Apakah gerangan yang membuat para “filsuf-belakangan” melakukan migrasi besar-besaran ke belahan bumi sastra demi menemukan cara pengucapan baru tentang kebenaran; atau mengapa lidah Al-Ghazali tetiba menjadi kaku dalam melafalkan kebenaran hingga memilih sufisme sebagai jalur alternatif mempertahankan status quo keimanan; mengapa pula Marquiz de Shade rela mengiris-iris jejarinya dan menuangkan darahnya di atas kain baju, celana, kaos kaki, dan sepatu, sebagai tinta prosanya yang saru; atau apa musabab para pujangga Jawa Kuno yang sebelum menulis sajak harus mendaki gunung lewati lembah seberangi sungai berenang ke samudra untuk mendapatkan lango—semacam penghapus subjektivitas—agar menyatu bersama Sarasvati, sang dewi susastra, sang hakikat huruf, awal mula sekaligus tujuan sebuah sajak dan perlambangan bahasa?
Diagnosa yang relatif pasti bagi segala kejumudan itu: ada “kecemasan” (anxiety, angst) akan berdusta.
Alasannya sederhana: setiap orang dengan persepsinya pada dasarnya telah menipu dirinya sendiri (self-deception, false belief). Sehingga, ketika ia mengartikulasikan persepsi-persepsi itu ke dalam sikap, ucapan, atau perilaku yang kemudian direkognisi oleh orang lain, maka ia, dalam rentang resiko fenomenologis, telah mendustai orang lain. Dan ini terjadi bukan hanya karena persepsi sebagai basis artikulasi sudah berdusta terlebih dahulu, melainkan juga karena selalu ada gegar dan distorsi antara persepsi dan deskripsi-linguistik yang tidak bisa diatasi.
Dalam konteks ini, kita bisa bersepakat dengan paradoks Ernst Hemingway, bahwa “sebenarnya orang berdusta bukan karena ia pendusta, tapi lebih karena tak ada kebenaran yang dapat diucapkannya,” katanya dalam Salju Kilimanjaro.
Teringat pada Richard Rorty yang berkata, “…karena kebenaran adalah milik dari kalimat-kalimat, dan karena kalimat bergantung keberadaannya pada kata-kata, dan karena kata-kata adalah buatan manusia, maka begitu pula dengan kebenaran…”[1], problema linguistik ini pun menjadi mendasar dalam dusta karena selain bahasa/ucapan umumnya merupakan produk sekunder setelah persepsi, ia juga mengandung unsur-unsur yang ambigu pada dirinya: di satu sisi bahasa menegasi atau menciutkan pengalaman demi kepentingan pemahaman dalam tindak-laku komunikasi; di sisi lain ia bisa bersifat hiperbolik, melebih-lebihkan, atau melampaui persepsi dan kenyataan. Intinya, dunia bahasa kita tidak pernah sedemikian literal dan apa adanya, alias berdusta juga.
Itu artinya, dalam tindak-laku kita mendeskripsikan persepsi, meski secara “jujur” sekalipun, kita telah berdusta minimal dua kali. Belum lagi dalam perlalu-lintasan “persepsi-bahasa” tidaklah berjalan satu arah bahwa bahasa sekadar mengartikulasikan persepsi, melainkan juga “bahasa dapat membentuk persepsi” (dalam pengertian Heideggerian). Sehingga, jika dusta-dusta (dalam wujud persepsi yang dibahasakan ataupun bahasa yang dipersepsikan) itu terus berjalan dari orang ke orang, maka dalam rentang imajinatif, kita bisa membayangkan betapa relasi “aku-kamu” dan “kita-dunia” telah benar-benar berlumuran dusta. Dalam konteks ini, kita bisa bersepakat dengan paradoks Ernst Hemingway, bahwa “sebenarnya orang berdusta bukan karena ia pendusta, tapi lebih karena tak ada kebenaran yang dapat diucapkannya,” katanya dalam Salju Kilimanjaro.
Sebelum kita menampilkan dunia, kata Martin Heidegger, kita sudah selalu berkaitan dengannya dan sudah selalu terikat kepadanya—kita sebetulnya tak pernah sedemikian berjarak apalagi terlepas dari dunia.[2] Di sinilah kecemasan itu hadir dari kesadaran dan penghayatan eksistensial bahwa dalam setiap kelahiran—dengan sedikit memodifikasi pandangan Heidegger—setiap orang telah mengalami “keterlemparan” ke dalam “dunia yang sudah terlanjur berdusta”. Kita dibesarkan dalam dusta kecil keluarga, diasuh oleh dusta sedang lingkungan, bahkan dicekoki pula dengan dusta besar negara, dan seterusnya. Dan dalam persilang-singkarutan “dusta-dusta kolektif” itu, kita lalu menemukan diri kita yang sedang belajar berdusta dengan membentuk subjektivitas, intelektualitas, persepsi, hasrat, fantasi, dan segala instrumen yang bisa membantu kita mengonstruksi dunia sendiri, pun dunia secara sosial.
Dengan kata lain, adanya kecemasan-eksistensial (seperti yang menjangkiti para filsuf maupun sastrawan sekte tertentu) itu dikarenakan oleh kita tengah berhadapan dengan kenyataan bahwa kita tidak pernah sepenuhnya menjadi manusia “otentik”.
Pada level superfisial (dunia keseharian), kecemasan-eksistensial ini memang sering kali tersilap, tersepelekan, dan tidak disadari banyak orang karena kita terlena dan mendistraksi diri pada kesibukan praktis keseharian. Kita sibuk dengan dunia persepsi kita, dunia fantasi, dunia simbol, dunia artifisial, alam kultural yang sudah kita terima sebagai konsensus dan kita anggap sebagai bagian dari “otentisitas” kita—dan hal ini tampaknya menjadi semacam “pharmakon”[3] untuk menerapi kecemasan-eksistensial tadi.
Adapun pembentuk “otentisitas” kita di dunia keseharian itu barangkali bisa dipadankan dengan apa yang disebut oleh psikoanalis Jacques Lacan sebagai “tata simbolik” (the symbolic order).[4] Menurut Lacan, ketika setiap orang mulai menyadari, dan mengenal “yang-lain”, the Other—lingkungan di luar dirinya; ia lalu mencari tahu siapa “aku” dengan bercermin kepada the Other tersebut yang pada gilirannya membentuk dirinya dalam konstitusi hasrat dan “fantasi” Oedipal (in the name of the father) yang menentukan cara pandangnya, menyediakan koordinat kebenaran, dan melalui bahasa, ia menetapkan nama, mengidentifikasi, membuat kategori, formula, hukum, norma, ukuran, dan sebagainya.
Atau dalam lintasan yang berbeda, kita mungkin bisa menyandarkannya secara luas pada “rezim kebenaran” (the regime of truth) Michel Foucault, yaitu semacam jangkar segala wacana yang menjadi sebab berfungsinya kebenaran; mekanisme dan teladan yang memungkinkan seseorang untuk membedakan pernyataan yang benar dan salah; suatu cara yang di dalamnya terdapat sanksi-sanksi; teknik dan prosedur yang diciptakan untuk memperoleh kebenaran; dan status bagi siapa saja yang dibebankan untuk menjelaskan apa yang dianggap benar. Oleh karenanya, “kebenaran adalah jejaring kuasa,” kata Foucault, “yang mengatur produksi, regulasi, distribusi, sirkulasi, dan fungsi dari pernyataan”—dan setiap masyarakat memiliki rezim kebenaran ini. [5]
Apakah dongeng Pinokio terinspirasi dari kenyataan keseharian kita, ataukah sebaliknya, kenyataan keseharian kita yang mengambil bentuknya pada dongeng Pinokio? Namun tanpa perlu dijawab pun, hal ini semakin mempertegas saja bahwa senyatanya kita memang hidup dalam dunia dongeng yang penuh dusta; dan di level manapun, eksistensial apalagi konvensional, selalu saja ada “sistem-dusta” yang mencemaskan dan menakutkan yang membuat hidup jadi jumud, mandeg, determinis
Namun apa pun namanya, alih-alih dapat menghapus sepenuhnya kecemasan tadi, “rezim” dan “tatanan” itu malah menciptakan kecemasan dalam bentuknya yang lain, yang lebih neurotik, yang menjelma sebagai “ketakutan” (fear, furcht), dan objek ketakutan kita itu tidak lain tidak bukan adalah “rezim” dan “tatanan” itu sendiri—yang dalam wujud konkret bisa berupa sosok orang tua dalam keluarga, institusi agama, negara, ideologi, norma, moral, etika, dan segala macamnya. Dalam konteks pembahasan kita, ketika seseorang mengartikulasikan sesuatu yang tidak sesuai nilai-nilai yang berlaku di hadapan “rezim” dan “tatanan” itu, maka ia akan terjatuh dalam kategori dan cap-sosial seperti “pendusta”, “pembual”, “penipu”, “penyebar hoax”—yang membuatnya menjadi atau merasa “bersalah” bahkan teralienasi dalam masyarakat. Itulah mengapa kita takut berdusta karena takut dicemooh manusia, takut dimarahi “bapak”, takut diperangi penguasa, takut dibenci malaikat, hingga takut dilaknat Tuhan.
Sampai di sini, kita mungkin teringat pada dongeng “Pinokio” yang menjadi ikon kultural tentang dusta dunia keseharian. Dalam cerita anak itu, Pinokio digambarkan memiliki hidung pendek, lalu menjadi lebih panjang ketika berada dalam keadaan stress (cemas dan takut), terutama saat berdusta—yang dalam konteks kultural, anatomi “hidung Pinokio” ini merupakan simbol “anomali”, identitas yang tidak umum. Dalam kisah aslinya, ia juga disebut-sebut sebagai “bajingan”, “anak nakal”, “aib”, “orang jahat”—bahkan oleh ayahnya sendiri, si tukang kayu Geppetto, ia diberi cap “anak sialan”. Dan entah kenapa, kita seperti menemukan analogi di sini.
Apakah dongeng Pinokio terinspirasi dari kenyataan keseharian kita, ataukah sebaliknya, kenyataan keseharian kita yang mengambil bentuknya pada dongeng Pinokio? Namun tanpa perlu dijawab pun, hal ini semakin mempertegas saja bahwa senyatanya kita memang hidup dalam dunia dongeng yang penuh dusta; dan di level manapun, eksistensial apalagi konvensional, selalu saja ada “sistem-dusta” yang mencemaskan dan menakutkan yang membuat hidup jadi jumud, mandeg, determinis—layaknya seorang Pinokio yang terpaksa harus menjalani karakter peyoratifnya dalam fiksi (dusta) yang diciptakan oleh Collodi, pengarangnya.
Tapi apakah manusia telah menyerah pada kenyataan fenomenologis ini dan membiarkan kecemasan dan ketakutan menghantui keberadaannya sendiri serta menghapus segala kemungkinan bahwa manusia adalah makhluk kontingen—yang serba mungkin? Bisakah kita sejenak membayangkan sosok Pinokio mampu keluar dari penjara cerita yang menindasnya untuk mendapatkan semacam “panacea”[6] yang bisa mengatasi bahkan melampaui kecemasan dan ketakutannya tanpa harus memaksa ia mengubah karakternya yang pendusta?
Maka tulisan yang belum tulisan ini hendak membongkar “dusta dalam dusta” yang menghantui para pencari jati-diri maupun para pelaku dusta-keseharian itu dengan mula-mula melakukan “diagnosa-banding“ neuro-fenomenologis atau pembacaan “dekonstruktif-seperlunya” terhadap “dongeng Pinokio” yang seolah dianggap sudah determinis. Jika pada bagian pertama kita telah tiba pada “Material-absolut” dusta (Otak, Sang Alkemis) yang berisiko mengantar kita sebagai pelaku dusta an sich, maka bagian kedua ini hendak mengafirmasinya lebih lanjut dan menariknya ke taraf refleksi keseharian, dan, jika memungkinkan, kita bisa merumuskan dusta yang-lain dalam rangka menemukan “otentisitas kita yang sebenarnya” dengan “efek-samping” yang bisa terjadi: kita akan menapaki tangga paradoks atau kemungkinan terjatuh pada palung nihilistik—tergantung status psiko-kognitif pembaca.
Lalu, kepada apakah segala kejumudan ini hendak dibebaskan untuk menemukan jalan pulang bagi eksistensialitas kita itu?
Kemunafikan Neural dan Runtuhnya Mitos tentang Hidung
Paul Ekman, behaviourist yang menulis Telling Lies: Clues to Deceit in the Marketplace, Politics, and Marriage, memperkirakan bahwa “rata-rata setiap orang berdusta sebanyak tiga kali dalam sepuluh menit percakapan”.[7] Itu artinya ada delapan-belas dusta dalam sejam, ratusan dusta dalam sehari, dan ada ribuan dusta dalam seminggu yang bisa diproduksi oleh satu orang. Mengapa dusta begitu banyak? Ini adalah bukti bahwa dusta sudah inhern secara sosial. Motif dusta memang tidak begitu jelas; kita kadang berdusta selfish untuk “pencitraan” atau untuk memanipulasi orang lain, tapi terkadang kita juga berdusta dengan alasan altruistic, seperti berdusta agar orang lain tidak kecewa.
Namun kita mungkin bisa bersepakat bahwa substratum dari segala motif dan warna dusta adalah membuat orang lain percaya bahwa kita mengatakan kebenaran meski sedang berdusta. Atau pada sisi korban-dusta, kita memberinya dorongan agar si korban memproduksi “kebenaran” dalam persepsinya. Agar dusta menjadi sempurna, ia juga harus masuk-akal. Maka terlebih dahulu pendusta harus mengonstruksi sebuah “kebenaran yang sekaligus membungkus kedustaannya” dengan standar “kebenaran” yang bisa diterima dan diyakini oleh orang yang hendak didustai. Seperti dalil Sengkuni dalam kisah Mahabharata: “Terlalu terang atau terlalu gelap, dua-duanya membutakan; setiap orang akan takluk pada tipu muslihat yang kita buat selama berdasarkan nilai-nilai dan aturan yang mereka yakini.”
Sean Spence, psikiater yang menganalisa pasien-pasiennya yang gemar berdusta juga mengandaikan bahwa dusta terdiri dari dua bagian: seseorang harus membuat kebenaran palsu; dan sekaligus menahan (atau menekan dorongan untuk menyampaikan) fakta yang benar. Hal ini mengantarkan risetnya pada diskusi neurosains bahwa perilaku berdusta atau menipu bisa jadi merupakan proses kognitif yang memerlukan “kontrol eksekutif” tingkat tinggi. Dalam berdusta, kata Spence, seseorang harus memilah-milih memori dan mengelola informasi serta mengendalikan emosi dan perilaku—ini merupakan fungsi eksekutif yang meliputi perencanaan, pemecahan masalah, inisiasi dan inhibisi perilaku, dan manipulasi data yang berguna dalam kesadaran working memory.[8]
Selaras dengan Spence, riset neuroimaging yang dilakukan oleh Nobuhito Abe (dkk.) memberikan dasar neural perilaku berdusta yakni adanya peningkatan aktivitas di bagian otak bernama Prefrontal Cortex (PFC). Riset ini secara spesifik mengidentifikasi jalur neural dusta pada subregio PFC, yakni: 1) dorsolateral PFC yang berhubungan dengan fungsi eksekutif (mengatur fokus pikiran dan perilaku untuk mencapai tujuan—termasuk proses kognitif seperti perencanaan, pemecahan masalah, memori, dan atensi); dan 2) ventromedial PFC yang terkait regulasi emosi dari interaksi sosial. Abe pun menyimpulkan bahwa pemicu emosional yang pertama menentukan niat berdusta lalu diikuti segera oleh kontrol sadar eksekutif—untuk penghambatan kebenaran—yang akhirnya mengarah ke tindakan berdusta.[9]
Apa yang digambarkan dalam riset Abe ini membawa kita pada paradoks, bahwa PFC—yang dalam uraian sebelumnya terlibat dalam keyakinan dan framing persepsi (kebenaran)—ternyata juga terlibat dalam kebohongan. Namun ini bisa dipahami karena fungsi-fungsi eksekutif dan kognitif PFC memang sangat dibutuhkan saat berdusta; kita tidak bisa berdusta jika kita tidak mampu merangkai kebenaran, memanipulasi kenyataan, atau membungkus kepalsuan dalam kebenaran yang bisa dipersepsi benar. Dan tentu saja, kebohongan tidak akan sempurna jika terlebih dahulu kita tidak memiliki kayakinan bahwa dusta yang hendak kita sampaikan akan dipersepsi sebagai kebenaran oleh orang lain.
Bahwa otak dalam aktivitasnya memersepsi hal dan menganggapnya sebagai kebenaran, tidak ada bedanya dengan kita berbuat dusta; kenikmatan meyakini suatu kebenaran sama halnya dengan kenikmatan pada dusta; sekaligus mematahkan segala kategori yang menciptakan perbedaan tegas antara kebenaran dan kebohongan, kenyataan dengan kepalsuan.
Adanya keterlibatan kontrol kognitif PFC ini, dengan demikian, memungkinkan penelusuran lebih lanjut tentang dusta dalam kaitannya dengan perilisan hormon “kesenangan” dopamine (brain-reward system). Terkait sirkuit klasik PFC-dopamine ini telah banyak diteliti oleh para neurosaintis, seperti M. Victoria Puig (dkk.) yang meneliti modulasi dopamine di PFC pada proses belajar dan memori beberapa binatang,[10] juga Rita Z. Goldstein (dkk.) yang meneliti kecanduan pada pemakai narkoba dalam hubungannya dengan sirkuit PFC-dopamine.[11] Intinya, setiap kali PFC melakukan aktivitas, sering kali diiringi dengan adanya perilisan dopamine. Maka, seperti halnya keyakinan dan juga persepsi terhadap kebenaran yang memperoleh hadiah dopamine berupa rasa senang hingga efek candu, apakah berdusta sebagai sebuah aktivitas kognitif otak juga dapat memberi efek yang sama pada tubuh?
Profesor Biologi dan Neurologi Universitas Stanford, Robert Sapolsky, yang meneliti tentang bagaimana dopamine memanipulasi perilaku simpanse dan manusia, menunjukkan bahwa kadar dopamine meningkat segera setelah subjek mengantisipasi reward. Adanya aliran dopamine ini, membuat simpanse dan orang-orang akan bekerja dan terus bekerja dengan harapan menerima reward yang setimpal seusai bekerja keras. Bagi simpanse, reward itu bisa berbentuk makanan; sementara bagi manusia, itu bisa berupa sepasang sepatu kets, mobil mengkilap, titel MBA, beberapa menit kenikmatan setelah berdusta, beberapa detik kepuasan seksual, atau janji keselamatan kekal. Kesimpulan Sapolsky: tidak ada perbedaan yang terlihat pada fungsi neurokimia dopamine antara simpanse dan manusia—satu-satunya perbedaan adalah pada simpanse tidak terdapat kecanduan keyakinan, ideologi, dogma, derajat, pangkat, fantasi, kebohongan, janji-janji kosong, atau penipuan diri.[12]
Senada dengan itu, psikolog Charles Lyell juga berpendapat bahwa rata-rata alasan orang berdusta adalah sama dengan alasan para pecandu narkoba, judi, makanan, seks, dan uang—yaitu untuk mempertahankan aliran dopamine. Lyell memandang bahwa perilaku dusta terkait dengan empat kebutuhan Abraham Maslow yang dirampingkannya menjadi dua: kebutuhan fisiologis untuk oksigen, air, makanan, seks, tempat tinggal; kebutuhan psikologis untuk keselamatan atau kuasa, penerimaan atau persetujuan atau perhatian, harga diri atau status. Dan pada manusia pendusta, pemenuhan akan kebutuhan psikologis dominan sebagai harapan di balik dusta. Namun, harapan tersublim yang tidak disadari di balik pemenuhan kebutuhan psikologis itu ialah harapan terhadap dopamine.[13]
Cobalah buat status atau foto “pencitraan” (dusta) di media sosial. Jika itu kemudian diapresiasi banyak orang, lalu kita merasa “feel-good”, maka kita cenderung akan terdorong untuk melakukannya lagi dan lagi. Itu semua karena ulah dari dopamine. Dan ketika sistem dopaminergik kita telah beradaptasi dengan hal-ihwal demikian, maka kita pun akan menjadi “pecandu psikologis” (terma Lyell). Sophie van der Zee, psikolog Free University Belanda, juga berkata serupa dalam lintasan lain: “Ketika kita berdusta atau menipu untuk keuntungan diri sendiri, awalnya kita akan merasakan ‘feel-bad’ (merasa berdosa, cemas, sedih), tapi ketika kita terus melakukannya, perasaan itu akan hilang, dan kita akan senang untuk melakukannya lagi.”[14]
Dengan demikian, terlepas dari “efek candu” yang bisa ditimbulkan (karena efek candu itu juga dapat terjadi pada ihwal keyakinan dan aktivitas persepsi[15]), hal yang bisa ditarik dari riset dan pendapat ini ialah keterwujudan sebuah perilaku dusta sangat bergantung pada keterpautan sirkuit PFC-dopamine. Dalam pola terbalik, dapat pula diartikan bahwa jika terjadi gangguan pada sirkuit PFC-dopamine, maka dipastikan berpengaruh pada perilaku dusta. Dan ternyata, hal ini ditegaskan dengan riset lanjutan Nobuhito Abe (dkk.) yang menunjukkan bahwa pada penderita Parkinson—yang notabene mengalami gangguan pada PFC—kehilangan kemampuan untuk berdusta;[16] dan pada literatur lain, diketahui bahwa penyakit Parkinson ini juga disebabkan oleh defisiensi dopamine.[17]
Dus, riset-riset ini pada akhirnya mengantar kita pada titik kulminasi: bahwa otak dalam aktivitasnya memersepsi hal dan menganggapnya sebagai kebenaran, tidak ada bedanya dengan kita berbuat dusta; kenikmatan meyakini suatu kebenaran sama halnya dengan kenikmatan pada dusta; sekaligus mematahkan segala kategori yang menciptakan perbedaan tegas antara kebenaran dan kebohongan, kenyataan dengan kepalsuan. Dengan kata lain, jika otak (yang normal) tidak bisa digunakan untuk mengekspresikan sebuah dusta, maka ia juga tidak bisa dipakai untuk mencari kebenaran—memang terkesan agak mengesalkan, tapi inilah kenyataan yang seharusnya disadari dan kita terima sebagai sebuah paradoks-diri dalam konteks neuro-eksistensial.
Sampai di sini, barangkali muncul persoalan tentang “moralitas-diri”, bahwa boleh saja kebenaran itu serupa dengan dusta, tapi—seperti pandangan Immanuel Kant—kebenaran itu sekadar sintesis yang tidak terkandung dalam konsep kejujuran; sementara jujur itu benar (sebaliknya, dusta itu salah); dan jujur itu a priori, diketahui oleh semua orang dalam “akal murni” (pure reason).[18] Bukankah kejujuran adalah “keharusan kategoris”, misalnya, kita harus selalu berkata jujur, meskipun dalam keadaan terdesak?
Dalam kacamata neurosains, moralitas ini tidak berlaku bagi otak, sebab moralitas dan segala tetek-bengek-nya itu hanyalah konsep yang pada dasarnya diproduksi oleh otak. Dan sialnya, bagian otak yang menjadi biang keladi terinternalisasinya moralitas ini lagi-lagi adalah PFC.[19] Itu artinya, otak kita yang membuat aturan bahwa berdusta itu salah, namun ia juga yang memperkenankan perilaku dusta bisa termanifestasi. Maka selain paradoks, aktivitas otak kita juga mengandung ironi—dan untuk kedua sifat ini, kita bisa menyebutnya sebagai “kemunafikan” neural. Seperti sindiran Epictatus kepada perilaku keseharian kita, “sangat mudah menunjukkan bahwa berdusta itu amoral, tapi senyatanya kita juga berdusta”. Bukankah meskipun moralitas itu berwujud dalam dimensi sosial, kita tetap saja selalu berdusta? Itu semua karena manusia bukanlah malaikat, dan otak kita tidak bekerja pada jalur “konsistensi” seperti mimpi-mimpi Kant, melainkan beroperasi pada jalur “konsekuensi”.
***
Persoalan lainnya yang mungkin timbul dalam perjalanan menemukan eksistensialitas kita ialah adanya ilmu-ilmu yang katanya mampu membedakan orang yang berdusta dengan orang yang berkata jujur. Bagi kebanyakan awam hingga ilmuwan, hal ini bisa menjadi legitimasi bahwa kejujuran merupakan nilai-nilai luhur manusia yang memang sudah terpatri dalam diri kita sejak dari sono-nya.
Jika yang dimaksudkan adalah sejenis ilmu Fisiognomi yang digandrungi oleh banyak para psikolog seleb nan unyu-unyu yang berseliweran di televisi dengan julukan-julukan “pakar mikro-ekspresi”, “pakar gestur” dan sebagainya itu, maka sebaiknya segera lupakan atau anggap saja sebagai hiburan seperti menonton serial Sherlock Holmes.
Konon, ilmu-ilmu “pagan” seperti itu bersandar pada keyakinan bahwa dongeng Pinokio yang “hidungnya bertumbuh” ketika berdusta adalah benar. Asumsi ilmiahnya: bahwa perilaku dusta terkait dengan aspek emosi sehingga dusta dapat termanifestasi pada bahasa tubuh, seperti gelisah, cemas, dan takut gagal untuk bertindak meyakinkan—terkait emosi dan pengondisian rasa takut ini, basis neuralnya adalah Amygdala[20]. Emosi-emosi negatif ini juga dapat dideteksi pada ekspresi wajah hingga pada detail-detailnya yang mikro seperti gerak otot-otot kulit wajah di sekitar bibir dan bola mata, kontak mata, berkedip, dilatasi pupil, dsb.[21] Dengan kata lain, konon, tubuh pendusta akan menumbuhkan semacam “penanda somatik” yang analog dengan “hidung Pinokio” kala berdusta.
Mungkin benar bahwa orang yang berdusta akan merasakan emosi negatif seperti itu, dan “wajah adalah indikator terkuat perilaku dusta”, seperti kata Paul Ekman. Atau seperti kalimat popular yang mungkin sering kita dengar: “mulut bisa berdusta, tapi mata tidak bisa menipu.” Tapi ketika penafsiran emosi pada ekspresi wajah ini diletakkan dalam konteks mendeteksi perilaku dusta, yang akan terjadi adalah bias penafsiran, dan ini berbahaya.
Maria Hartwig, profesor psikologi di John Jay College of Criminal Justice—City University of New York, menerangkan bahwa emosi-emosi negatif bisa memiliki banyak penyebab, dan wajah adalah kanvas yang ambigu. Bayangkan jika Anda berada dalam situasi dicurigai polisi terkait kejahatan yang tidak Anda lakukan. Pengalaman emosional apa yang kiranya Anda rasakan ketika Anda sudah jujur dan menyangkal tuduhan tersebut saat polisi menginterogasi? Kemungkinan Anda akan mengalami sejumlah emosi negatif—mungkin kegelisahan, kecemasan dan ketakutan, selain marah karena dijadikan tersangka. Ini bisa membuktikan bahwa orang yang jujur pun bisa mengalami emosi negatif yang sama. Hartwig mengatakan, “siapa saja yang pernah berada dalam situasi sosial di mana kebenarannya dipertanyakan, pasti tahu bahwa ia dapat menjadi stress dan mendapatkan pengalaman yang tidak menyenangkan, bahkan jika ia sedang jujur sekalipun.”[22]
Atau dalam skenario lain, misalnya, pada seorang istri korban pembunuhan yang sedang diinterogasi oleh polisi. Dalam interogasi ia tampak kooperatif, tapi sekilas ia juga menampakkan mikro-ekspresi kemarahan pada pertanyaan tertentu lalu sebentar-sebentar tersenyum tanpa alasan yang jelas. Apakah kita bisa mengatakan bahwa kemarahan itu adalah penanda ia sedang berdusta; dan senyuman itu sebagai penanda kemenangan? Di satu sisi, seorang “pakar mikro-ekspresi” (katakanlah begitu) bisa saja menyimpulkan adanya tanda-tanda seorang “psikopat”—dan ini bisa mengarah pada “pelaku”. Tapi di sisi lain, usaha sang istri itu untuk menyembunyikan emosinya bisa saja adalah perilaku sosial yang normal: ia bisa marah pada polisi karena dia ingin privasi; dan dia mungkin tersenyum karena mengingat kenangan bahagia bersama suaminya sebelum meninggal. Di sinilah bias itu terjadi.
Selain itu, andai pun orang yang jujur umumnya dianggap selalu menampilkan emosi yang positif atau cenderung lebih tenang, ternyata pendusta juga dapat menampilkan hal serupa. Bella DePaulo, social psychologist di University of California yang melakukan meta-analisis perilaku dusta, telah merumuskan sebuah teori ilmiah yang ia sebut “the self-presentational perspective on deception” yang menekankan persamaan antara berdusta dan mengatakan kebenaran. Premis dasar dari teori ini dapat diringkas dalam mode yang relatif sederhana: pendusta dan orang yang mengatakan kebenaran memiliki tujuan perilaku yang sama, yakni ingin dianggap jujur. Akibatnya, kata DePaulo, “sejauh bahwa mereka peduli tentang bagaimana menjadi dipercaya, baik pendusta dan orang yang mengatakan kebenaran akan sama-sama berinvestasi dalam upaya menampilkan diri sebagai orang jujur, sehingga memungkinkan terjadinya kegagalan pada prospek untuk mencapai pengalaman emosi negatif.”[23] Dengan kata lain, ketika berdusta, “hidung Pinokio” bisa gagal untuk tumbuh.
1) berdusta dan merangkai kebenaran adalah dua sisi koin yang sama, bagian otak yang beroperasi untuk keduanya juga relatif sama; 2) adapun dusta dan kejujuran adalah serupa meski tak sama—tapi andaipun kejujuran dianggap sebagai lebih tua dari manusia, maka dusta mungkin bisa lebih tua dari kejujuran itu sendiri.
Hal ini juga tampak dibuktikan dengan riset yang dilakukan oleh Kamila Sip (dkk.) untuk Front Human Neuroscience. Dalam publikasinya yang diberi judul “When Pinocchio’s Nose Does Not Grow…”, Sip (dkk.) melemparkan pertanyaan: “apakah hidung Pinokio akan tumbuh ketika ia percaya bahwa kebohongannya dapat dideteksi?”—dalam konteks riset ini, hendak diselidiki apakah aktivitas otak yang mendasari produksi penipuan akan berbeda tergantung pada seseorang percaya penipuan mereka dapat dideteksi atau tidak. Untuk itu, situasi pun didesain di mana para partisipan dijejali beberapa pertanyaan dan diharuskan menjawab secara jujur dan berdusta dengan terhubung pada mesin lie-detector berbasis neuroimaging (fMRI). Dalam persiapan menjawab (jujur dan dusta) itu, masing-masing situasi diberi intervensi: di satu sesi, partisipan diyakinkan bahwa lie-detector sedang menyala (ON), di sesi lainnya partisipan diberitahu lie-detector sedang OFF.
Kita mungkin bisa membayangkan bahwa ketika seseorang berdusta dan meyakini bahwa dustanya sedang dideteksi, tentu akan menimbulkan emosi-emosi kegelisahan, kecemasan dan ketakutan hingga pada manifestasinya di ekspresi wajah (penanda somatik). Oleh karenanya, hipotesis yang diharapkan dari riset ini, dengan menyubstitusi “penanda somatik” menjadi “penanda neural”, tentu saja ialah Amygdala (sebagai penanggung jawab ekspresi-ekspresi emosional) menjadi kandidat utama yang diselidiki dalam modulasi terkait keyakinan itu. Akan tetapi, salah satu hasil pindai otak dalam riset ini menunjukkan bahwa tidak ada interaksi signifikan dalam Amygdala yang disebabkan oleh modulasi keyakinan pada partisipan yang dustanya dideteksi. “Amygdala memang terkait dengan perilaku dusta (lihat juga Abe dkk., 2007, pen.), tapi tidak memiliki unsur konfrontasi langsung yang hadir dalam skenario interogasi dari riset ini,” kata Sip.[24]
Jika dihubungkan dengan teori DePaulo yang lain tentang “seorang pendusta juga bisa lebih tenang”, riset Sip ini tampak menyediakan alternatif jawaban neurosains, yakni dalam situasi lie-detector yang menyala (atau pendusta yakin sedang dideteksi), tampak adanya aktivasi otak yang signifikan lebih besar pada Left Temporal Pole (LTP) ketika partisipan memproduksi dusta; sementara LTP ini tidak aktif pada pendusta saat lie-detector dalam posisi OFF. Menurut Sip, peningkatan aktivitas bagian otak ini dimungkinkan karena “partisipan berusaha tidak hanya untuk mengatur respon emosional mereka sendiri tetapi juga untuk menyimpulkan keadaan emosional dan keyakinan dari interogator mereka.”[25] Lantas apakah LTP ini bisa dijadikan kandidat alternatif “hidung Pinokio”? Ternyata riset ini membantahnya sendiri dengan menunjukkan bahwa LTP malah lebih aktif pada orang yang berkata jujur dalam semua situasi (lie-detector ON/OFF).
Dengan demikian, riset ini, melalui metodenya yang kompleks, secara tidak langsung menyasar dan meruntuhkan ragam mitos dalam psikologi dusta dan tipu daya, serta asumsi yang masih membedakan antara dusta dan kejujuran: mitos tentang “hidung Pinokio” itu tidak lagi relevan dalam konteks pendeteksian perilaku dusta; dan asumsi bahwa daerah otak yang sama akan selalu aktif atau tidak aktif ketika berdusta atau jujur, masing-masing adalah simplifikasi yang berlebihan, sebab otak pendusta juga mampu melakukan “adaptasi-neural” seperti otak orang jujur; temuan ini juga bertentangan dengan penelitian penipuan lain yang telah menemukan respon yang lebih cepat ketika peserta jujur, dibandingkan dengan ketika mereka memproduksi klaim palsu—dan yang terakhir ini, juga konsisten dengan riset Ayahito Ito (dkk.) yang mengungkapkan bahwa dalam segi persiapan, baik pendusta maupun orang yang berkata jujur mengaktifkan daerah otak yang sama.[26]
Itulah mengapa dalam riset-riset neurosains, obsesi untuk membedakan dusta dan jujur ini telah menjadi diskursus yang melelahkan terutama pada riset yang diarahkan untuk kepentingan forensik, penyidikan kepolisian, dan persidangan. Upaya-upaya dalam merumuskan mesin “pendeteksi-dusta” dengan basis neuroimaging masih terus digeluti hingga kini, dan tampaknya belum juga dituntaskan. Hal ini selain dikarenakan sistem pendeteksian aktivitas emosi perilaku dusta mengandung bias, juga karena rumitnya membedakan antara perilaku dusta dan aktivitas kognitif pada umumnya. Noa Ofen (dkk.) yang meneliti jalinan halus neural perilaku dusta pada setahun terakhir bahkan berkesimpulan: “bukti kumulatif menunjukkan bahwa beberapa daerah otak yang konsisten lebih aktif ketika seseorang berdusta; namun, wilayah ini juga tampak terlibat dengan tugas-tugas kognitif lainnya, membuat penggunaannya dalam algoritma deteksi dusta rentan terhadap alarm palsu.”[27]
Simpulan sementara yang bisa kita ambil dari proses jungkir-balik menemukan jalan pulang eksistensialitas kita ini ialah adanya semacam kata-kunci, bahwa: 1) berdusta dan merangkai kebenaran adalah dua sisi koin yang sama, bagian otak yang beroperasi untuk keduanya juga relatif sama; 2) adapun dusta dan kejujuran adalah serupa meski tak sama—tapi andaipun kejujuran dianggap sebagai lebih tua dari manusia, maka dusta mungkin bisa lebih tua dari kejujuran itu sendiri. Sehingga, pada dasarnya, otak sangat toleran terhadap setiap bentuk kebutuhan individu untuk menggunakannya, tapi juga sekaligus diskriminatif pada aspek yang merugikan. Dengan demikian, mencipta kebenaran, berkata benar, atau berdusta, sebenarnya hanyalah cara kita untuk men-drive realitas—dan otak akan selalu melayani kita bahkan hingga pada batas-batas yang merusaknya sekalipun.
Dus, dusta manalagi yang hendak kita dustakan?
Operasi Plastik dan Masa Depan untuk Pinokio
“Setelah dilahirkan, Pinokio segera tertawa, mengejek di hadapan penciptanya—ia mencuri wig lelaki tua itu.” —Carlo Collodi, The Adventures of Pinocchio.
Selama ribuan tahun, terma “dusta” dan “tipu daya” memang telah mengalami pelecehan dan penindasan pada teks-teks yang berasal dari zaman kuno (termasuk teks agama) dengan mendikotomikannya pada “kebenaran” dan “kejujuran”—dikotomi yang sama terjadi pula pada kebaikan vs kebatilan, cahaya vs kegelapan, malaikat vs iblis, manusia vs binatang. Dan sialnya, diskursus-diskursus modern seolah mengadopsinya dengan menempatkan “kejujuran” pada menara gading “moralitas”. Akan tetapi, ihwal ini seharusnya sudah kita akhiri dan lampaui, sebab membenci perilaku dusta hari ini, sama saja dengan menarik sejarah peradaban manusia ke titik ribuan tahun yang lalu—di mana tidak ada masa depan di sana.
Studi-studi evolusi seperti “the social brain” Robin Dunbar[28] hingga “the selfish gene” Richard Dawkins[29] telah mengajukan bukti-bukti bahwa kemampuan manusia untuk berdusta dan menipu itu merupakan kemampuan yang “diperoleh”, “normal” dan senyatanya “inhern” pada individu. Dalam ilmu-ilmu perkembangan-anak juga dapat kita temui bahwa kemampuan berdusta dan menipu manusia berkembang secara alami pada masa kanak-kanak. Jadi, jangan heran jika kita yang memiliki anak sewaktu-waktu menemukan anak yang mulai pandai berdusta, itu adalah penanda bahwa otak anak kita yang mengatur ihwal kognitif juga imajinasi sedang berkembang, dan ini normal.
Di era Tuhan dan Nietzsche telah mati serta hilangnya batas antara fakta dan fiksi, kebutuhan fisiologis-psikologis maupun material-moral homo sapiens hari ini cenderung menuntut manusia modern itu untuk mengembangkan “kebiasaan” (habit) perilaku dusta, yang secara “dialektik” saling mempengaruhi dengan struktur moral yang telah ada.
Di samping itu, bukti-bukti neurosains juga telah menunjukkan bahwa orang yang jujur (atau selalu berkata benar) hanya ditemukan pada orang-orang yang mengalami gangguan fungsi otak yang berakibat pada kehilangan kemampuan normalnya yaitu berdusta, seperti pada riset Abe tentang dusta dan Parkinson Desease, dan satu lagi, riset Simon Baron-Cohen pada anak dengan Autism Spectrum Disorders[30]. Jika pada Parkinson terdapat gangguan fungsi eksekutif PFC yang dibutuhkan dalam dusta (lihat Abe, 2009), gangguan pada Autisme terletak pada Default Mode Network atau Imagination Network (yang salah satu sirkuitnya juga melibatkan PFC) yang mengatur fungsi “Theory of Mind” (ToM) atau kemampuan seseorang memahami isi pikiran dan emosi orang lain (atau keyakinan palsu)—dan fungsi ini juga diperlukan untuk berdusta.
Meskipun dalam riset terkini ditemukan juga bahwa anak autis pada akhirnya bisa berdusta tanpa fungsi ToM[31] (ada harapan menuju perkembangan normal), hal di atas sebenarnya ingin menunjukkan bahwa terdapat ketegangan antara apa yang secara sosial-konvensional tidak diinginkan tapi “normal” (yaitu berdusta) dan apa yang secara sosial terpuji tapi “patologis” (yaitu selalu berkata benar). Oleh karena itu, sangat dimungkinkan untuk mempertanyakan kembali (atau mungkin merevisi) tentang apa yang kita sebut ”moralitas” yang mengatur “jujur vs dusta” itu—mengingat moralitas juga pada dasarnya hanyalah hasil konstruksi otak manusia. Namun tampaknya, tanpa harus berteriak-teriak untuk merumuskan sebuah rezim atau tatanan moralitas-baru, perevisian itu sudah dan sedang terjadi meski masih malu-malu.
Di era Tuhan dan Nietzsche telah mati serta hilangnya batas antara fakta dan fiksi, kebutuhan fisiologis-psikologis maupun material-moral homo sapiens hari ini cenderung menuntut manusia modern itu untuk mengembangkan “kebiasaan” (habit) perilaku dusta, yang secara “dialektik” saling mempengaruhi dengan struktur moral yang telah ada. Tindak politik yang mengedepankan imagologi (citra) daripada ideologi; laku ekonomi yang memprioritaskan pemenuhan hasrat (wants) daripada kebutuhan (needs); munculnya ragam penyakit psikosomatis yang lebih butuh placebo daripada obat farmakologis; hingga masalah kekeringan spiritual yang melahirkan guru-guru spiritual seleb, menunjukkan bahwa dusta telah diterima secara konvensional bahkan menjadi kebiasaan manusia.
Jika dihadapkan pada moralitas, mungkin terjadi kemunafikan di sana. Namun langkah maju manusia yang “membiasakan diri” dalam mengatasi dunianya ini telah bergerak melampaui dan memodifikasi narasi moralitas yang membosankan itu dengan berhasil mengatasi kecemasan dan ketakutannya (lihat kembali uraian “Runtuhnya Mitos tentang Hidung”). Jangan heran jika politisi bisa berdusta pakai “data” tanpa rasa cemas, dosen menipu otak mahasiswanya pakai “gelar” tanpa rasa bersalah, ulama dan pendeta bisa pula berdusta pakai “ayat suci” dengan sumringah, dan kita juga bisa melihat fenomena betapa larisnya buku-buku yang mengajarkan “jurus dusta dan gelak tipu” daripada buku penganjur kejujuran (jika pun ada) di mana respon kita biasa saja—tanpa ada kecemasan dan rasa takut untuk membelinya.
Konsekuensi dari kebiasaan ini mungkin menjadikan manusia semakin menjauh dari eksistensialitasnya yang otentik—yang orisinil (jika bertolak pada “subjek moralis” Kant, misalnya). Tapi apa otentisitas itu, apa itu “subjek”, siapakah “diri” (self), ini adalah persoalan krusial yang menarik sekaligus berbahaya, seperti “kita tertarik pada sisi berbahaya setiap hal: pencuri yang jujur, pembunuh yang lembut, ateis yang beriman,” kutip Orhan Pamuk dalam prolog Salju.
“Kebiasaan,” mengutip filsuf-neuronal Catherine Malabou, “terungkap sebagai proses di mana manusia berakhir dengan bersedia atau memilih apa yang datang kepadanya dari luar,” dan dengan demikian memungkinkan manusia untuk terlibat dengan masa depan mereka sendiri dalam menentukan caranya sendiri.[32] Dengan kata lain, kebiasaan hidup manusia dalam bentuk-bentuk pengalaman individu, keterampilan dan kesan keberadaannya menyiratkan kapasitas untuk membentuk sejarah. Jika Marx berkata, “manusia membentuk sejarahnya sendiri, tapi mereka tidak mengetahuinya,” Malabou yang juga murid Derrida ini mengadaptasinya: “manusia membuat otaknya sendiri, tapi mereka tidak mengetahuinya … kita adalah subjek—pencipta sekaligus produk—dari otak kita sendiri, dan kita tidak mengetahuinya.”[33]
Dalam konteks neurosains, kebiasaan ini memang ter-material-kan dalam wujud adaptasi-neural dengan terbentuknya koneksi sinaps-sinaps saraf yang baru di otak (modifikasi koneksi neuronal) yang secara umum disebut “neuroplastisitas” atau “plastisitas otak”[34]. Perilaku apa pun yang dibiasakan, termasuk berdusta, akan menjadi langgeng di otak dan pada gilirannya otak membentuk struktur personalitas. Dan selama otak masih bersifat plastis, selama itu pula individu mampu menyerap situasi sosialnya dan sekaligus membentuk dirinya sendiri—apalagi ketika dusta telah inhern secara sosial dan didukung dengan fakta bahwa dusta juga inhern secara biologis, maka dalam rentang “operasi-operasi neuroplastisitas”, perilaku dusta akan memiliki masa depan di sana.
Kata “plastik” pada “neuroplastisitas” berasal dari kata “plassein” (Yunani) yang memiliki dua pengertian dasar: kapasitas untuk menerima bentuk (tanah liat juga disebut “plastik”, misalnya) dan kapasitas untuk memberikan bentuk (seperti dalam seni plastik atau pada operasi plastik).[35] Adanya sifat plastik dari otak ini sebenarnya telah menandaskan bahwa “otentisitas”, “diri”, atau “proto-diri” manusia yang kontingen dalam meniti jalur konsekuensi hidupnya itu adalah “individualitas plastik”—yakni mampu mengubah esensi tunggalnya sendiri dengan cara-cara yang tak terduga dengan memasukkan apa yang sebelumnya tidak disengaja.[36] “Self is synaptic,” kata Joseph LeDoux; “You are your synapses,” kata Malabou, “diri adalah sintesis dari segala proses plastik yang terjadi di otak.”[37]
“Plastisitas” merupakan lawan dari “rigiditas” (kaku). Tapi ia juga harus dibedakan dari “fleksibilitas” (semboyan manajemen produksi—tenaga kerja era 70-an), “elastisitas” (Freud), apalagi “fluiditas” (Derrida), yang masing-masing mengandung jebakan paradoks dan ironi atau “kemunafikan” nihilistik di dalamnya. Jika ketiga terma itu hanya beroperasi untuk menerima bentuk dan dapat kembali ke bentuk semula tapi tidak mampu memberi bentuk, plastisitas dapat memberi bentuk baru dalam arti memberi identitas baru pada manusia tanpa kembali ke diri yang sebelumnya. Dengan demikian, kemampuan manusia untuk belajar, untuk memperoleh keterampilan baru dan kenangan baru, akan dipertahankan sepanjang hidup, dan kapasitas untuk menerima dan membuat bentuk diri ini masing-masing tidak bergantung atau menghapus adanya model atau standar diri.
Lebih lanjut, jika plastisitas otak ini diinterpretasi secara “politis-emansipatoris”, kita bisa memaknai plastisitas sebagai “fleksibilitas tanpa henti”—dalam arti dapat melahirkan “subjek politik” yang mampu melampaui “daya pegasnya”. Malabou mengingatkan, bahwa “plastique” (plastik, Prancis), dari mana orang-orang Prancis mendapatkan kata-kata “plastiquage” (bom) dan “plastiquer” (meledakkan), adalah bahan peledak yang terbuat dari nitrogliserin dan nitroselulosa yang mampu menyebabkan ledakan yang keras.[38] Asosiasi poetik ini memungkinkan plastisitas diletakkan di antara dua titik ekstrem: di satu sisi mengambil bentuk (patung atau benda plastik), di sisi lain menghancurkan segala bentuk (ledakan). Kata plastisitas dengan demikian terbentang maknanya antara determinasi dan kebebasan, yang mengatakan ledakan. Dari perspektif ini, plastisitas otak dapat dilihat tidak hanya sebagai pencipta dan penerima bentuk tetapi juga agen dari ketidaktaatan kepada setiap bentuk dasar—penolakan untuk tunduk kepada model.
Mengapa Pinokio terbahak setelah dilahirkan? Ketawa pinokio adalah sebuah “ledakan plastik”; ia menerima dan membentuk kebohongan pada dirinya tapi juga sekaligus menghancurkan kebohongan ayah-penciptanya (wig = rambut palsu = bentuk dusta dan tipu daya); dan ia memang pendusta tapi sekaligus mampu menghancurkan dusta-dusta moralis yang mengitarinya. Bukankah dalam moralitas politis, siasat berhadapan dengan siasat—dusta bisa dilawan dengan dusta?
Dengan demikian, moralitas juga adalah plastis. Ia dibentuk dan diterima oleh otak tapi juga bisa dihancurkan oleh otak dalam koridor neuroplastisitas. Mengutip sebuah kritik terhadap filsafat “Integralisme” Armahedi Mahzar, Yasraf Pilliang bahkan pernah berkata, “Tuhan, bersifat ‘plastis’, karena Dia dapat menyintesiskan dan membentuk-ulang segala unsur-unsur yang bertentangan, tanpa terperangkap dalam paradoks. Tuhan ‘membentuk’ (dunia), tetapi juga ‘menghancurkan’ (kiamat); Tuhan menyampaikan perintah, tetapi juga kemudahan, memberikan kewajiban, tetapi juga keringanan, menjatuhkan hukuman, tetapi juga ampunan,”[39] dan bahkan, di balik kemaha-benaran Tuhan, terkandung “dusta kekal” di mana Dia bersemayam dalam “perbendaharaan tersembunyi”. Lantas, apakah manusia menjadi amoral ketika ia menirukan sifat-sifat “plastis” Tuhan?
Dus, Tuhan mungkin telah selesai mencipta, tapi dalam rentangan plastis, proses itu belum selesai. Evolusi manusia masih terus berlangsung, dan evolusi ini tidak lagi mengarah pada perubahan bentuk tubuh secara superfisial—layaknya Pinokio—melainkan perubahan pada struktur dan fungsi dari sinaps-sinaps saraf di otaknya. Di masa depan, orang-orang akan beradaptasi, “bermutasi”, menyesuaikan diri pada kebohongan-kebohongan yang fungsional dan efektif tidak hanya untuk survival for the fittest tapi juga untuk mengatasi dunianya, untuk men-drive realitas. Aktor dan aktris yang biasa berdusta di layar kaca bermigrasi ke dunia politik dan ekonomi, politisi membayar jasa konsultan untuk belajar acting di depan khalayak, para ustad menyampaikan ceramah sembari berprofesi sebagai selebritis, mahasiswa ekonomi diajarkan trik marketing “menipu” calon pembeli, orang-orang hukum mencari celah mengakali ayat-ayat dalam KUHP, hingga para dokter tidak lagi mendalami bagaimana obat bekerja tapi belajar teknik retorika untuk menenangkan pasien sekaligus untuk “menghindari” mal-praktek.
Apa yang dapat kita simpulkan pada akhirnya adalah homo sapiens yang akan berjaya di masa depan bukan lagi mereka yang terkategorikan sebagai animale rationale, animal symbolicum, zoon politicon, homo economicus, atau homo religious, apalagi homo sleurmens (manusia rutin malas), melainkan mereka yang mampu menerima dan membentuk evolusinya sendiri sebagai “animal hoaxicum”—makhluk pendusta.
Bukankah pertanda ini sudah dan sedang terjadi di negara kita, di mana para pendusta menguasai segala aspek dan sesosok boneka kayu bisa menjadi raja?
Manado, Maret 2017
[1] Rorty, Richard. 1989. Contingency, Irony, and Solidarity. Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 9.
[2] Lihat Heidegger, Martin. 2001. Being and Time. Diterjemahkan oleh John Macquarrie & Edward Robinson. Oxford: Blackwell Publisher, hlm. 188-189.
[3] Pharmakon (Yunani Kuno): ambiguitas; paradoks; ambivalensi; obat sekaligus racun; yang memiliki daya sembuh yang setara dengan kekuatan membunuhnya. Derrida menggunakan istilah ini untuk menyoroti gagasan ketidakpastian filosofis.
[4] Lihat Felluga, Dino. 2002. “Modules on Lacan: On the Structure of the Psyche”. Introductory Guide to Critical Theory. www.purdue.edu
[5] Foucault, Michel. 1977. “The Political Function of the Intellectual”, Radical Philosophy, 17: 12-14.
[6] Panacea (Yunani Kuno): dewi penyembuh; obat segala sesuatu—nama lain dari philosopher’s stone dan elixir of life.
[7] Data ini digeneralisasi dari riset Feldman (dkk) untuk memperoleh data presentasi diri yang melaporkan bahwa peserta penelitian berdusta sebanyak 2,92 dusta dalam 10 menit percakapan. Lihat Feldman RS., dkk. 2002. “Self-presentation and Verbal Deception: Do Self-Presenters Lie More?”. Basic and Applied Social Psychology, 24: 163-170.
[8] Spence, Sean. 2004. “The Deceptive Brain”. Journal of the Royal Society of Medicine, 97 (1) : 6-9
[9] Abe N., Suzuki M., dkk. 2007. “Deceiving Others: Distinct Neural Responses of the Prefrontal Cortex and Amygdala in Simple Fabrication and Deception with Social Interactions”. Journal Cognitive Neuroscience, 19 (2) : 287-295.
[10] Lihat Puig MV., Rose J., dkk. 2014. “Dopamine Modulation of Learning and Memory in the Prefrontal Cortex: Insight from Studies in Primates, Rodents, and Bird”. Front Neural Circuits, 8 : 93.
[11] Lihat Patoine, Brenda. April 2007. “Addiction and the Prefrontal Cortex: An Interview with Rita Z. Goldstein, Ph.D”. The Dana Foundation: www.danafoundation.org
[12] Lihat Sapolsky, Robert. 2011. “Dopamine Jackpot! Sapolsky on the Science of Pleasure”. FORAtv: www.dailymotion.com
[13] Lihat Lyell, Charles. June 2013. “Why All Lies Involve Maintaning Dopamine Flow”. The Dopamine Project: www.dopamineproject.org
[14] Lihat van der Zee S., dkk. 2016. “When Lying Feels the Right Thing to Do”. Frontiers in Psychology, 7.
[15] Lihat Asp E., Ramchandran K., dkk. 2012. “Authoritarianism, Religious Fundamentalism, and the Human Prefrontal Cortex”. Neuropsychology, 26 (4) : 414-421
[16] Lihat Abe N., Fujii T., dkk. 2009. “Do Parkinsonian Patient have Trouble Telling Lies? The Neurobiological Basis of Deceptive Behavior”. Brain, 132 (5) : 1386–1395.
[17] Lihat Triarhou L.C. 2013. “Dopamin and Parkinson’s Desease”. Landes Bioscience.
[18] Lihat Holmes, Robert. 1998. Basic Moral Philosophy: second edition. USA: Wadswort publishing company, hlm. 112-113.
[19] Pada 13 September 1848, seorang pekerja kereta api bernama Phineas Gage mengalami kecelakaan di mana sepancang besi menembus kepalanya. Meskipun selamat, perilaku Gage berubah drastis, terutama terkait aspek moral. Dari pemerikasaan tengkorak Gage terungkap bahwa ia mengalami kerusakan pada Frontal Lobe otaknya terutama pada bagian Prefrontal Cortex. Lebih dari 150 tahun kemudian riset-riset membuktikan bahwa PFC ini memang terlibat dalam perilaku moral. Lihat Anderson SW., Damasio AR., dkk. 1999. “Impairment of Social and Moral Behaviour Related to Early Damage in Human Prefrontal Cortex”. Nature Neuroscience, 2: 1032-1037. Lihat juga Will G-J, Klapwijk ET. 2014. “Neural Systems Involved In Moral Judgment and Moral Action”. Journal of Neuroscience. 34 (32) : 10459-10461.
[20] Lihat LeDoux J. 2002. “The Emotional Brain, Fear, and the Amygdala”. Cellular and Molekular Neurobiology, 23, 4/5.
[21] Lihat Ehrenfeld, Temma. November 2015. “5 Signs of Lying That Aren’t as Foolproof as You’d Think”. Paul Ekman Group.
[22] Lihat Hartwig, Maria. November 2014. “Telling Lies: Fact, Fiction, and Nonsense”, Psychology Today.
[23] Lihat DePaulo BM., dkk. 2003. “Cues of Deception”. Psychological Bulletin, 129 (1) : 74-118.
[24] Sip EK., dkk. 2013. “When Pinocchio’s Nose Does Not Grow: Belief Regarding Lie-Detectability Modulates Production of Deception”. Front Human Neuroscience, 7 : 16.
[25] Sip. loc.cit.
[26] Lihat Ito A., Abe N., dkk. 2012. “The Contribution of the Dorsolateral Prefrontal Cortex to the Preparation for Deception and Truth-Telling”. Brainres, 1464 : 43-52.
[27] Lihat Ofen N., dkk. 2016. “Neural Correlates of Deception: Lying About Past Event and Personal Belief”. Social Cognitive Neuroscience, 151.
[28] The Social Brain Hypothesis diusulak oleh antropolog Inggris Robin Dunbar yang berpendapat bahwa kecerdasan manusia tidak berevolusi sebagai sarana untuk memecahkan masalah ekologi, melainkan sebagai saran bertahan hidup dan bereproduksi dalam kelompok social yang besar dan kompleks. Beberapa perilaku terkait dengan hidup berkelompok itu termasuk altruism timbal-balik, penipuan dan pembentukan koalisi. Dinamika kelompok ini terkait dengan “Theory of Mind”, meskipun Dunbar sendiri mengakui bahwa bukan karena berkelompok sendiri yang menyebabkan kecerdasan berkembang. Lihat Dunbar, Robin. 2016. “The Social Brain Hypothesis and Human Evolution”. Oxford Research Encyclopedia of Psychology, 13, 44.
[29] Richard Dawkins mengusulkan The Selfish Gene dalam evolusi untuk menyatakan bahwa kita harus memaksimalkan keberhasilan reproduksi kita melalui kelicikan dan tipu daya. Dawkins menunjukkan bahwa banyak hewan terlibat dalam urusan penipuan—dan semua komunikasi hewan mengandung unsur penipuan dari awal, karena adanya konflik kepentingan. Setiap sistem komunikasi berkembang selalu ada bahaya bahwa sebagian akan mengeksploitasi sistem untuk tujuan mereka sendiri. Dawkins juga percaya bahwa seleksi alam akan memilih anak-anak yang menipu, berdusta, dan mengeksploitasi. Ungkapan ini berarti gen yang potensial membuat anak menipu mendapatkan keuntungan dalam kelompok gen. Para gen adalah “master programmers”, kata Dawkins. Lihat Dawkins, Richard. 2016. The Selfish Gene; 40th anniversary edition. New York: Oxford University Press, hlm. 82-85
[30] Lihat Baron-Cohen S. 2007. “I Cannot Tell A Lie”. In Character, 3, 52-59.
[31] Lihat Li AS., dkk. 2011. “Exploring the Ability to Deceive in Children with Autism Spectrum Disorders”. Journal of Autism and Developmental Disorders, 41 (2) : 185-195
[32] Malabou, Catherine. 2005. The Future of Hegel: Plasticity, Temporality and Dialectic, diterjemahkan oleh Lisabeth During. London & New York: Routledge, hlm. 70.
[33] Malabou, Catherine. 2008. What Should We Do with Our Brain?, diterjemahkan oleh Sebastian Rund. New York: Fordham University Press, hlm. 1.
[34] Mengutip Richard Gregory dalam The Oxford Companion to Mind: “Plastisitas dalam sistem saraf berarti suatu perubahan dalam struktur atau fungsi yang disebabkan oleh perkembangan, pengalaman, atau cedera. Catherine Malabou juga berbicara tentang tiga operasi plastisitas otak: (1) pemodelan koneksi neuronal (plastisitas perkembangan pada embrio dan anak); (2) modifikasi koneksi neuronal (plastisitas modulasi sinaptik terkait proses belajar, pengalaman, kebiasaan); dan (3) reparasi neuronal (plastisitas pasca-luka di otak). Lihat Malabou 2008. op.cit., hlm. 5. … Hubungan antara neuroplastisitas dan kebiasaan dimungkinkan dengan adanya reseptor Cannabinoid (terutama CB1) yang melimpah di otak dan tersebar di semua terminal sinaptik struktur utama yang mengatur respon emosional, persepsi dan memori, termasuk PFC, Amigdala, Septo-hippocampus System, Striatum, Thalamus, inti batang otak, dll. Reseptor CB1 biasanya terletak di terminal prasinaps untuk melayani fungsi pengaturan plastisitas sinaptik dan pelepasan neurotransmitter. Secara umum, fungsi CB1 sangat tergantung pada interaksi spesifik terhadap zat neurokimia “kesenangan” seperti dopamine, dan aktivasi pada CB1 akan menghambat neurotransmisi agen-agen “kecemasan” seperti acetylcolin, norepinefrine dan serotonine. Dalam konteks dusta, hal ini menjadi masuk akal, ketika “kebiasaan” dusta merilis “kesenangan”, maka ia sekaligus menghambat “kecemasan”. Lihat Tambaro S. 2012. “Cannabinoid-related Agents in the Treatment of Anxiety Disorders: Current Knowledge and Future Perspectives”. Pat CNS Drug Discov., 1;7(1): 25-40. Lihat juga Marthur BN., dkk. 2013. “Voltage Drives Diverse Endocannabinoid Signal to Mediate Striatal Microcircuit-Specific Plasticity”. Nat Neuroscience, 16 (9) : 1275-1283. Lihat juga Gremel CM., dkk. 2016. “Endocannabinoid Modulation of Orbitostriatal Circuits Gates Habit Formation”. Neuron, 90 (6) : 1312-1324.
[35] Malabou 2008, loc.cit.
[36] Malabou 2005. op.cit., hlm. 74.
[37] Malabou 2008. op.cit., hlm. 55, 58.
[38] Ibid., hlm. 5
[39] Pilliang, Yasraf. 2013. Integralisme dan Plastisisme. Dok. Pribadi.