darsana Yoga. Menurut aliran ini semuanya yang ada termuat dalam Tuhan. Ini merupakan pemikiran teologis untuk mengatasi kelemahan baik yang terdapat dalam panteisme yang tidak cukup membedakan Tuhan dari dunia, maupun monoteisme yang terlalu memisahkan Tuhan dari manusia. Penjelasan selanjutnya tentang aliran ini, Lih. Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1996), hal. 175.