Nasionalisme dan Nasionalisme Baru
Dalam konteks terkait dengan terbentuknya negara modern, dapat dikatakan bahwa nasionalisme adalah suatu kekuatan yang mentransformasikan dunia kekaisaran kolonial menuju dunia dari negara teritorial independen (independent territorial states), yang timbul sehubungan dengan kedaulatan rakyat (popular sovereignity) dan liberalisme membantu menghasilkan gerakan kemerdekaan di dalam kekaisaran kolonial. Nasionalisme mulai menghubungkan negara-negara dengan “bangsa” (nation) dengan menegaskan kedaulatan teritorial negara sebagai bentuk dominan dari organisasi politik di seluruh dunia dan dengan menghasilkan pengalaman tertentu dari kebangsaan, bergantung pada situasi historis yang spesifik. Singkatnya, nasionalisme mereformasi negara dalam penataan dunia politik yang hampir global, dan menciptakan berbagai tantangan untuk supremasi Eropa dan dominasi dalam jaringan global yang muncul dari negara-negara teritorial.[1]
Pada awal abad keenam belas, istilah nation mulai diterapkan pada seluruh populasi orang dari lokal geografis tertentu daripada diasosiasikan hanya pada elit mahasiswa seperti pada abad pertengahan. Seluruh populasi tersebut meningkat dan dibuat menjadi pembawa kedaulatan, dasar solidaritas politik, dan objek utama dari loyalitas. Jadi, identitas nasional seseorang berasal dari keanggotaan yang dimilikinya dari orang-orang tertentu, yang didefinisikan sebagai ciri homogen yang membedakannya dengan kelompok lainnya dalam bahasa, budaya, ras, dan sejarah. Dengan demikian, istilah nation mendapatkan arti kontemporernya, yaitu; orang-orang unik berdaulat mudah dibedakan dari orang-orang yang didefinisikan unik dan berdaulat lainnya yang terikat bersama oleh rasa solidaritas, budaya, bahasa, agama, dan lokasi geografis.[2]
Nasionalisme bukan hanya menciptakan kembali yang lokal menjadi yang nasional, tetapi juga hal itu memediasi yang lokal dengan dunia global. Karenanya nasionalisme dapat muncul di dalam konteks negara-negara Eropa yang mengglobal.
Berdasarkan hal itu, nation merupakan entitas yang secara sadar diciptakan untuk membentuk kondisi kultural, sosiologis, dan psikologis yang diperlukan untuk menopang teritorial kedaulatan negara. Pengembangan terhadap puncak identitas nasional yang dapat mengesampingkan loyalitas terhadap regional, kelas, atau agama memerlukan upaya sistematis dari negara (state). Menciptakan rasa kebangsaan memerlukan upaya untuk mengintegrasikan individu kepada bahasa dan budaya lokal dalam rangka menciptakan budaya nasional yang sama (bahasa, nilai, norma perilaku) yang menanamkan kepada populasi subjek negara sebuah kerangka acuan nasional yang berkaitan dengan ruang (misalnya wilayah negara) dan waktu (sejarah tunggal nasional). Karenanya, menciptakan identitas nasional erat hubungannya dengan pembentukan negara teritorial. Lebih lanjut, nasionalisme bukan hanya menciptakan kembali yang lokal menjadi yang nasional, tetapi juga hal itu memediasi yang lokal dengan dunia global. Karenanya nasionalisme dapat muncul di dalam konteks negara-negara Eropa yang mengglobal.
Nasionalisme baru merupakan efek dari kemunculan era globalisasi yang syarat dengan peningkatan percepatan pertukaran orang, uang, dan komoditas yang melawati batas-batas nasional dari nation–state, dan karenanya hal itu, sebagaimana ditunjukkan oleh Hardt dan Negri, mereduksi kedaulatan yang dimiliki oleh nation-state.
Dalam hal ini, secara singkat dapat dikatakan bahwa nasionalisme adalah suatu program politik yang mempersatukan orang-orang dengan didasarkan pada garis keturunan umum atau kesamaan budaya, agama, kesamaan sejarah, dan lokasi geografis, bersama-sama dengan negara yang berdaulat.
Lebih lanjut, mengacu pada Takis Fotopulos terdapat beberapa karakteristik yang membedakan antara nasionalisme klasik dengan nasionalisme baru, karakteristik distingtif tersebut diantaranya adalah sebagai berikut;
- Nasionalisme adalah gagasan yang dikembangkan di era nation-states (negara bangsa) sebagai gerakan untuk mempersatukan masyarakat melalui kesamaan latar belakang sejarah, budaya, dan biasanya bahasa di bawah atap yang sama dari nation-states yang muncul pada era itu dan bahkan juga pada abad ke-20 ketika berkembangnya gerakan pembebasan nasional (national liberation movement) yang bertarung demi kepentingan nation-state-nya sebagai bentuk perlawanan terhadap kekaisaran kolonial atau kolonialisme. Di sisi lain, nasionalisme baru dikembangkan di era globalisasi dengan tujuan untuk memproteksi kedaulatan nasional dalam nation-states yang dianggap berada di bawah ancaman akibat dari integrasi nasional kepada institusi suprasional, misalnya integrasi satu negara ke dalam New World Order of Neoliberal Globalization yang mengacu pada gagasan ideologis mengenai global governance.
- Penekanan gagasan nasionalisme adalah pada nation-state sedangkan pada nasionalisme baru penekanan ini tidak begitu banyak pada bangsa tetapi lebih pada kedaulatan di ekonomi dan juga di tingkat politik dan budaya, yang telah dihapus di dalam proses globalisasi;
- Tidak seperti nasionalisme lama, nasionalisme baru juga membangkitkan juga tuntutan yang di masa lalu merupakan bagian penting dari agenda Kiri, seperti permintaan untuk kesetaraan yang lebih besar (dalam negara-bangsa dan antara negara-bangsa), permintaan untuk meminimalkan kekuatan elit, bahkan tuntutan anti-perang.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa nasionalisme baru merupakan efek dari kemunculan era globalisasi yang syarat dengan peningkatan percepatan pertukaran orang, uang, dan komoditas yang melawati batas-batas nasional dari nation–state, dan karenanya hal itu, sebagaimana ditunjukkan oleh Hardt dan Negri, mereduksi kedaulatan yang dimiliki oleh nation-state.
Uni Eropa
Upaya untuk menyatukan Eropa telah dilakukan sejak akhir abad ke-18. Namun baru setelah Perang Dunia kedua ada gerakan baru untuk menciptakan kesatuan antara Jerman dan Perancis, yang pada akhirnya akan meletakkan dasar bagi Uni Eropa empat dekade kemudian (Wilkinson, 2016). Proses integrasi Eropa sendiri dimulai sejak dibentuknya European Coal and Steel Community (ECSC) tahun 1951. Pada awalnya perjanjian yang berlokasi di Paris ini ditandatangani oleh 6 negara yakni Belgia, Perancis, Jerman Barat, Italia, Luxemberg, dan Belanda. Kemudian tahun 1957 kembali diadakan perjanjian serupa di Roma dengan perluasan kerjasama di bidang ekonomi, traktat Roma ini menghasilkan European Economic Community (EEC) juga sekaligus membentuk European Atomic Energy untuk kerja sama pengembangan atom.
Pada tahun 1993 single market telah terimplimentasikan dalam ’empat kebebasan’ dari: pergerakan barang, jasa, orang dan uang yang menjadi tujuan dari Uni Eropa. Di tahun 1990-an juga masih satu dekade dengan dua traktat: yakni ‘Maastricht’[3] Perjanjian tentang Uni Eropa pada tahun 1993 dan Perjanjian Amsterdam pada tahun 1999. Kemudian traktat semacam tersebut terus menerus dilakukan dengan kerja sama yang semakin luas ke berbagai bidang sekaligus memiliki jumlah anggota yang semakin banyak. Uni Eropa sendiri memiliki beberapa komite, di antaranya Komite Ekonomi dan Sosial juga Komite Regional yang menangani hal-hal terkait hasil perjanjian. Atas perdamaian yang berhasil dipromosikan melalui upaya Uni Eropa sebagai institusi maka pada tahun 2012 Uni Eropa dianugerahi hadiah Nobel.
Uni Eropa hari ini memiliki 28 anggota yang bekerja sama dan mengatur dalam bidang ekonomi, politik dan keamanan. Anggota Uni Eropa adalah Austria, Belgia, Bulgaria, Kroasia, Siprus, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Irlandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luksemburg, Malta, Belanda, Polandia, Portugal, Rumania, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, dan UK. Perekonomian Uni Eropa menghasilkan PDB (nominal) sekitar € 14.303.000.000.000 menurut International Monetary Fund, hal ini membuatnya menjadi ekonomi terbesar di dunia jika dihitung sebagai ekonomi dari suatu negara. Perluasan keanggotaan ini turut menambah nilai pertumbuhan ekonomi di daerah Uni Eropa. Tentu ada persyaratan yang harus dipenuhi negara yang ingin bergabung dengan Uni Eropa, yakni ia harus mengadopsi asas demokrasi, memiliki penegakan hukum yang baik, menghormati HAM, mau mematuhi peraturan Uni Eropa dan yang kedua negara tersebut harus berada di benua Eropa.
Brexit
Di tengah banyaknya priviledge yang didapatkan ketika tergabung dalam Uni Eropa, namun hal ini juga mengandung kontroversi di beberapa negara, karena ada serangkaian peraturan tadi yang harus dilakukan dan mengikuti hasil dari keputusan di Uni Eropa. Kontroversi ini misalnya terjadi di UK, ada beberapa kebijakan yang di samping memberi manfaat atas gabungnya dengan Uni Eropa namun ternyata bagi sebagian kelompok orang di UK hal ini justru lebih banyak kerugian yang ditanggung, ada persepsi bahwa UK seolah di dikte oleh Uni Eropa. Di antaranya kebijakan mengenai imigran, di mana Uni Eropa mewajibkan anggotanya untuk menampung imigran. Hal-hal semacam ini yang akhirnya memicu UK melakukan referendum apakah UK akan tetap tergabung dalam UE ataukah akan keluar (British Exit—brexit). Hasil referendum tersebut menunjukkan bahwa 48% menginginkan UK tetap menjadi bagian dari UE, 52% memilih untuk keluar dari UE. Dilansir dari situs Economist, ada beberapa hal utama yang menjadi poin perdebatan antara tetap di Uni Eropa atau keluar dari Uni Eropa. Isu tersebut diantaranya terkait masalah perdagangan, regulasi, budget, imigran dan pengaruh.
Salah satu motivasi yang menjadi penggerak dalam mendukung berpisahnya UK dari UE adalah pemulihan kedaulatan nasional dalam pengertian bahwa kekuasaan mengenai penetapan suatu kebijakan negara sepenuhnya berada di dalam kuasa negara. Artinya, UK sebagai suatu nation–state memiliki kuasa penuh untuk membuat kebijakan atau regulasi politik, ekonomi, migrasi, keamanan, dan lain sebagainya, tanpa perlu mempertimbangkan sikap atau hasil keputusan dari komite di UE.
Pertama terkait permasalahan perdagangan, pihak yang menginginkan UK untuk tetap berada di UE menganggap bahwa 45% dari ekspor UK ke wilayah UE sehingga menjadi sesuatu yang merugikan jika akhirnya ekspor ini akan kembali dikenakan tarif ekspor. Sedangkan bagi pendukung Brexit percaya bahwa hal tersebut masih bisa dinegosiasikan dengan UE tanpa harus tergabung dan bekerjasama, di luar UE seperti dengan Cina dan India dapat menjadi alternatif perdagangan yang menjanjikan. Kemudian terkait biaya keanggotaan dengan UE berjumlah 350 juta euro, bagi pro-brexit dana tersebut harusnya bisa dialokasikan untuk pengembangan riset ataupun menggencarkan indutsri baru dalam negeri, namun bagi yang contra-brexit alokasi dana tersebut sepadan dengan apa yang didapatkan dari single market. Kemudian isu lainnya terkait penolakan imigran yang berasal dari non-UE oleh kebanyakan kelompok yang pro-brexit. Kemudian isu perdebatan lainnya yakni terkait pengaruh dari UK sebagai negara menurut kelompok yang pro-brexit, keanggotaan UK dalam UE justru mengurangi peran dan pengaruhnya karena banyak dari kebijakan yang harus mempertimbangkan juga hasil keputusan komite di UE, sedangkan bagi yang contra-brexit tidak demikian, karena representasi UK dalam UE cukup kuat dan hal ini memberi pengaruh yang besar, misalnya saja kerjasama dalam melawan virus Ebola di Afrika. Kemenangan kelompok pro-brexit dalam referendum ini jelas memberikan konsekuensi yang besar bagi UK dan UE itu sendiri. Pemilih yang pro-brexit ini jika dikategorikan dari umur kebanyakan bukan berasal dari usia muda, sedangkan kelompok usia muda lebih memilih UK untuk tetap bergabung dalam UE. Kendati demikian, para pro-brexit ini tetap tersebar di berbagai wilayah di UK, atau dengan kata lain berasal dari berbagai wilayah.
Brexit sebagai sebuah Gerakan Kebangkitan Nasionalisme Baru atau Neo-Nasionalisme
Salah satu motivasi yang menjadi penggerak dalam mendukung berpisahnya UK dari UE adalah pemulihan kedaulatan nasional dalam pengertian bahwa kekuasaan mengenai penetapan suatu kebijakan negara sepenuhnya berada di dalam kuasa negara. Artinya, UK sebagai suatu nation–state memiliki kuasa penuh untuk membuat kebijakan atau regulasi politik, ekonomi, migrasi, keamanan, dan lain sebagainya, tanpa perlu mempertimbangkan sikap atau hasil keputusan dari komite di UE. Hal tersebut jelas menjadi indikasi dari kemunculan gerakan nasionalisme baru, di mana karakteristik dari kehadirannya ditandai dengan ide pemulihan atau proteksi terhadap kedaulatan nasional yang terancam akibat integrasi nasional kepada institusi supranasional. Dalam hal ini, integrasi antara UK dengan negara eropa lainnya yang terwadahi dengan keberadaan UE, oleh mereka yang pro-brexit dianggap sebagai sebuah ancaman yang mereduksi kedaulatan nasional UK, di mana melalui hal itu negara memiliki kontrol yang lebih sedikit terhadap kebijakan ekonomi makro, perbatasan, dan perpindahan orang atau migrasi, dan karenanya dianggap berimplikasi pada kemerosotan kedaulatan dan pengaruh yang diberikan oleh UK ke dunia internasional.
Keluarnya UK dari keanggotaan UE, atau yang dikenal dengan istilah Brexit dapat dilihat sebagai suatu upaya yang bertujuan untuk memulihkan kedaulatan nasional, mengembalikan kedaulatan sepenuhnya pada nation-state sehingga nation-state memiliki kedaulatan penuh untuk membuat suatu kebijakan politk, ekonomi, keamanan, dan lain sebagainya tanpa intervensi pihak asing, di mana hal tersebut merupakan gagasan sentral di dalam ide nasionalisme.
Sementara itu, dari segi ekonomi, motivasi yang mendorong para voters yang menginginkan berpisahnya UK dari EU adalah karena terdapatnya keyakinan bahwa melalui bergabungnya UK di dalam EU yang iringi dengan implementasi single market akan menjadi ancaman bagi negara terkait dengan melemahnya kontrol terhadap ekonomi. Hal ini dikarenakan melalui bergabungnya UK dengan EU yang diringi dengan implementasi single market menyebabkan terjadinya peningkatan yang signifikan dari transaksi komoditas, uang, dan orang yang melewati batas negara, dan karenanya meminimalisir kontrol negara atas hal tersebut.
Terlebih lagi, melalui implementasi dari single market yang memungkinkan terjadinya migrasi tenaga kerja secara bebas dari satu negara ke negara lainnya, atau dalam hal ini dari negara eropa lainnya menuju UK, oleh para kelompok pro-brexit dianggap sebagai sesuatu yang mengancam terserapnya warga negara nasional ke dalam pasar tenaga kerja. Dengan kata lain, warga UK yang pro Brexit mengganggap bahwa dengan bergabungnya UK ke dalam UE, maka akan mengimplikasikan terjadinya migrasi tenaga kerja besar-besaran dari berbagai negara di Eropa ke UK dan hal tersebut merupakan ancaman bagi warga UK untuk mendapatkan kerja di negaranya karena persaingan untuk mendapatkan pekerjaan menjadi semakin besar. Dengan demikian, melalui pemisahan keanggotaan UK dari UE, hal ini menjadi suatu upaya proteksionisme ekonomi, yaitu kebijakan ekonomi mengenai pembatasan perdagangan antar negara melalui cara seperti regulasi tarif komoditas impor, pembatasan kuota, dan lain sebagainya, yang mana hal itu ditujukan untuk melindungi para produser, pebisnis dan pekerja nasional dari kompetitor asing. Dalam hal ini, khsususnya mengenai ketenagakerjaan, di mana kebijakan ekonomi terkait dengan penyerapan tenaga kerja pasca keluarnya UK dari UE akan diprioritaskan kepada warga negara UK untuk mendapat pekerjaan, di mana salah satunya melalui pembatasan migrasi tenaga kerja ke dalam wilayah UK sehingga penyerapan tenaga kerja lebih didominasi oleh warga negara UK itu sendiri.
Hal tersebut juga menjadi indikasi dari kehadiran nasionalisme baru karena dengan keluarnya UK dari UE merupakan suatu upaya untuk memulihkan kedaulatan ekonomi UK sebagai nation-state yang sebelumnya, melalui integrasi antara UK dengan UE, dianggap sebagai alasan yang mendasari kemerosotan kedaulatan ekonomi UK. Lebih lanjut, pemutusan keanggotaan UK dari UE yang menggiring pada proteksionisme ekonomi merupakan indikasi yang jelas bahwa hal tersebut didorong oleh motivasi untuk memprioritaskan kepentingan warga UK dan karenanya dapat dianggap sebagai upaya yang didorong atas dasar nasionalisme.
Dengan demikian, keluarnya UK dari keanggotaan UE, atau yang dikenal dengan istilah Brexit dapat dilihat sebagai suatu upaya yang bertujuan untuk memulihkan kedaulatan nasional, mengembalikan kedaulatan sepenuhnya pada nation-state sehingga nation-state memiliki kedaulatan penuh untuk membuat suatu kebijakan politik, ekonomi, keamanan, dan lain sebagainya tanpa intervensi pihak asing, di mana hal tersebut merupakan gagasan sentral di dalam ide nasionalisme. Lebih lanjut, kemerosotan kedaulatan pada UK sebagai sebuah nation-states yang dianggap disebabkan oleh bergabungnya UK dengan UE berkorelasi dengan persoalan globalisasi, dalam pengertian bahwa terbentuknya integrasi dari negara-negara Eropa dalam wadah UE merupakan suatu karakteristik dari globalisasi yang mengandaikan terjadinya peningkatan pertukaran atau transaksi barang, uang, orang, dan juga budaya antar negara yang semakin borderless. Karena hal itu, Brexit dapat dianggap sebagai sebuah kemunculan gerakan nasionalisme baru karena Brexit merupakan upaya untuk memulihkan kembali keadulatan UK sebagai nation-state yang kemerosotan kedaulatannya disebabkan oleh arus globalisasi yang diekspresikan dengan keberadaan UE sebagai wadah integrasi antar negara Eropa.
Catatan Kaki:
[1] Walter C. Opello, Jr. dan Stephen J. Rosow. The Nation-State and Global Order; a Historical Introduction to Contemporary Politics. Lynne Riener Publisher. 1999. Hlm. 124.
[2] Ibid. hlm. 125.
[3] Perjanjian itu dirancang untuk meningkatkan integrasi politik dan ekonomi Eropa dengan menciptakan mata uang tunggal (euro), kebijakan luar negeri dan keamanan terpadu, dan hak-hak kewarganegaraan umum dan dengan memajukan kerjasama di bidang keimigrasian, suaka, dan urusan peradilan (Gabel, 2016).
Daftar Pustaka:
About the EU. Dipetik Desember 5, 2016, dari European Union: https://europa.eu/european-union/about-eu/history_en
Boyle, C. (2016, Juni 24). Diambil kembali dari CNBC Web site: http://www.cnbc.com/2016/06/24/brexit-how-did-this-just-happen.html
Fotopolus, T. (2016, May 26). Globalization, Rise of Neo-Nationalism and the Bankcruptcy of the Left. Dipetik Desember, 13 2016, dari Global Research: http://www.globalresearch.ca/globalization-the-massive-rise-of-neo-nationalism-and-the-bankruptcy-of-the-left/5527157
Gabel, M. J. (2016, Oktober 17). Encylopedia Britannica. Dipetik Desember 5, 2016, dari Britannica: https://www.britannica.com/topic/European-Union
Negri, A., & Hardt, M. (2000). Empire. London: Harvard University Press.
Opello, Jr., W. C. dan Rosow, S. J. (1994). The Nation-State and Global Order; a Historical Introduction to Contemporary Politics. Lynne Riener Publisher.
Team, T. D. (2016, Februari 24). Diambil kembali dari The Economists: http://www.economist.com/blogs/graphicdetail/2016/02/graphics-britain-s-referendum-eu-membership
Wilkinson, M. (2016, Juni 22). Dipetik Desember5 2016, dari Telegraph Web site: http://www.telegraph.co.uk/news/2016/06/20/what-is-the-eu-why-was-it-created-and-when-was-it-formed1/