Ketika saya memikirkan apa yang nanti saya sampaikan, saya memikirkan pula apa yang akan pembaca pikirkan, terutama yang awam dalam filsafat. Jika nantinya ada pihak yang merasa direndahkan, itu tak terhindarkan. Sebab itu, saya ingin berterus terang merasa berat hati dan ikut menyesal. Meski, hingga taraf tertentu, pemikiran semacam ini tampak angkuh, dengan ini, saya juga ingin menunjukkan kehati-hatian yang rendah hati.
Dalam tulisan ini, saya akan mencoba mendemonstrasikan suasana pemikiran yang terlibat terlebih dulu. Kemudian, saya hadirkan pemikiran dengan suasana serupa dari seorang filsuf eksistensialis, Albert Camus. Saya juga akan menyeret pembahasan tersebut kepada persoalan kontemporer dan membubuhkan nuansa tersendiri setelahnya.
Memelekkan Jiwa
Hidup tak lagi bermakna: tak lagi tampak satupun warna yang cerah. Daripada terus menerus berkutat dengan derita, mending mati.
Tiap yang-ada punya cara masing-masing untuk mengada. Melayang, merayap, melata, salto, kayang, dan bahkan diam pun adalah cara mengada. Namun, tampaknya manusia punya cara mengada yang sedikit berbeda. Mengisi muka dengan plastik, megal-megol di depan kamera, menyusun UU hanya jika disuruh juragan, mengebom gereja: tak ada kera yang melakukan hal-hal itu. Kalau dicari di seluruh kerajaan hewan pun niscaya tak akan ditemui hal serupa.
Pun jangan kira hanya mereka yang unik. Anda masihlah satu spesies dengan mereka. Pikirkan bahwa mimpi dan ambisi Anda mungkin tampak begitu membakar semangat Anda. Hidup Anda lantas tampak menyala karenanya. Namun, selepas ambisi itu tercapai, ambisi lain menyusul. Penyusul itu pun pada gilirannya akan tercapai, ambisi muncul lagi dan menyusul lagi. Lantas apa lagi? Itu pun jika Anda cukup berprivilese untuk mencapainya. Betapa pedihnya nasib mereka yang bahkan memikirkannya saja bikin muak duluan. Lagipula, apa makna segala ambisi itu jika pada akhirnya manusia mati dan abadi dalam ketiadaan?
Manusia ialah makhluk fana. Pun, manusia ialah makhluk profan yang patuh pada tubuhnya. Sang tubuh butuh makan, sang manusia mengibuli manusia lain. Sang tubuh butuh wanita, sang manusia bergeliat bernafsu. Sang tubuh butuh tempat bernaung, sang manusia berstres-stres berupaya. Sang tubuh butuh pengakuan, sang manusia menyepelekan manusia lain. Sang tubuh butuh kebenaran, manusia pun menyalahi sambil meludah.
“Bukannya menguasai sejarah, mereka semakin bersetuju untuk menjadi budak. … ‘Mereka melihat tanpa mengamati, mendengar tanpa menyimak, seperti sosok-sosok buram dalam mimpi.’” (Camus, 2021, hlm. 55-56)
Keseluruhan demonstrasi barusan semata merupakan pertunjukan keabsurdan cara mengada manusia. Dalam pemandangan yang demikian, tak mengherankan jika karenanya suatu jiwa yang melek terbebani dengan kekosongan, keterasingan, kegelisahan: suatu perasaan absurd. Hidup tak lagi bermakna: tak lagi tampak satupun warna yang cerah. Daripada terus menerus berkutat dengan derita, mending mati. Begitulah kira-kira pikirnya.
Terlepas mau mati atau tidak, semesta dan kemanusiaan kini tampak cacat dan hina di hadapan jiwa yang penuh beban itu. Begitulah angkuhnya ia. Meski dibebani pikiran nyeleneh macam itu, tetap saja merasa dirinya paling melek. Para filsuf eksistensialis pada gilirannya melabeli si paling melek dengan beragam nama: Dasein, manusia absurd, Übermensch, adimanusia, dan lain sebagainya. Mari kita tengok apa yang diocehkan oleh salah satu dari mereka: Albert Camus.
Apa Kata Camus?
Albert Camus membuka esainya yang berjudul “Penalaran Absurd” dalam bukunya Mitos Sisifus–yang versi aslinya berjudul Le Mythe de Sisyphe–dengan pernyataan yang sangat menarik. Menurutnya, persoalan paling mendesak untuk dijawab dalam diskursus filsafat adalah persoalan bunuh diri (Camus, 2020, hlm. 5). Penilaian mendesak tidaknya bergantung pada seberapa destruktif akibatnya. Sementara itu, Camus melihat banyak orang bunuh diri sebab mereka berpikir bahwa hidup tidak layak dijalani dan tidak punya makna apapun (Camus, 2020, hlm. 6). Ia juga melihat suatu bentuk bunuh diri yang lain yang ia sebut sebagai bunuh diri filosofis, yaitu matinya kesadaran akibat berbagai bentuk ilusi akan adanya tujuan atau alasan hidup (Camus, 2020, hlm. 50). Bagi Camus, tidak ada makna atau tujuan apapun yang objektif dari dunia ini dan tujuan atau alasan hidup apapun yang dibuat-buat merupakan alasan yang bagus pula untuk mati (Camus, 2020, hlm. 6).
Tindakan bunuh diri itu, baik yang bermakna literal maupun yang filosofis, didorong oleh suatu gejolak perasaan yang Camus sebut sebagai perasaan absurd. Perasaan ini lahir dari kesadaran diri yang lepas dari berbagai bentuk ilusi teleologis dan sadar akan ketidakbertujuan dan ketidakbermaknaan dunia. Akibatnya, pemilik perasaan itu, manusia absurd, merasakan keterkucilan atau keterasingan akan dunia yang sedang ia hadapi. Dengan kata lain, perasaan absurd itu sarat akan derita berupa kegelisahan dan keputusasaan (Camus, 2020, hlm. 16-19).
Camus, melalui esainya itu, kemudian berusaha mendemonstrasikan berbagai bentuk keabsurdan dunia. Bangun tidur, mandi, berangkat kerja, menghadap komputer, makan, pulang, dan tidur: suatu siklus keseharian yang monoton ini adalah suatu bentuk keabsurdan. Kejenuhan dan kehampaan yang lahir dari keseharian yang monoton itu cukup untuk memunculkan perasaan gelisah. Dalam kehidupan yang biasa-biasa saja, tanggung jawab akan masa depan pun manusia pikul. Manusia terjebak dalam garis waktu. Penolakan atas keterjebakan dalam tanggung jawab akan masa depan, itu juga merupakan bentuk keabsurdan. Kilau bintang-bintang malam, langit hitam yang tidak berujung, kemegahan gunung-gunung, hal-hal yang biasanya manusia selipkan makna dibaliknya tidak lagi tampak bermakna bagi kesadaran manusia absurd. Kehampaan makna yang dirasakannya membuatnya merasa sesak dan terasing dari dunia yang ditempatinya. Hal itu karena, baginya, dunia ini telah dipenuhi kontradiksi, derita, impotensi, dan antinomi. Ini pula yang Camus sebut sebagai keabsurdan (Camus, 2020, hlm. 16-19).
Menurut Camus, manusia memiliki hasrat untuk merasionalkan dunia. Manusia menuntut kejelasan, keteraturan, dan kebermaknaan atas dunia (Camus, 2020, hlm. 21-22). Sayangnya, Camus menjumpai bahwa semesta tidak menawarkan hal-hal semacam itu. Ketidakbermaknaan dunia itu begitu gamblang baginya (Camus, 2020, hlm. 26). Melalui konfrontasi antara hasrat akan makna dan dunia yang tidak bermakna, keabsurdan lahir. Keabsurdan itulah yang kemudian menghubungkan keduanya (Camus, 2020, hlm. 37).
Sebuah Titik Balik
Kegelisahan, keputusasaan, dan perasaan absurd, bagi Camus, justru merupakan permulaan dari suatu kebangkitan. Perasaan-perasaan itu mengantarkan manusia ke suatu pemulihan, alih-alih bunuh diri (Camus, 2020, hlm. 17). Bunuh diri, dalam bentuknya yang literal maupun yang filosofis, merupakan perbuatan pengecut. Dengan bunuh diri, manusia telah kabur dari pertempuran dan mengelak dari keabsurdan (Camus, 2020, hlm. 64). Bagi Camus, merepresi atau melemahkan keabsurdan berarti melemahkan diri sendiri. Sebaliknya, menghadapi keabsurdan berarti mempergagah diri: memberi nilai agung pada kehidupan (Camus, 2020, hlm. 65).
“Tugas kita sebagai manusia adalah menemukan beberapa prinsip yang akan menenangkan nestapa tak terbatas jiwa-jiwa merdeka. Kita harus memperbaiki apa-apa yang telah tercabik-cabik, membuat kita bisa membayangkan keadilan hadir kembali di sebuah dunia yang jelas-jelas lalim, memaknai kembali kebahagiaan bagi orang-orang yang teracuni penderitaan abad ini.” (Camus, 2021, hlm. 50)
Camus menemukan tiga konsekuensi yang harus dijalani manusia absurd dalam menghadapi keabsurdan dunia. Pertama, perlawanan. Dihadapkan pada keabsurdan, manusia absurd tidak memiliki jalan selain berjuang melawan absurdnya dunia. Meski perasaan absurd telah menjadi renjana yang paling menyiksa baginya, keabsurdan itu harus dilawan secara konstan melalui perjuangan soliter (Camus, 2020, hlm. 65-66).
Kedua, kebebasan. Camus menyadari bahwa manusia tidak benar-benar bebas. Walaupun Camus tampak skeptis dan menganggap pelik diskursus akademis yang membahas kebebasan, ia mengajukan, dan mengklaim hanya ini yang ia ketahui, konsep kebebasan pikiran dan tindakan dari harapan akan masa depan. Dengan mengharapkan sesuatu di masa depan, diri manusia di masa kini akan terdikte untuk memikirkan dan bertindak berdasarkan cara tertentu dan berupaya mencapai apa yang manusia harapkan itu. Dengan kata lain, tujuan hidup hanya akan menciptakan rintangan-rintangan yang membatasi diri manusia. Artinya, Camus pikir, hidup tanpa berharap akan lebih baik bagi manusia. Kesadaran akan kematian sebagai akhir yang mutlak dari kehidupan mengantarkannya pada kesimpulan yang demikian (Camus, 2020, hlm. 66-71).
Ketiga, renjana. Kebebasan mempunyai makna sejauh ia tetap berelasi dengan takdir yang terbatas. Keabsurdan dan kehidupan ekstra tidak bergantung pada kehendak manusia, tetapi justru pada takdir kematiannya. Maka, hal yang terpenting dan bernilai justru bukanlah kualitas pengalaman hidup, melainkan kuantitasnya. Ini merupakan penekanan Camus pada nilai kehidupan pada tiap detiknya. Hanya pada saat inilah manusia hidup. Momen dan nuansa kekinian yang subtil itulah yang patut dihayati dan dihargai. Dengan demikian, api semangat untuk menjalani hidup yang berharga dan menghadapi keabsurdan akan berkobar secara konstan dalam kalbu manusia (Camus, 2020, hlm. 71-76).
Melalui jalan hidup inilah, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, Camus menolak bunuh diri. Pikiran yang jernih ialah yang menerima hakikat dunia sebagaimana adanya: absurd. Kejernihan, kejujuran, dan ketulusan itulah yang bernilai bagi Camus, bukan pikiran yang menjebak diri sendiri pada ilusi teleologis dalam bentuk apapun sebab ilusi itu tidak lain adalah bentuk kepengecutan yang lain: suatu bentuk bunuh diri filosofis.
Camus merujuk pada Sisifus sebagai salah satu representasi atau role model dari manusia absurd. Bagi Camus, Sisifus adalah pahlawan absurd (Camus, 2020, hlm. 142). Sisifus memberikan teladan tentang bagaimana seorang manusia absurd menghadapi keabsurdan dunia dengan gagah dan megah.
Dalam mitologi Yunani, Sisifus adalah seorang raja dari Corinth. Ia terkenal melalui kelicikannya. Ia menipu kematian sebanyak dua kali. Karena kelicikannya itu, ia dihukum oleh Zeus, raja dari para dewa, untuk mendorong sebongkah batu besar ke puncak gunung. Ketika batu yang didorongnya itu sampai di puncak, batu itu jatuh menggelinding menuruni gunung, memaksa Sisifus untuk juga ikut menyusuri lereng dan mendorong batu itu kembali ke puncak. Suatu siklus hukuman dorong-menggelinding-dorong itu ia jalani secara sia-sia, tanpa makna, tanpa jeda, kekal, tanpa akhir, dan tanpa harapan akan akhir.
Sisifus umumnya dianggap sebagai simbolisasi memilukan atas kekonyolan hasrat manusia akan keabadian tanpa mengindahkan kodrat manusia atas kematiannya yang menakutkan (Cartwright & Saint, 2016). Namun, Camus menawarkan tafsir yang berbeda terhadap mitos ini. Camus menganggap Sisifus sebagai simbol perjuangan. Sisifus sadar akan kemalangan nasibnya dan kodrat dunia. Dengan kejernihan pikirannya, ia menemukan kejayaan dalam nasibnya yang malang dan tidak kurang absurd itu. Ini karena kegigihan perjuangannya lebih keras dan lebih kuat daripada batu besar yang didorongnya. Batu itu sendiri adalah bukti dari kegagahannya. Sisifus mengajarkan manusia untuk setia kepada perlawanan. Ini karena “perjuangan menuju puncak itu sendiri sudah cukup untuk memenuhi batin seorang manusia. Kita harus membayangkan (bahwa) Sisifus bahagia,” tutup Camus (2020, hlm. 143-146).
Lalu Apa?
Absurdisme yang kaffah (utuh) layak diperhitungkan oleh individu mana pun yang sedemikian putus asa sehingga terpikir olehnya untuk mengakhiri hidup.
Peradaban manusia yang telah sedemikian maju menciptakan kebutuhan-kebutuhan dan tantangan-tantangan baru. Di zaman sebelum Masehi, misalnya, tidak ada kebutuhan untuk tampil cantik dan elegan di depan kamera, tidak ada tuntutan untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah demi kehidupan yang sejahtera, dan tidak ada pula tekanan bekerja lembur hanya untuk membangun tempat bernaung yang mahalnya minta ampun. Namun, konsumerisme yang lahir pada peradaban modern, dan berbagai faktor lain, telah menciptakan tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan artifisial tersebut. Konstruksi-konstruksi sosial semacam ini memaksa manusia yang terjebak di dalamnya untuk menyesuaikan diri dengan kehendak komunal yang berlaku.
Tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan baru tersebut memunculkan berbagai tekanan emosional pada diri individu tertuntut. Sebagai akibatnya, bukan tidak mungkin bahwa berbagai perasaan negatif, seperti tertekan, gelisah, sumpek, bahkan putus asa, tertimbun dalam benak manusia-manusia modern. Dengan demikian, bunuh diri, bagi individu-individu tertuntut, menawarkan penyelesaian instan dan permanen untuk masalah yang temporal, plural, dan imanen. Segala perasaan yang menyiksa akan hilang bersama nyawa yang melayang.
Namun, bunuh diri bukanlah solusi ideal, setidaknya menurut Albert Camus. Hal itu karena tidak ada yang lebih berharga daripada nyawa seorang manusia. Ia bejana bagi segala gejolak emosi yang romantis, satu-satunya hal yang bernilai bagi jiwa yang melek. Oleh karena itu, tindakan bunuh diri harus dicegah. Suatu solusi perlu ditawarkan untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Absurdisme yang kaffah (utuh) layak diperhitungkan oleh individu mana pun yang sedemikian putus asa sehingga terpikir olehnya untuk mengakhiri hidup. Individu mana pun yang terpikir untuk mengakhiri hidup itu perlu sadar bahwa tiap pengalaman unik dari kehidupan layak untuk dihayati dan diapresiasi, yang subtil sekalipun. Apresiasi-apresiasi pada momen-momen subtil itu memberi manusia energi dan semangat hidup sehingga lahir sikap gagah di hadapan semesta, sesulit apapun, selara apapun, dan seabsurd apapun kondisinya. Bagi Camus, tidak ada yang lebih megah daripada pertunjukan di mana kejernihan dan kegagahan yang konstan dan soliter memainkan peran utama dalam panggung kehidupan.
Berbagai tuntutan yang berasal dari konstruksi masyarakat, sejak ia mengungkung kebebasan individu, dapat dihiraukan sepenuhnya selama tuntutan-tuntutan itu bukan perkara yang sungguh substansial. Lepasnya keterikatan pada tuntutan dan harapan yang tidak substansial itu, selain membebaskan, juga mencerahkan. Artinya, manusia-manusia modern perlu menghayati ulang: menilik kembali dengan seksama perkara-perkara mana yang benar-benar bernilai penting dan layak dihargai dalam dunia yang penuh distorsi dan ilusi ini.
Melalui jalan berpikir ini, dorongan untuk bunuh diri dapat ditekan dan banyak jiwa manusia dapat diselamatkan. Nyawa manusia kembali mendapatkan nilainya yang mulia. Kehidupan memperoleh kembali martabatnya. Ketenteraman yang timbul berkat jiwa yang mampu mengapresiasi kehidupan akan dirasa cukup sebagai sumber kebahagiaan yang berkelanjutan. Dengan langkah yang sederhana, melalui perubahan paradigma, dunia akan tampak lebih indah. “Yang terdahulu hanya mendefinisikan sebuah cara berpikir. Akan tetapi, poinnya adalah untuk (tetap menjalani) hidup,” hemat Camus (2020, hlm. 78).
Secuplik Hikmat yang Tergali Ulang
Filsafat absurdisme Albert Camus yang tidak kaffah memang rentan terjerumus pada pesimisme. Pandangan pesimistis, dengan makian nan umpatan sebagai hiasannya, menciptakan kerinduan akan kematian yang dapat dimengerti. Namun, cara pandang dunia semacam itu tak mesti harus ditindaklanjuti dengan bunuh diri. Bahkan, sikap yang lempeng-lempeng saja pun tak harus diamini, meski boleh saja. Bagaimanapun juga, sikap hidup yang merealisasikan surga di bumi sangat layak untuk dijelajah, tepat layaknya intan terpendam.
Termotivasi hal itu, cara pandang yang mungkin bernuansa lain saya tawarkan, yang barangkali sebuah bidah. Kita perlu mengingat kembali bahwa manusia hanyalah makhluk profan. Maka, bergaul dengan keabsurdan tak lagi tampak menyalahi kodrat, karena toh ia tak terhindarkan. Tetap diiringi pikiran yang melek, mengapa tak sekalian berkubang di dalam keabsurdan sambil merayakan kebanalan dunia? Kawan-kawan kita yang baru ini layak untuk diakrabi!
“Kesia-siaan menangisi gebalau pikiran, cukup jadi pendorong untuk mendayagunakannya.” (Camus, 2021, hlm. 52)
Tak ada rasionalitas atas dunia, maka pun tak ada pembenaran untuk merasa tinggi, merasa edgy, merasa otentik, maupun omong kosong lainnya. Hidup secara banal, menikmati keseharian, larut dalam ambisi duniawi, tak lagi sedikit pun tampak keliru, cacat, atau hina.
Melalui sikap yang terurai terdahulu, makna hidup tak lagi jauh tempatnya, tak harus sesuatu yang mewah, pun bukan hal yang terpendam dalam hingga perlu digali bersusah payah. Guyonan receh, prestasi sepele, kisah kasih yang hambar, dan rutinitas yang kelewat biasa, rayakan selagi bisa. Dunia yang sebelumnya dipandang dengan dahi mengernyit, kini bersemai kasih untuk merangkulnya: Apollo telah menyelamatkan kita dari kemabukan kebenaran Dionysus.
Segalanya dapat mengandung nilai di hadapan jiwa yang jernih. Cara mengada yang beragam warnanya kini berbinar cerah.
Referensi
Camus, A. (2020). Mitos Sisifus (D. Setiawan, Trans.). Circa. (Karya orisinal diterbitkan 1942).
Camus, A. (2021). Mitos Prometheus (D. Setiawan, Trans.). Circa.
Cartwright, M., & Saint, B. (2016, December 14). Sisyphus. World History Encyclopedia. https://www.worldhistory.org/sisyphus/