“if you look down on something, you do not need to wage war”.
(Nietzsche, Ecce Homo)
Musuh terbesar filsafat negasi adalah sejarah[1], sejauh dipahami dalam kerangka finalitas ‘yang dikehendaki untuk ada’. Mengapa demikian? Karena filsafat negasi tidak dapat bersilat-kata dengan bahasa-bahasa langit sebagai bentuk kesombongan intelektual untuk menilai sesuatu yang tidak faktual. Manakala filsafat menilai sejarah, maka filsafat membutuhkan suatu metodologi lain dalam rangka konfirmasi atas masa lalu tersebut, padahal metodologi sendiri adalah lahan di mana kritik filsafat dapat dibangun dalam kerangka lain.
Terlepas dari seberapa besar persentase permusuhan filsafat dengan sejarah, yang jelas, sejarah sejauh dipahami sebagai peristiwa-peristiwa di masa lalu (events in the past) ataupun sebagai penghadiran masa lalu (representation of the past) senyatanya selalu menjadi momok menyeramkan sekaligus melenakan bagi masa kini yang senantiasa dalam kekinian. Itulah mengapa kemudian Fayyadl dalam suatu kesempatan mengatakan bahwa “saat ini, kita berada dalam kondisi the battle of history”.
Terlepas dari posisi Fayyadl yang notebene merupakan–juru bicara korban tragedi ‘65 yang sampai saat ini masih dihantui oleh sejarah masa silam[2]; yang kebetulan juga merupakan—pembaca fenomenologi yang–sebenarnya saya tidak paham bahasa apa yang digunakan oleh mereka untuk—secara sederhana membicarakan intensionalitas/keterarahan subjek terhadap objek dalam kerangka penilaian atas sejarah, jelas fenomenologi mengalami kesulitan yang amat sangat. Di sinilah kemudian penilaian atas kebenaran sejarah menemui jalan buntu, sejarah mana yang paling benar, sedangkan ia merupakan penghadiran realitas masa lalu yang sudah tidak dapat lagi diandaikan dalam suatu intensionalitas yang aktual, melainkan hanya dapat dipahami dalam kerangka intensionalitasnya terhadap bentuk penghadiran tertentu dari sejarah. Hanya saja, persoalannya adalah siapa yang menentukan keterarahan tersebut? Bahasa langitnya, apakah intensionalitas/keterarahan tersebut merupakan hasil dari determinasi sesuatu yang lain? Dalam kerangka genealogi Foucault, mungkin jawaban yang akan kita dapatkan adalah kenyataan bahwa subjek selalu dideterminasi oleh relasi-relasi kuasa yang saling ‘berjalin’, sehingga konsekuensinya: subjek mati, dan orang-orang postmo dengan spirit Prometheus (Προμηθεύς), kemudian bersorak-ria merayakan ‘kematian subjek’. Jelas, hal itulah yang kemudian membuat Romo Setyo mengatakan bahwa orang-orang postmo adalah hiper-nietzschean.
Dalam hal inilah kemudian, ijinkan saya untuk menarik lebih jauh persoalan tersebut ke dalam ranah-ranah yang paling dekat dengan kita, agar kita tidak terjebak pada kebiasaan masturbasi intelektual yang berpuas diri dengan terminologi-terminologi ruwet, jauh dari kehidupan, membuat orang semakin lapar karena dongeng-dongeng filsafat “menjadi melangit, tidak mengakar, makanya jadi menggantung”[3]. Apa yang paling dekat dengan kita saat ini adalah, diakui atau tidak, agama dan ideologi, yang dalam terminologi filsafat Nietzsche merupakan ‘pulau-pulau kebahagiaan’ (terminologi yang sangat membumi kan?), sebagai labuhan-labuhan harapan dari keterputus-asaan saat menghadapi ketak-terbatasan horizon di hamparan samudra.
Agama, ideologi, dan kebutuhan akan legitimasi
Nietzsche, sebagai filsuf yang terlupakan karena kalah pamor dengan para penafsirnya: Heidegger, Foucault, Derrida, dkk., yang secara apik membahasakan Nietzsche dengan bahasa yang lebih rumit, dan karena kerumitannya, kemudian menjadi idola anak-anak filsafat yang haus akan kredibilitas intelektual, menuliskan suatu pertanyaan retoris dalam suratnya kepada Franz Overbeck (1887): “Apakah sejarah benar-benar mungkin? … sesuatu yang dalam sebuah momen kejadian, bukankah telah jelas?”[4] Maksudnya, bukankah sejarah sebagai realitas masa lalu itu telah berlalu? Untuk apa menghadirkannya kembali?
Dalam kerangka pengertian semacam inilah kemudian Nietzsche menangkap maksud lain dari suatu sejarah selain persoalan kebenaran fakta-fakta yang diajukan melalui beragam bukti dan argumentasi. Maksud tersebut tidak lain adalah Vom Nutzen und Nachteil der Historie für das Leben/On The Use and Disadvantage History for Life. Sederhananya, sejarah dalam kerangka filsafat (Nietzsche) seharusnya dinilai bukan pada persoalan kebenarannya lagi, melainkan pada maksud dari ‘penghadiran’ tersebut. Persis, di sinilah kemudian maksud dari suatu penghadiran sejarah dalam pokok persoalan agama dan ideologi, tidak lebih merupakan suatu alat legitimasi terhadap kepentingan dari agama dan ideologi tertentu untuk membangun suatu keberjalinan relasi kuasa, yang sebenarnya merupakan bentuk penghadiran sejarah yang dimusuhi oleh filsafat negasi.
Agama secara institusional, kalau saya boleh katakan, tidak lebih merupakan ‘pengamalan’ dari sejarah. Setiap agama yang terinstitusi, dalam artian membutuhkan inisiasi (seperti: syahadat, baptis) dalam bentuk apa pun, telah dan akan selalu membutuhkan sejarah (misal dalam Islam: kita bersyahadat, sholat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lain yang kita kerjakan selalu membutuhkan legitimasi sejarah, atau bahkan persoalan-persoalan sepele seperti model berpakaian, potongan jenggot, gaya makan, semuanya membutuhkan legitimasi sejarah: bahwa Muhammad seperti itu, agar kita masuk surga sebagai pengikut Muhammad, maka kita harus seperti itu, as simple as that!). Persoalannya, siapa yang dapat menjamin kebenaran riwayat yang demikian? Sanad?[5]
Berbeda halnya dengan agama, ideologi lebih memiliki tingkat kompleksitas yang tidak sesederhana pemahaman sejarah dalam kerangka pengertian agama. Jelas, ideologi tidak membutuhkan suatu ritus tertentu seperti halnya agama, sehingga tidak membutuhkan legitimasi sejarah misalkan: bagaimana cara beribadahnya marxisme, sosialisme, liberalisme, anarkisme, atau isme-isme lain yang dapat dikategorikan sebagai ideologi. Dengan demikian, fungsi sejarah dalam sebuah ideologi bisa hadir dalam beragam bentuk, sebagai basis pergerakan, sebagai kerangka berpikir, sebagai senjata perlawanan, dsb.
Dalam hal inilah sebenarnya penilaian filsafat Nietzsche yang sangat ‘membumi’ (tidak ‘melangit’ seperti Heidegger, Derrida, dan Husserl) menjadi begitu relevan. Nietzsche tidak menghadirkan pemahaman yang baru dengan terminologi-terminologi yang datang dari ‘antah-berantah’ untuk hanya sekadar mengatakan bahwa tidak mungkin ada kebenaran dalam sejarah. Secara awam, semua orang tahu bahwa masa lalu sudahlah berlalu, dan penghadiran atas realitas semacam itu tidak dapat dibuktikan dengan bentuk apa pun selain hanya potongan-potongan artefak kecil yang kemudian diproyeksikan jauh ke belakang. Sehingga dengan demikian, penilaian sejarah mau tidak mau hanya dapat dilakukan dalam hal maksud dari penghadiran (representation) tersebut, yang dalam kerangka filsafat Nietzsche, penilaian semacam itu akan jauh masuk ke dalam persoalan mekanisme kehendak seseorang yang menghadirkan sejarah tersebut, “apa yang dikehendaki seseorang melalui bentuk sejarah yang demikian?”.
Di sinilah saya dapat mengatakan bahwa: “musuh besar filsafat bukanlah sejarah, melainkan psikologi”.
Psikologi Nietzschean: Antara agama, ideologi, dan ‘omong kosong’ sejarah
Apa arti psikologi dalam kerangka filsafat Nietzsche? Secara implisit, pemaknaan Nietzsche terhadap psikologi telah diungkapkan dalam pengantar Die fröhliehe Wissensehaft/The Gay Science (2), bahwa Nietzsche masih “menanti kedatangan ‘filsuf tabib’ (philosophical physician) dalam hal kepekaannya terhadap kata” dengan suatu kecurigaan penuh terhadap segala nilai (kebenaran, kebaikan, dsb.) yang jangan-jangan tidak lebih merupakan ungkapan dari simtom-simtom seorang pemikir/filsuf yang kemudian harus dilihat lebih jauh ke dalam semesta keseharan si pemikir/filsuf tersebut. Misal: jangan-jangan orang tersebut sakit hati terhadap seseorang yang pro Orde Baru, sehingga dengan mati-matian dia rela menjadi juru bicara korban tragedi 65, atau, jangan-jangan orang tersebut adalah orang-orang miskin, proletar, yang iri dengan kaum borjuis yang bisa makan di restoran mahal, shoping ke mall, traveling, yang jika suatu saat dia menjadi borjuis, ia juga akan seperti itu. Atau, jangan-jangan dia mati-matian berdakwah dengan menjadi ustadz-ustadzah muda-labil-dadakan hanya biar dihormati orang, punya uang, punya pengikut, yang jika ia sudah tidak lagi disegani, dihormati, diikuti, ia akan putus asa lalu memaki-maki dan mengkafir-kafirkan orang tidak karuan di facebook, twitter, instagram, atau entah apalah itu. Omong Kosong!
Ya, tugas filsafat negasi adalah untuk tetap selalu waspada dengan kenyataan-kenyataan semacam itu. Tetapi, filsafat saya tidak berbelit-belit seperti filsafat negasi yang secara implisit menyimpan suatu ‘kehendak’ agar dianggap intelektual melalui penghadiran istilah-istilah yang ‘membotakkan kepala’ orang awam (faktisitas lah, subjeksi lah, relasi fenomenal lah, latensi, atau apa-apa lah). Bukankah jika filsafat diandaikan sebagai suatu sikap terhadap dunia, seharusnya disampaikan dalam bahasa sejuta umat? Atau apakah memang tidak ada kata ‘yang seharusnya’?[]
[1] Lih. Fayyadl, Filsafat Negasi, Yogyakarta: Aurora, 2016, hal. 23.
[2] Lihat beberapa tulisan dan komentarnya mengenai tragedi 65 di akun facebook miliknya, salah satunya mungkin tentang komentarnya terhadap tulisan Gunawan Muhammad yang berjudul “Maaf” dalam Caping.
[3] Saduran dari pesan singkat Ibu Yulianingsih Riswan, S. Fil., M.A. (Dosen Filsafat UGM/pembimbing skripsi saya).
[4] Lih. Jensen, Nietzsche’s Philosophy of History, New York: Cambridge University Press, 2013, hal. 155.
[5] Perihal ini, baca lebih lanjut perihal kecacatan logika sirkular dalam metode ‘sanad’ yang diperdebatkan dalam diskursus Islamic Origins yang berkembang di kesarjanaan modern, seperti: Wansbrough, Fred M. Donner, Aaron Hughes, Mun’im Sirry, dkk.