Sejarah perbudakan orang berkulit hitam di Amerika Serikat menghasilkan banyak cerita yang terwujud sebagai kisah yang justru bertolak belakang dengan kondisi saat itu: suram dan penuh pesimisme. Tidak sedikit dari keturunan para budak tumbuh menjadi orang yang terbilang sukses. Salah satu di antaranya adalah James Brown, seorang musisi Amerika Serikat yang dijuluki The Godfather of Soul. Penyanyi yang terkenal dengan suara seraknya dan lagu-lagunya yang menghentak ini cukup berpengaruh di dunia musik pada abad ke-20. Sebagai keturunan dari seseorang yang pernah dijadikan budak, Brown justru tumbuh menjadi pribadi yang memanifestasikan “roh zaman” tempat di mana ia hidup. Lagu-lagunya menunjukkan “roh” posmodernisme yang kala itu mulai mencuat. Salah satu karyanya,”It’s a Man’s Man’s Man’s World”, termasuk lagu karya Brown yang paling banyak diminati oleh masyarakat. Selain karena alunan iramanya yang elok didengar, di dalamnya juga tersirat makna yang dapat menarik hati pendengarnya. Pada masanya, lagu tersebut cukup populer bersamaan dengan dikenalnya wacana besar yang baru saja muncul kala itu: Posmodernisme.
Posmodernisme
Layaknya Bumi yang tak pernah berhenti berputar, manusia tak henti mencari pembaruan, melahirkan pemikiran-pemikiran baru, dan memperbaiki apa yang sudah ada, guna mengembangkan berbagai hal dalam kehidupannya. Posmodernisme merupakan produk dari semangat mencari pembaruan tersebut. Posmodernisme mempertanyakan gagasan-gagasan dasar, seperti filsafat itu sendiri, rasionalitas, dan epistemologi secara radikal. Dalam buku yang berjudul The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, Jean-Francois Lyotard memperkenalkan posmodernisme dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan. Lyotard mengartikan posmodernisme sebagai segala kritik atas pengetahuan universal, tradisi metafisik fondasionalisme, maupun modernisme. Menurut ahli yang lainnya, seperti Louis Leahy, posmodernisme merupakan suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman modern.[1]
Berdasarkan ragam definisi yang ada, dapat disimpulkan bahwa posmodernisme merupakan suatu aliran, atau dapat dikatakan juga sebagai sebuah gerakan intelektual, yang mencoba mengkritik pemikiran-pemikiran filsafat sebelumnya pada era modern. Kritik tersebut timbul sebab para pemikir posmodern memandang bahwa modernitas melahirkan cukup banyak problem, seperti penindasan, kekerasan dalam penyelesaian sengketa, dan ketimpangan sosial.
Sebagai sebuah bentuk reaksi terhadap kegagalan modernisme, posmodernisme merambat cepat ke berbagai bidang kehidupan manusia, termasuk budaya. Budaya yang dimaksud di sini dapat terwujud dalam berbagai rupa, seperti nilai-nilai, kepercayaan, tradisi, musik, dan sebagainya. Pemikiran posmodernisme termanifestasi dalam realitas budaya yang bersifat relatif. Seperti yang kita ketahui, setiap budaya memiliki ciri khasnya masing-masing, memiliki autentisitas masing-masing, yang melahirkan perbedaan pada setiap budaya yang ada. Perbedaan tersebut merupakan konsekuensi logis dari satu realitas bahwa setiap budaya menyesuaikan aspek-aspek yang ada dan memengaruhinya. Contoh dari aspek-aspek yang dimaksud adalah latar belakang sejarah, kondisi geografis, keyakinan masyarakat, dan sebagainya. Dari sinilah tampak jelas bahwa para filsuf posmodern menganggap segala sesuatu sebagai bersifat relatif dan tidak boleh dipandang absolut oleh karena pertimbangan atas situasi dan kondisi yang ada.
Musik Posmodern
Secara khusus dalam dunia musik, posmodernisme turut memengaruhi dan mengakibatkan beberapa perubahan. Musik posmodern lahir sebagai bentuk reaksi terhadap modernisme yang gagal. Dalam kritik musik, posmodernisme dipandang mewakili kesadaran untuk menjauh dari “hegemoni oposisi biner” yang tampak merusak. Misalnya seperti estetika/formalisme, subjek/objek, kesatuan/kejamakan, dan sebagian/keseluruhan, yang dipandang mendominasi wacana estetika sebelumnya.[2] Jonathan Kramer, seorang komposer dan ahli musikologi dari Amerika, turut menyumbangkan pemikirannya terhadap musik dan posmodernisme dengan menerbitkan sebuah buku yang berjudul Postmodern Music, Postmodern Listening (2016). Dalam buku tersebut, Kramer mengatakan bahwa terdapat banyak komposer yang membawa wacana posmodernisme ke dalam lagu yang mereka ciptakan. Dengan beberapa alasan:
- Bagi beberapa komposer, musik posmodern adalah suatu bentuk perlawanan terhadap modernisme yang menindas mereka.
- Bagi beberapa komposer, musik posmodern adalah sebuah bentuk penentangan terhadap institusionalisme modernisme. Mereka menentang masuknya modernisme dalam penciptaan musik, khususnya di AS, Jerman, Inggris, dan Italia.
- Musik posmodern adalah bentuk respon setelah melihat beberapa penyimpangan dari modernisme.
- Beberapa komposer (antimodernis maupun posmodernis) termotivasi oleh keinginan untuk menghilangkan kerenggangan antara komposer dan pendengar.
- Beberapa komposer muda tidak nyaman dengan pembatasan dari guru mereka untuk hanya menyukai dan menghormati satu jenis musik (tonal).
- Beberapa komposer masa kini mengenal dan menikmati musik populer. Begitu juga beberapa komposer klasik yang juga menyukai musik pop. Saat ini para komposer menghargai hal tersebut, misalnya seperti Steve Martland dan Michael Daugherty yang melihat tidak ada alasan untuk mengecualikannya dari rentang gaya musik mereka sendiri.
- Beberapa komposer sepenuhnya sadar bahwa musik adalah komoditas yang dapat dikonsumsi. Mereka menyadari bahwa komposer adalah bagian dari sistem sosial materialis. Komposer tersebut memahami posmodernisme sebagai sebuah estetika yang gayanya mencerminkan komodifikasi seni.
- Beberapa komposer terdahulu ingin menciptakan musik yang baru dan berbeda.
- Semua komposer hidup dalam dunia yang multikultural. Beberapa dari mereka memilih untuk terbuka, keluar dari komposisi mereka sendiri. Beberapa yang lain melakukan kontak dengan musik lain dan tradisi, tetapi mereka menerimanya dalam kekhasannya sendiri. Meskipun terkadang mereka dikritik sebagai contoh dari budaya imperialisme, mereka sangat menyukai musik posmodern.
- Para komposer menyadari nilai-nilai yang terdapat pada musik posmodern dalam budaya mereka–tak hanya pada musik yang mereka produksi, tetapi juga pada cara musik posmodern tersebut didengarkan dan dinikmati.
Alasan di balik penciptaan musik posmodern dan asal mula karakter posmodern dalam musik sangat beragam, begitu pula tanggapan terhadapnya dan penggunaannya. Musik posmodern menuai banyak pujian sekaligus cacian oleh banyak orang yang mendengarnya. Musik posmodern sangat menggairahkan dan nyaman didengar, tetapi juga cukup serius karena mempertanyakan tentang siapa dan apakah kita ini.
Menurut Kramer, musik posmodern berupaya menyampaikan kritik terhadap kondisi pada saat itu, juga menyampaikan pesan dan makna yang dalam kepada siapa pun yang mendengarkannya. Demi mencapai tujuan tersebut, para musisi posmodern menganggap bahwa musik adalah sarana atau media yang diyakini akan mudah disukai oleh audiens. Nuansa posmodern akan hadir dalam musik posmodern ketika kita menganggapnya bukan sebagai suatu periode sejarah, tetapi sebagai suatu sikap. Dalam buku tersebut, Kramer mengatakan bahwa terdapat 16 karakteristik musik posmodern. Beberapa karakteristik mencolok dari musik posmodern di antaranya adalah bersifat ironis, memuat kontradiksi, memuat fragmentasi (pencuplikan), dan tidak otonom, tetapi mencakup beberapa hal dalam konteks budaya, sosial, dan politik.
Tak seperti dunia musik pada era romantik yang menempatkan musik sebagai ekspresi pribadi sang penulis lagu atau tuntutan pihak lain (seperti Mozart dan Beethoven), musik pada era posmodern memiliki makna lebih jauh daripada itu. Musik posmodern tak hanya sebuah wujud ekspresi pribadi sang penulis lagu, tetapi musik juga digunakan sebagai sebuah ungkapan tentang realita yang sedang terjadi, atau meminjam istilah Marx, “…Protestation gegen das wirkliche Elend […] Seufzer der Bedrängten Kreatur…,” “…Protes melawan penderitaan yang nyata […] desah napas keluhan dari makhluk yang tertekan…”. Pada masa itu, musik turut menjadi media penyampaian kritik sebagai bentuk protes dan perlawanan terhadap struktur sosial yang menindas manusia.
James Brown dan Musik Posmodern
James Brown adalah satu dari sekian banyak musisi yang memanifestasikan wacana abstrak posmodernisme ke dalam atribut budaya, dalam hal ini musik. Selain Brown, terdapat nama-nama besar lainnya seperti Michael Jackson, Mick Jagger, dan David Bowie yang karakter musiknya mengusung atribut-atribut musik posmodern. Lagu ”It’s a Man’s Man’s Man’s World” milik James Brown adalah salah satu wujud dari musik posmodern. Lagu ini dirilis pada April 1966 dan dibuat berdasarkan pengamatannya sendiri terhadap hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan. Karena lagu ini termasuk lagu yang terpengaruh gerakan posmodernisme, maka tentu saja lagu ini mengandung beberapa dari 16 karakteristik musik posmodern milik Kramer.
Ironi diturunkan dari kata eironia yang berarti penipuan atau pura-pura. Sebagai bahasa kiasan, kalimat ironis atau sindiran adalah suatu kalimat yang makna atau maksud penggunaannya berlainan dengan makna yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Entah dengan sengaja atau tidak, rangkaian kata-kata yang dipergunakan itu mengingkari maksud yang sebenarnya.[3] Terkadang tanpa kita sadari, terdapat hal-hal ironis dalam hidup kita, bahkan dalam hal-hal kecil dalam keseharian yang kita lakukan. Misalnya saja, untuk dapat mengetahui apa itu bahagia, manusia harus terlebih dahulu merasakan sedih; untuk dapat memaknai bagaimana itu sehat, kita harus terlebih dahulu merasakan sakit. Ironi bukanlah hal baru yang dibawa oleh posmodernisme, tetapi hal inheren dalam hidup kita yang diselubungi oleh sifat rasio-sentris dari pemikiran modern. Pemikiran posmodern membantu kita untuk meresapi, merenungkan, dan menemukan jawaban atas persoalan hidup yang lebih mendalam dan tak tersentuh oleh akal. Dengan begitu, setidaknya manusia akan lebih mudah menemukan jati diri melalui dirinya dalam era posmodernisme.
“You see, man made the cars to take us over the road
Man made the train to carry the heavy load
Man made electric light to take us out of the dark
Man made the boat for the water, like Noah made the ark
This is a man’s, man’s, man’s world
But it would be nothing, nothing without a woman or a girl”
Ketika memasuki intro dari lagu ”It’s a Man’s Man’s Man’s World”, lirik yang ironis sudah tampak jelas. Di lirik bagian awal, Brown menyanjung tinggi para laki-laki dengan segala kemampuannya. Ia mengatakan bahwa laki-laki bisa membuat segalanya, bahkan menjadikan dunia ini seolah-olah milik para lelaki. Namun, pada akhir kalimat, Brown mengatakan “But it would be nothing, nothing without a woman or a girl”. Pada lirik ini pula dapat ditemukan ciri musik posmodern yang lain, yaitu kontradiktif. Disebutkan bahwa dunia ini seolah-olah adalah dunia milik para lelaki, tetapi pada akhirnya dikatakan juga bahwa hal tersebut bukanlah apa-apa tanpa seorang perempuan. Dengan demikian, ditemukan sebuah kontradiksi dalam lagu ini.
Seperti karakteristik musik posmodern yang dikemukakan oleh Kramer, musik posmodern biasanya menempatkan makna dan bahkan struktur pada pendengar, lebih daripada lembaran lirik lagu, pertunjukan, atau komposer. Musik posmodern berupaya menuangkan elemen emotif ke dalam lagu dan menyampaikan makna yang dalam kepada pendengarnya melalui cara yang sedekat-dekatnya. Terlebih jika sang pendengar mengalami apa yang tertulis dalam lagu, turut merasakan apa yang terjadi, dan memiliki keterlibatan dalam suatu fenomena yang terdapat pada lagu, maka tentu saja lagu itu akan mendekap hangat sang pendengar. Lagu-lagu pada era posmodern seperti ini memiliki cita rasa seni yang tinggi–terlebih untuk para pendengar lagu yang memiliki selera vintage vibes dan orang-orang yang memiliki cara menikmati lagu atau musik melalui maknanya.
Pada akhirnya, James Brown secara tidak langsung memberikan sebuah pemikiran bahwa latar belakang yang manusia miliki tidak membatasi manusia untuk melakukan sesuatu, bahkan melakukan perubahan besar bagi kehidupannya. Brown berhasil bangkit dari keterpurukan dengan cara yang unik. Ia menuangkan pemikirannya ke dalam bentuk lagu yang kemudian berpengaruh besar dalam dunia musik posmodern. Karyanya menjadi “anak zaman” dari roh zaman posmodern yang kala itu baru muncul: menjadi tanda bahwa musik bukan sekadar ekspresi pengarangnya atau karya seni dengan keindahan yang harus dinikmati, tetapi juga ekspresi penderitaan dan keluh kesah manusia yang tertekan. Ia menunjukkan bahwa musik adalah sungguh-sungguh gambaran konkret manusia pada zamannya; bahwa musik dan manusia adalah dua hal yang tak terpisahkan bagai dua sisi dari sebuah koin yang sama.
Catatan Akhir:
[1] Johan Setiawan, Pemikiran Postmodernisme Dan Pandangannya Terhadap Ilmu Pengetahuan, Jurnal Filsafat, Vol. 28, No. 1, Februari 2018, hlm. 27.
[2] Rebecca, There Is No Such Thing as an Interdisciplinary Relationship’: A Žižekian Critique of Postmodern Music Analysis, International Journal of Žižek Studies, Vol. 11, No 3, 2017.
[3] Flaminia Occitanie, Majas Ironi Dalam Beberapa Majalah Berbahasa Inggris, Widyatama Repository, 2009, hlm. 58.
Daftar Pustaka
Kramer, J. D. (2016). Postmodern Music, Postmodern Listening. USA: Bloomsbury Publishing Inc.
Kramer, J. (n.d.). Postmodern Concepts of Musical Time. Indiana Theory Review Vol. 17.2.
Rebecca. (2017). There Is No Such Thing as an Interdisciplinary Relationship’: A Žižekian Critique of Postmodern Music Analysis. International Journal of Žižek Studies, Vol. 11, No 3.
Setiawan, J. (2018). Pemikiran Postmodernisme Dan Pandangannya Terhadap Ilmu Pengetahuan. Jurnal Filsafat Vol. 28, No. 1.
Sugiharto, B. (1996). Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius.