Sanjungan dan pujian menjadi dambaan bagi sebagian besar penikmat kekuasaan. Beragam sosok muncul saat ini, dipujanya yang hadir sebagai pembela ultimatum yang tertunda, melambangkan dirinya atas daripadanya nampak keadilan dan kemakmuran, mengumbar pengharapan yang dipancarkan dari kata-katanya dan mengklaim bersumber di atas kebenaran. Pada akhirnya, bukan keadilan yang datang seketika menyertai seperti yang dijanjikan, melainkan cambuk perbudakan nampak digemgam ditangannya; dan raut wajah sang malaikat sebatas topeng di balik nafsu yang siap merajang apabila menentang.
Waktu bersaksi, bagaimana sejerah kekuasaan terhadap perbudakan manusia dari dahulu kala sampai jaman sekarang ini. Seiring perkembangan jaman, berbagai bentuk upaya modifikasi kekuasaan dihadirkan, disesuaikan dengan rasionalitas manusia di jamannya. Apabila dahulu manusia hidup terkekang oleh mitos-mitos, semisal pada sekitaran abad 17-18, yaitu ketika tongkat kekuasaan di eropa dipegang teguh oleh peter (pihak-pihak gereja) dan segala kebijakan kekuasaannya didasarkan pada sabda-sabda Tuhan (kitab suci agama kristen), maka kekuasaan seperti ini hanyalah karsa dicipta yang dihadirkan dengan bentuk legitimasi religius. Yaitu sebagai model legitimasi kekuasaan yang paling kuno, membuka peluang bagi penguasa untuk menjalankan kekuasaannya melampaui penilaian moral.
Dengan perlengkapan magis-religius itu, penguasa tidak dilihat sebagai subjek yang bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya, melainkan hanya sebuah wadah yang digerakkan oleh kekuatan Ilahi.[1] Kekuasaan yang berpijak pada konsep religiusitas, menguntungkan dengan sikap masyarakat yang tinggal menerima apa yang dikehendaki oleh penguasa, tanpa sikap menuntut, mengkritisi dan tanpa hak untuk mendengarkan. Nasib rakyat tergantung dari belas kasih sang penguasa. Kalau rasa belas kasih penguasa besar maka nasib rakyat tentunya baik, kalau rasa belas kasihnya sedikit maka rakyat celaka dan melarat.
Model kekuasaan yang menumpuhkan dalil kekuasaannya pada hal yang menjanjikan keniscayaan dalam bentuk abstrak (religius), sangat kecil kemungkinan dapat diterima secara rasional ditengah-tengah masyarakat modern saat ini, disaat Descartes telah selesai memproyeksikan metode skeptisnya dengan meragukan segala hal, Karl Marx yang dengan mampu menjungkirbalikkan dialektika hegel ke arah kongkret materialis, disaat August Comte mengirimkan badai positivistik, dan Nietzsche yang ditengarai telah membunuh tuhan dengan konsep nihilisme-nya. Sudah merombak habis-habisan jalah-jalah metafisis yang juga meruntuhkan kekuasaan tiran-dalam legitimasi magis-religius.
Mendominasi dalam mendobrak pintu religiusitas yang disangka sebagai penghalang terciptanya peradaban yang unggul dengan produk manusia-manusia yang rasional dan teoritis ilmiah. Kekuasaan religiusitas telah runtuh bersama serpihan-serpihan metafisis, akan tetapi benih kekuasaan tidak sepenuhnya hilang, melainkan mengalami evolusi yang berkepanjangan melewati arus rasionalitas manusia, lahir kembali dalam bentuk yang baru, lebih unggul, berpengalaman, mapan dan tentunya lebih legal setelah mengalami modifikasi jaman.
Sekarang kita hidup dalam suatu tradisi kekuasaan yang sudah mengalami pendobrakan legitimasi religius. Selubung gaib yang selama berabad-abad menutupi wajah sang Penguasa sebagai manusia biasa menjadi wajah dewa atau wakil dari dunia gaib, sudah dikuak dan wajah penguasa menjadi wajah seorang manusia biasa kembali.
Babak baru yang telah tercerahkan, begitulah dunia yang dikenal saat ini, dengan dominasi positifisme, strukturalisme, materialisme, utilitarianisme dan kajian teoritis ilmiah yang rasional. Mengklaim diri sebagai pembenaran terhadap sesuatu yang abstraksi. Seturut juga modif pencapaian kekuasaan yang di legitim dalam model politik yang berpijak pada hukum legal di pemerintahan. Tahap seperti ini membawa sajian konsep kekuasaan baru yang lebih mapan dan kuat, serta sangat aman, tentunya juga mandiri. Kekuasaan tidak lagi dicapai dengan sajian-sajian religius, akan tetapi kekuasaan dilegitimasi dalam sajian politik yang lebih legal.
Wujud kekuasaan tidak tampak lagi dalam sosok yang menakutkan, kekuasaan yang dulunya berwajah suram, dimodifikasi dengan wajah polos, yang bercita dalam mengupayakan perealisasian dari manifestasi kehendak yang dikuasainya (rakyat). Hal seperti ini tercermin dalam konsep birokrasi pemerintahan hampir di setiap negara revolusi saat ini, yaitu ketika masa transisi pergantian jabatan di kursi pemerintahan. Mengangkat penguasa tanpa menghilangkan sifat-sifat manusiawi adalah secara demokrasi, yaitu konsep pemilihan umum-berdasar bahwa kebebasan menentukan pilihan adalah kehendak penuh dari setiap individu. Jalan ini diagung-agungkan sebagai bentuk paling idel, bersifat manusiawi (tanpa adanya penindasan dan perampasan hak), modern dan bertujuan untuk mengankat penguasa dari kehendak rakyat sepenuhnya.
Pemangku jabatan tidak elaknya sebagai penguasa. Apabila dahulu, penguasa dimaknai sebagai seorang raja atau pangeran yang memegang kekuasaan penuh atas apa yang dikuasainya serta menduduki tahta tertinggi dalam suatu wilayah tertentu, dan tentunya, sekarang model kekuasaan seperti ini hanya minoritas masih bisa kita dapati di negara-negara yang menganut paham kerajaan. Tetapi juga tidak dapat dipungkiri bahwa konsep negara kerajaan ini tidaklah sepenuhnya ada ditangan raja/ratu, melainkan mengalami modifkasi dengan memberlakukan sistem atau aturan-aturan, yang salah satu tujuannya juga untuk membatasi kekuasaan yang dapat disinyalir bersifat tiran.
Berbeda halnya dengan model kekuasaan yang mayoritas ada sekarang ini. Model konsep kekuasaan yang diberlakukan disebagian besar negara-negara saat ini menganut paham demokrasi, yang juga pada saat ini dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan dalam menjalankan model kekuasaan dengan menjunjung tinggi kebebasan masyarakatnya dan tanpa adanya tindak perampasan hak asasi manusia serta tentunya lebih manusiawi. Penguasa sepenuhnya hanya sebagai pemangku jabatan atas kehendak rakyat. Kekuasaan tidak lagi dapat bersifat sewenang-wenang dalam memberlakukan aturan tanpa ada seri mufakat dari penguasa yang lain juga. Tentunya penguasa yang dimaksudkan adalah atas dari kehendak rakyat.
Kekuasaan dalam genggaman rakyat. Apakah sepenuhnya dapat dibenarkan dalam birokrasi pemerintahan negara-negara yang mengklaim menganut demokrasi saat ini. Bagaimana meyakini bahwa betul pemerintahan demokrasi menjadikan kekuasaan dalam genggaman rakyat sedangkan pejabat pemerintah yang memegang kuasa jalannya birokrasi pemerintahan hanya sebatas turut dalam kehendak rakyat sepenuhnya.
Mencoba menelisik sejauh mana kekuasaan ada dalam gengggaman rakyat pada suatu negara yang pemerintahannya berlandaskan pada demokrasi, hal ini tidak akan cukup memberi gambaran yang memuaskan dan menerangkannya persoalan ini secara gamblang dalam paparan singkat ini. Mungkin dilain waktu saya akan melanjutkannya. Untuk itu, maka penulis hanya akan memberi pengantar dengan berjalan-jalan melihat masa lalu bagaimana revolusi terkuaknya kebohongan para penguasa yang menjanjikan keadilan di atas perbudakan.
Pertama-tama mari menengok Hegel yang memprakarsai dan memberi jalan untuk mengenal sejarah evolusi manusia yang juga disinyalir dasar dari tercetusnya gerakan revolusi manusia tertindas dalam bayang kekuasaan oleh dialektika Karl Marx. Hegel yang semula dianggap telah membukakan pintu untuk menganalisis bagaimana sejarah revolusi manusia itu digerakkan dan terjadi, seketika bagi kaum materialis yang dipelopori Karl Marx dengan teman baiknya Frederick Engels menganggap bahwa teori dialetika sejarah Hegel adalah sebuah jalan buntu yang tidak dapat memberi padanan jelas bagaimana landasan evolusi sejarah manusia terjadi sebenarnya.[2]
Dimulai dalam dialektika sejarah Hegel, seorang idealis, baginya pikiran-pikiran dalam benaknya bukannya yang kurang atau lebih gambaran-gambaran abstrak dari hal-hal dan proses-proses yang sesungguhnya, yang aktual, melainkan sebaliknya, hal-hal dan evolusi mereka hanyalah gambaran-gambaran yang direalisasikan dari ide, yang ada di sesuatu tempat sejak kekekalan sebelum adanya dunia. Proses sejarah evolusi manusia menurut Hegel lebih kepada proses yang tidak secara linier sejarah terbentuk, tetapi proses evolusi manusia akan terus-menerus bertransformasi dan berkembang melalui proses dialektika yang tidak akan pernah berkesudahan.
Celakanya, Karl Marx dan juga Engels menanggapi pemikiran idealis Hegel ini sampai pada penganut Hegelian, adalah dianggap merupakan suatu keguguran luar biasa-tetapi ia juga yang terakhir dari sejenisnya. Ia menderitakan, sesungguhnya, suatu kontradiksi internal dan tidak dapat disembuhkan. Cara berpikir ini menjungkir-balikkan segala sesuatu, dan selengkapnya membalikkan keterkaitan sesungguhnya segala sesuatu dalam dunia.
Pikiran hegel ini dilain pihak, dalil pokoknya adalah konsepsi bahwa sejarah manusia merupakan suatu proses evolusi, yang, karena sifatnya sendiri, tidak dapat menemukan istilah intelektual akhirnya dalam penemuan sesuatu yang dinamakan kebenaran mutlak. Engels, baginya konsep idealisme mengenai evolusi sejarah, yang masih belum dicabut, tidak mengetahui apapun tentang perjuangan-perjuangan kelas yang berdasarkan kepentingan-kepeentingan ekonomi; produksi dan semua hubungan ekonomi di dalamnya tampil/tampak sebagai unsur-unsrur kebetulan, yang rendahan di dalam sejarah peradaban.
Karl Marx juga teman baiknya yaitu Frederick Engels melihat bahwa, konsep idealisme mengenai sejarah evolusi manusia yang karena sifatnya sendiri, dinilai luput dari persoalan-persoalan yang sangat mendasar terjadinya evolusi, baginya evolusi manusia digerakkan oleh bentuk penindasan-penindasan nilai kemanusiaan, yang berpangkal pada kebutuhan ekonomi. Perbedaan-perbedaan kelas sosial, berkulminasi pada pertentangan dan pertikaian. Maka dari itu, Karl Max mengkritisi teori dialektika Hegel, dengan jalan memutar balikkan konsep yang dibangun Hegel kearah materialis dengan asumsi bahwa sejarah bukan sekedar sejarah kelas-kelas berjuang-sejarah modern adalah peperangan besar antara dua kelas fundamental: borjuis dan proletar.
Kesuksesan dalam menelaah analisis sejarah yang sebelumnya tidak nampak pada dialektika sejarah hegel, justru berhutang pada Karl Marx sebagai pencetus analisis gerakan evolusi sejarah yang didasarkan pada pergolakan antara kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Wajah kekuasaan yang selama berabad-abad tersembunyikan dalam sejarah evolusi manusia, akhirnya ditemukan juga, melalui landasan teori dialektika Hegel, kemudian dikritisi Karl Marx, menuai hasil yang sangat mencengankan, betapa tidak sebagaimana Karl Marx berhasil mengungkapkan gerakan dasar sejarah evolusi manusia yang dikatanya digerakkan oleh para kaum kapitalis borjuis yang menindas para kaum proletar. Membuat para kaum kapitalis sungguh merasa sangat dirugikan akan hal ini. Lantas apakah para kaum kapitalis saat ini masih dapat sepenuhnya berkuasa?
Tentunya untuk melihat secara nyata, dimanakah para penguasa sekarang ini, tidak akan bisa dengan jelas membedakan antara penguasa yang memegang jabatan dan penguasa atas kemauan dari rakyat. Hal ini sangat susah dikenali, karena penguasa sebagai pemegang jabatan pada kursi pemerintahan adalah bentuk dari sistem demokrasi yang dipilih melalui suara umum masyarakat, awalnya harus dapat memberikan bukti dan tentunya sesumbar harapan yang dijanjikan para calon penguasa untuk dapat menjadi penguasa sepenuhnya secara legal dari hasil pemilihan umum atas kehendak masyarakat sepenuhnya. Inilah dilemanya, bagaimana bisa meyakini bahwa penguasa itu akan mengatur pemerintahan berdasarkan kepentingan rakyat, apakah harapan yang telah dijanjikan sebelumnya akan dapat dipenuhi sesuai keinginan rakyat? Mayoritas jawaban akan berpendapat, tenang masih ada hukum yang membatasi apabila terjadi kepicikan!
Memang hukum yang legal dapat disebut sebagai determinis dari kekuasaan tiran, untuk mengatur pemerintahan serta juga masyarakat agar tetap taat dan patuh, tapi apakah hukum telah sepenuhnya dipahami dan diketahui setiap masyarakat, agar kiranya dapat menjadi alat pembelaan apabila kejahatan difitnakan, padahal tidak searah dengan apa yang dilakukan. Faktanya, hukum tetap saja menjadi barang mewah yang hanya segelintir orang dapat memakainya untuk sekadar melakukan pembelaan dari yang sebelumnya telah terjadi penyimpangan kekuasaan, wewenang, atau yang lainnya.
Hukum dengan mudah dapat dijadikan alat kekuasaan oleh para penguasa dengan permainan kata-katanya yang indah, superior, iming-iming menjanjikan keadilan, kesejahteraan, mempesona setiap pendengarnya, dibuai manisnya ucapan sang penguasa, tidak nampak daripadanya kejahatan, melainkan seolah kebenaran setiap saat menyertainya. Sehingga batas-batas kritis tidak berdaya dalam indahnya kata-kata sang penguasa. Memang Kata-kata sang penguasa seperti nyanyian-nyanyian sufi yang melantungkan nada kebenaran. Terlema pendengarnya, hanyut dalam lantunan kebenaran, mengagungkan sang pelantun sampai setiap katanya adalah nada harapan kebenaran dari setiap pendengarnya. Begitulah cara sang penguasa menghendaki dirinya menjadi penguasa legal hasil demokrasi.
Kata-kata bisa digunakan untuk menggambarkan realita kehidupan manusia, tetapi kata-kata juga dapat digunakan atau tepatnya mempunyai kemampuan menciptakan dan membentuk realita. Sesumbar kata sang Penguasa yang diklaim sebuah realita kebenaran akan menjadi suatu landasan pengharapan dari manusia-manusia yang hanyut dalam kebenaran semu. Harapan abstrak lebih dekat disebutnya, manusia hanya menggantungkan harapan dalam kebenaran semu yang belum tentu terealisasi secara nyata. Lantas mengapa manusia mempercayai suatu hal yang kebenarannya semu? Dimanakah rasionalitas manusia modern saat ini? Apakah manusia tahu betul bahwa semua harapannnya akan dapat kiranya terwujud? [Fitriadi, anggota Litbang LSF Cogito, mahasiswa Filsafat UGM 14′)
Catatan Kaki:
[1] Lih. Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau, Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI Sampai XIX, (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1985, hlm. 17-96), (khusus Bab II: “Perlengkapan Magis-religius Kedudukan Raja: Masalah Kewenangan”).
[2] Lih. Frederick Engels, Anti Dühring, (terj. Oey Hay Djoen, 2005), (Jakarta: Hasta Mitra & Ultimus, 2005), hlm. 34-35.
Daftar Pustaka
Beilharz, Peter., Teori-teori Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Engels, Frederick., Anti Dühring, (terj), Oey Hay Djoen, Jakarta: Hasta Mitra & Ultimus, 2005.
Moertono,Soemarsaid., Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau, Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI Sampai XIX, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985.