Hervé Touboul
(Alih bahasa dan anotasi oleh Muhammad Al-Fayyadl)
Kita tiba pada dekonstruksi yang menyentuh moral. Tentu saja dekonstruksi ini menjauh dari Marx, tapi pertanyaannya, sampai mana?
1/ Dialektika Hegelian menafikan kelainan (alteritas), setidaknya dalam penerimaannya yang paling ketat. Dialektika itu sarat dengan waktu linear, bentuk ruang dari waktu ini adalah garis, sementara waktu différance berjalan dengan penspasian. Suatu masyarakat, bagi Derrida, bermula bersama yang lain daripada aku, dan diferensiasi ini mendorongku kepada terbentuknya suatu bentuk dari ‘aku’, ‘aku’ yang dipahami sebagai “efek subjektivitas”. Yang lain itu ada di sana, ia adalah Mitsein, tetapi kalaupun aku tidak dapat menggantikannya, ia bukan sama sekali tak tersentuh; aku memahaminya bertolak dari diriku. Di sini Derrida mengikuti Husserl, yang dalam bagian kelima Meditasi-meditasi Cartesian-nya berbicara tentang “a-presentasi”,[1] tentang pendekatan yang progresif dan hati-hati atas alter ego, yang bagaimanapun terlepas dari pendekatan ini, tetaplah yang lain. Apa yang disebut Derrida dengan différance tidak eksis sebelum yang lain itu, tapi eksis bersamanya. Di sini, bagi Derrida, terdapat moral itu sendiri, dan bersama moral itu, terdapat komunisme—kita akan membahasnya lagi.
Dialektika Hegelian mengobjektifkan yang lain, mengkualifikasinya, menamainya—pergerakan yang tidak dikritik Derrida, langkah ini bisa saja secara ilmiah legitim, misalnya dalam psikologi dan sosiologi, tetapi secara metafisik problematis, karena pergerakan ini menyatakan kebenaran tentang seseorang di luar dirinya. Jika umpamanya saya mengatakan tentang seseorang bahwa ia memiliki jiwa yang indah, maka inilah artinya dalam fenomenologi Hegelian: seseorang yang berpikir dan merasa puas dengan apa yang dipikirnya keindahan jiwanya, tapi tidak memiliki dampak sama sekali dalam tindakannya, yang artinya sesederhana bahwa tindakannya akan indah jika orang itu bertindak. Kualifikasi ini dapat tepat, tepat dalam arti bahwa terdapat suatu figur untuk dilampaui, bagi orang itu sendiri, tetapi figur objektif “jiwa yang indah” tidak menunjukkan hakikat orang itu.
2/ Dekonstruksi atas posisi perempuan dalam dialektika Hegelian. Ringkasnya, dalam dialektika ini, perempuan adalah makhluk yang dilampaui secara dialektis oleh laki-laki, meski perempuan dapat berusaha melampaui laki-laki sewaktu-waktu. Perempuan adalah bak penjahat bagi Hegel, tak dapat didialektikakan pada dirinya, ia bermetamorfosa, seperti tanaman, tetapi tak dapat berdialektika; dialektika itu hanya muncul dari yang maskulin dan pernikahan. Apakah posisi perempuan yang tidak menikah dalam sistem Hegelian? Seorang saudara perempuan yang tersesat dalam repetisi yang-sama? Dengan berangkat dari différance, Derrida menolak gagasan suatu kelainan (alteritas) yang mendasar pada perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki; kelainan (alteritas) ini akan mengantar kepada suatu perbedaan yang dialektis dalam pengertian Hegelian: pernikahan menemukan kembali perannya sebagai sintesis, atau negasi atas negasi. Maka, tidak ada perempuan pada dirinya, yang sepenuhnya lain daripada laki-laki, tetapi ada para perempuan, yang femininitasnya hanya ada dalam beragam corak diferensiasi dengan para laki-laki, diferensiasi itu menciptakan beragam corak subjektivasi. Derrida berbicara tentang “efek-efek subjektivitas”, yang membuat tidak ada lagi “Laki-laki”, tetapi para dan berbagai laki-laki, tanpa superioritas dialektis.
3/ Sahabat. Hegel tidak membicarakannya, atau nyaris tidak. Sahabat tidaklah dialektis. Sejumlah filsuf besar sejak Aristoteles mengulangi frasa “O sahabatku, tidak ada sahabat!”. Frasa kunci bagi filsafat Derrida. Frasa itu sekaligus tidak dapat dirujuk: atau sahabatku adalah seorang sahabat dan itu terlihat, atau dia bukan seorang sahabat dan itu terlihat. Frasa itu tidak bermakna, tapi semua orang memahaminya. Sebaliknya, frasa itu dialektis: ada dan bukan-ada hadir bersamaan, tetapi sintesisnya ditangguhkan, tidak ada pelampauan, yang berhingga tak bergerak menuju yang tak berhingga, sesuatu tetap dalam keberhinggaan tak tentu itu, yang adalah eksistensi itu sendiri.
4/ Pemberian. Pemberian menuntut balasan, keduanya berfungsi dalam semesta pengakuan. Kado menuntut kado. Kado membuat orang berutang (budi). Tetapi jika sesuatu yang diberikan kepadaku mengafirmasi keberadaanku dengan mengakuiku, ia juga meniadakan aku, karena aku harus membalasnya. Jika pemikiran dialektis tepat, tidak ada pemberian, yang ada hanyalah pertukaran. Bisakah kita memberi? Ya, dengan syarat tidak ada hutang budi, tidak membebani orang lain dengan keharusan untuk membalas pemberian. Pemberian yang non-dialektis, pemberian sejati, mungkinkah? Hal itu mungkin saja mustahil, namun bahasa dan pemikiran menuntut kemungkinannya. Ada hal-hal yang kita tahu terjadi jarang sekali, dan bahkan sekalipun jarang, selalu ada ketakpastian untuk menganggapnya layak dilakukan, seperti pemenuhan kewajiban menurut Kant, tapi hal itu tidak berarti bahwa tidak pernah ada kewajiban yang terpenuhi atau pemberian yang dilakukan. Salah satu hantu Derrida adalah Kant, dan menurut saya, hantunya yang terpenting, tapi bisakah kita berbicara demikian? Derrida tidak mengakuinya, tentu saja dengan alasan. Bisakah suatu hantu lebih kuat daripada hantu yang lain?
5/ Binatang. Kita tidak boleh lupa bahwa—suatu poin yang halus—dialektika secara Hegelian bekerja dengan cara ini: terdapat suatu bentuk pelampauan dialektis atas bentuk yang darinya sesuatu yang dilampaui akan kembali datang. Manusia adalah binatang dan bukanlah binatang. Binatang tidak dapat benar-benar menjawab—kita harus mencurigai frasa ini, mendekonstruksinya dengan bertanya: dalam ukuran apa tidak ada binatang yang terkadang, dalam beberapa hal, “menjawab”. Di titik di mana dialektika Hegelian ini tampil kuat, dialektika ini hadir dalam surat-menyurat Hegel, yang dianalisis Derrida lebih jauh, yang sangat subtil tentang binatang, yaitu bahwa manusia-lah yang selalu menyebut binatang, roh melampaui-dan-mengangkat (relève, aufhaben) alam. Binatang, menurut Hegel, juga menurut Sartre, adalah makhluk yang ingin berbicara tapi tidak berbicara. Benar bagi Derrida, bahwa manusia menyatakan sesuatu, tapi hal itu tidak boleh mencegah investigasi lebih lanjut. Binatang tidak bicara, tetapi metafisika sangat sering—tak selamanya—memisahkan terlalu brutal antara binatang dan manusia. Akan absurd dan konyol, kata Derrida, mengatakan bahwa binatang menulis, tapi tidaklah absurd mengatakan bahwa binatang tertentu, berbagai binatang, tak hanya dapat mengikuti suatu jejak, tetapi juga meninggalkan jejak, mengubah sejumlah benda, memiliki respons. Bahkan andaikan kita tidak mengakuinya, terdapat suatu kelainan (alteritas) binatang, suatu kehadiran yang tampak dan kita dekati dengan berbagai apresentasi. Binatang bukanlah, hingga titik tertentu, subjek hukum moral bagi kewajiban respek atas kelainan, tapi ia adalah penerimanya. Ada beragam kewajiban terhadap binatang, yang memiliki hak-hak, meski binatang tidak memiliki kewajiban. Manusia tidak memiliki kewajiban hanya kepada mereka yang memiliki kewajiban.
Derrida meradikalkan Kant, imperatif kategoris terkenal dirumuskannya dengan beragam cara. Kita dapat mengutip rumusan kedua, yang saya terjemahkan dengan meminjam terjemahan Alain Renault: “Bertindaklah sebagaimana engkau memperlakukan umat manusia, dalam dirimu maupun dalam ia yang sama sekali lain, selamanya pada saat yang sama (als in der person eines jeden andern jederzeit zugleich), sebagai tujuan, dan bukan sekadar sebagai sarana”. Bagi Derrida, “yang sama sekali lain” tidak hanya umat manusia; hukum kelainan (alteritas) juga bergerak menuju abstraksi formal tentang kewajiban, seperti tampak pada rumusan pertama: “Bertindaklah semata-mata menurut maksim, yang dengan maksim itu engkau dapat berkehendak sekaligus maksim itu menjadi hukum universal”.
Tetapi mari kita tetap bergumul dengan Marx, setidaknya lebih langsung, sebagai hantu, jika kita ingin memahami Marx pertama-tama sebagai hantu materialitas. Kita buat hantu Marx bermain-main dengan dua elemen yang didekonstruksi: tulisan dan tubuh.
1/ Dialektika Hegelian, seperti dikatakan di atas, menekankan pembatinan (interiorisasi). Bagi Hegel, kita berpikir dalam kata, tetapi kata adalah pembatinan yang dilahiriahkan, ketika ia dinyatakan. Derrida tidak mempermasalahkan analisis itu. Ia mempersoalkan bahwa pembatinan itu—bagi Derrida, seperti juga bagi Hegel, terdapat suatu interioritas, interioritas itu bukan mitos—hanya berlangsung dalam roh. Untuk membatinkan diri, roh butuh—harus kita katakan—untuk menjadi tulisan, atau tepatnya, tulisan menjadi roh. Roh hanya dapat ada dalam suatu bentuk materialitas. Kita tidak seperti Hegel, tidak beranjak dari pemikiran ke wicara, lalu ke tulisan, karena ini artinya, tulisan itu tak lebih daripada penerjemahan wicara yang telah diujarkan. Tulisan, seperti gesturalitas tubuh, dengan demikian bukan lagi sepenuhnya tulisan, baik sebagai sarana teknis atau dalam sarana teknis; tulisan datang dan menghasilkan roh. Tidak ada roh tanpa tubuh, tanpa gerak tubuh, dan tanpa teknik. Tulisan bukan hanya sarana bagi suara. Derrida tidak mengatakan bahwa tulisan alfabetis adalah yang paling cerdas, seperti dikatakan Hegel, meski tulisan ini bukan tulisan fonetis. Dia juga tidak menyatakan bahwa tulisan matematis, yang bukan fonetik, bukan yang paling cerdas. Pemikiran tentang tulisan ini merujuk pada dekonstruksi atas tubuh.
2/ Tubuh Hegelian adalah dialektis. Tubuh itu selalu menandai, ia memberi petunjuk, memberi makna, tubuh itu adalah jiwa. Fenomenologi, yang mewarisi Hegel, mewarisi risalah jiwa-nya Aristoteles—tubuh dalam pemikiran Merleau-Ponty adalah tubuh yang berhasil dan menandai—hanya memperkuat Aristoteles dan Hegel. Dalam Hegel, tubuh selalu telah dipungut secara dialektis oleh makna gerak yang ditandainya kepada yang lain. Padahal, ada tubuh yang dibiarkan jatuh oleh dialektika yang menaik ini. Kita harus menyatakan bahwa tubuh tidak dapat didialektikakan, kecuali barangkali dengan cara menurun: tubuh material dengan organ-organnya, dan bukan tanpa organ, tubuh yang rasa sakitnya tidak menandai apa-apa, tidak menunjukkan apa-apa, jika bukan menunjukkan bahwa ia sakit, malaise, “tak berdaya apa-apa” (ça ne le fait pas), menderita, menua; tubuh yang tak ingin dilirik Hegel, ketika ia mengatakan bahwa manusia adalah “binatang yang sakit”, tetapi penyakit Hegelian terlempar dengan cara Aristotelian, penyakit itu sembuh oleh kesehatan yang melihatnya “dari atas”.
Komunisme adalah masa depan demokrasi, sesuatu yang dapat lahir dari demokrasi tanpa kepastian masa depan itu sedikit pun. Hal itu tidak berarti bahwa komunisme itu tidak akan pernah hadir; tidak diragukan lagi, ia hanya dapat benar-benar eksis dalam organisasi ekonomi yang lain, yang melampaui kapitalisme, tetapi pada saat yang sama, komunisme sudah telah hadir dalam keputusan-keputusan politik dan moral yang kita ambil.
Harus ditambahkan bahwa tubuh Derridean, seperti tubuh dalam pemikiran Jean-Luc Nancy dan bagian tertentu dari karya Merleau-Ponty, dapat menyentuh dari jarak jauh, menyentuh mata, misalnya, tapi ia tidak dapat menyentuh kecuali dalam keadaan tersentuh, oleh materi yang secara mendasar berbeda darinya. Tubuh itu tidak dimiliki sendiri, ia sekaligus tubuh yang-lain, tubuh materi, tubuh objek-objek luaran yang memberatinya, dan dalam ada-bersama (être avec) itu, yang merupakan suatu kesenjangan pembeda (diferensial), tubuh berjauhan, menderita, tetapi tidak mesti menandai. Menyentuh-dari-jarak-jauh itu, seperti hantu, tidak boleh dimaknai secara spiritualis. Sebuah teks Derrida yang penting di sini, yang judulnya “Kesempatan-kesempatanku: Berjumpa kembali dengan beberapa stereofoni Epikurean”, tertanggal 1984.[2] Dalam teks ini, Epikurus tidak diperlakukan secara harfiah, melainkan sebagai hantu: hubungan-hubungan diferensial atom, simulakra yang bergerak berjarak dan berdekatan sekaligus, jiwa yang meluas, penyimpangan-penyimpangan tak terduga. Derrida menggali teks-teks yang dibacanya.
Barangkali kita bisa mengatakan bahwa dalam pemikiran Derrida tentang tubuh dan tulisan, Marx dipungut kembali, Marx yang dalam Manuskrip-manuskrip 1844 dan Manuskrip-manuskrip 1857 (Grundrisse), dalam teks pertamanya, mengaitkan psikologi manusiawi kepada industri dan sejarah industri; dalam teks kedua, Marx sering berbicara tentang tanah sebagai tubuh non-organik manusia. Barangkali di tempat-tempat itu, Marx meletakkan dirinya antara Aristoteles dan Epikurus, memodernkan mereka. Tapi teks-teks itu, sepengetahuan saya, tidak dikutip Derrida secara langsung.
Marilah sekarang kita cermati dua dekonstruksi politik.
1/ Terdapat suatu universalitas hak, dan Hegel beralasan menggarisbawahi universalitas ini. Sebuah Negara Hak harus berhimpun kepada Negara Hak yang lain, karena hak di sana harus sama dan berupa hak. Dialektika bekerja, hanya saja bekerja secara abstrak. Marx telah menunjukkan kesulitan melampaui yang-partikular menuju yang-universal, ketika masyarakat sipil tidak saja tak setara, tetapi dalam pemfungsian ekonominya memustahilkan peralihan dari sebagian besar individu untuk menjadi warga-negara. Kritik Marxis bernilai sepenuhnya di sini, namun apa yang ditambahkan Derrida, menjumpai kembali Marx dalam Kritik atas Program Gotha, adalah bahwa hak, andaikan hak itu diterapkan, bukanlah keadilan; keadilan mengandaikan bahwa melampaui universalitas, yang-adil harus berhubungan dengan yang-partikular. Suatu tugas yang tak terbatas, mustahil di satu segi, tapi juga mungkin. Hanya Tuhan, barangkali bersama Platon, yang dapat menulis teori tentang keadilan, tetapi Tuhan pun juga tidak pernah benar-benar melakukannya. Harus disebutkan di sini bahwa saya menyitir kritik Rawls. Saya pikir Derrida, meski tidak melakukannya secara langsung, akan menolak melakukannya lantaran suatu kedekatan pemikiran, dan kita dapat melihat bahwa alasan bagi kedekatan itu adalah hantu Kant.
2/ Seperti tentang hak, Hegel memiliki cukup alasan dalam pemikirannya tentang Negara, tetapi apa yang dinamakannya “Idea ilahi di atas bumi” ini sedang tersesat dari jalurnya. Tak lain dalam wacana bahwa yang-singular terkait dengan yang-partikular, dan bahwa keduanya saling terkait dengan yang-universal, risiko itu telah ada dalam teori Hegel, tanpa kita harus merujuk kritik Marxis yang juga sepenuhnya bernilai. Risiko itu adalah bahwa otoritas Negara berakhir dalam pemerintah, tanpa rakyat, rakyat yang disebut-sebut Hegel tidak pernah tahu apa yang dimauinya. Demokrasi, dengan demikian, adalah satu-satunya tempat yang mungkin untuk membangun apa yang dikatakan Derrida, juga Marx, sebagai sesuatu yang bukan lagi Negara, ketika demokrasi itu efektif. Demokrasi, dengan demikian, adalah—seperti sebelumnya dirasakan oleh Plato—batas filsafat, tidak ada konsep filosofis tentang demokrasi; demokrasi membawa filsafat hingga aporia-nya: apa yang terjadi ketika demokrasi ingin membatalkan dirinya secara demokratis? Tugasnya kembali, tampaknya bagi Derrida, kepada akal praktis: bagaimana memahami demokrasi? Suatu akal praktis yang tidak murni praktis namun praktis, yang harus segera memutuskan tanpa kepastian (Sebuah akal yang memiliki kepastian bukanlah akal praktis, melainkan automaton); suatu akal praktis yang berpijak pada prinsip yang tak bersyarat: kelainan (alteritas) yang-lain, tetapi juga prinsip yang selalu berada dalam kondisi-kondisi material penerapannya, suatu akal praktis yang tersertakan dalam temporalitas dan yang tidak memutuskan di luar waktu, dan yang aspek praktisnya adalah mengetahui yang terbaik dan mungkin beradaptasi kepada yang-riil yang bergerak, dengan mencoba sebisa mungkin berpijak kepada prinsip yang tak bersyarat itu. Akal praktis dalam pemikiran Derrida, tampaknya, merupakan suatu lipatan hantu, suatu repetisi yang berbeda dari Kant tentu saja, tetapi juga berbeda dari Bergson ketika menulis tentang “perasaan yang baik”, yaitu kapasitas akal untuk mengikuti gerak kehidupan.
Maka tidak ada politik tanpa moral. Di sini muncul persoalan komunisme. Demokrasi adalah selalu akan-tiba (à venir) karena demokrasi adalah diskusi yang terkompromikan, hingga suatu titik di mana, dalam hubungannya dengan keadilan yang tidak sekadar hak, demokrasi menghampar kepada masa depan, termasuk bahkan dalam kerangka demokrasi borjuis yang lebih borjuis daripada demokratis, dan ingin mengunci masa depan. Komunisme adalah masa depan demokrasi, sesuatu yang dapat lahir dari demokrasi tanpa kepastian masa depan itu sedikit pun. Hal itu tidak berarti bahwa komunisme itu tidak akan pernah hadir; tidak diragukan lagi, ia hanya dapat benar-benar eksis dalam organisasi ekonomi yang lain, yang melampaui kapitalisme, tetapi pada saat yang sama, komunisme sudah telah hadir dalam keputusan-keputusan politik dan moral yang kita ambil.
Poin terakhir tentang arsitektonik Derrida: dialektika Hegelian adalah benar, sebagaimana ia juga salah. Dialektika itu mencakup segalanya dengan menempatkan diri dalam sudut pandang negasi atas negasi, sintesis, pengetahuan absolut. Sejarah, bagi dialektika ini, hanyalah perwujudan lambat dari yang disebutnya “konsep”, yaitu momen historis di mana unsur-unsur yang mengisi sejarah manusia akhirnya masuk ke dalam definisi mereka, di mana potensi menjadi aktus. Dunia modern adalah dunia di mana keluarga pada akhirnya akan menjadi keluarga sejati. Untuk sedikit menggambarkan perkembangan mengagumkan filsafat hak Hegel ini secara karikatural, keluarga itu adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan yang menikah, dengan anak-anak dan, harus ditambahkan, kekayaan. Derrida secara kurang ajar akan mengatakan, suatu kekurangajaran yang bernilai teoretis, bahwa Hegel, sang ayah keluarga itu, memiliki anak yang sah…
Bagi Derrida, apa yang diwujudkan oleh modernitas bukanlah kedatangan konsep, tetapi suatu dekonstruksi yang selalu telah sedang bekerja dan terus meningkat, dan yang terus-menerus menggerogoti konsep itu dari dalam. Konsep tidak mewujudkan diri, Hegel-lah yang menulis konsep itu, Hegel sebagai individu (Georg Wilhelm Friedrich Hegel), kita dapat mengatakan bahwa Kant balas dendam atas Hegel. Hegel mengajukan bahwa konsep mengajukan diri, definisi akan menemukan kenyataannya, tetapi definisi itu tetap, pada kenyataannya, suatu definisi yang diajukan oleh putusan reflektif seorang individu yang tidak benar-benar lepas dari kenyataan sejarah. Derrida mengikuti kritik yang, tidak diragukan lagi, baginya penting: Kritik Putusan Kant.
Hegel dibenturkan dengan Kant, sekaligus Kant dibenturkan dengan Hegel. Kita dapat mengatakan dalam bahasa yang terlalu klasik, bahwa dialektika Hegelian memiliki suatu primasi pengetahuan, tetapi tidak memiliki primasi ontologis yang radikal (kata “ontologis” di sini problematis, karena bukan pertanyaan tentang ada). Dialektika itu mengurai makna, makna itu semata apa yang ditemukan dalam pemaknaan; ia menunjukkan suatu orientasi sejarah, tetapi dekonstruksi menunjukkan bahwa arah itu tidak pasti, bahwa dialektika itu melupakan sejumlah tak berhingga orang-orang yang hilang dari sejarah itu, bahwa sejumlah orang tidak dapat berada segaris dalam arah itu, bahwa dialektika itu harus ditambal dengan kelainan yang-lain, sehingga dimunculkan ulang dengan kewajiban mengisi sejarah bersama kelainan itu, sesuatu yang masih mengandaikan bahwa sejarah dapat dilihat oleh yang-lain yang ditinggalkan, sedikit-banyak, di luar jalannya sejarah Hegelian—misalnya, sejarah Eropa dilihat dari Indonesia—sehingga sejarah itu tidak tiba pada suatu konsep di mana definisi terakhir akan mewujud, tetapi tiba pada suatu kemenghantuan makna: suatu keluarga, misalnya, adalah selalu terdiri dari keluarga-keluarga, eksistensi tidak selalu (kecuali jarang) sejalan dengan esensi. Seorang filsuf Hegel-lah yang mendefinisikan pengetahuan absolut, dengan membuat apa yang sebenarnya, pada titik itu, merupakan suatu putusan reflektif menjadi suatu putusan penentu, sekalipun hal itu tidak berarti bahwa dialektika Hegel seluruhnya ditulis dari sudut pandang refleksi, hanya saja hal ini berlaku pada fakta bahwa dialektika ini melenyapkan kemenghantuan dengan konsep.
Dengan demikian, tidak ada pengetahuan absolut, dan, seperti pernah diharapkan Lenin, sistem Hegel mengalami pemenggalan (décapité). Hal itu tidak berarti bahwa yang kita temukan di sana adalah semacam relativisme; ada yang-universal, ada kebenaran sains-sains yang dibuktikan oleh pengulangan statemen-statemen, bahkan ada kebenaran dari kebenaran; jika tidak ada kebenaran dari kebenaran, maka tidak ada kebenaran, tetapi jika ada kebenaran atas kebenaran, maka kebenaran akan menjadi pengetahuan absolut dan akan membawa risiko intrinsik tergelincir kepada apa yang dapat kita sebut di sini totalitarianisme. Tidak ada jalan keluar dari aporia ini kecuali mengajukan ketakbersyaratan, tetapi dalam waktu, dengan hukum respek atas kelainan (alteritas). Ketakbersyaratan ini adalah suatu kepercayaan, suatu bentuk kultus akal, yang tidak sepenuhnya bermula dari rasio itu sendiri. Dalam bahasa klasik, kita akan mengatakan bahwa akal praktis mendasari akal murni; dalam bahasa modern, kita tidak dapat bergerak jauh mengatasi différance; différance adalah suatu kepercayaan rasional.
Bagian ketiga dapat dipaparkan singkat, sekarang marilah kita benturkan Derrida kembali dengan Marx.
III/ Hantu-hantu Marx
Kita mencermati bahwa penulisan buku Hantu-hantu Marx adalah logis. Ia berhubungan, bagi Derrida, dengan logika pemikirannya, logika yang saya sebut “arsitektonik”, meski penulisan itu tiba dalam konteks yang khusus. Secara logis, hal itu dapat/seharusnya dapat menjadi arsitektonik dengan bertolak dari apa yang telah dikatakan di atas, dan buku itu akan mencakup kritik-kritik yang dapat kita sebut positif atau negatif tentang Marx, tentang Marxisme. Marilah kita cermati kritik-kritiknya yang negatif.
1/ Terdapat problem pada Marx, ketika materialisme bertukar tempat dengan empirisisme radikal atau empirio-kritisisme yang lebih empirisis daripada kritis. Ketika makna kata-kata secara sempit dikalahkan dan dikembalikan kepada referensi, dan makna terikat secara khusus kepada suatu objek inderawi biasa. Ketika makna tidak mengalami diferensiasi; ketika kita berpikir bahwa kita dapat menempelkan bahasa begitu saja kepada objek: membenturkan kata-kata secara gampangan kepada benda-benda. Terdapat momen-momen di mana pemikiran Marxis dapat mengikuti pemikiran dari musuh-musuhnya yang terburuk. Derrida menyoroti di sini terutama Marx dan Engels di bagian kedua Ideologi Jerman.
2/ Kritik kedua terkait dengan kritik pertama. Kritik ini menyangkut apa yang dinisbahkan Marx tentang wacana dengan kondisi-kondisi material kelasnya. Sebagaimana tidak tepat dalam kritik pertama untuk menyatakan bahwa tidak ada referen, bagi Derrida, tidak tepat menyatakan bahwa tidak ada hubungan sama sekali antara apa yang dikatakan dan dipikirkan dengan kondisi-kondisi material kehidupan dan kelas. Hubungan itu ada, namun ada hantu-hantu: efek-efek wacana dan subjektivitas yang bergerak secara tak terbatas melampaui pengungkapan mereka. Pada aras ini, teks Marx dan Marxisme tidaklah homogen. Tetapi hal ini, menurut Derrida, mengisyaratkan suatu kritik atas gagasan ideologi, ketika ideologi dipahami sebagai pantulan yang terlalu langsung dari kondisi-kondisi material itu.
3/ Kritik ketiga: ketika pemikiran Marxis “ter-Hegelianisasi” sehingga mengajukan pengetahuan absolut dan terpapar di dalamnya, membaca dunia dan posisi-posisi kelas dari puncak kebenaran. Tidak banyak rumusan tentang hal itu dalam teks Marx, yang menganut posisi ini secara sadar, tetapi hal itu ada.
4/ Kritik keempat: ketika Marxisme, tampak bagi Derrida, datang kembali dengan memunggungi Kant dan posisi Kant tentang universalitas moral. Benar bahwa borjuasi, musuh Marxisme, dan moral, utamanya moral Kantian, bukan poin utama Marx. Namun Derrida menekankan pentingnya moral di tengah perang kelas—saya akan kembali mengulasnya.
Kita beranjak pada dua kritik positif.
1/ Kritik pertama adalah mengatakan bahwa kita perlu menjaga karakter “kritik” Marxisme. Jangan lupa bahwa subjudul Kapital adalah Kritik ekonomi politik, judul yang tidak diragukan lagi tidak mungkin tanpa hantu Kant. Dalam dimensi kritik itu, Derrida, dalam salah satu teks terakhirnya, menghargai kembali gagasan Marxis tentang ideologi, menyerukan pada perkembangannya agar kita melirik suatu bentuk modern kebohongan (dusta), yang berpijak pada apa yang kita dapat temukan paling mudah hari ini, dan pernah dikatakan oleh Hegel, sebagai “alasan-alasan yang sepenuhnya baik”.[3]
2/ Kritik pertama itu, yang mempertahankan kritik, haruslah dilampaui, atau dipungut ulang menuju apa yang perlu kita namai di sini dengan “keterlibatan”. Kita kutipkan Derrida:
“Spirit Marxisme yang tidak pernah saya siap untuk saya tinggalkan, spirit itu bukan semata gagasan kritis atau gayanya dalam bertanya dan mempertanyakan… Spirit itu terlebih adalah suatu afirmasi emansipatoris dan mesianik tertentu, suatu pengalaman tertentu dengan janji, yang dapat kita coba bebaskan dari seluruh dogma dan bahkan seluruh determinasi metafisik-religius, dari seluruh mesianisme. Dan sebuah janji harus menjanjikan untuk dapat dipegang, yaitu untuk tidak tetap bersifat ‘spiritual’ atau ‘abstrak’, namun menghasilkan peristiwa-peristiwa, berbagai bentuk tindakan yang baru, praktik, dan organisasi”.[4]
Dua catatan di sini. Filsafat politik tidak dapat kembali dengan memunggungi Marx, misalnya dengan hanya mengajukan problem-problem seputar distribusi, tanpa mengajukan pertanyaan seputar organisasi produksi. Kedua, ini dinyatakan di atas, temporalitas praktis bertolak dari suatu kekinian yang mengandung masa lalu, namun mengirimkan masa lalu, dalam kesenjangan différance, menuju masa depan: demokrasi memanggil komunisme.
Untuk mengakhiri, masih lagi ada dua catatan baru yang perlu kita buat. Dengan tanpa mengajukan suatu oposisi yang radikal, mengikuti kemenghantuan wacana, antara wacana kelas dengan wacana kelas yang lain, dan mengajukan perhatian atas sumber Kantian tentang kelainan yang-lain, kita dapat menyimpulkan—menyitir kata radikal Lenin—bahwa filsuf kita ini, Derrida, “mempersubtil konflik”. Kita perlu mengutip teks dari 1986 di sini, Kekaguman atas Nelson Mandela atau Hukum-hukum refleksi, teks penting Derrida dan bukan sekadar teks situasional; di sini Mandela tampak hadir sebagai hantu Lenin. Kita perlu mencermati dengan jeli teks ini, saya akan meringkas cepat beberapa motifnya: menghormati hukum ketika hukum itu adalah hukum, keterikatan pada hak, pernyataan dan panggilan atas “imperatif kategoris, imperatif suatu moral yang tak terukur menurut hipotesis-hipotesis dan strategi-strategi bersyarat kepentingan”,[5] kemungkinan pembangkangan sipil (hubungan dengan Rawls), penggunaan kekerasan yang tak dapat dilakukan “tanpa batas dan tanpa aturan main”.[6]
Catatan kedua: mau tak mau kita perlu menyitir Politik Persahabatan. Kita sebut saja secara brutal tesis buku ini: yang-politis tidak dapat lagi didefinisikan di era modern oleh posisi sebagai musuh. Tesis ini tidak ingin menjadi tesis yang naif, karena bergulirnya kekerasan tidak selamanya dapat dicegah, namun demikian, hak-hak asasi manusia mengubah bobot yang-politis itu sendiri. Menulis ulang dan meradikalkan traktat Politik Aristoteles dan filsafat hak Hegel, Derrida menawarkan persahabatan, katakanlah “suatu persekawanan yang saling menghargai”, dari sejumlah besar perbedaan. Dengan itu Derrida tampaknya ingin mengajukan, secara tak langsung, persoalan-persoalan yang sangat aktual: persoalan keluarga campuran, berbagai bentuk keluarga, aksi-aksi kewargaan dalam masyarakat sipil, manajemen pabrik atau perusahaan, pemerintahan kota dan wilayah dalam lingkup Negara, peran media massa, sekolah, dan pengajaran filsafat, penggunaan berbagai bentuk komunikasi modern dan internasional dalam berbagai medan perjuangan, persoalan organisasi partai-partai.
Untuk mengakhiri, saya hanya ingin mengingatkan bahwa Marx jarang sekali berbicara tentang Kant, yang dikritiknya dalam Ideologi Jerman dengan mengambil kembali Hegel, seperti sering dilakukannya dan diam-diam dilakukannya, Hegel yang mengkritik Kant sangat keras dalam Fenomenologi Roh: Kant adalah figur impotensi borjuis kecil Jerman yang tidak dapat bertahan kecuali dengan “kehendak baik”. Namun, kita perlu menghargai kembali Kant dalam pemikiran Marx, terutama dalam gagasan kritik dan ideologi.
Kita kutipkan teks yang terkenal, sangat terkenal, dari Marx, sebagai penutup; kita tahu teks ini berasal dari masa muda Marx:
“Tidak diragukan lagi, senjata kritik tidak dapat menggantikan kritik senjata, kekuatan material hanya dapat dikalahkan oleh kekuatan material, namun teori, begitu merebut massanya, juga menjadi kekuatan material. Teori mampu merebut massa sejak teori itu menunjukkan ad hominem, dan ia menunjukkan ad hominem sejak teori itu menjadi radikal. Menjadi radikal adalah menggali sesuatu hingga akar-akarnya. Padahal, akar bagi manusia adalah manusia itu sendiri. Bukti jelas dari radikalisme teori Jerman, dari energi praktisnya, adalah bahwa teori ini bertolak dari pelampauan (Aufhebung) yang yakin dan positif atas agama. Kritik atas agama mengajarkan kita bahwa manusia adalah pengada yang tertinggi bagi manusia, yakni mengajarkan kita imperatif kategoris (categorischen Imperativ, digarisbawahi oleh Marx) dengan membalik seluruh hubungan yang menjadikan manusia makhluk yang dihina, diperbudak, ditelantarkan, dilecehkan; hubungan-hubungan yang paling baik digambarkan oleh hardikan seorang Prancis pada proyek penetapan pajak atas anjing-anjing: “Anjing-anjing yang malang! Kami ingin memperlakukan kalian seperti manusia”.[7]
Teks itu, hari ini seperti kemarin, hari ini lebih-lebih daripada kemarin, dapat dibaca dengan beragam cara.***
[1] A-presentasi, dalam term Husserlian, adalah penghadiran yang-lain dengan cara menghadirkannya bersamaan dengan ego (ko-presentasi). Term ini berlaku pada bentuk penghadiran tubuh-tubuh dalam kehadiran bersama-nya, sehingga “aku” mampu melihat “tubuh”-mu/nya, dalam suatu relasi antara ego dan yang-lain. [MAF]
[2] Derrida, Psyché: Penemuan-penemuan Yang-Lain, (Paris: Galilée, 1987), 353.
[3] Derrida, Sejarah Dusta: Prolegomena (Paris: Galilée, 2012), 97. Teks ini bersumber dari konferensi tahun 1997.
[4] Hantu-hantu Marx (edisi Prancis), 147.
[5] Derrida, Psyché: Penemuan-penemuan Yang-Lain, Vol. II (Paris: Galilée, 1987-2003), 79.
[6] Ibid.
[7] Karl Marx, Kritik Hak Politik Hegelian, terjemahan Prancis oleh A. Baraquin (Paris: Éditions Sociales, 1975), 205; Marx-Engels Gesamtausgabe, I, 177; “Critique of Hegel’s Philosophy of Right: Introduction”, dalam Marx, Early Writings (edisi Inggris, terjemahan Rodney Livingstone & Gregor Benton, Penguin, 1975), 251. Alih bahasa dimodifikasi secara longgar.