

Islam sejauh dipandang sebagai jalan hidup, tentu mengandaikan fleksibilitas yang memungkinkan untuk mampu bertahan di setiap terpaan badai budaya, juga di segala arus zaman yang tak begitu jelas ke mana arahnya. Dengan demikian, fleksibilitas tersebut dapat dipahami kemudian bahwa Islam membutuhkan suatu reinterpretasi tiada henti dan upaya-upaya rekontekstualisasi.
Akan tetapi, upaya-upaya tersebut tentu bukan perkara yang mudah. Berbicara interpretasi, dengan demikian pula membicarakan soal pemahaman yang begitu beragam atas suatu hal, yang dapat dipahami kemudian bahwa persoalan keragaman interpretasi tersebut akan sampai pada satu pertanyaan tentang interpretasi mana yang benar? Inilah yang kemudian membawa diskursus kontekstualisasi Islam masuk ke dalam diskursus hermeneutika sebagaimana banyak didiskusikan oleh Fazlur Rahman, Abdullah an Na’im, Fatimah Mernissi dan beberapa pembaharu Islam yang lain.
Seandainya memang kontekstualisasi Islam adalah persoalan interpretasi atas ajaran-ajaran Islam, tentu harus ada suatu pijakan paling dasar untuk menentukan sah atau tidaknya interpretasi tersebut. Dan seandainya asumsi bahwa kontekstualisasi merupakan suatu upaya untuk mengembalikan fungsi agama sebagai jalan hidup manusia, maka konsekuensi logisnya adalah menempatkan seluruh asumsi dasar interpretasi di atas pijakan kemanusiaan. Atas pemahaman demikianlah maka muncul ide-ide pluralisme agama sebagai jalan tengah atas nama kemanusiaan.
Pluralisme sejauh dipahami sebagai ide tentang penerimaan pluralitas yang berdiri di atas nalar kemanusiaan, setidaknya dapat dilihat kembali bahwa inilah yang sebenarnya diperjuangkan oleh salah satu tokoh Islam Indonesia yang bernama Abdurrahman Wahid atau lebih akrab dipanggil Gus Dur. Dengan nalar kemanusiaan tersebut, setidaknya banyak hal yang telah ditinggalkan Gus Dur untuk Indonesia, salah satunya adalah pengakuan Konghucu sebagai agama resmi dan penetapan hari raya-hari raya Tionghoa sebagai hari libur nasional. Akan tetapi bagaimana sebenarnya dasar-dasar pemikiran Gus Dur tentang pluralisme yang diperjuangkan selama hidupnya? Inilah setidaknya gambaran awal atas pembahasan yang akan diurai dalam artikel ini.
Dasar Pluralisme Gus Dur
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujurat: 13)
Terlepas dari beragam tafsir yang muncul dari ayat di atas, setidaknya ayat itulah yang menjadi pijakan ide pluralisme Gus Dur sebagaimana ditulis dalam salah satu esainya berjudul Arabisasi? Samakah dengan Islamisasi? Esai yang dirangkum dalam satu buku berjudul Islamku, Islam Anda, Islam Kita tersebut hendak menyampaikan bahwa ketegangan antara kaum tradisionalis dan para pembaharu Islam hanya dapat didamaikan dengan jalan pengakuan atas pluralitas yang dibawa oleh ajaran Islam sebagaimana telah termaktub dalam ayat di atas (Gus Dur, 2011:267).
Berpijak pada keyakinan penuh akan pluralitas dan perbedaan pendapat sebagaiamana memang menjadi anugerah Tuhan (ikhtilâf al-a’immah rahmat al-ummah), Gus Dur beranggapan bahwa merupakan suatu hal yang wajar jika terjadi banyak perbedaan pendapat dalam umat Islam, yang menurut Gus Dur itu hanya dapat dipersatukan dalam masalah-masalah dasar belaka seperti keharusan adanya keadilan dan sebagainya (Gus Dur, 2011:350).
Dari asumsi yang demikian, maka dapat dipahami kemudian bahwa Gus Dur hendak mengembalikan fungsi Islam yang rahmatan lil ‘alamin, bahwa Islam pada hakikatnya adalah rahmat bagi semesta alam, bukan hanya untuk umat Islam, atau bahkan kelompok-kelompok tertentu dalam Islam. Hingga jelas kemudian, bahwa ide pluralisme Gus Dur sepenuhnya didasarkan pada nalar kemanusiaan, sampai pada suatu kesempatan Gus Dur dengan tegas mengatakan bahwa “Buat apa membela Tuhan? Tuhan tidak butuh dibela, melainkan manusia yang butuh dibela”.
Pluralitas dalam pandangan Gus Dur tidak hanya sekadar pengakuan keberadaan agama lain. Dalam tradisi Islam sendiri, Gus Dur juga mengakui adanya pluralitas pemahaman yang kemudian dengan suatu rumusan bijak, pluralitas tersebut dikategorisasikan oleh Gus Dur menjadi tiga bentuk pemahaman Islam; Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita (Gus Dur, 2011:65).
‘Islamku’, dimaksudkan oleh Gus Dur sebagai pemahaman Islam dalam ranah individu yang erat terkait dengan pengalaman keagamaan seseorang yang itu tidak dapat dibandingkan dengan pengalaman orang lain. Dalam pemahaman Islam yang demikian, maka asumsi dasarnya adalah asumsi ontologis bahwa seseorang tidak pernah tahu sebenarnya apa yang ada dalam pikiran orang lain, dan apa yang sebenarnya diyakini oleh orang lain. Maka dalam pemahaman yang demikian, Islam adalah persoalan penghayatan yang tidak dapat diperdebatkan (Gus Dur, 2011:66).
‘Islam Anda’ merupakan pemahaman yang lebih lanjut yang mengandaikan ‘Islamku’ tersebut bertemu dengan ‘Islamku’ yang lain, sehingga pertemuan tersebut mensyaratkan adanya kesepakatan semu bahwa harus ada suatu penghormatan atas pemahaman yang satu dengan pemahaman yang lain (Gus Dur, 2011:67).
‘Islam Kita’ adalah titik kebersatuan dari pluralitas ‘Islamku’. Bahwa dari sekian banyak pemahaman atas Islam tersebut harus ada satu semangat kemenyatuan untuk memikirkan masa depan Islam dalam setiap arus zaman (Gus Dur, 2011:67), yang masa depan tersebut menurut Gus Dur tidak dapat dibangun menggunakan penalaran ‘Islamku’, melainkan hanya dapat diwujudkan melalui nalar ‘Islam Kita’. Dalam hal inilah Gus Dur memberi syarat tegas bahwa penalaran ‘Islam Kita’ harus didasarkan pada nalar kemanusiaan mutlak, bahwa agama adalah untuk manusia, bukan untuk agama itu sendiri, atau bahkan untuk Tuhan. Dengan demikian, reinterpretasi tiada henti seluruhnya harus dibangun atas dasar penalaran bahwa kita adalah sama-sama manusia, karena peran maupun fungsi agama yang paling penting atau bahkan satu-satunya adalah untuk kebaikan manusia, bukan untuk kebaikan Tuhan.
Islam Kontekstual: dari Pluralisme ke Humanisme
Penalaran pluralisme Islam yang tertumpu pada nalar kemanusiaan sebagaimana dimaksudkan oleh Gus Dur merupakan satu-satunya jalan damai yang paling memungkinkan dari jalan-jalan lain. Inilah mengapa Gus Dur dalam pandangan Frans Magnis merupakan sosok yang sangat ramah dengan agama-agama minor, tetapi sangat tegas dengan agamanya sendiri. Sikap semacam ini merupakan suatu contoh konkret atas ide-ide humanisme Gus Dur yang didasarkan pada penalaran atas pengakuan pluralitas. Dengan mengakui adanya pluralitas, maka asumsi paling logis untuk menerima pluralitas tersebut adalah kembali pada kemanusiaan. “Bahwa benar seseorang secara akidah berbeda dengan kita, akan tetapi secara esensial kita adalah sama manusia”, penalaran semacam inilah yang sepertinya selalu ditawarkan oleh Gus Dur untuk kebaikan dalam kehidupan keberagamaan di Indonesia pada khususnya.
Seandainya ditelusuri kembali di mana sebenarnya posisi pemikiran Gus Dur dalam kerangka asumsi filosofisnya, maka dapat dipahami bahwa asumsi nalar kemanusiaan tersebut berada pada asumsi aksiologis. Asumsi tentang nalar kemanusiaan secara filosofis didasarkan pada asumsi bahwa keberagamaan seseorang hanya dapat dinilai dalam ranah luarnya, yang mana itu mengartikan suatu asumsi aksiologis, bahwa seseorang tidak berhak memberi justifikasi atas keyakinan yang lain karena tidak ada yang pernah mengerti secara benar apa yang sebenarnya ada dalam pikiran atau keyakinan seseorang. Sedangkan suatu tindakan konkret lebih dapat dinilai karena itu terkait dengan persoalan bagaimana seseorang berhubungan dengan orang lain.
Akan tetapi penalaran keagamaan semacam ini pun tidak lantas bebas dari pertanyaan, apakah agama hanya soal etis? Bahwa pokok soal penting agama adalah tentang bagaimana kita bersikap dengan orang lain. Karena dalam pemahaman agama yang secara umum dipahami oleh para penganutnya, agama tidak hanya mengajarkan moral dan etis saja, tetapi juga mengajarkan tentang keyakinan ontologis; semisal bahwa Tuhan hanya satu yaitu Allah, dan yang menyembah selain Allah adalah kafir, kemudian ditambah kembali dengan penafsiran lain bahwa kafir adalah halal darahnya. Dan pada titik ini, asumsi etis dan ontologis bisa saja berbenturan, dan lagi-lagi persoalan semacam inilah yang memang menjadi tugas besar para agamawan untuk berunding bagaimana sebaiknya, apakah kita perlu menyingkirkan asumsi-asumsi ontologis dan hanya menerima penalaran etis guna mencapai kedamaian dalam hidup beragama? Ataukah kita harus tetap kukuh dengan seluruh ajaran agama yang memang tidak dapat dipungkiri juga banyak mengandung asumsi-asumsi ontologis yang sering memicu kesalahpahaman antar individu ataupun kelompok agama.
Pada akhirnya, dalam upaya penelusuran atas jejak pluralisme dalam pemikiran Gus Dur, hanya ada satu penalaran yang paling mungkin untuk mewujudkan kehidupan keberagamaan yang damai. Penalaran tersebut adalah penalaran kemanusiaan yang didasarkan pada asumsi etis dalam agama. Akan tetapi, asumsi ini pun masih menyisakan pertanyaan tentang apakah agama hanya persoalan itu? Dan jelas bahwa dalam kerangka pemikiran Gus Dur, pokok terpenting dalam agama tidak lain dan tidak bukan memang persoalan bagaimana kita menjunjung tinggi kemanusiaan di atas ego-ego keagamaan kita yang kaku.[]
Bahan Bacaan
Wahid, Abdurrahman. Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Jakarta: Democracy Project, 2011.