Pengantar
Manusia selalu berusaha menemukan jawaban atas setiap masalah ataupun misteri dalam hidupnya. Selama jawaban yang memuaskan belum ditemukan, manusia akan selalu mencari dan bertanya. Salah satu poin atau hal menarik yang senantiasa dicari jawabannya adalah penderitaan atau duka. Menurut Buddhisme,[1] ‘penderitaan’ adalah fenomena hidup paling dasar dalam dunia ini. Penderitaan menjadi ciri paling khas dari dunia di mana setiap makhluk hidup cenderung mengalami derita, yakni kelahiran, usia tua, kesakitan, dan kematian. Penderitaan merupakan sebuah fakta fisik dan mental dari kehidupan manusia, sebab, ia tertanam di dalam hidup dan keberadaan semua makhluk hidup di dunia tanpa terkecuali. Dalam tulisan ini saya akan mencoba menjelaskan makna duka, arti penyebab duka dalam kacamata umat Buddha.
Empat Kebenaran Mulia (The Four Noble Truth)
Perjalanan spiritual Sidharta Gautama atau Buddha yang dikenal sebagai pendiri historis agama Buddha dimulai dengan pertanyaannya terkait penderitaan manusia yang ia jumpai.[2] Realitas hidup penuh penderitaan yang dijumpai tersebut mendorongnya untuk mencari Dharma (kebenaran tertinggi) yang bisa membuat manusia terbebas dari penderitaan. Setelah mendapatkan pencerahan, yaitu mengetahui alasan mengapa orang menderita, maka Buddha merumuskannya dalam Empat Kebenaran Mulia atau The Four Noble Truths. Bedjo Lie menuliskan bahwa penderitaan ini dapat dikatakan menjadi orientasi dasar dari Buddhisme sepanjang masa dan di mana saja.[3] Pembahasan tentang dukkha ini akan dijabarkan lewat apa itu dukkha, penyebabnya (samudaya), bagaimana cara menghilangkan penyebabnya (nirodha), dan terakhir adalah cara melenyapkannya.
Ada Penderitaan di Dunia ini atau Dukkha.
Kata duka merupakan penggabungan antara du dan kham. Kata duka selalu berkonotasi buruk, kotor, keji, jahat, dan hina. Hal ini tampak misalnya dalam du-putta yang memiliki arti anak jahat. Kham memiliki konotasi kosong atau kekosongan. Ruang kosong juga disebut kham. Oleh karena itu, duka pun berarti anak jahat, buruk, hina, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan duka merupakan bayangan segala bayangan dan kekosongan karena absennya keindahan maupun keabadian, sehingga berarti pula kekosongan atau kehampaan yang buruk, hina, dan menjijikkan. Namun jika suka memiliki unsur kata kha yang berarti menanggung dan memikul, maka sebagai suatu perasaan, duka berarti sukar atau berat untuk ditanggung.
Martial dalam penyelidikannya terhadap teks-teks Buddhis, sebagaimana dikutip oleh Suwandi Sandiwan Brata dalam Jelajah Hakikat Filsafat Timur,[4] menemukan tiga aspek penderitaan. Pertama, duka-duka yang berarti keadaan sehari-hari yang kita alami sebagai penderitaan atau kesusahan. Kedua, viparinama dukkha, yakni penderitaan yang terkait dalam perubahan. Penderitaan jenis ini disebut sebagai penderitaan justru karena kehidupan itu sendiri selalu berubah, dapat rusak, dan tak berhenti pada keadaan yang selalu membahagiakan. Dalam level ini pula ia termasuk dalam penderitaan yang diakibatkan oleh kesadaran akan adanya jarak antara keinginan dengan pemenuhannya. Ketiga, samsara duka, yakni penderitaan yang terkait dengan eksistensi yang terkondisikan. Seluruh eksistensi psikomotorik kita adalah penderitaan, sebab sebagai manusia hidup dapat diartikan sebagai pengekalan keadaan terbelenggu oleh keutamaan dan nafsu.
Buddha menunjuk hawa nafsu dan kebencian bersama-sama dengan ketidaktahuan sebagai tiga akar kejahatan. Di sisi lain, ketidaktahuan sendiri merupakan sebab pertama penderitaan—ia merupakan mata rantai pertama dalam dua belas rantai[5] kondisi manusia yang semuanya adalah penderitaan. Keinginan merupakan mata rantai kedelapan, yang merupakan akibat langsung dari perasaan (sensation, vedanan) dan yang mempunyai akibat langsung dari persetujuan atau apropriasi. Mata rantai kesebelas adalah jati, yang didahului eksistensi (bhava) dan diikuti mata rantai keduabelas, yakni kematian (marana).
Penyebab Penderitaan
Buddha sangat menekankan tanggung jawab manusia atas penderitaan yang dialaminya di dunia, sebab, menurut Buddha, manusia bebas membentuk dirinya. Manusia bisa menjadi setan, orang baik, dsb. tergantung pada apa yang dilakukan semasa hidupnya. Artinya, baik buruknya manusia tergantung dari perbuatannya.[6] Ia menyatakan bahwa pada umumnya keinginan atau ‘kehausan’ dapat dianggap sebagai penyebab kepedihan hidup. Hal ini terjadi karena keinginan itu sendiri adalah sesuatu yang tidak dapat dipuaskan secara tuntas. Keinginan ini dapat digolongkan ke dalam tiga kategori: pertama, keinginan untuk kesenangan sensual atau inderawi, misalnya menginginkan benda-benda. Kedua, keinginan untuk eksistensi dan menjadi sesuatu, misalnya ingin menjadi seseorang dengan karakteristik tertentu atau ingin hidup kekal. Ketiga, keinginan untuk non-eksistensi. Artinya, kadang kala kita memiliki keinginan untuk mati, dan kalau bisa memilih, maka kita memilih untuk tidak lahir di dunia ini. Dengan kata lain, keinginan itulah yang mengakibatkan reinkarnasi serta penderitaan yang menjelma sebagai aktivitas badan, perkataan, dan pikiran. Oleh karena itu, kebenaran kedua ini juga termasuk ajaran tentang karma, reinkarnasi, dan sebagai hukum sebab-akibat yang saling bergantung dari semua aktivitas kehidupan.
Lenyapnya Penderitaan
Smith menuliskan bahwa kebenaran utama yang ketiga secara logis bersumber dari kebenaran utama kedua. Jika penyebab tergelincirnya hidup ini adalah keinginan untuk mementingkan diri sendiri, maka obatnya adalah memberantas keinginan tersebut.[7] Kebenaran ketiga ini mengajarkan tentang hilang atau lenyapnya keinginan atau ego yang merupakan sumber penderitaan itu sendiri. Karena ‘keinginan’ adalah penyebab penderitaan, maka jalan penghentian penderitaan adalah dengan cara meninggalkannya, melepaskannya, atau membiarkannya pergi. Inilah yang sebenarnya merupakan tujuan dari jalan Buddha, yakni pelepasan dari penderitaan dan pencapaian kebahagiaan tertinggi, nirwana. Nirwana ini pada dasarnya berbicara mengenai “extinction of thirst” atau “padamnya keinginan.” Akan tetapi, harus disadari bahwa nirwana merupakan konsep yang jauh lebih rumit dan abstrak dari sekadar padamnya keinginan. Yang penting untuk diketahui adalah bahwa agama Buddha percaya bahwa nirwana ini dapat dicapai manusia selagi ia masih hidup (sopadisesa nibbana) ketika seorang buddhis telah mampu melepaskan keinginannya. Selain itu, nirwana tentu juga bisa diraih ketika seseorang sudah meninggal (anopadisesa nibbana). Penyebab penderitaan ini dapat dikurangi (be eliminated) melalui The Noble Eightfold Path.[8]
Jalan Penghentian Dukkha
Cara melenyapkan sebab-sebab penderitaan tersebut adalah dengan mengikuti marta, “jalan tengah”, atau madhyamika yang terdiri dari delapan langkah kebenaran atau aryasanghikika. Harus diakui bahwa Buddha adalah orang yang cerdas, sangat pandai, dan bijak karena berhasil menemukan jalan tengah yang menyeimbangkan kedua ekstrem yang berbeda. Penemuan jalan tengah itu bukan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya. Buddha melewati jalan yang tidak mudah. Ia pernah hidup sebagai seorang yang berkecukupan, penuh dengan harta dan semua hal keduniawian. Dia juga pernah menjadi seorang pertapa ekstrem yang berpuasa dan bermatiraga keras sampai hampir mati. Ternyata, untuk menjadi orang yang tercerahkan, tidaklah perlu untuk terlalu radikal terjebak pada salah satu ekstrem tersebut. Itulah mengapa Buddha menawarkan jalan damai/jalan tengah di antara pandangan ekstrem, yaitu bertapa di satu pihak dengan kemewahan hidup di pihak lain. Inilah konsep tentang hidup yang ditakar secara pasti, di mana tubuh hanya diberi apa yang dibutuhkan untuk hidup secara layak, baik makanan maupun istirahat. Tidak lebih dari itu.[9]
Dalam filsafat, kita melihat ada Aristoteles, yang hidup setelah Buddha, juga mengatakan hal yang sama bahwa “jalan tengah” adalah pilihan yang baik. Ia memberikan contoh mengenai kemarahan. Bagi Aristoteles, orang yang tidak pernah marah sama sekali atau orang yang sering marah adalah dua ekstrem yang buruk. Yang tepat untuk dilakukan oleh manusia adalah marah dengan alasan, waktu, sasaran, dan cara yang tepat.[10]
Menurut Buddha, “Delapan Jalan” sebenarnya dapat dirangkum dalam tiga kategori. Pertama, trust, yaitu pengetahuan dan kehendak yang benar. Kedua, ethical conduct, yaitu cara berbicara, bertindak, dan hidup (pekerjaan) yang benar. Ketiga, meditasi, yaitu melalui yoga atau self-training, termasuk di dalamnya usaha, pikiran, dan konsentrasi yang benar. Jalan tengah yang diajarkan Buddha tersebut menjadi pusat (centered) antara dua ekstrem; self-indulgence dan self-mortification dan antara pemikiran yang ekstrem bahwa soul (jiwa) itu abadi dan bahwa soul (jiwa) itu terputus saat kematian. Dalam berbagai hal lainnya, jalan tengah ini merupakan keyakinan yang moderat.[11]
Tanggapan atas Konsep Dukkha
Ada banyak hal menarik dan penting dalam empat kebenaran mulia dalam ajaran Buddha. Meskipun demikian, bukan berarti ajaran ini tanpa cacat. Pertama, ajaran bahwa hidup itu sendiri adalah duka atau penderitaan ini tidak bisa dibenarkan karena seolah-olah tidak ada yang namanya kebahagiaan atau sukacita dalam hidup ini. Lantas, kebahagiaan dalam hidup itu sendiri mau dikatakan sebagai apa? Kedua, ajaran tentang nirwana yang sesungguhnya bisa dinikmati di dunia bersifat kontradiktif dengan ajaran pertamanya bahwa hidup adalah penderitaan. Selain itu, apa dan bagaimana nirwana itu sendiri merupakan konsep yang tidak mudah diuraikan.
Ketiga, ajaran bahwa keinginan adalah salah satu pusat atau penyebab adanya penderitaan dalam hidup ini tidak bisa sepenuhnya diterima begitu saja, sebab, jalan yang ditawarkan Buddha adalah dengan cara menghilangkan keinginan itu sendiri. Pertanyaannya adalah apakah arti keinginan menurut Buddha? Hal ini sebab, menginginkan agar keinginan itu berkurang adalah sebuah keinginan. Secara tidak langsung Buddha sebenarnya menentang ajarannya sendiri. Keempat, entah Buddha lupa atau memang penulis yang belum menemukan ajaran itu, Buddha sepertinya tidak membuat perbedaaan soal penderitaan itu sendiri. Perlu dipahami bahwa penyebab penderitaan manusia bukan hanya dari dalam (internal) seperti keinginan, melainkan juga dari luar, seperti bencana alam, dsb. S—sesuatu yang di luar kendali manusia.
Menurut Bedjo Lie,[12] dalam konteks ini Buddha tampaknya kurang membedakan berbagai kategori penderitaan dan menyatakan bahwa penderitaan adalah akibat dari menginginkan sesuatu secara kuat. Dengan ini sebenarnya Buddha sedang berbicara mengenai penderitaan eksistensial akibat dari keinginan yang tidak terpenuhi atau terpenuhi sementara namun tidak terus menerus. Akan tetapi kita dapat bertanya sekarang, bagaimana dengan penderitaan akibat bencana alam, tertabrak oleh pengemudi yang mabuk, dan tertembak peluru nyasar? Kita tidak menginginkan apapun tetapi penderitaan itu datang dengan sendirinya. Penderitaan dalam hal-hal di atas tidak datang sebagai akibat dari keinginan kita. Namun, mungkin Buddha akan menjawab, “terimalah itu semua sebagai realitas hidup, dukkha adalah realitas hidup manusia dan kondisi manusia.” Akan tetapi, kita dapat bertanya mengenai sumber dari penderitaan yang demikian, mengapa ada bencana alam, mengapa ada dukkha sebagai realitas hidup dan kondisi? Di sini Buddhisme tampaknya tidak memiliki jawaban yang tuntas. Buku-buku mengenai Buddhisme tidak menjelaskan dari mana atau mengapa terjadi hal-hal yang demikian dalam hidup manusia. Buddha hanya menyatakan bahwa hal-hal tersebut merupakan realitas dan kondisi dunia.
Meskipun demikian, harus diakui bahwa ajaran Buddha sangatlah relevan dan banyak membantu sejak dahulu sampai sekarang karena ajaran Buddha terus diikuti banyak orang, termasuk orang Barat. Ajaran-ajaran buddhisme pun sudah banyak dikaji dan dibuktikan secara ilmiah, khususnya melalui ilmu psikologi. William L. Mikulas, melalui tulisannya berjudul “Four Noble Truth of Buddhism Related to Behavior Therapy” dalam Psychological Record (1978)[13], menuliskan bahwa dibanding sebagai filsafat yang abstrak, Buddhisme lebih merupakan a statement dari kondisi manusia yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dan verifiable bagi setiap individu itu sendiri. Buddhisme menekankan apa yang ada dan sedang terjadi saat ini. Ajaran ini mengajak orang untuk tidak terjebak pada penyesalan masa lampau, atau harapan-harapan yang kadang justru membawa penderitaan karena terlalu sulit untuk digapai, dsb. dengan cara sepenuhnya hadir pada hidupnya saat ini. Caranya adalah dengan fokus menikmati dan menjalani hidup di sini dan saat ini. Dalam hal ini, ajaran Buddhisme sejalan dengan terapi tingkah laku yang lebih melihat sisi saat ini sebagai tolak ukur untuk mengambil langkah atau membuat keputusan penting.
Selain itu, Ronald Y. Nakasone melalui tulisannya yang berjudul “Suffering and Healing: An Interpretation of the Buddhist Doctrine of the Four Noble Truths”, dalam The Journal of Medical Humanities (1993) menuliskan bahwa The Four Noble Truths mengundang orang untuk melakukan penaksiran hidup dan setiap masalah secara objektif. Ajaran tersebut merupakan sebuah pendekatan yang rasional untuk memahami setiap persoalan hidup secara tepat. Hanya dengan menerima hidup yang penuh penderitaan ini, sesakit dan semenderita apapun itu, orang akan secara realistis bersungguh-sungguh untuk menjadi manusia yang manusiawi. Tidak akan ada lagi sikap denial atas hidup yang justru seringkali membuat manusia hidup dalam penderitaan yang tak berkesudahan.
Ada banyak kesan bahwa ajaran Buddha sangatlah pesimis. Huston Smith[14] menuliskan bahwa pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar. Menurutnya, seorang pengamat dapat saja menggambarkan situasi yang sedang berlangsung dengan cara yang sangat suram. Namun, sifat pesimistis baru akan timbul jika ia mengutarakan pendapatnya, apakah situasi yang suram itu dapat diperbaiki atau tidak. Buddha sendiri meyakini bahwa situasi itu dapat diperbaiki. Sang Buddha yang mengorbankan seluruh hidupnya untuk membuktikan bagaimana cara agar kesejahteraan itu dapat dicapai, juga merupakan suatu bukti bahwa optimisme yang mendasar ini tetap dipegang bahkan di saat berhadapan dengan pengakuan yang paling menyedihkan, bahwa hidup manusia dan masyarakat berada dalam keadaan yang sangat buruk, suatu keadaan nestapa yang berada di ambang kekacauan sepenuhnya. Dari sini bisa dilihat bahwa anggapan mengenai ajaran Buddha yang sangat pesimis dan negatif tidak sepenuhnya benar, sebab perlu dilihat secara cermat apa masalahnya. Tidak segala hal bisa dimutlakkan begitu saja sebelum sungguh mengenali masalah tersebut secara komprehensif.
Relevansi Duka bagi Dunia Dewasa Ini
Mengingat duka itu akan selalu ada dalam hidup manusia, maka penjelasan tentang duka dan bagaimana menghadapinya akan selalu relevan. Penjelasan tentang duka, penyebab, cara mengeliminasi, dan menghadapinya menurut Buddha amatlah membantu. Meskipun hal ini tidak menjawab semua persoalan yang ada di dunia, pandangan Buddha sekurang-kurangnya sangat membantu mengurangi duka yang timbul karena pengaruh internal manusia (keinginan, egoisme diri, dsj).
Pengajaran Buddha terkait duka yang merupakan bagian dari keempat ajaran mulianya menegaskan kembali kepada manusia apa yang seharusnya diperhatikan dan ditinggalkan dalam dunia ini agar hidup menjadi bermakna dan bahagia. Sudah sering kita dengar bahwa banyak orang muda atau manusia dewasa ini mudah merasa insecure,[15] stres, depresi bahkan ada yang berani mengakhiri hidupnya karena kecewa bahwa hidupnya tidak sempurna.
Menurut data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), dalam rentang tahun 2010 hingga 2015,[16] angka kasus bunuh diri cenderung meningkat bersamaan dengan jumlah penggunaan media sosial di kalangan remaja di Amerika Serikat. Padahal, dua dekade sebelumnya (saat media sosial belum ada), angka bunuh diri pada remaja AS cenderung menurun. Para peneliti pun kemudian tertarik meneliti kaitan keduanya. Hasil temuan penelitian ini kemudian dipublikasikan dalam jurnal Clinical Psychological Science. Temuan peneliti menunjukkan, kasus bunuh diri baru-baru ini sering dikaitkan dengan bullying di dunia maya. Selain itu, menurut peneliti, unggahan yang menggambarkan “kehidupan sempurna” seorang remaja juga dianggap berdampak pada kesehatan mental para remaja tersebut.
Diambil dari data CDC, prevalensi remaja yang menggunakan peralatan elektronik, termasuk smartphone, setidaknya kurang lebih lima jam sehari naik dari 8 persen pada 2009 menjadi 19 persen pada 2015. Lalu, kemungkinan remaja-remaja ini untuk memiliki pemikiran atau tindakan bunuh diri 70 persen lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang menggunakan media sosial hanya satu jam dalam sehari.
Media sosial dewasa ini menghadirkan kepada para penggunanya sebuah gambaran dunia yang ideal. Apa yang ditampilkan di media sosial adalah apa yang dilihat orang sebagai hal yang sempurna, meskipun itu hanya potongan kecil dari keseluruhan hidupnya. Akibat terlalu sering melihat kesempurnaan yang sebenarnya palsu tersebut, orang terdorong untuk melihat dirinya dan bertanya, apakah dia sudah sempurna sebagaimana yang seharusnya (bertolak dari kesempurnaan dunia maya). Karena sadar hidupnya tidak sesempurna yang dituntut dan ditampilkan di media sosial, banyak orang yang akhirnya jatuh dalam keputusasaan dan kekecewaan yang tidak lain tidak bukan adalah penderitaan itu sendiri.
Ajaran Buddha menjadi penting dan urgen di sini untuk diterapkan bahwa manusia tidak perlu terlalu pusing dan membiarkan dirinya terlarut dalam kekecewaan yang berlebihan. Buddhisme mengajak orang untuk melihat pikiran dan tingkah lakunya secara objektif melalui sikap mindful, ada sekarang dan di sini, sesuai dengan fakta yang ada (realistis).[17] Bagaimanapun juga berjuang mencapai kesempurnaan yang ada di media sosial itu sering kali merupakan ilusi, sebab hidup tidaklah semudah itu. Ada banyak hal lain yang lebih penting dan perlu diperhatikan agar hidup ini lebih berharga, bisa dinikmati, dan membahagiakan.
Kita diajak untuk sadar bahwa keinginan manusia itu tak terbatas. Akan selalu ada yang kurang manakala yang diinginkan sebelumnya sudah terpenuhi dan akan selalu demikian polanya. Perlu dipahami juga bahwa meskipun keinginan manusia ini tanpa batas, faktanya kemampuan manusia dan segala sarana yang ada itu terbatas. Jadi, memaksakan segala sesuatu agar sesuai dengan keinginan dan hasrat yang penuh kesempurnaan, seperti yang ditampilkan di dunia maya misalnya, akan membuat manusia selalu menderita, sebab dunia maya adalah maya. Percuma jika terlalu ekstrem mengejar hal yang tak akan pernah bisa tercapai sepenuhnya. Jika terus dipaksakan, hidup akan penuh dengan duka. Dengan kata lain, menurut Smith, memperjuangkan keinginan yang merusak tersebut ibarat “ego” yang keringatnya mengalir berbintik-bintik bagaikan luka pedih yang tak terlihat.[18]
Kesimpulan
Buddhisme merupakan ajaran yang sudah sangat tua. Insight dan kebijaksanaannya senantiasa aktual dan membantu banyak orang untuk lebih memahami dan siap menghadapi duka secara lebih bijak. Empat kebenaran mulia Buddha membuka banyak misteri tentang kehidupan ini kepada banyak orang. Ajarannya akan selalu aktual karena menyingkap sesuatu yang niscaya akan selalu ada, yakni penderitaan itu sendiri. Hidup yang penuh dengan penderitaan itu harus diterima. Penolakan akan realitas hidup yang penuh penderitaan akan membuat manusia terbenam dalam penderitaan yang makin berat dan tak ada habisnya. Singkatnya, hanya dengan secara jernih melihat hidup, manusia bisa membebaskan dirinya dari penderitaan itu karena dengan jalan tersebut ia sadar apa sumber penderitaannya dan bagaimana jalan membebaskannya.
Ajaran Buddha sangatlah relevan untuk kehidupan manusia zaman ini yang tiap hari terus dicecar dengan kebohongan, khususnya di dunia maya. Media sosial dan sejenisnya seringkali menghadirkan berbagai berita atau narasi bombastis dan tidak realistis yang mematikan cara berpikir objektif dan kritis. Wajah media sosial yang senantiasa memberikan kesempurnaan membuat orang cenderung merasa kurang, suka membanding-bandingkan sampai akhirnya kehilangan kontrol atas dirinya sendiri, jatuh pada hasutan negatif, hingga akhirnya stres, depresi, bahkan hendak bunuh diri. Di tengah dunia seperti ini ajaran Buddha terkhusus keempat kebenaran mulianya menemukan urgensinya agar orang terbebas dari duka dan hidup realistis, sekarang dan di sini.
Meskipun terdapat beragam kekurangan, ajaran Buddha tetaplah penting untuk didalami dan dihayati karena baik dan berguna bagi semua orang termasuk yang tidak beragama sekalipun karena sesuatu yang baik dilakukan bukan demi Tuhan atau surga setelah kematian nanti, melainkan demi kebaikan dan kualitas hidup di dunia ini, baik bagi diri sendiri, orang lain, dan seluruh ciptaan. Ini adalah ajaran tentang kemanusiaan yang terbuka dan akrab dengan siapa saja.
Catatan Akhir:
[1] Mateus Ali. Filsafat India: Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme. Sanggar Luxor. Tangerang, 2010. Hal. 163.
[2] Ronald Y. Nakasone. Suffering and Healing: An Interpretation of the Buddhist Doctrine of the Four Noble Truths. The Journal of Medical Humanities. Vol. 14. No. 2. 1993. Hal. 81.
[3] Bedjo Lie, Penderitaan Menurut Agama Buddha: Sebuah Tinjauan Kritis dari Perspektif Kristen. Jurnal Veritas. Vol. 7. No. 2. 2006. Hal. 228.
[4] Suwandi Sandiwan Brata. Jelajah Hakikat Pemikiran Timur. Gramedia: Jakarta, 1993. Hal. 54.
[5]1.Kebodohan, 2. Dari kebodohan muncul tindakan, 3. Dari tindakan muncul kesadaran, 4. Dari kesadaran muncul batin dan jasmani. 5. Dari batin dan jasmani muncul ke-enam indera, 6. Dari keenam organ muncul sentuhan, 7. Dari sentuhan muncul sensasi, perasaan, 8. Dari sensasi muncul keinginan, 9. Dari keinginan muncul kemelekatan, 10. Dari kemelekatan muncul perwujudan, 11. Dari perwujudan muncul kelahiran, 12. Dari kelahiran muncul penderitaan.
[6]Ninian Smart. Religions of Asia: The Buddhist Tradition. Prentice Hall. New Jersey, 1993. Hal. 97.
[7]Huston Smith. Agama-Agama Manusia. Obor: Jakarta, 1985. Hal. 135.
[8]Ninian Smart. Religions of Asia: The Buddhist Tradition. Prentice Hall. New Jersey, 1993. Hal. 97.
[9]Huston Smith. Agama-Agama Manusia. Obor: Jakarta, 1985. Hal.106-110.
[10]Bedjo Lie, Penderitaan Menurut Agama Buddha: Sebuah Tinjauan Kritis dari Perspektif Kristen. Jurnal Veritas. Vol. 7. No. 2. 2006. Hal. 237.
[11]Ninian Smart. Religions of Asia: The Buddhist Tradition. Prentice Hall. New Jersey, 1993. Hal. 97-98.
[12] Bedjo Lie. Penderitaan Menurut Agama Buddha: Sebuah Tinjauan Kritis dari Perspektif Kristen. Jurnal Veritas. Vol. 7. No. 2. 2006. Hal. 236.
[13]William L. Mikulas.“Four Noble Truths of Buddhism Related to Behavior Therapy”, dalam Psychological Record, 1978. Hal. 60.
[14]Huston Smith. Agama-Agama Manusia. Obor: Jakarta, 1985. Hal. 130.
[15] Nur Fitriatus Shalihah “‘Insecure’ Melihat Unggahan Orang Lain di Media Sosial, Kok Bisa?”, dalam kompas.com, 28/11/20. https://www.kompas.com/tren/read/2020/11/28/093400865/-insecure-melihat-unggahan-orang-lain-di-media-sosial-kok-bisa-?page=all. (Diakses pada Jumat, 28 Mei 2021).
[16]Michael Hangga Wismabrata. “Benarkah Media Sosial Bisa Picu Remaja untuk Bunuh Diri ?” dalam kompas.com, 16/11/17. https://sains.kompas.com/read/2017/11/16/180000123/benarkah-media-sosial-bisa-picu-remaja-untuk-bunuh-diri-?page=all. (Diakses pada Jumat, 28 Mei 2021).
[17] William L. Mikulas.“Four Noble Truths of Buddhism Related to Behavior Therapy”, dalam Psychological Record, 1978. Hal. 60.
[18]Huston Smith. Agama-Agama Manusia. Obor: Jakarta, 1985. Hal.134.
Referensi
Ali, Mateus. 2010. Filsafat India: Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme. Sanggar Luxor. Tangerang.
Brata, Suwandi Sandiwan. Jelajah Hakikat Pemikiran Timur. Gramedia: Jakarta, 1993.
Lie, Bedjo. 2006. Penderitaan Menurut Agama Buddha: Sebuah Tinjauan Kritis dari Perspektif Kristen. Dalam Jurnal Veritas. Vol. 7. No. 2.
Nakasone, Ronald Y. 1993. Suffering and Healing: An Interpretation of the Buddhist Doctrine of the Four Noble Truths. The Journal of Medical Humanities. Vol. 14. No. 2.
Shalihah, Nur Fitriatus ““Insecure” Melihat Unggahan Orang Lain di Media Sosial, Kok Bisa?”, dalam kompas.com, 28/11/20. https://www.kompas.com/tren/read/2020/11/28/093400865/-insecure-melihat-unggahan-orang-lain-di-media-sosial-kok-bisa-?page=all. (Diakses pada Jumat, 28 Mei 2021).
Smart, Ninian. 1993. Religions of Asia: The Buddhist Tradition. Prentice Hall. New Jersey.
Smith, Huston. 1985. Agama-Agama Manusia. Obor: Jakarta.
William L. Mikulas. 1978. “Four Noble Truths of Buddhism Related to Behavior Therapy”, dalam Psychological Record.
Wismabrata, Michael Hangga . “Benarkah Media Sosial Bisa Picu Remaja untuk Bunuh Diri ?” dalam kompas.com, 16/11/17. https://sains.kompas.com/read/2017/11/16/180000123/benarkah-media-sosial-bisa-picu-remaja-untuk-bunuh-diri-?page=all. (Diakses pada Jumat, 28 Mei 2021)