“He Walks freely in the world,
and goes just one way from the eternal
Past to the eternal future.
He is alone, No one accompanies him
If you ask him how old he is, he will look at you with smile, and points to the endless sky”
(Jakuhitsu Genko Zenji, 1290-1368)
Dewasa ini dunia seakan berputar dengan begitu cepatnya. Segala kemajuan di berbagai bidang kehidupan ini begitu pesat dan tak terkendali. Siapa lagi yang membuat berbagai kemajuan ini kalau bukan manusia itu sendiri. Tetapi apakah kita pernah berpikir untuk apa kita harus mengikuti arus kemajuan di berbagai bidang kehidupan ini? Bukankah kita tanpa ikut terjun ke dalam arus kemajuan ini tetap bisa bertahan hidup? Lalu apa yang dicari selama ini oleh manusia zaman sekarang yang begitu update dalam mengikuti arus global?
Perlu diakui, sains dan teknologi sebagai salah satu kebanggaan utama peradaban modern (Barat) telah memberi banyak kemudahan dan kenyamanan bagi manusia. Akan tetapi, sains dan teknologi diibaratkan sebagai pisau bermata dua: di satu sisi ada kemanfaatannya, di sisi lain juga ada keburukannya. Berbagai persoalan yang kurang disadari ketika sains dan teknologi itu diciptakan, kini mulai menuntut perhatian yang serius (Pitoyo, 2006: 250-251).
Pengaruh sains dan teknologi yang kurang menyenangkan atas manusia harus dicarikan jalan keluarnya. Teknologi menggeser kedudukan manusia sehingga posisi manusia terpojok baik secara fisik maupun mental. Teknologi juga dapat mengekang kebebasan manusia karena manusia sendiri harus menyesuaikan dengan sistem dan peralatan yang diciptakannya sendiri. Akibatnya kepribadian manusia menjadi terhimpit. Di era sains dan teknologi telah terjadi objektivikasi atas manusia, suatu bentuk dehumanisasi. Selain itu timbul juga mental teknologis yang mendewakan teknologi yang berpandangan bahwa segala persoalan dapat diselesaikan dengan teknologi dan sains sehingga tanpa disadari keduanya telah menjadi “agama sekuler”. Akibatnya apabila dihadapkan pada krisis yang diakibatkan oleh akselerasi berlebihan atas perubahan kehidupan, manusia akan berusaha mengendalikan tekanan itu dengan penggunaan obat-obatan untuk adaptasi, seperti narkotika dan sejenisnya, serta mengumpulkan barang sebagai penunjuk status (positional goods).
Selain itu, Djoko Pitoyo juga mengutip pendapat T. Jacob terkait pengaruh teknologi terhadap alam, yakni teknologi membuat semakin terkurasnya sumber daya, baik yang organik maupun anorganik. Akibat lain yang timbul adalah gangguan iklim, pencemaran lingkungan, konsumsi tinggi, dan kepunahan spesies hewan dan tumbuh-tumbuhan serta yang terakhir adalah distorsi biokultural (Pitoyo, 2006: 251).
Di era sains dan teknologi telah terjadi objektivikasi atas manusia, suatu bentuk dehumanisasi. Selain itu timbul juga mental teknologis yang mendewakan teknologi yang berpandangan bahwa segala persoalan dapat diselesaikan dengan teknologi dan sains
Maka dari itu penulis mengangkat Taoisme sebagai alternatif dalam melihat persoalan sains dan teknologi. Taoisme ini dapat memberikan satu landasan etik agar manusia tidak semena-mena terhadap alam, sebab jika merusak alam sama saja merusak kehidupanya sendiri. Namun, bagaimana landasan etik itu bisa dimungkinkan? Itu didasarkan pada asumsi ontologis Taoisme bahwa manusia dan alam berada dalam kesatuan dan keselarasan. Berikut penjelasannya lebih lanjut.
Pandangan tentang Taoisme
Untuk memahami ajaran Taoisme kita harus paham terlebih dahulu istilah Tao. Secara harfiah istilah Tao sendiri berarti jalan suatu cara bertindak. Istilah ini pertama kali dipakai oleh Konfusius sebagai pegertian kefilsafatan yang mencerminkan tindakan yang benar dalam bidang moral, sosial, dan politik. Bagi Konfusius, Taoisme bukan merupakan pengertian metafisik (Creel, 1989: 107).
Dalam Taoisme, istilah Tao dipahami sebagai istilah metafisik. Para penganut Taoisme menggunakan istilah Tao untuk mengacu pada segala sesuatu yang setara dengan apa yang oleh beberapa filsuf Barat disebut “Yang-Mutlak”. Tao merupakan bahan dasar penyusun segala sesuatu. Tao bersifat sederhana, tanpa bentuk, tanpa hasrat, tanpa upaya, berpuas diri sepenuhnya. Tao sudah ada sebelum langit dan bumi (Creel, 1989: 107). Tao adalah hakikat alam semesta, Tao ada sebelum adanya semesta ini. Dilihat dari sudut pandang ontologis, Konfusianisme akan menyebut realitas terakhir dan tertinggi adalah Surga, tetapi Taoisme menyebutnya Tao. Tao mencakup segala sesuatu. Segala pemenuhan yang ada di alam semesta ini dilakukan oleh Tao. Namun Tao memenuhi dengan spontan, tanpa usaha apa pun tidak dengan sengaja. Dalam hal ini Kitab Tao Te Ching menyatakan:
“Tao adalah prinsip segala sesuatu, tetapi Tao pada dirinya sendiri bukanlah sesuatu. Semua yang ada di bumi ini merupakan sesuatu. Tao bukanlah objek yang sama dengan yang lain. Tao adalah Yang Tak Ada. Tetapi Tao adalah yang mengadakan segala sesuatu, maka serentak Tao disebut juga yang ada. Yang Tak Ada merupakan hakikatnya, sedangkan yang ada adalah fungsinya. Karena itu Tao adalah baik Yang Tak Ada maupun Yang Ada. Yang Tak Bernama ataupun Yang Bernama. Taoisme identik dengan alam semesta. Pandangan ini berdasarkan pandangan monisme terhadap realitas dan dunia. Segala sesuatu dipandang sebagai Yang Satu dan Yang Satu ini adalah Tao. Segala sesuatu diturunkan dari Tao. Konsep ini tidak hanya menunjuk pada segi eskatologis dan metafisis dari Tao, melainkan juga menunjuk segi etis. Hidup manusia yang otentik perlu mempelajari prinsip dan rahasia Tao, kemudian mengikuti hukum yang mutlak. Dengan demikian manusia akan mendapatkan kedamaian dan keselarasan ” (Yosep, 1993: 77-78).
Tao sebagai prinsip totalitas mempunyai dua unsur yang berlawanan, yakni Yin dan Yang. Kedua unsur itu bisa diartikan sebagai terang dan gelap, negatif dan positif, aktif dan pasif, ada dan tiada. Dalam Taoisme, dualisme itu berada dalam kontradiksi yang mutlak, namun saling melengkapi dalam fungsinya untuk berbuat apa saja di dunia ini. Oleh Taoisme cara kerja ini disebut “Jalan ke Surga” (Yosep, 1993: 78).
Setelah kita mengetahui apa itu Taoisme secara umum maka untuk mempermudah dalam menganalisis persoalan Sains dan Teknologi penulis sengaja mengambil salah satu pemikiran tokoh Taoisme yang sangat berpengaruh pada ajaran dan perkembangan Taoisme, yaitu Lao-Tze.
Taoisme – Lao-Tze dalam Melihat Perkembangan Sains dan Teknologi
Menurut tradisi, Lao-Tze merupakan sebuah nama yang berarti Tuan Tua. Dia adalah seorang penduduk asli Negara Ch’u yang sekarang berada di sebelah selatan Provinsi Honan. Dia lebih tua dari Konfusius, tetapi sezaman dengannya, yang menurut pendapat umum telah diberinya pelajaran berkenaan dengan pelajaran mengenai upacara. Buku yang menggunakan namanya sebagai judul, “Lao-Tze”, kemudian hari juga dikenal dengan judul Tao Te Ching (karya klasik tentang jalan dan kekuatannya) yang dianggap sebagai karya filsafat pertama dalam sejarah Cina. Tetapi dunia kesarjanaan modern telah memaksa kita untuk mengubah pandangan ini secara drastis (Fung Yulan, 2007: 119).
Wu-Wei berarti kodrat yang spontan, seperti suatu aliran sungai. Bila diterapkan pada manusia maka Wu-Wei berarti jangan berbuat yang berlawanan dengan kodrat. Wu-Wei menunjukkan pada kespontanan dan tindakan yang alamiah
Dalam meninjau permasalahan eksploitasi alam di atas saya memilih konsep Wu-Wei (baca: jangan mencampuri) yang merupakan keutamaan Taoisme. Wu-Wei berarti kodrat yang spontan, seperti suatu aliran sungai. Bila diterapkan pada manusia maka Wu-Wei berarti jangan berbuat yang berlawanan dengan kodrat. Wu-Wei menunjukkan pada kespontanan dan tindakan yang alamiah (Yosep, 1993: 79). Dalam melihat permasalahan perkembangan sains dan teknologi yang membuat manusia terkekang dan tidak bisa dengan leluasa bergerak serta membiarkan alam ini berjalan menurut hukumnya sendiri maka konsep ini kiranya dapat menawarkan pandangannya terkait dengan persoalan ini yang setidaknya dapat membuat manusia keluar dari permasalahan.
Ketika manusia mengembangkan teknologi dan sains dengan semangat modernisasi justru itu yang akan membuat manusia tidak bisa bergerak ke mana-mana karena manusia dipasung oleh sikapnya yang berusaha melawan kodrat alam. Modernisasi sendiri menginginkan perubahan dari hal-hal yang ketinggalan zaman dan tradisional untuk digantikan oleh hal-hal yang baru dan bisa mengikuti arus perkembangan. Tetapi dengan hal seperti itu manusia justru akan semakin menjadi-jadi ketika suatu perubahan yang diinginkan dalam modernisasi ini sudah tercipta namun manusia masih dibelenggu oleh rasa ketidakpuasan terhadap perubahan itu. Maka sesuatu hal lain harus dilakukan supaya terjadi hal yang baru lagi. Dan itu tidak akan ada habisnya. Dalam konteks ini setidaknya manusia bisa bebas dari kekangan pada dirinya sendiri dengan kembali lagi pada alam dengan membiarkan alam berjalan dengan semestinya. Hal tersebut perlu dilakukan agar tidak ada hal yang dibuat-buat untuk memenuhi keinginan hasrat semata namun berlawanan dengan kodrat alam itu sendiri.
Taoisme mengatakan orang yang bijak tidak berbuat apa-apa dan orang yang bijak tidak perlu menghasilkan apa-apa. Mereka hanyalah merenungkan alam saja. Taoisme menentang segala bentuk tindakan karena dalam kehidupan tindakan itu sia-sia belaka. Dicontohkan dengan seorang pemanah yang membidikkan panahnya dengan jelek. Kegagalan ini diakibatkan karena pemanah tersebut berkeinginan untuk menang. Keinginan ini membuat kecemasan dan kecemasan itulah yang membuat gagal. Kemampuan tertinggi adalah ketika seseorang bertindak pada taraf yang tidak sadar. Seorang ahli piano perlu memusatkan pikiran dan kekuatannya supaya ia berhasil. Taoisme menekankan ketidaksadaran, intuisi, spontanitas—aliran yang tidak bertenaga dalam pikiran dan tindakan. Taoisme percaya bahwa kebijaksanaan adalah mengetahui kesulitan-kesulitan dan tidak pernah mempunyai sikap agresif pada kodrat alam manusia. Orang tidak akan mencapai tujuan dengan sikap yang agresif (Yosep, 1993: 80).
Hal ini selaras dengan apa yang dibahas di atas terkait dengan semangat manusia dalam mengembangkan sains dan teknologi dalam modernisasi, yang pada dasarnya ada ambisi dan agresivitas di balik semangat pengembangan teknologi dan sains. Ambisinya adalah mengejar perubahan dengan tindakan secara terus menerus dan tidak memperhatikan kodrat alam, yang mana hal seperti ini adalah tidak sesuai dengan kodrat alam. Hal itu menurut Wu-Wei dapat menyebabkan manusia gagal dalam menghadapi permasalahan terkait dengan kebebasannya yang dipasung oleh ambisinya yang tidak pernah habis.
Kemudian permasalahan terkait dengan sumber daya yang semakin menipis, pencemaran lingkungan, cuaca yang tidak teratur, dan kerusakan ekosistem akibat kemajuan teknologi dan sains. Hal ini ketika dilihat dari Wu-Wei sendiri sangat relevan, bahwa manusia yang mengeksploitasi alam dengan senjata teknologi dan sains mengeruk apa pun yang ada di alam dengan sesuka mereka. Akibatnya alam yang dieksploitasi secara terus menerus akan menurun kapasitasnya dan manusialah yang akan menuai akibatnya. Banjir, tsunami, dan tanah longsor yang akan menghajar manusia sebagai imbalan yang setimpal dengan apa yang mereka lakukan. Maka dari itu campur tangan dan agresi terhadap manusia ataupun alam tidak dapat diterima karena bagaimanapun juga itu pihak yang diagresi pasti menderita.
Hal yang dapat ditawarkan dalam menengahi permasalahan ini adalah dengan merefleksikan konsep Wu-Wei terkait dengan “Jangan Menyampuri”—yang dapat diartikan bahwa kita akan hidup selaras dengan alam jika kita mau mengikuti kodrat alam dan tidak menentang apa yang sudah digariskan oleh kodrat alam. Itu karena pada dasarnya keharmonisan menurut Wu-Wei hanya akan terjadi ketika alam dibiarkan berjalan menurut hukumnya sendiri.[]
Daftar Pustaka
Creel, H.G., 1989, Alam Pikiran Cina: Sejak Konfusius Sampai Mao Ze Dong, Terj. Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Fung Yu-Lan, 1990, Sejarah Ringkas Filsafat Cina, Terj. Soemargono, Liberty, Yogyakarta.
Pitoyo, Djoko, 2006, Manusia Bijaksana Menurut Taoisme dalam Jurnal Filsafat Wisdom, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Vol. 16, No. 3.
Yosef Umarhadi, 1993, “Taoisme” dalam Jelajah Hakikat Pemikiran Timur, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.