spot_img
More

    Esensi Keberagamaan: Solusi Fenomenologi terhadap Problematika Pluralitas

    Featured in:

    Keberagamaan berlandaskan doktrin teologis seringkali menimbulkan persoalan di tengah pluralitas keagamaan global. Hal tersebut merupakan implikasi dari dogmatisme dan fanatisme yang bermula dari truth claim (klaim kebenaran) yang berjalan tanpa kendali eksternal. Truth claim sendiri merupakan sebuah klaim bahwa hanya kebenaran agama tertentulah yang paling absolut, sehingga secara tidak langsung ia menegasikan kebenaran agama lain. Hal ini terjadi karena klaim yang sering ditemui dalam pendekatan teologis agama ini didasari oleh partikularisme, eksklusivisme, dan intoleransi. Tanpa kendali eksternal terhadap truth claim, batasan antara komitmen sehat dengan fanatisme menjadi kabur. Kendali eksternal ini adalah esensi keberagamaan yang merupakan produk pendekatan fenomenologis agama.

    Fenomenologi adalah sebuah bidang keilmuan yang mengkaji suatu fenomena, dengan fenomena itu merupakan realitas aktual yang wujud esensialnya “disembunyikan” oleh kemunculan dari “apa yang tampak” (wujud konkret).[1] Pendekatan fenomenologis agama berorientasi pada pencarian dimensi universalitas—esensi, makna, dan struktur fundamental—dari pengalaman keberagamaan manusia.[2] Esensi keberagamaan ini merupakan suatu pijakan yang universal dan objektif bagi seluruh agama. Pencarian dan pengenalan terhadap esensi ini diperlukan karena saat esensi tersebut tidak dikenal—oleh karena itu tidak dijadikan pijakan—, maka yang terjadi adalah kaburnya batas antara komitmen sehat dan fanatisme sempit dalam penerapan truth claim seperti yang telah disebutkan di awal. Pada akhirnya, esensi ini berperan sebagai alasan suatu agama untuk tidak menerapkan truth claim yang fanatik terhadap agama lain. Di samping esensi, terdapat aspek manifestasi. Aspek ini adalah agama sebagai sistem kepercayaan itu sendiri. Dengan kata lain, agama merupakan hasil manifestasi dari esensi keberagamaan.

    Esensi dan manifestasi ini memiliki berbagai sebutan yang merepresentasikan pengaplikasiannya. Dalam diskursus keagamaan, esensi dan manifestasi disebut sebagai “abstract noun” dan “proper noun.” Proper noun mewakili agama sebagai sistem kepercayaan seperti Islam, Hindu, Kristen, Taoisme, dsb. Sedangkan abstract noun mewakili esensi yang menjadi landasan ontologis suatu percakapan sekaligus dasar logika penyebutan proper noun, di mana tanpanya penyebutan proper noun terhadap apa pun menjadi mustahil.[3]

    P adalah A —> P adalah A —> P adalah (?)

    Proper noun dan abstract noun ini juga dapat diterapkan salah satunya pada sistem bahasa. Abstract noun (esensi) suatu bahasa adalah gagasan terhadap suatu objek material maupun ideal yang telah terabstraksi. Sedangkan proper noun (manifestasi) adalah bahasa itu sendiri, seperti bahasa Sunda, bahasa Jerman, bahasa isyarat, dsb.

    Dalam praktik keberagamaan, esensi dan manifestasi disebut dengan “religiousity” dan “having a religion.Religiousity adalah implementasi dari sifat dasar manusia sebagai homo religiosus—manusia sebagai makhluk religius. Jenis keberagamaan ini bersifat universal, infinite (tidak tersekat-sekat), dan trans-historis (melampaui batas-batas historisitas manusia).[4] Sedangkan “having a religion” merupakan keberagamaan manusia yang terjadi saat ia memeluk agama tertentu. “Having a religion” adalah bentuk pengaplikasian dari “religiousity”. Dengan kata lain, agama merupakan cara manusia untuk menyalurkan hasrat religiusitasnya. Hubungan antara “having a religion” dan “religiousity” hampir sama dengan hubungan antara ilmu terapan dan ilmu dasar. Di mana ilmu terapan (applied science)—teknik, kedokteran, dsb—merupakan pengaplikasian dari ilmu dasar (pure science)—matematika, biologi, dsb.[5]

    Lantas, setelah mengetahui bahwa ada esensi yang melandasi agama sebagai sistem kepercayaan, apa sebenarnya esensi tersebut? Menurut Gerardus van der Leeuw (1890-1959), esensi ini hanya bisa didapat dari “atas,” di mulai dari Tuhan.[6] Ia menyatakan bahwa manusia yang beragama memiliki ketergantungan terhadap entitas yang Maha Kuasa (Power).[7]Power that is not the outcome of will and that does not display itself, but absolutely is” jelas Leeuw.[8] Rudolf Otto (1869-1937) melihat ketergantungan ini sebagai salah satu aspek pengalaman keberagamaan, yaitu perasaan “ke-makhluk-an” dari ketidakmampuan manusia yang terandaikan oleh perasaan ketergantungan mutlak mereka terhadap entitas Yang Suci (The Sacred). Entitas ini bagi mereka merupakan misteri religius yang menimbulkan ketakjuban dan emosi yang sama sekali lain (the wholly other).[9] Leeuw juga menyinggung bahwa manusia memilih posisi seorang hamba sebagai pengungkapan atas ketundukannya terhadap Power, di mana pengungkapan ini merupakan bentuk ketergantungan dalam kesadaran religius mereka.[10] Menurut para fenomenolog, kesadaran mengenai sensus numinis (rasa ketuhanan), the wholly other, The Sacred, hingga sense of dependence (rasa ketergantungan) telah ada sejak zaman praaksara dalam bentuk yang sederhana dan fundamental.[11] Kesadaran-kesadaran ini kemudian secara tidak langsung menunjukkan bahwa manusia itu memiliki keimanan. Leeuw menjelaskan,

    “Faith is in the first place a conjecture. In saying: ‘I believe’, we mean that we do not really know, but that we suppose something or other about the matter in question. Whoever believes in God, then, turns away from knowledge about Him; but he is conscious that he has an awareness (Ahnung) of God. The believer, however, has something more than a mere awareness”[12].

    Esensi keberagamaan ini dapat menjadi benang merah yang mempersatukan semua agama sekaligus para pemeluknya (re-emphasize the unity of all religions).

    Saat umat beragama telah menemukan pijakan berupa esensi keberagamaan yang sifatnya universal, bukan berarti value-neutral dapat menjadi pegangan dalam keberagamaan sehingga mengesampingkan manifestasi (agama). Karena apabila dianalogikan, esensi adalah air dan manifestasi adalah gelasnya, tanpa ada gelas manusia tidak bisa menikmati air dengan semestinya. Religiousity yang sifatnya abstrak dan mendalam tidak dapat dipahami dan dinikmati tanpa “having a religion” yang sifatnya konkret, tersekat, historis, serta terbatas pada ruang dan waktu secara subjektif.[13] Hampir sama halnya seperti hasrat bermain sepak bola yang tidak bisa dipahami dan dinikmati tanpa terlibat dalam permainan sepak bola itu sendiri. Saat esensi dan manifestasi berjalan secara terpisah, maka tetap saja problematika keagamaan akan muncul melalui esensi maupun manifestasi. Esensi (produk pendekatan intelektual-fenomenologis) yang abstrak tidak dapat dinikmati secara konkret tanpa manifestasi (lembaga formal keagamaan), dan manifestasi tanpa esensi menimbulkan kecenderungan untuk berjalan di luar batas kewenangannya.[14] Maka dari itu, merupakan hal yang utopis apabila seorang homo religiosus ingin melepaskan diri dari ikatan partikularisme. Hal ini sama utopisnya dengan keinginan untuk mencapai kehidupan yang mutlak terbatas pada dunia “idea” Plato. Kelemahan fenomenologi adalah kurangnya kerangka etis-pragmatis sebagai implikasi dari bahasannya yang abstrak dan steril, sehingga kekurangan ini hanya dapat dilengkapi oleh doktrin teologis yang konkret dan mengikat.[15] Sama seperti analogi sistem bahasa dalam pembahasan proper noun dan abstract noun, gagasan manusia terhadap objek material maupun ideal yang telah terabstraksi (esensi) dapat dimengerti, dinikmati, dan diaplikasikan saat esensi tersebut termanifestasi dalam berbagai bahasa yang partikularistik (bahasa Ibrani, bahasa Melayu, dsb). Dengan sifatnya yang partikularistik itu, bahasa Ibrani misalnya, tidak berhak melontarkan klaim atas keunggulannya di antara bahasa yang lain dan ”mengambil” penutur bahasa lain, serta mem-bahasa Ibrani-kan manusia secara global berdasarkan klaim tersebut. Karena pada awalnya, secara ontologis-metafisis berbagai bahasa yang beragam itu tidak memiliki bentuk bahasa dan bertitik tolak pada esensi yang sama.

    Dalam menjalani kehidupan beragama, diperlukan adanya kolaborasi yang harmonis di antara pendekatan teologis, fenomenologis, bahkan antropologis. Karena yang menjadi masalah sebenarnya bukanlah keberagamaan teologis itu sendiri, melainkan tidak adanya kendali eksternal terhadap keberagamaan teologis tersebut. Seseorang yang beragama perlu memiliki fondasi berupa esensi yang dimanifestasikan ke dalam agama dan keberagamaanya, serta menyesuaikan diri dan pandangannya dengan situasi antropologis yang aktual.


    Catatan Akhir:

    [1] van der Leeuw, G., Turner, J., & Penner, H. (1986). Religion in Essence and Manifestation. Princeton, New Jersey: Princeton University Press.

    [2] Abdullah, M. Amin (1996). Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

    [3] Abdullah, M. Amin (1996). Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

    [4] Abdullah, M. Amin (1996). Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

    [5] Abdullah, M. Amin (1996). Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

    [6] van der Leeuw, G., Turner, J., & Penner, H. (1986). Religion in Essence and Manifestation. Princeton, New Jersey: Princeton University Press.

    [7] Abdullah, M. Amin (1996). Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

    [8] van der Leeuw, G., Turner, J., & Penner, H. (1986). Religion in Essence and Manifestation. Princeton, New Jersey: Princeton University Press.

    [9] Reale, Giovanni., Antiseri, Dario (2014). Storia della Filosofia – Volume 10: Fenomenologia, Esistenzialismo, Filosofia Analitica e Nuove Teologie. Milan: Bompiani.

    [10] van der Leeuw, G., Turner, J., & Penner, H. (1986). Religion in Essence and Manifestation. Princeton, New Jersey: Princeton University Press.

    [11] Abdullah, M. Amin (1996). Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

    [12] van der Leeuw, G., Turner, J., & Penner, H. (1986). Religion in Essence and Manifestation. Princeton, New Jersey: Princeton University Press.

    [13] Abdullah, M. Amin (1996). Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

    [14] Abdullah, M. Amin (1996). Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

    [15] Abdullah, M. Amin (1996). Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


    Daftar Pustaka

    Abdullah, M. Amin. 1996. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

    Reale, Giovanni; Antiseri, Dario. 2014. Storia della Filosofia – Volume 10: Fenomenologia, Esistenzialismo, Filosofia Analitica e Nuove Teologie. Milan: Bompiani.

    van der Leeuw, G; Turner, J; & Penner, H. 1986. Religion in Essence and Manifestation. Princeton: Princeton University Press.

    Author

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Menyingkap Keterasingan Manusia Lewat Banalitas Keseharian

    Tidak dipungkiri lagi, mahasiswa erat dengan jadwal padat yang selalu menghampirinya setiap saat. Pagi hari, sekitar pukul...

    Post-Truth: Konsekuensi atas Keruntuhan Modernitas

    Seperempat paruh awal abad ke-21 ini, manusia dihadapkan kepada pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendisrupsi masyarakat....

    Hausu dan Hauntopoanalisis

    Rumah bukanlah sekadar bangunan fisik yang memiliki wujud konkret, melainkan ruang metafisik yang abstrak dan memiliki agensi...

    Sebuah Hikayat dari Tanah Para Pencari Kebenaran Dunia

    Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari...

    Ampun, Romo Bertens: Argumen Absolutis Anda Bermasalah

    Buang semua asumsi moral dan pengetahuan yang kita dapat dari peradaban modern ini untuk sementara. Mari bayangkan...

    Polemik Hermeneutis Gadamer dan Habermas

    “Kalau Anda ingin mendengarkan Heidegger dengan lebih mudah, bacalah (tulisan) Gadamer.” Begitulah ucapan Fransisco Budi Hardiman saat...