Pada akhir Minggu keempat bulan Desember 2015, umat Kristiani kembali akan merayakan hari Natal. Gereja-gereja dan kelompok-kelompok persekutuan telah membentuk panitia perayaan Natal untuk memikirkan bagaimana corak perayaan Natal tahun ini. Di lingkungan Fakultas Teologi UKDW, misalnya, direncanakan untuk merayakan sandiwara Natal yang diperankan oleh dosen-dosen. Saya, misalnya, akan berperan sebagai Yusuf, suami Maria (yang akan diperankan oleh seorang dosen perempuan). Siapa yang akan menontonnya? Ya, tentu saja keluarga dari dosen-dosen dan pegawai-pegawai admin dari Fakultas Teologi, terutama oleh anak-anak mereka. Sandiwara Natal biasanya dimainkan oleh anak-anak dan ditonton oleh orang tua mereka. Tetapi kali ini orang tua yang akan memainkan sandiwara Natal dan ditonton oleh anak-anak mereka …
Umumnya perayaan Natal dipahami sebagai acara yang bersifat intern dan berlaku bagi kalangan sendiri saja. Perayaan Natal FTeol UKDW berlaku bagi keluarga dosen dan pegawai admin FTeol UKDW (mana mahasiswa-mahasiswanya? Biasanya pada masa menjelang Natal kuliah sudah berakhir, masa libur Natal dimulai dan mahasiswa pulang ke kampung halaman untuk merayakan Natal bersama keluarganya). Perayaan Natal bagi jemaat-jemaat dan gereja-gereja sifatnya juga sama, yaitu untuk jemaat dan gereja itu sendiri. Memang ada juga panitia Natal yang membuat program pengobatan gratis untuk sekitarnya dalam rangka Natal, atau pembagian sembako untuk orang-orang miskin di sekitar gereja, atau bahkan program ambil bagian dalam pembersihan sungai misalnya. Tetapi akhirnya, puncak acara atau selebrasinya adalah di dalam jemaat atau gereja itu sendiri. Juga ada panitia-panitia Natal di departemen-departemen dari kementerian-kementerian, Natalan kotamadya, Natalan kantor bupati, Natalan provinsi bahkan Natalan Nasional. Nantinya Natalan tersebut akan dihadiri oleh pejabat-pejabat tinggi, bahkan dalam Natalan Nasional di ibu kota, presiden RI biasanya hadir. Di zaman Orde Baru, Presiden Soeharto selalu hadir dan kalau dia menyerukan “Haleluya” (Puji Tuhan), hadirin bertepuk tangan dengan gemuruh. Saya belum tahu apakah tahun ini Jokowi akan diundang dan apakah dia juga akan menyerukan Haleluya. Dalam Natalan-Natalan seperti ini, intinya tetap adalah umat Kristiani sendiri. Yang diundang menghadiri acara ini berfungsi sebagai penunjang citra umat Kristiani di bidang publik. Tetapi acaranya sendiri tidak bersifat publik.
Natal sebagai Perayaan Intern Bukan Publik
Tekanan pada selebrasi intern menyebabkan tema-tema Natal sebagian besar juga bernuansa intern. Yesus Kristus datang untuk keselamatan dan kesejahteraan umat Kristiani. Entah berupa jemaat atau gereja, entah berupa kelompok Kristiani di dalam unit-unit tertentu, barisan pegawai negeri atau BUMN bahkan sebagai umat Kristiani yang merupakan golongan agama yang terpisah dari golongan-golongan agama-agama. Yesus Kristus datang untuk mereka dan bukan untuk yang lain.
Sebuah acara Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR, Ing: “revival”) Natal yang mengundang seorang tokoh penginjil senior dan amat terkenal untuk berkotbah pada tanggal 4 Desember 2015 di Grand Pacific Hall Jl. Magelang, Yogyakarta. Tema perayaannya adalah “Allah Perkasa di Dalam Dunia”. Bagaimana tema tersebut dihayati tidak saya ketahui karena saya tidak menghadiri kebaktian ini, tetapi saya menduga bahwa yang dimaksudkan dengan “Allah” ialah Yesus Kristus yang akan melindungi jemaat-jemaat Tuhan, terutama jemaat-jemaat yang berada di bawah asuhan penginjil tersebut di dalam “dunia”, maksudnya di Indonesia yang carut-marut ini, di mana setiap hari nilai atau kurs rupiah turun terhadap dollar USA. Jemaat-jemaat asuhan penginjil ini kebanyakan bergerak di bidang bisnis dan terdiri dari kalangan menengah ke atas.
Kebaktian Natal berfungsi untuk menghibur dan menguatkan mereka dalam situasi yang tidak menguntungkan ini. Sekaligus membangkitkan harapan akan perlindungan Tuhan yang akan membuat kondisi ekonomi di tahun 2016 lebih baik daripada sekarang. Tuhan Allah di dalam Yesus Kristus sudah mendampingi umatNya di tahun 2015 yang sulit. Meskipun sulit, tanda-tanda penyertaan Ilahi itu tetap tampak dan dapat dilihat pada kenyataan bahwa Ahok, warga dari persekutuan sang penginjil telah menjadi gubernur Jakarta. Maka tentunya pada tahun 2016 diharapkan agar Ahok jadi gubernur lagi. Pada perayaan Natal, orang berkumpul untuk memperingati Yesus Kristus, yang datang untuk memberi semangat dan peluang bagi para pegiat bisnis Kristiani di Indonesia.
Kedatangan Yesus Kristus yang Berdampak Publik: Surat Efesus 2:14
Tekanan pada nuansa intern ini menyebabkan teks-teks Kitab Suci yang dipakai juga mengarahkan jemaat pada suasana berkat yang diperuntukkan bagi mereka. Maka yang diperhatikan memang adalah kisah-kisah kelahiran Yesus Kristus dan makna kelahiran itu bagi umat. Hal ini tidak salah, namun akhirnya makna kedatangan Yesus Kristus hanya dilihat sebagai berdampak pada kemaslahatan umat (Kristiani) saja. Padahal di dalam Kitab Suci ada ayat-ayat yang memperlihatkan bahwa Yesus tidak hanya datang kepada umat (Kristiani) saja tetapi juga kepada yang lain. Maka saya tidak mengambil teks renungan dari narasi-narasi kelahiran Yesus Kristus, tetapi dari makna kedatangan dan karya penebusan Yesus Kristus, seperti dapat dilihat dalam surat Efesus pasal 2 ayat 14:
Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak, dan yang telah merobohkan tembok pemisah, yaitu perseteruan.
Penulis surat Efesus mengidentifikasikan diri sebagai “Paulus, orang yang dipenjarakan karena Kristus Yesus untuk kamu orang-orang yang tidak mengenal Allah” (Efesus 3:2). Pada waktu itu gambaran orang mengenai Paulus sudah tetap (istilahnya sekarang, sudah menjadi “ikon”), yaitu Paulus yang terpenjara. Di dalam Kisah Para Rasul kita dapat membaca cerita Lukas mengenai bermacam-macam hal yang akhirnya menyebabkan Paulus terpenjara. Di dalam surat Filipi kita menjumpai Paulus yang terpenjara, tetapi dengan amat bersemangat tetap mengerjakan tugas pembinaan kepada warga jemaat yang berada jauh dari Filipi. Kondisi terpenjara bukan merupakan sesuatu yang menghambat, melainkan bagi Paulus, hal ini malah memperkembangkan misinya sebagai rasul. Keterpenjaraan atau penderitaan Paulus menjadi simbol yang membuka jalan bagi orang-orang bukan Yahudi untuk menjadi Kristen. Simbol itulah yang dipelihara dan diteruskan di jemaat Efesus. “Orang-orang yang tidak mengenal Allah” di Efesus 3:2 di atas adalah umat Kristen yang tidak berasal dari kalangan Yahudi melainkan dari kalangan non-Yahudi. Di kalangan orang Yahudi, mereka yang non-Yahudi disebut seperti itu, atau dengan kata lain, orang kafir.
Kalau orang non-Yahudi disebut sebagai orang yang tidak mengenal Allah atau sebagai orang tidak beragama, atau sebagai orang kafir, maka tentu saja tidak ada kontak di antara kedua pihak. Maka ketika ada orang Yahudi yang menjadi Kristen, namun pada saat yang sama ada juga orang non-Yahudi yang menjadi Kristen, maka timbullah masalah besar di dalam jemaat Kristen. Di dalam Kisah Para Rasul dikemukakan mengenai masalah ini, yang diatasi oleh rasul Petrus, yang di dalam persidangan di Yerusalem menjelaskan mengapa dia masuk ke rumah Kornelius si perwira kafir dan membaptis dia. Petrus adalah orang Yahudi dan gerak atau mekanisme refleksnya adalah menolak orang non-Yahudi. Namun dia menginformasikan kepada para peserta persidangan bahwa “Roh Kudus” menyuruh dia dan meskipun dia berprasangka terhadap orang non-Yahudi, dia mengatasi prasangkanya itu (Kisah Para Rasul Pasal 11). Berkat penjelasan Paulus, jemaat di Yerusalem bisa menerima pembaptisan Kornelius. Namun, mungkin karena tekanan yang tetap amat kuat, Petrus kemudian bersikap tidak menentu dan kembali ke prasangkanya yang semula dan hal ini mengakibatkan dia dikritik oleh Paulus di surat Galatia (Galatia 2:11-14). Memang hanya bagi Paulus yang konsisten menekankan pada keabsahan orang non-Yahudi untuk menjadi Kristen dan bahwa orang non-Yahudi tidak harus mengikuti adat-istiadat dan budaya Yahudi terlebih dulu, barulah mereka dapat diterima menjadi orang Kristen. Pada periode pasca Paulus, sudah cukup banyak orang non-Yahudi yang menjadi Kristen, tetapi (mungkin justru karena jumlahnya terus bertambah) ketegangan di antara Kristen non-Yahudi dan Kristen Yahudi tetap kuat dan itulah yang coba diatasi oleh penulis surat Efesus.
Penulis surat Efesus (yang nampaknya adalah orang Kristen Yahudi dan menjadi pemimpin jemaat Efesus) berbicara kepada umat non-Yahudi untuk menjelaskan mengenai keberadaan mereka sekarang sebagai orang Kristen. Ia merujuk pada karya Yesus Kristus, yang telah mengorbankan diriNya untuk mendatangkan damai sejahtera bagi kedua belah pihak yang berseteru. Hal ini diungkapkan dengan istilah “darah Kristus” (Efesus 2:13) dan “salib” (Efesus 2:16). Oleh karena darah Kristus, maka yang tadinya “jauh” sudah menjadi “dekat”. Maksudnya mereka yang tadinya jauh dari pusat agama Yahudi, sekarang sudah menjadi “dekat” dan dengan demikian pembagian “jauh” dan “dekat” sudah tidak bermakna lagi. Yesus Kristus memberikan damai sejahtera baik kepada mereka yang “jauh” (umat Kristen non-Yahudi) maupun kepada yang “dekat” (umat Kristen Yahudi) (Efesus 2:17). Orang Kristen non-Yahudi sudah bukan lagi “orang asing” (Yun: xenoi) dan “pendatang” (Yun: paroikoi), melainkan “kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah” (Efesus 2:19). Kalau pada waktu itu jemaat-jemaat Kristen masih berada di wilayah Palestina, maka kedua istilah ini tentu bermakna sama seperti kalau orang di sebuah provinsi di Indonesia berbicara mengenai mereka yang adalah “pendatang”, atau seperti orang di Prancis dan Jerman berbicara mengenai pendatang-pendatang yang semakin hari semakin banyak dan akhirnya berwujud puluhan ribu pengungsi yang melarikan diri dari daerah pertempuran di sekitar Laut Tengah. Tetapi ada juga yang menduga bahwa pada waktu itu jemaat-jemaat Kristen lebih banyak berada di luar Palestina, di kota-kota besar sepanjang pantai Laut Tengah, di mana kaum Yahudi merupakan pendatang yang minoritas. Berarti jumlah umat Kristen Yahudi lebih kecil lagi. Tetapi barangkali merekalah yang memegang kendali di jemaat-jemaat yang sebagian besar terdiri dari umat Kristen non-Yahudi, sehingga terjadi keresahan yang baru berakhir ketika orang-orang Kristen non-Yahudi mendapat peranan-peranan penting, dan gal ini dapat dilihat pada nama-nama mereka yang disebut di Perjanjian Baru dengan nama non-Yahudi atau nama Yunani-Romawi.
Dia Datang Merobohkan Tembok Temisah
Bahwa masalahnya gawat dapat dilihat pada kiasan yang dipakai oleh penulis surat Efesus, yaitu “tembok pemisah”. Ada tembok pemisah di antara kedua komunitas dan tembok pemisah itu adalah perseteruan. Fakta bahwa kedua komunitas tidak berkomunikasi satu sama lain menunjukkan kepada penulis bahwa memang ada perseteruan atau permusuhan. Penulis surat Efesus terbuka juga bahwa struktur sebuah agama, terutama ketika membicarakan identitas dan sikap terhadap mereka yang berada di luar komunitas, bisa menimbulkan mentalitas tembok pemisah. Petrus di Kisah Para Rasul kurang lebih berbicara seperti itu juga. Ada prasangka setebal tembok yang membuat orang tidak bergaul dengan mereka yang lain yang dianggap berbeda. Semua orang tahu bahwa tembok prasangka jauh lebih tebal daripada tembok betulan dan seringkali tembok itu tidak bisa dirobohkan karena orang mengasumsikan bahwa dia tidak berprasangka alias tidak membangun tembok terhadap yang lain. Intinya adalah di dalam komunitas yang bisa disebut juga sebagai masyarakat, ada tembok yang tidak kelihatan, yang bisa juga kita sebut sebagai struktur yang dibangun oleh manusia, tetapi kemudian diberi nilai transenden, dianggap sebagai diciptakan dari sononya oleh Yang Maha Kuasa. Mengapa Petrus mula-mula tidak mau membaptis Kornelius? Oleh karena dia menganggap aturan yang membuat pemisahan di antara umat Yahudi dan non-Yahudi diberikan oleh Tuhan sendiri. Harus ada peristiwa luar biasa atau sebuah pewahyuan khusus yang mengabrogasi aturan lama itu, baru lah petrus tergerak dan berani memasuki rumah Kornelius. Mungkin mula-mula tembok didirikan untuk melindungi diri supaya bisa sintas, tetapi akhirnya struktur tersebut menindas kedua belah pihak. Mereka yang membuat tembok untuk melindungi diri pada akhirnya akan menyadari bahwa tembok itu sekaligus juga memenjarakan mereka sehingga mereka tidak bisa lagi keluar dari sana. Tembok membuat kedua belah pihak tidak berdaya dan perseteruan menjadi sesuatu yang dianggap wajar bagi semua.
Penulis surat Efesus menggambarkan Sang Kristus sebagai pewahyuan yang luar biasa dalam rangka memberdayakan manusia untuk kembali meneguhkan persahabatan dan persaudaraan sebagai dasar kehidupan manusia. Kristus datang untuk merobohkan tembok pemisah. Maka sejak kedatanganNya, umat manusia harus selalu berjuang untuk ambil bagian dalam perobohan tembok pemisah. Alih-alih membangun tembok, energi manusia sebaiknya diarahkan untuk membangun jembatan yang bisa menghubungkan yang satu dengan yang lain. Kisah perobohan tembok selalu menggugah manusia. Pada zaman kita sekarang, kita melihat bagaimana tembok pemisahan manusia berdasarkan warna kulit, yaitu politik diskriminasi ras atau apartheid di Afrika Selatan telah berhasil dihapuskan. Kita juga terpesona melihat bagaimana tembok Berlin, yang adalah tembok betulan yang dibangun oleh rezim Marxis-Leninis Jerman Timur bisa dihancurkan dan dunia berubah. Bangsa Jerman yang terpisah 50 tahun dari saudara-saudaranya sekarang bisa bersatu kembali. Tentu kita mengharapkan agar tembok yang memisahkan Korea Utara dan Korea Selatan bisa roboh juga sehingga bangsa Korea bisa bersatu kembali, demikian juga kita mengharapkan bahwa akhirnya Israel yang membangun tembok betulan untuk melindungi mereka dari apa yang mereka anggap sebagai ancaman “teroris” Palestina bisa berakhir dengan pengakuan Israel terhadap negara Palestina merdeka. Dulu Perancis dan Jerman tidak bisa membayangkan bahwa mereka bisa hidup berdampingan secara damai tanpa perbatasan. Ternyata mereka sekarang sama-sama anggota Uni Eropa dan bisa jalan-jalan tanpa perlu melewati imigrasi. Kita berharap Israel dan Palestina di masa depan juga seperti itu.
Namun kita kembali pada apa yang dikatakan oleh penulis surat Efesus di Efesus 2:19, bahwa orang Kristen non-Yahudi bukan lagi orang asing atau pendatang melainkan “kawan sewarga”. Ungkapan terakhir ini tidak perlu diartikan sempit sebagai menunjuk pada lingkup gereja saja. Kalau hanya itu saja yang dibayangkan, maka jangan-jangan tembok pemisah bisa berdiri lagi, kali ini bukan di antara kaum Kristen non-Yahudi dengan kaum Kristen Yahudi, melainkan di antara kaum Kristen dengan kaum bukan Kristen! Kalau kita melihat keanggotaan gereja sebagai tujuan utama kedatangan Kristus, maka kita sama saja dengan mereka yang membangun struktur pemisahan. Kita lalu menentukan bahwa menjadi anggota gereja adalah menyelamatkan sedangkan yang tidak berarti tidak selamat. Padahal masalah mengikuti Yesus Kristus bukanlah masalah kemaslahatan umat sendiri saja, melainkan kemaslahatan seluruh umat manusia. Kristus tidak datang untuk kita saja tetapi untuk dunia. Maka Natalan hendaknya tidak hanya menjadi sesuatu yang intern saja, tetapi juga dan terutama, untuk publik! Mari kita ambil bagian dalam karya Yesus Kristus dalam merobohkan tembok pemisah apa saja yang ada di antara kita.
Selamat hari Natal…!
Yogyakarta, Wisma “Labuang Baji”, 5 Desember 2015.