Feminisme pertama kali dipopulerkan oleh Charles Fouries sebagai suatu gerakan kaum perempuan untuk memperoleh persamaan derajat di Prancis. Namun gerakan ini muncul di Eropa abad ke-17 karena adanya protes dari kaum perempuan terhadap gereja, yang pada masa itu merupakan institusi tertinggi yang menguasai hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Hingga saat ini feminisme terus berkembang dengan menyesuaikan zaman sehingga melupakan ideologi awal gerakan tersebut dibentuk. Inilah yang juga terjadi di Indonesia
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada awal tahun 1996 telah memperkuat keinginan negara untuk menghasilkan devisa sebanyak-banyaknya guna menstabilkan kembali lajunya perekonomian. Hal inilah yang menekankan pada pola pembangunan pertumbuhan ekonomi dengan prinsip trickle down yang merupakan sebuah sistem perekonomian peninggalan para kapitalis yang dianut oleh Indonesia sejak zaman Orde Baru hingga saat ini
Proses pembangunan yang bertumpu pada ekonomi itu, dalam praktiknya, menyingkirkan keberadaan perempuan karena kebanyakan Negara menjadikan laki-laki sebagai actor, sedangkan perempuan hanya sebagai figure. Ini membuktikan bahwa secara tidak langsung bagian perekonomian membentuk budaya patriarki yang menomorduakan keberadaan perempuan daripada laki-laki.
Hal inilah yang memicu terbentuknya gerakan-gerakan feminis dengan wacana kesetaraan gender. Ideologi pembangunan yang dalam prosesnya bersifat maskulin telah menciptakan sistem perekonomian dan wacana pembangunan yang dalam prosesnya menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Sebetulnya, bayangan pergerakan feminisme di Indonesia dapat kita temukan pada perjuangan R. A. Kartini yang membuat perempuan diberikan hak untuk menempuh pendidikan yang setara dengan laki-laki. Karena pada masanya, hanya perempuan tertentulah yang dapat menempuh pendidikan.
Namun, kritik pun datang dari berbagai kalangan dalam pergerakan feminisme Kartini, karena sebagian besar ide-idenya untuk mengangkat derajat perempuan hanya dituangkan dalam tulisan-tulisan tanpa adanya tindakan nyata. Kartini hanya membuat sekolah kecil khusus perempuan, dan dianggap masih terlalu kecil sebagai pelopor gerakan feminisme di Indonesia
Tetapi, kobaran semangat yang dimiliki oleh Kartini yang menuntut persamaan hak dan derajat antara perempuan dan laki-laki tidak dapat dipungkiri merupakan sesuatu yang pada masanya belum dimiliki perempuan manapun. Oleh karena itu, gelar pelopor memang sudah sepantasnya disandang oleh Kartini, karena ialah yang mengawali pemikiran masyarakat di mana manusia tidak lagi dibedakan berdasarkan gender—sementara pada saat yang sama masih banyak perempuan yang diperlakukan dengan lebih buruk karena terlahir sebagai perempuan.
Awalnya teori feminis diciptakan untuk mencapai kesetaraan politik, sosial dan pendidikan antara perempuan dan laki-laki. Namun, seiring ‘dendam masa-lalu’ ini tumbuh, semakin berkembang pula paradigma-paradigma yang keliru yang dibiarkan begitu saja. Ini disebabkan karena perempuanlah yang menjadikan dirinya sebagai objek yang selalu menuntut persamaan derajat, dan menganggap bahwa laki-lakilah yang menjadikan mereka sebagai sasaran ketepurukan dalam konstruksi sosial yang ada di masyarakat.
Feminimitas dan maskulinitas ditentukan oleh banyak faktor, mulai dari budaya, ras, hingga suku. Bentuk ekspresi keduanya sesungguhnya merugikan semua pihak termasuk laki-laki dan perempuan bahwa kita harus memenuhi tuntutan-tuntutan dan keharusan-keharusan bukan atas dasar kebebasan dan ekspresi pribadi. Misalnya laki-laki yang baik digambarkan dengan kemaskulinan sedangkan perempuan yang baik digambarkan dengan sifat yang cantik dan feminim.
Selain itu, gerakan feminisme yang heboh di Indonesia bukan hanya itu saja. Mulai dari perlindungan terhadap buruh perempuan secara khusus, hingga yang paling ekstrem ialah hak untuk mengeksploitasi tubuh secara bebas. Tanpa bermaksud untuk menyinggung agama secara khusus, isu feminisme yang saat ini kontroversial adalah adanya tuntutan pembebasan perempuan muslim dari ketidakadilan fikih Islam.
Para aktivis feminis muslim di Indonesia membuat sebuah istilah baru, yaitu ‘fikih perempuan’ yang merupakan rekonstruksi fikih agar sesuai dengan kepentingan mereka. Mereka berusaha mengkritisi berbagai masalah fikih yang dianggap merugikan atau tidak adil terhadap perempuan, yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan naïf seperti: apakah perempuan wajib berjilbab? mengapa perempuan hak warisnya setengah? mengapa perempuan tidak boleh menikahkan diri sendiri? serta mengapa perempuan tidak layak menjadi imam dalam beribadah dengan laki-laki?
Selain di Indonesia, di Australia juga terjadi hal yang sama. Ada anak remaja perempuan berusia 14 tahun menginginkan dan akan bertukar pasangan tiga kali silih berganti dalam sehari tanpa ada yang tahu satu sama lain. Sebab anak perempuan itu berpikir bahwa pria bisa berganti-ganti pasangan seenaknya, mengapa perempuan tidak?
Tidak hanya itu, dewasa ini bahkan ada gerakan feminisme bertelanjang dada dan gerakan pembakaran bra. Ironisnya, telah terjadi kesalahpahaman arti feminisme yang dilakukan oleh wanita itu sendiri. Adanya pemahaman kesetaraan gender yang keliru bahkan meleset jauh dari arti sesungguhnya yang tanpa mereka sadari menjatuhkan harga diri mereka sendiri dan tentunya sangat berdampak negatif bagi kehidupan sosial mereka.
Selain itu juga timbulnya dorongan untuk menjadi penguasa persis seperti apa yang dikatakan oleh Nietzsche bahwa, kekuatan yang menjadi pendorong semata-mata adalah langkah untuk mencari kekuatan tertinggi (absolute) dalam mencari sebuah kekuasaan. Dalam kata lain, adanya sebuah kelemahan yang dapat direduksi dengan cara menduduki kekuasaan tertinggi. Dorongan inilah yang berusaha menyingkirkan eksistensi laki-laki dalam kehidupan mereka yang semakin lama semakin terasingkan.
Emosi-emosi yang menempatkan laki-laki dalam keterasingan inilah yang justru menampakkan kelemahan-kelemahan dari diri mereka sendiri. Secara tidak langsung ada kelemahan yang tidak bisa mereka akui dan kemudian mengalihkannya menjadi sebuah alasan untuk menjadi sebuah kekuatan dengan cara menjadi penguasa. Sebetulnya, gambaran kita tentang gender adalah produk dari masyarakat sendiri.
Bentuk pemisahan antara laki-laki dan perempuan merupakan hasil produk konstruksi sosial yang telah kita buat tanpa kita sadari. Dan inilah yang menyebabkan berat sebelah dan menimbulkan kecemburuan oleh perempuan sehingga membentuk gerakan feminisme. Feminimitas dan maskulinitas ditentukan oleh banyak faktor, mulai dari budaya, ras, hingga suku. Bentuk ekspresi keduanya sesungguhnya merugikan semua pihak termasuk laki-laki dan perempuan bahwa kita harus memenuhi tuntutan-tuntutan dan keharusan-keharusan bukan atas dasar kebebasan dan ekspresi pribadi. Misalnya laki-laki yang baik digambarkan dengan kemaskulinan sedangkan perempuan yang baik digambarkan dengan sifat yang cantik dan feminim.
Kenyataannya bahwa sifat laki-laki dan perempuan tidak berada pada dua kutub yang berseberangan, ada gradasi, pencampuran dan variasi. Kehadiran kelompok transgender atau interseksual adalah realitas yang ada di masyarakat yang tidak dapat diakomodasi dalam cara pandang patriarki.
Gender atau dengan adanya subordinasi perempuan telah mencengkram kuat sehingga dilegitimasi oleh undang-undang, pengetahuan, serta nilai-nilai masyarakat bahwa gender ini mengakibatkan perempuan berada di bawah laki-laki. Sesungguhnya, ini merupakan produk dari konstruksi sosial yang ada di masyarakat, ia tidak bisa diselesaikan sebatas dengan memberi kesempatan, cara pandang kitalah yang harus berubah.
Yang mau saya jelaskan di sini adalah, bahwa gender memang sudah menjadi hal yang kita anggap biasa, karena adanya konstruksi-konstruksi sosial yang menjadi bias di masyarakat dan kita biarkan begitu saja, sehingga menimbulkan kecemburuan pada pihak yang dinomorduakan, tak lain perempuan.
Dan anehnya lagi, bahwa gerakan-gerakan feminis yang dibentuk perempuan telah sangat melenceng dari ideologi awal yang menuntut kesetaraan, justru pada kenyataannya mencari kekuasaan. Dan inilah yang sangat disayangkan. Kalau saja kita secara bersama memahami bahwa hakikat feminisme adalah gerakan yang tidak hanya dikhususkan bagi perempuan, tetapi juga kaum laki-laki akibat dari timbulnya ketidaksetaraan gender karena konstruksi-konstruksi sosial, niscaya akan tercipta feminisme yang adil antara kedua belah pihak dan tidak berat sebelah.
Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.