Ada satu pertanyaan awal yang dilemparkan dalam filsafat politik: hubungan seperti apa yang seyogianya dijalin oleh subjek dan masyarakat?[1] Subjek akan menerjunkan dirinya dalam masa pencarian untuk menerapkan konsep-konsep etika dalam kehidupan sosial. Dengan demikian, konsep-konsep etika tersebut berhubungan dengan pelbagai bentuk pemerintahan sekaligus bentuk masyarakat yang dapat dihidupi, maka filsafat politik juga menyediakan standar untuk menganalisis dan memperhitungkan lembaga-lembaga yang ada dalam relasinya.
Feminisme sebagai filsafat politik pun tidak hanya menyoal pertanyaan tersebut dan mencoba merumuskan jawaban atasnya. Dalam upayanya agar perempuan dapat mengidentifikasi diri, feminisme juga mempertanyakan rigiditas antara perempuan dan laki-laki. Filsafat politik feminis adalah bidang filsafat yang sebagian difokuskan pada pemahaman dan kritik filsafat politik yang umum ditafsirkan dan dimengerti sebagai teori politik dengan cara menjembatani kegelisahan para feminis[2]. Dalam catatan sejarah di mana bentuk subordinasi dan diskriminasi perempuan terjadi secara nyata, filsafat politik feminis telah membuat batu loncatan besar dalam mewujudkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Tuntutan pertama kali feminis dalam politik adalah kesamaan hak sehingga feminis merupakan agenda liberal. Perspektif teoritis politik yang kerap kali berakar dari tradisi liberal dan hak asasi manusia ini lah yang kemudian menjadi titik tolak atas kritik feminis. Wacana gelombang ketiga feminisme amat dipengaruhi oleh pemikiran posmodernisme. Sandra Harling menyebutkan bahwa logika perbedaan yang ada kini mengharuskan adanya perubahan epistemologi untuk mengakomodasi segala suara yang menuntut untuk eksis—politik pelangi[3]. Penegasan terhadap perubahan epistemologi ini menekankan pada penciptaan ulang diri kita sebagai yang lain, supaya terjadi multiplikasi subyektif serta menelusuri social location dari “yang lain” (the other). Kritik terhadap warisan Eurosentrisme dan kolonialisme dalam tradisi liberalisme serta hak asasi manusia juga mengilhami filsafat politik feminis. Konsentrasi filsafat politik feminis pada awalnya berada pada permasalahan hak, yang kemudian berkembang hingga persoalan imperialisme, kebebasan, dan keadilan global—misalnya keadilan sumber daya serta lingkungan.
Maria Lugones adalah filsuf feminis Argentina yang mengkombinasikan kajian gender, ras, dan warisan kolonialisme dalam membahas identitas perempuan terjajah. Lugones memusatkan pemikirannya pada penindasan yang terletak pada kerangka historis, terutama di tempat-tempat yang melegalkan dan memberlakukan dehumanisasi. Dengan demikian, penindasan tersebut memosisikan manusia “yang lain” sebagai subhuman dan inferior secara natural. Feminisme dekolonial adalah gerakan yang memproklamasikan dirinya sebagai revisionis dari teori Barat, kulit putih dan borjuis, serta gagasan politik feminisme yang dominan. Istilah feminisme dekolonial pertama kali dimunculkan oleh Maria Lugones setelah ia berpartisipasi selama beberapa tahun dalam gerakan feminis kulit berwarna di Amerika Serikat. Sekembalinya ke Amerika Latin, Lugones tertarik dengan kebijakan komunal yang muncul bersama Zapatismo dan berbagai pemberontakan masyarakat adat yang terjadi di wilayah tersebut dari tahun 1990-an. Ia kemudian tertarik pada kebangkitan pemikiran Amerika Latin yang datang dengan semangat dekolonial[4].
Universalisasi Subjek “Perempuan” (False Universalism)
Pergolakan gerakan feminisme sendiri yang mempertanyakan seperti apa identitas perempuan dan apa yang diperjuangkan menjadi tak terbantahkan dengan munculnya gelombang ketiga feminisme. Tantangan kata “kita” dalam gerakan feminisme memiliki dimensi teoritis dan praktis. Satu hal yang tidak tampak dalam pemikiran para feminis terdahulu adalah bahwa ketertindasan juga dapat berlaku dari pemberlakuan “kesamaan (keperempuanan)”. Para feminis kulit hitam yang memperdalam analisis kondisi historis yang memunculkan tesis bahwa lembaga sosial yang menopang struktur hierarki penindasan tidak hanya dijelaskan oleh gender, tetapi juga dibangun oleh mereka yang secara efektif menikmati hak istimewa dalam fiksi universalitas inklusif gerakan feminis. Kelompok feminis kulit hitam mencoba menjelaskan urgensi dari keterkaitannya dengan rasisme, seksisme, dan klasisme dalam pemahaman ketertindasan perempuan kulit hitam[5]. Cita-cita unity in oppression yang ditopang oleh sektor luas gerakan feminis dan perempuan, terus beroperasi sebagai kartu yang melegitimasi semua jenis usaha dan tujuan di bawah ilusi bahwa feminisme melayani kepentingan bersama. Hal ini dibuktikan secara historis oleh apa yang kita anggap dan rayakan sebagai “kemenangan” gerakan feminisme, yang tidak melakukan apapun selain memperdalam kolonialitas dengan memastikan kesejahteraan bagi sebagian golongan—perempuan berkulit putih dan hak istimewa borjuis. Dipelopori oleh feminisme kulit hitam, isu ini pula yang mendorong kebangkitan feminisme gelombang ketiga.
Berangkat dari pemikiran tersebut, feminisme di negara terjajah kemudian memahami urgensi dalam melihat ketertindasan dari sistem keterkaitan (interlocking system). Kritik pun datang untuk feminis Barat yang gagal dalam melihat ekonomi dan politik sebagai bagian dari penindasan perempuan, seperti yang disoroti oleh Nawaal El Saadawi—seorang pemikir feminis Mesir—yang melihat bahwa feminis Barat sama sekali tidak memperhitungkan eksploitasi oleh perusahaan multinasional di negara-negara Global South[6]. Persoalan-persoalan tersebut kemudian membawa kita pada pemahaman bahwa identitas keperempuanan secara umum tidak dapat merepresentasikan seluruh perempuan. Pendekatan feminisme dekolonial, dengan tujuan emansipasinya, menawarkan sarana untuk bergerak melampaui perbedaan kolonial dan penindasan. Identitas berfungsi sebagai titik tolak individualitas dan kolektivitas. Hal ini memungkinkan produksi epistemologi yang beragam dan karenanya representasi dunia yang lebih dalam.
Di satu sisi, para pemikir feminis dihadapkan pada tantangan teoritis untuk mengonseptualisasikan kesamaan politik dalam sebuah teori non-fondasional. Masalah ini, seperti halnya kolonialitas, membutuhkan penangkal atau praktik dekolonial. Penangkal itu bagi Audre Lorde adalah dengan mengatasi ketertindasan perempuan, yang tentu bukan dengan cara mengambil “satu bagian” dan menganggap bahwa persoalan bagian tersebut dapat menjelaskan seluruh ketertindasan perempuan. Akan tetapi harus dilihat sebagai “suatu keseluruhan” yang memungkinkan perempuan untuk dapat bergerak secara bebas dalam menganalisis dan tidak disempitkan oleh satu pandangan apalagi dibatasi oleh definisi tertentu[7].
Sistem Gender Modern/Kolonial
Terdapat kebutuhan untuk memahami bahwa yang terjajah menjadi subjek dalam situasi kolonial yang diciptakan oleh pemaksaan sistem gender modern/kolonial. Pemahaman ini mendorong feminisme dekolonial bergerak dalam ranah identitas sebagai sarana perjuangan. Menurut Lugones, jenis pembeda yang berlaku untuk subjek terjajah pada masa prakolonial adalah dimorfisme seksual laki-laki dan perempuan. Seperti binatang, tidak ada pembacaan gender yang berlaku untuk dimorfisme ini, yang hanya menjelaskan kapasitas reproduksi dan seksualitas hewan[8].
Lugones bergerak di luar kritik ini untuk menjelaskan bagaimana kolonialitas menembus semua aspek keberadaan sosial dan memunculkan identitas sosial serta geokultur yang baru, sehingga menciptakan identitas gender serta rasial. Dari perspektif kolonialitas gender, kolonisasi mengubah rasa asli diri dan identitas, serta pemahaman tentang kosmologi dan hubungan gender[9]. Dengan demikian, kolonialitas modern menerapkan pemahaman Eropa tentang gender dan seks, untuk kemudian menghapus berbagai konseptualisasi seks dan gender yang telah ada sebelumnya di sistem gender prakolonial Eropa. Konsep gender diperkenalkan oleh penjajah Barat dan menjadi alat dominasi yang menunjuk dua oposisi biner dan kategori sosial hierarkis; posisi perempuan ditentukan oleh hubungan subordinat mereka dengan laki-laki dalam semua kategori[10]. Kolonisasi dengan demikian menciptakan konsep ras dan gender yang bersifat menindas secara baru. Pengenalan ras disertai dengan inferiorisasi terhadap penduduk asli dan pengenalan gender disertai dengan inferiorisasi terhadap perempuan masyarakat adat.
Adapun penjelasan Raewyn Connell mengenai konsepsi gender prakolonial sangat kompleks dan terstruktur secara berbeda dari konsepsi Eropa. Pada titik ini kekerasan berbasis gender memainkan peran formatif dalam pembentukan masyarakat terjajah. Pemerkosaan terhadap perempuan dari masyarakat terjajah adalah bagian normal dari penaklukan[11]. Negara kolonial dibangun sebagai struktur kekuasaan yang dijalankan oleh laki-laki berdasarkan kekuatan.
Kebrutalan pembentukan sistem gender yang dibangun dalam masyarakat kolonial ditunjukkan Oyèrónkẹ́ Oyěwùmí, seorang pemikir feminis pascakolonial dalam penelitiannya tentang orang-orang Yorùbá, di negara bagian Nigeria, Benin, dan Togo. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa gender bukanlah prinsip pengorganisasian dalam masyarakat Yorùbá prakolonial—sama sekali tidak ada sistem gender dalam masyarakat dan budaya Yorùbá. Sistem gender yang opresif dikenal oleh masyarakat Yorùbá melalui kolonialisme yang mencakup subordinasi perempuan dalam setiap aspek kehidupan. Oyěwùmí menjelaskan bahwa konsep gender diperkenalkan oleh Barat sebagai alat dominasi yang menunjuk dua oposisi biner dan kategori sosial hierarkis—posisi perempuan hanya terdefinisi dalam hubungannya dengan laki-laki dan tidak mampu memiliki kekuasaan, memiliki tanah, atau berpartisipasi dalam peran kepemimpinan dalam masyarakat. Penerapan konsep gender dalam masyarakat Yorùbá mengakibatkan munculnya perempuan sebagai kategori yang dapat diidentifikasi sebagai subordinat laki-laki dalam segala situasi[12].
Upaya dekolonial mencoba melihat dari sudut pandang kontra terhadap konsepsi kolonial tentang yang terjajah sebagai milik dan sebagai makhluk yang tidak memiliki koherensi internal. Hal ini berarti bahwa setiap bangsa mengalir keluar dari dunianya yang membuat bangsa dan komunitas lain tidak murni dan dibuat tidak murni oleh komunitas lain pada gilirannya[13]. Feminisme dekolonial melalui menjadi gerakan bersama menentang kartografi kolonial, mencari otonomi dari negara-bangsa, memperkaya rasa komunal diri, merancang praktik pemerintahan sendiri yang menempatkan semua anggota di tempat musyawarah dan pengambilan keputusan, serta memberikan masing-masing kekuatan untuk berpartisipasi[14].
Menampilkan Perjuangan Feminisme Dekolonial
Lugones bagaimanapun mengedepankan kompleksitas pembicaraan tentang gender, ras, dan seksualitas dalam menghadapi apa yang bisa disebut sebagai model metafisik berbasis substansi (“makhluk”) alih-alih seperti yang dikatakan oleh para strukturalis, hubungan, sistem aturan, praktik, dan kejelasan [15]. Bagaimana membuat konsep komunitas politik dan aksi kolektif dalam konteks perbedaan dan ketimpangan adalah salah satu pertanyaan paling menarik di bidang teori politik secara keseluruhan yang masih belum terpecahkan. Di sisi lain, dalam politik sehari-hari pengalaman pengorganisasian politik, aktivis feminis berjuang dengan tantangan lama sekaligus baru yang dihadapi oleh berbagai spektrum feminisme. Pembangunan koneksi di antara perempuan lintas kepentingan, perbedaan, dan daerah menjadi sangat diperlukan. Dalam hal ini, identitas berfungsi sebagai titik tolak bagi individualitas dan kolektivitas makhluk yang membentuk sudut pandang unik yang diwakili oleh individu. Individu memungkinkan produksi epistemologi yang beragam dan karenanya representasi dunia yang lebih dalam. Poros kekuasaan yang berasal dari sejarah dominasi kolonial saat ini mengatur hubungan antara negara, rakyat, dan makhluk terus berusaha menghapus berbagai perspektif epistemologis. Pada saat yang sama, ia bekerja untuk menegakkan konsep kolonial tentang “perbedaan” yang didefinisikan dalam hal tingkat pembangunan[16].
Penutup
Seruan Maria Lugones untuk feminisme dekolonial melalui peninjauan kolonialitas modern dari ras, gender, dan seksualitas menyediakan struktur untuk memahami dan membangun identitas bagi perempuan non-Barat, khususnya perempuan terjajah. Subjek yang terjajah mendiami dunia yang “retak”—sebuah dunia yang dibangun melalui pemaksaan perbedaan dan menemukan diri mereka dalam konflik antara identitas dan pengalaman hidup mereka. Pengakuan atas subjek perempuan terjajah juga turut memperhitungkan perlawanan atas kolonialitas itu sendiri. Upaya dekolonisasi mengharuskan kita untuk bergerak melampaui pemahaman individu sebagai subjek “tertindas” dan mengakui keindahan perlawanan sebagai cara perlindungan diri.
Catatan Akhir:
[1] Alexander Moseley, An Introduction to Political Philosophy (Bloomsbury Publishing, 2007).
[2] Rosemarie Putnam Tong, “Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction,” NSW Australia Allen & Unwin, 1998.
[3] Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis (YJP Press, Yayasan Jurnal Perempuan, 2018).
[4] Madina Tlostanova, “On Decolonizing Design,” Design Philosophy Papers 15, no. 1 (2017): 51–61.
[5] Arivia.
[6] Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis.
[7] Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis.
[8] Lugones.
[9] Sondra O’Neale et al., “Speaking for Ourselves,” The Women’s Review of Books 8, no. 5 (1991): 27, https://doi.org/10.2307/4020915.
[10] Lugones, “Heterosexualism and the Colonial / Modern Gender System.”
[11] Raewyn Connell, “The Sociology of Gender in Southern Perspective,” Current Sociology 62, no. 4 (2014): 550–67.
[12] Lugones, “Heterosexualism and the Colonial / Modern Gender System.”
[13] Shireen Roshanravan, “Motivating Coalition: Women of Color and Epistemic Disobedience,” Hypatia 29, no. 1 (2014): 41–58, https://doi.org/10.1111/hypa.12057.
[14] Roshanravan.
[15] Lugones, “Heterosexualism and the Colonial / Modern Gender System.”
[16] Walter D. Mignolo, “Local Histories/Global Designs: Coloniality, Subaltern Knowledges, and Border Thinking,” Local Histories/Global Designs: Coloniality, Subaltern Knowledges, and Border Thinking, 2012, https://doi.org/10.1215/0961754x-9-3-551.
Daftar Pustaka
Arivia, Gadis. Filsafat Berperspektif Feminis. YJP Press, Yayasan Jurnal Perempuan, 2018.
Connell, Raewyn. Gender and Power: Society, the Person and Sexual Politics. John Wiley & Sons, 2013.
____. “The Sociology of Gender in Southern Perspective.” Current Sociology 62, no. 4 (2014): 550–67.
Elomäki, Anna. Feminist Political Togetherness Rethinking the Collective Dimension of Feminist Politics, 2012. https://helda.helsinki.fi/handle/10138/33184.
Hypatia, Source, Lesbian Philosophy Autumn, and Maria Lugones. “On Borderlands / La Frontera : An Interpretive Essay Author ( s ): María Lugones On Borderlands / La Frontera : An Interpretive Essay.” Hypatia 7, no. 4 (1992): 31–37.
Lugones, Maria. “Toward a Decolonial Feminism Author ( s ): MARÍA LUGONES Toward a Decolonial Feminism.” Wiley on Behalf of Hypatia 25, no. 4 (2010): 742–59. https://www.jstor.org/stable/40928654.
Lugones, María. “Heterosexualism and the Colonial / Modern Gender System.” Hypatia: A Journal of Feminist Philosophy 22, no. 1 (2007): 186–209. https://doi.org/10.2979/hyp.2007.22.1.186.
____. Pilgrimages/Peregrinajes: Theorizing Coalition against Multiple Oppressions. Rowman & Littlefield Publishers, 2003.
Mignolo, Walter D. “Local Histories/Global Designs: Coloniality, Subaltern Knowledges, and Border Thinking.” Local Histories/Global Designs: Coloniality, Subaltern Knowledges, and Border Thinking, 2012. https://doi.org/10.1215/0961754x-9-3-551.
Moseley, Alexander. An Introduction to Political Philosophy. Bloomsbury Publishing, 2007.
O’Neale, Sondra, Cynthia Tompkins, Chi-Kwan Ho, Sophie Liu, Andrea Smith, Bonnie Tu Smith, Ruby Sales, et al. “Speaking for Ourselves.” The Women’s Review of Books 8, no. 5 (1991): 27. https://doi.org/10.2307/4020915.
Putnam Tong, Rosemarie. “Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction.” NSW Australia Allen & Unwin, 1998.
Quijano, Anibal. “Coloniality of Power and Eurocentrism in Latin America.” International Sociology 15, no. 2 (2000): 215–32.
Roshanravan, Shireen. “Motivating Coalition: Women of Color and Epistemic Disobedience.” Hypatia 29, no. 1 (2014): 41–58. https://doi.org/10.1111/hypa.12057.
Tlostanova, Madina. “On Decolonizing Design.” Design Philosophy Papers 15, no. 1 (2017): 51–61.