spot_img
More

    Budaya Massa dalam Diskursus

    Featured in:

    lubang-hitam-kebudayaan-150x200(Catatan kecil untuk buku Lubang Hitam Kebudayaan [Hikmat Budiman, 2012])

    Membaca budaya, sebagai barang yang sudah jadi atau masih menjadi, walau telah disempitkan lingkup kajiannya, yang dalam buku Lubang Hitam Kebudayaan (selanjutanya disingkat LHK) karya Hikmat Budiman (selanjutnya disebut Budiman) adalah dalam lingkup Indonesia, bukanlah perkara gampang. Terdapat banyak problem yang belum terjawab bahkan setelah Budiman merampungkan penelitiannya yang kemudian diterbitkan menjadi buku LHK itu. Secara jujur itu diakui oleh Budiman di akhir bukunya. Tapi, mari kita kembali ke bagian depan buku LHK untuk melihat apa yang dapat kita ambil sebagai pelajaran.

    Generasi Multitasking yang Memberontak Rezim dan Lubang Hitam Kebudayaan

    Budiman memilih zaman akhir Orde Baru (Orba) sebagai titik berangkat kajiannya. Baginya, generasi bangsa Indenesia di zaman itu adalah generasi multitasking, suatu generasi yang tidak lagi terlalu dibebani tuntutan-tuntutan lama yang mengharuskan pilihan-pilihan terbatas (hlm. 26); memilih yang satu berarti menolak yang lain. Misalnya, jika sesorang menolak kapitalis maka harus menolak belanja di mal. Sayangnya, generasi multitasking adalah generasi yang tidak peduli pada tuntutan-tuntutan seperti itu.

    Pak Soeharto adalah sosok kapitalis besar Orba dan mahasiswa yang berdemo menuntut dia lengser, di tahun 1998, dari jabatan presiden ketika itu adalah lawan bahkan musuhnya. Jika mengikuti cara pikir dan sikap pilih-tolak, semestinya penentang Orba tidaklah pantas mengenakan produk-produk mewah, di zaman itu, dari kapitalis. Tapi, dalam kenyataanya tidak demikian. Budiman memberitahu para pembaca LHK bahwa generasi zaman akhir Orba adalah generasi multitasking karena walau mereka menentang Orba tapi juga, dalam waktu yang bersamaan, turut menikmati hasil jerih payah Orba. Siang melakukan demo, malam hari hura-hura di kafe.

    Bercampurnya politik dan gaya hidup (hlm. 18-19). Apakah semua pendemo ketika itu demikian semua sikapnya? Tidak, karena masih tidak sedikit dari mereka juga mengambil sikap tegas sebagai penentang murni Orba.

    Terjadinya peristiwa demonstrasi 1998 tidak lepas dari peran para anak bangsa yang lahir di tahun 1970-an. Mereka yang hidup dalam balutan hasil karya Orba; adanya berbagai media massa yang menghubungkan anak pribumi dengan budaya luar negeri yang kemudian memengaruhi pemikiran dan sikap mereka. Maraknya informasi memadati media massa, yang memiliki daya sedot perhatian luar biasa terhadap khalayak penikmatnya, menjadikan generasi ketika itu kebanjiran berbagai informasi. Sayang, arus media ini tidak mampu dikontrol secara penuh oleh Orba meskipun Orba sendiri adalah pendiri pancang media informasi (satelit Palapa adalah salah satu prestasi Orba), dan kemudian itu membentuk pemikiran yang berseberangan dengan pemerintah.

    Di saat berita-berita tentang kemajuan dari negara-negara lain masuk ke Indonesia, justru pemerintah melakukan penekanan. Betapapun Orba mampu menekan, toh akhirnya gejolak penentangan yang tertahan di dada para generasi kelahiran 70-an membuncah juga. Lalu, era kekuasaan Orba berakhir.

    Apa yang menjadi kebiasaan orang Barat, secara singkat dapat langsung diketahui oleh masyarakat Indonesia dan lantas ditiru hampir tanpa kritik. Saking seringnya penjejalan budaya asing dilakukan oleh media massa kepada masyarakat, menjadikan muncul semacam kebutuhan untuk menirunya, karena jika tidak akan ketinggalan gaya zamannya. Dan sungguh, kelahiran budaya massa sukses merangkul banyak lapisan masyarakat Indonesia.

    Media dalam kasus itu memiliki pengaruh besar. Media telah menciptakan budaya baru bagi generasi muda era Orba. Berangkat dari fenomena budaya tersebut, terjadilah berbagai perdebatan oleh para tokoh pemerhati kebudayaan Indonesia.

    Tentang Budaya Massa dan Media Massa

    Menurut Budiman (hlm. 51), kiranya, budaya massa bukanlah sesuatu yang dengan sendirinya ada. Budaya massa itu memiliki tautan-tautan yang erat dengan diskursus media massa. Bagaimana tidak, media telah “memperkecil” dunia. Melalui media massa, akan sangat mudah bagi hiburan, gaya hidup, dan konsumsi masyarakat industri maju menyebar ke seantero penjuru dunia dalam tempo yang relatif singkat (hlm. 65). Karena penyebaran yang sangat marak itu, tak ayal jika kemudian masyarakat mengalami surplus citra, yang sedikit atau banyak citra di media massa itu akan memengaruhinya.

    Keberadaan media massa dimanfaatkan oleh industri kapitalis maju. Barang-barang tidak lagi diproduksi untuk memenuhi kebutuhan, malah sebaliknya, kebutuhan sengaja diciptakan agar barang produksi dapat habis laku terbeli di pasar oleh konsumen buatan. Untuk memuluskan ambisi kapitalis tersebut, media massa diperalat menjadi sarana untuk memamerkan produk-produk kapitalias kepada para calon konsumennya agar mereka kepingin lantas membelinya.

    Saat barang produksi terjual banyak, para kapitalis memeroleh untung banyak. Hukum penawaran dan permintaan dalam ekonomi berubah menjadi bagaimana promosi dan iklan bisa membuat volume permintaan selalu setara dengan volume penawaran barang produksi (hlm. 62-63). Saking masifnya gempuran iklan, masyarakat semakin tidak dapat membedakan mana keinginan dan mana kebutuhan. Dan akhirnya, masyarakat pun menjadi makmum buta terhadap apa yang sedang ramai diminati oleh khalayak dunia di suatu waktu. Terseret budaya massa.

    Memahami konsep budaya massa terlebih dulu harus jelas bagi kita apa yang disebut kebudayaan. Magnis Suseno dan Kleden, sebagaiman dikutip Budiman, mengatakan budaya merupakan seluruh hamparan alam semesta yang telah disentuh pengaruh eksistensi manusia, dan budaya tak lain adalah hasil bentukan sekaligus yang membentuk manusia (hlm. 100; 104). Dua pendapat itu mengisyaratkan adanya hubungan erat antara budaya dan manusia. Sedangkan massa merupakan konsep yang mengacu pada satuan jumlah (kuantitas), yang tidak harus kaku dan mengikat, juga kualitas sosial yang beraneka ragam dan anonim (hlm. 104-106). Dari definisi tersebut dapat ambil pengertian bahwa budaya massa itu menunjuk pada berbagai produk dan praktik-praktik kultural yang melibatkan sekumpulan besar orang berselera rendah.

    Kemudian, anggaran apa yang sah dijadikan marjak untuk menyerbu suatu budaya adalah budaya massa? Budiman menyajikan beberapa jawaban tokoh, sebut saja McDonald. McDonald membedakan antara Budaya Tinggi dan Budaya Massa (suatu istilah yang lebih dipilihnya). Budaya massa bagi McDonald adalah budaya yang secara langsung merupakan objek konsumsi massa, dan budaya tinggi adalah hasil ekspresi individual seorang seniman (hlm. 114).

    Pada lain pihak, Leo Lowenthal, meskipun lebih menganjurkan penggunaan istilah “budaya populer” ketimbang “budaya massa”, ia cenderung memandang budaya populer sebagai counter concept dari seni (art). Sederhananya, budaya populer tak ubahnya adalah hasil reproduksi realitas yang memilik karakter standardisasi, stereotipe, konservatisme, kebohongan, dan sudah dimanipulasi (hlm. 116-117). Hampir sama, Adorno juga menunjukkan adanya standardisasi, pengandaian kepasifan masyarakat dan fungsi sosiopsikologis dalam budaya pop. Tetapi catatan tiga tokoh di atas mendapat kritik dari Gans (hlm. 118-122).

    Stagnasi Kritik Kebudayaan di Tengah Perkembangan Budaya Populer

    Era Orba adalah era industrialisasi di Indonesia di bawah komando Soeharto. Di tengah riuhnya proses produksi, diperlukan adanya hiburan untuk mengurangi kepenatan masyarakat yang tiap hari sibuk dengan kerja. Karena itu muncullah aktivitas-aktivitas hiburan, yang tidak kalah penting dibanding jenis-jenis pekerjaan lain, dan lantas tumbuh menjadi budaya populer.

    Hiburan adalah kebutuhan masyarakat industri, sebab tanpa hiburan mereka hanya akan jadi robot-robot pekerja yang lemah. Sayang, perkembangan budaya populer yang kian menemukan tempat di hati para peminatnya tidak diimbangi oleh kekritisan para intelektual atau akademisi. Kurang ada respons sungguh-sungguh para intelektual terhadap ramainya produk-produk budaya populer yang dibuat secara massal. Bahkan ada anggapan persoalan budaya massa adalah persoalan yang tidak menarik untuk didiskusikan (hlm. 149). Persoalan budaya, ketika itu, dibanding persoalan politik adalah sesuatu yang remeh dan juga kurang menantang. Kalaupun ada kajian, peminatnya pun sangat sedikit (hlm. 151-152).

    Pada dasawarsa 1990-an, dapat dikatakan lomba menulis cerpen atau novel cukup sering diselenggarakan, namun pada saat yang sama tidak cukup sering ada lomba kritik sastra (hlm. 154). Ketidak-kritisan itu semakin jelas dengan terbitnya Saman, novel karya Ayu Utami, yang secara istimewa diterima hampir tanpa ada kritik terhadapanya, kecuali kritik yang tidak begitu serius yang dilancarkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Kritik Pramoedya itu pun, seperti pengakuannya, berangkat dari pembacaan yang sepintas dan tidak menyeluruh atas Saman.

    Budaya Massa di Indonesia: Persoalan Problematis

    Budaya massa sebagai bahan kajian diskursif masih merupakan tema yang relatif belum berkembang di Indonesia. Hal demikian tidak hanya ditunjukkan oleh sedikitnya terbitan-terbitan buku yang berkualitas bahasannya, namun juga oleh masih kecilnya tulisan-tulisan ilmiah dalam jurnal ilmu sosial dan kebudayaan yang menyoal tentang fenomena budaya massa. Bahkan sampai di dasawarsa 1990-an masih sedikit perdebatan ranah konseptual seputar term budaya massa dan kaitannya dengan term-term lain.

    Dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi media, pada satu sisi media merupakan wadah untuk menghadirkan persoalan-persoalan kebudayaan ke panggung diskursus. Tetapi di sisi lain, ada anggapan miring terhadap media yang tertuduh sebagai biang kerusakan budaya tradisional, terutama karena peran media dalam penyeberan budaya massa ke tengah-tengah masyarakat. Akibatnya, pada sebagian besar masyarakat intelektual ada sikap dilematis-problematis antara menerima atau menolaknya. Menerima karena media memudahkan penyampaian wacana ke arena yang lebih luas, dan menolak akibat-akibat logis yang dilahirkan dari proses tersebut pada sektor budaya.

    Untuk Lubang Hitam Kebudayaan

    Singkat saja. Buku LHK bukanlah buku yang mampu menyelesaikan problem seputar fenomena kebudayaan di Indonesia. Secara pribadi, bagi saya, justru buku ini menyampaikan bahwa masih ada banyak PR kebudayaan yang menunggu untuk diselesaikan. Tentang itu dapat Anda baca di bagian akhir buku. Buku LHK lahir dari suatu pengamatan di dasawarsa 1990-an, sedang sekarang telah masuk dasawarsa 2000-an, tak ayal jika dikatakan PR kebudayaan Indonesia adalah PR yang abadi. Bukankah problem kebudayaan adalah problem kemanusiaan? Olehnya selama makhluk bernama manusia masih ada, selama itu pula problem kebudayaan akan terus ada.

    Rujukan buku
    Budiman, Hikmat. 2012. Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

    Author

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Menyingkap Keterasingan Manusia Lewat Banalitas Keseharian

    Tidak dipungkiri lagi, mahasiswa erat dengan jadwal padat yang selalu menghampirinya setiap saat. Pagi hari, sekitar pukul...

    Post-Truth: Konsekuensi atas Keruntuhan Modernitas

    Seperempat paruh awal abad ke-21 ini, manusia dihadapkan kepada pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendisrupsi masyarakat....

    Hausu dan Hauntopoanalisis

    Rumah bukanlah sekadar bangunan fisik yang memiliki wujud konkret, melainkan ruang metafisik yang abstrak dan memiliki agensi...

    Sebuah Hikayat dari Tanah Para Pencari Kebenaran Dunia

    Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari...

    Ampun, Romo Bertens: Argumen Absolutis Anda Bermasalah

    Buang semua asumsi moral dan pengetahuan yang kita dapat dari peradaban modern ini untuk sementara. Mari bayangkan...

    Polemik Hermeneutis Gadamer dan Habermas

    “Kalau Anda ingin mendengarkan Heidegger dengan lebih mudah, bacalah (tulisan) Gadamer.” Begitulah ucapan Fransisco Budi Hardiman saat...