Penulis melihat bahwa pembahasan mengenai posisi dan martabat perempuan menjadi isu yang krusial di Indonesia. Dapat dilihat dari berbagai argumentasi yang dibangun oleh tokoh-tokoh “agamawan” berpengaruh Indonesia, perihal posisi dan martabat perempuan. Salah satu contohnya adalah Felix Siauw.
Siauw (2018) “berdakwah” dengan menganalogikan perempuan dengan makanan. Makanan yang dijadikan analogi adalah Pisang Goreng dengan Lapis Legit. Secara sederhana, Siauw berpandangan bahwa terdapat dua macam Perempuan, ada Perempuan yang seperti Pisang Goreng dan ada juga yang seperti Lapis Legit.
Dari analogi tersebut, muncul berbagai penolakan. Penolakan terhadap model analogi tersebut didasarkan pada klaim bahwa Perempuan sebagai subjek tidak dapat direduksi menjadi sebuah objek; objek dalam konteks ini adalah makanan (Laili, 2018). Dalam artikel ini penulis berposisi menolak keduanya, baik analogi yang diberikan oleh Siauw, maupun penolakan atas analogi Siauw!
Objektifikasi dalam Analogi
Tulisan ini akan diawali dengan penolakan penulis atas bantahannya terlebih dahulu. Bantahan terhadap analogi Siauw kurang lebih dapat dimengerti dengan landasan objektifikasi. Objektifikasi yakni mereduksi subjek menjadi objek, menghilangkan sifat subjek sebagai personal maupun individu.
Penulis menolak bantahan ini karena dengan mengamini bantahan ini berarti menghancurkan sisi estetis sekaligus tujuan maupun fungsi dari analogi itu sendiri. Analogi hadir agar memudahkan pembaca maupun pendengar dalam memahami argumentasi yang hendak diberikan, dengan kata lain sebagai alat retorika. Setelah dipikir sah-sah saja menganalogikan subjek sebagai objek karena pertanggungjawabannya terletak pada kesamaan pada bagian tertentu, baik fenomenal, relasional, fungsional, mekanis, maupun sifat antara predikat analogi dengan objek analoginya. Berikut akan diberikan lima contoh yang mewakili setiap macam analogi.
Contoh pertama: berputarnya elektron pada atom itu seperti planet berputar mengelilingi matahari. Dari contoh tersebut dapat kita lihat bahwa ”berputarnya elektron pada atom” merupakan objek analogi, sementara “planet berputar mengelilingi matahari” merupakan predikat analogi, dan “itu seperti” merupakan penghubung atau penanda analogi. Dapat ditangkap bahwa predikat analogi hadir untuk menjelaskan relasi, mekanisme, fungsi, maupun sifat yang ada pada objek analogi; dalam konteks contoh ini berarti kesamaan mekanisme. Penjelasan tersebut tentu bersifat umum, dalam arti tidak membuktikan kesamaan struktur antara objek analogi dengan predikat analogi; sebab kesamaan struktur memiliki implikasi yang berbeda, yang berarti sudah bukan penjelasan lagi, namun sudah berarti pengidentikan.
Analogi hadir agar memudahkan pembaca maupun pendengar dalam memahami argumentasi yang hendak diberikan, dengan kata lain sebagai alat retorika.
Contoh kedua: sepeda motor adalah kuda bermesin. Analogi ini menjelaskan kesamaan fungsional antara sepeda motor dengan kuda, yakni sama-sama berfungsi sebagai alat transportasi. Interpretasi ini memang bisa diperdebatkan, karena kuda secara inheren bukanlah alat transportasi; bagaimanapun, sejarah menunjukkan manusia pernah menggunakan kuda sebagai alat transportasi. Secara tidak langsung, sepeda motor adalah perubahan dari penggunaan kuda sebagai alat transportasi.
Contoh ketiga yang membandingkan subjek dengan objek adalah sebagai berikut: Si Fulan adalah lukisan indah bercat emas. “Si Fulan” merupakan objek analogi, sementara “lukisan indah bercat emas” merupakan predikat analogi. Pertanyaannya, apakah contoh tersebut merupakan objektifikasi? Penulis kira terlalu berlebihan apabila analogi tersebut dianggap sebagai suatu bentuk objektifikasi, karena toh penulis tidak melihat adanya reduksi pada analogi tersebut. Analogi tersebut hanya menunjukkan kesamaan sifat antara objek analogi dengan predikat analogi; bahwa Si Fulan itu cantik atau indah.
Contoh keempat: Aldo tadi malam berenang seperti ikan terlempar ke daratan. Analogi ini hendak menjelaskan fenomena bahwa Aldo tidak bisa berenang, layaknya ikan menggelepar di daratan. Apakah hal ini termasuk objektifikasi? Penulis tidak melihat analogi tersebut mereduksi Aldo sebagai ikan itu sendiri, namun hanya menunjukkan kesamaan fenomenanya saja.
Contoh kelima: Tejo dan Satria bagaikan langit dan bumi. Contoh ini merupakan analogi relasional, yang menganalogikan hubungan dua hal dengan hubungan dua hal yang lain. Penulis tidak melihat adanya reduksi, baik di sisi Tejo maupun Satria. Hanya hubungan keduanya saja yang hendak dijelaskan.
Penulis berani berhipotesis bahwa analogi yang proporsional tidak akan ada bentuk reduksi macam apapun di dalamnya; dengan kata lain, tidak ada objektifikasi. Sebab analogi hanya menunjukkan kesamaan fenomena, relasi, mekanisme, fungsi, maupun sifat antara objek analogi dengan predikat analogi; bukan kesamaan struktur.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa pernyataan yang menunjukkan kesamaan struktur bukan merupakan analogi. Penulis akan berikan contoh agar memudahkan. Semisal, “Argumentasi Nicko tersebut seperti Roy Bhaskar menyelesaikan perdebatan antara Realisme dengan Anti-Realisme.” Contoh tersebut bukan menyamakan aspek tertentu, namun menyamakan keseluruhan struktur argumentasi antara Nicko dengan Roy Bhaskar; letak persamaannya adalah pada basis dialektikanya, yaitu negasi dari negasi, yakni menyelesaikan perdebatan dengan menolak kedua argumentasi baik dari pro maupun kontra. Pada titik ini, pernyataan tersebut bukan lagi analogi, namun pengidentikan; sebab pengidentikan tidak akan menjelaskan apapun apabila pendengar atau pembaca tidak memiliki pemahaman atas strukturnya sendiri.
Pada titik ini, Penulis berani berhipotesis bahwa analogi yang proporsional tidak akan ada bentuk reduksi macam apapun di dalamnya; dengan kata lain, tidak ada objektifikasi. Sebab analogi hanya menunjukkan kesamaan fenomena, relasi, mekanisme, fungsi, maupun sifat antara objek analogi dengan predikat analogi; bukan kesamaan struktur.
Macam Analogi
Sebelum kita menganalisis Analogi yang diungkapkan oleh Felix Siauw, kita perlu memahami macam-macam analogi itu sendiri. Sejauh pemahaman penulis, terdapat tiga macam analogi; yakni metafora, simile, dan analitik. Berikut akan dijelaskan satu persatu.
Metafora adalah analogi secara langsung. Metafora terkadang terlihat memaksa, namun memang tujuannya adalah penyamaan yang mutlak dalam konteks tertentu. Contoh sederhana adalah “Eko adalah tulang punggung keluarga.”
Simile adalah analogi yang diungkapkan secara tidak langsung, dengan menggunakan penanda atau penghubung yang menunjukkan kemiripan. Dengan kata lain, simile tidak bersifat memaksa. Contoh: “Membeli barang online itu seperti membeli kucing dalam karung.”
Analitik adalah analogi yang menjabarkan konteks persamaannya. Menjabarkan dalam artian menunjukkan sisi mana yang sama, terkadang menunjukkan pula sisi mana yang berbeda. Sesuai dengan namanya, yaitu analitik, yakni memecah dalam bentuk elemen-elemen sehingga terlihat secara jelas bagaimana mekanismenya bekerja.
Penulis akan berikan analogi yang cukup sederhana. Apabila Metafora adalah Tikus Hidup, maka Simile adalah Tikus Plastik, dan Analitik adalah Tikus yang sedang di bedah.
Analogi Siauw
Selanjutnya kita harus menguji analogi Felix Siauw, apakah analoginya proporsional atau tidak. Mari kita bedah analogi yang diungkapkan oleh Siauw terlebih dahulu.
Siauw hendak menjelaskan tipe-tipe Perempuan. Hal tersebut berarti Perempuan dianggap sebagai genus yang memiliki elemen atau spesies tertentu. Siauw menggunakan dikotomi klise dengan menyatakan bahwa terdapat dua tipe utama yang kontras antara satu dengan yang lainnya. Dua tipe utama tersebut dijelaskan dengan menganalogikan keduanya dalam bentuk pertentangan antara Pisang Goreng dengan Lapis Legit.
Sejauh pembacaan terhadap hal tersebut, penulis melihat analogi Siauw lebih condong kepada analogi analitik. Siauw membongkar analoginya dengan penjelasan yang bersifat anekdotal. Anekdot tersebut terlihat dari penjelasan mengenai pembuatan dari setiap makanan yang dijadikan analogi.
Siauw menggambarkan bahwa Pisang Goreng dibuat dengan sesuka hati, bumbu yang sederhana, dan proses yang terbilang cepat. Sementara itu, Siauw menggambarkan Lapis Legit sebagai kebalikan dari Pisang Goreng, dibuat dengan hati-hati, bumbu yang kompleks, dan proses yang memakan waktu cukup lama. Penggambaran keduanya tidak berhenti pada pembuatan, namun sampai pada tataran pemasaran dan pembelian; Pisang Goreng dijual secara terbuka tanpa kemasan serta dalam pembeliannya semua orang boleh mencicipi dan memegang, sementara Lapis Legit dijual dengan kemasan yang rapi serta dalam pembeliannya tidak boleh mencicipi apalagi memegang.
Sejauh pembacaan terhadap hal tersebut, penulis melihat analogi Siauw lebih condong kepada analogi analitik. Siauw membongkar analoginya dengan penjelasan yang bersifat anekdotal.
Anekdot tersebut memang terlihat cukup meyakinkan, namun terdapat ketidakjujuran narasi yang dibawakan oleh Siauw. Pemisahan maupun pertentangan antara keduanya terlihat sangat dipaksakan. Penulis akan jelaskan dimana letak ketidakjujuran narasinya.
Apabila kita cermati, Pisang Goreng tidak selalu dijual dengan cara yang seenaknya. Apabila kita hanya melihatnya di warung-warung pinggir jalan atau pasar, jelas Pisang Goreng dijual seenaknya. Lantas bagaimana dengan Pisang Goreng yang dijual secara premium? Ada Pisang Goreng yang dijual tanpa dipegang-pegang terlebih dahulu, yang tidak boleh dicicipi terlebih dahulu, yang memakai bumbu khusus nan kompleks, bahkan ada yang hanya digoreng apabila dipesan sehingga disajikan kepada konsumen dalam keadaan hangat setelah digoreng.
Apabila kita cermati kembali, Lapis Legit tidak selalu dijual dengan cara premium seperti yang digambarkan oleh Siauw. Apabila kita hanya melihatnya di toko-toko kue, jelas mereka kurang lebih dibuat dengan cara premium. Lantas bagaimana dengan Lapis Legit yang dijual di pasar maupun toko-toko pinggir jalan? Ada Lapis Legit yang dijual dengan cara dipegang-pegang terlebih dahulu, yang boleh dicicipi terlebih dahulu, yang memakai bumbu seadanya, bahkan dijual dalam keadaan tidak fresh.
Ketidakjujuran narasi yang digambarkan oleh Siauw menghasilkan ketidakstabilan oposisi biner yang disajikan. Oposisi biner antara Pisang Goreng dengan Lapis Legit tidak lagi dapat menggambarkan tipe perempuan, karena oposisi tersebut sudah tidak menjadi oposisi lagi, namun melebur menjadi tak ada bedanya; baik secara proses, pengemasan, maupun penjualannya. Logos yang hadir, bahwa Lapis Legit lebih baik daripada Pisang Goreng, menjadi tidak relevan lagi.
Satu-satunya perbedaan antara Pisang Goreng dan Lapis Legit yang stabil adalah perbedaan secara substansial; baik material, formal, final, maupun efisien. Sayangnya, perbedaan substansial tentu tidak menjelaskan apapun, karena hal ini sama saja menjelaskan bahwa setiap perempuan itu berbeda-beda; karena setiap perempuan berbeda secara substansial. Dengan kata lain, pada akhirnya, banyaknya tipe perempuan adalah sejumlah banyaknya perempuan yang ada di dunia ini–lantas apa yang hendak di kategorisasi?
Ketidakjujuran narasi yang digambarkan oleh Siauw menghasilkan ketidakstabilan oposisi biner yang disajikan. Oposisi biner antara Pisang Goreng dengan Lapis Legit tidak lagi dapat menggambarkan tipe perempuan, karena oposisi tersebut sudah tidak menjadi oposisi lagi, namun melebur menjadi tak ada bedanya; baik secara proses, pengemasan, maupun penjualannya.
Aspek lain yang dilupakan oleh Siauw adalah aspek selera pembeli atau konsumen. Setiap pembeli maupun konsumen memiliki seleranya masing-masing. Selera ini terikat dengan rasa, yang mana tidak bersifat universal, namun partikular. Setiap orang memiliki seleranya masing-masing dan ini bergantung pada kecocokan individu terhadap rasanya. Kontras dengan kenyataan ini, Siauw justru tidak menghiraukannya, lantas Siauw menggeneralisir bahwa konsumen membeli sesuatu hanya karena perkara pembuatan, marketing, maupun bungkusnya saja. Bagi pribadi, orang-orang yang mengamini analogi Siauw ini tentu mengamini implikasinya, bahwa konsumen dianggap sebagai manusia yang hanya suka dengan bungkusnya saja. Dapat disederhanakan orang-orang tersebut sebagai orang-orang yang terjebak dalam ilusi yang tampak; bahwa karena bungkusnya bagus dan prosesnya kompleks, maka rasanya enak–padahal nyatanya belum tentu demikian.
Jangan Takut Beranalogi!
Sejauh ini cukup jelas bahwa analogi yang disampaikan oleh Siauw tidaklah relevan. Analoginya menjadi tidak relevan lagi karena makna oposisi biner antara Pisang Goreng dengan Lapis Legit yang diangkat oleh Siauw ternyata tidaklah stabil. Ketidakstabilan logos tersebut meruntuhkan bangunan analogi Siauw, menjadi puing-puing kata-kata yang tak bermakna.
Perlu dipahami bahwa ketidakbermaknaan analogi Siauw bukan disebabkan oleh Objektifikasi, namun karena kontradiksi internal yang ada dalam teks dia sendiri. Analogi tidak ada hubungannya dengan objektifikasi karena fungsinya bukan menyamakan namun hanya sebagai alat retoris untuk memberikan gambaran umum.
Sebagai penutup, janganlah takut dalam beranalogi. Beranalogi lah dengan estetis dan proporsional, sehingga pendengar maupun pembaca dapat menikmati serta mendapatkan gambaran umum dari apa yang engkau maksud.