Socrates wafat pada tahun 339 SM. Kemungkinan besar ia lahir pada 470 SM, seperti yang dituturkan Plato, bahwa Socrates berusia tujuh puluh tahun pada saat kematiannya. Ia adalah putra dari Sophroniscus dan Phaenarete, dari suku Antiokhia dan keluarga Alopecia. Beberapa sumber mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang tukang batu, tetapi A.E. Taylor bersama Berner mengira bahwa cerita itu merupakan kesalahpahaman yang muncul dari referensi main-main di Euthyphro terhadap Daedalus sebagai leluhur Socrates.
Ketika Socrates berusia dua puluhan awal, pemikirannya cenderung berpaling dari spekulasi kosmologis Ionian menuju pemahaman tentang manusia itu sendiri. Meskipun, Socrates sempat mempelajari teori-teori kosmologi Timur dan Barat dalam filsafat Archelaus, Diogenes, Empedocles, dan lainnya. Namun akhirnya Socrates kecewa dengan gagasan-gagasan kosmologis para pendahulunya dan menciptakan jalur filsafatnya sendiri, yakni meninggalkan filsafat alam yang tampak tidak membawa hasil apapun dan mulai memfokuskan diri pada filsafat tentang manusia.
Filsafat sebelum Socrates memang dipenuhi dengan kajian kealaman. Banyak pemerhati filsafat memberikan tipologi filsafat Yunani sebagai sesuatu yang bercorak “kosmosentris”, sebuah pengkajian filsafat realitas yang berpusat pada kealaman. Tipologi ini benar sejauh menyangkut filsafat pra-Socrates yang dimulai sejak Thales dan kawan-kawan. Tetapi tipologi kosmosentris menjadi ambigu bila melihat corak pemikiran Socrates itu sendiri yang mencoba mengalihkan wawasan filsafat alam ke filsafat manusia. Socrates boleh dibilang sebagai pelopor lahirnya filsafat tentang perilaku manusia.
Peralihan dari filsafat kosmos ke filsafat etika manusia bisa dibilang sebagai sisi “pertobatan” Socrates, yang membawa perubahan besar pada diri Socrates sendiri, yakni sebagai filsuf moral. Hal ini bermula dari insiden terkenal Oracle Delphic. Chaerephon, teman dekat Socrates, bertanya kepada Oracle, apakah ada orang hidup yang bijak ketimbang Socrates? Dan jawaban yang ia terima adalah “Tidak”. Ini membuat Socrates berpikir, ia pun sampai pada kesimpulan bahwa yang dimaksud dewa ialah bahwa ia adalah sosok paling bijaksana karena mengetahui ketidaktahuannya sendiri. Socrates kemudian tiba pada pemahaman bahwa misinya adalah untuk mencari kebenaran yang stabil dan pasti serta kebijaksanaan sehati.
Masalah tentang Socrates adalah masalah untuk memastikan bagaimana tepatnya ajaran filsafat moralnya? Yang jelas, metode praktik filsafatnya mengambil bentuk “dialektika” atau percakapan. Socrates akan berbincang dengan seseorang, dan mencoba untuk memunculkan gagasan-gagasan atas suatu hal. Misalnya, ia mungkin menyatakan ketidaktahuannya tentang apa sebenarnya keberanian itu, dan bertanya kepada orang lain apakah ia memiliki pengetahuan atas hal tersebut. Atau Socrates akan mengarahkan perbincangan ke sana, dan ketika orang lain menggunakan kata “keberanian”, ia akan bertanya padanya apakah keberanian itu, lalu mengakui ketidaktahuannya sendiri dan keinginannya untuk belajar.
Meski harus diakui bahwa metode dialektika, betapapun efektif dalam pembelajaran, kadang-kadang juga agak menjengkelkan, bahkan membingungkan atau memalukan bagi mereka yang ketidaktahuannya terekspos, dan yang kejanggalannya dihancurkan. Metode ini mungkin menggelitik kesenangan para pemuda yang berkumpul di sekitar Socrates. Jelasnya, tujuan Socrates bukanlah untuk mempermalukan atau membingungkan. Tujuannya untuk menemukan kebenaran, bukan sebagai spekulasi murni, tetapi dengan pandangan untuk kehidupan yang baik. Untuk bertindak dengan baik, orang harus tahu apa itu hidup yang baik.
Socrates sangat yakin nilai dari jiwa, dalam arti subjek yang berpikir dan bertindak. Ia pun melihat dengan jelas pentingnya pengetahuan, kebijaksanaan sejati. Jika jiwa ingin dirawat dengan baik, maka maksimalkan pengetahuan dan kebajikan sekaligus. Apa nilai-nilai sejati kehidupan manusia yang harus diwujudkan dalam perilaku? Socrates menyebut metodenya “kebidanan”. Tidak jelas apa maksud dari metode kebidanan itu, yang pasti Socrates ingin mengekspresikan niatnya untuk membuat orang lain menghasilkan ide-ide sejati dalam pikiran mereka, dengan maksud untuk melakukan tindakan yang benar.
Sebab itu, Socrates begitu getol menjabarkan pentingnya memahami ilmu definisi dan memusatkan pengetahuan pada persoalan pengertian dari sesuatu. Socrates tak ingin bertele-tele, ia yakin bahwa pengetahuan tentang kebenaran sangat esensial untuk menjalani hidup yang benar. Dengan demikian, pengetahuan tentang kebenaran sepaket dengan perilaku hidup yang benar. Dalam istilah lain, ajaran etika Socrates ini bisa disebut sebagai sejenis “intelektuslisme etis” atau penyatuan antara pengetahuan secara umum dan etika tingkal laku.
Di sini telah jelas bahwa minat Socrates didominasi oleh etika. Dalam buku History of Philosophy karya Copleston disebutkan bahwa Aristoteles berkata, “Socrates sedang menyibukkan diri dengan masalah etika”. Dan lagi, “Socrates menyibukkan diri dengan keunggulan karakter, dan sehubungan dengan itu menjadi yang pertama mengangkat perkara definisi universal”.
Menurut Socrates, pengetahuan dicari sebagai sarana untuk tindakan etis. Dengan kata lain, pengetahuan hanya bisa disebut pengetahuan ketika ia searah dengan tujuan-tujuan etis kehidupan. Inilah gagasan monumental Socrates tentang etika, bahwa hubungan antara pengetahuan dan kebajikan sangat khas. Socrates menuturkan bahwa pengetahuan dan kebajikan adalah satu hal, dalam arti bahwa orang bijak, ia tahu apa yang benar, dan juga akan melakukan apa yang benar.
Dengan kata lain, tidak ada yang melakukan kejahatan dengan sengaja dan dengan tujuan tertentu, tidak ada yang memiliki kejahatan seperti itu. Maksudnya, orang yang melakukan kejahatan pada dasarnya tidak tahu apa yang baik dan apa yang buruk. Begitu pula ketika ada orang melakukan korupsi, sebenarnya ia tidak tahu bahwa korupsi itu jahat. Pengetahuan harus seturut dengan tuntutan kebajikan. Bila tidak, seseorang boleh dibilang belum cukup mampu memahami kebenaran dari pengetahuan tersebut. Karenanya, setiap pengetahuan yang benar harus diwujudkan dalam tindakan praktis yang benar pula. Bila yang terjadi sebaliknya, maka tentu orang tersebut belum cukup mampu memahami kebenaran yang sejati.
Filsafat Socrates tentang “intelektualisme etis” ini barangkali agak bertentangan dengan fakta-fakta kehidupan sehari-hari. Misalnya, apakah kita tak sadar bahwa kita sendiri terkadang dengan sengaja melakukan apa yang kita tahu salah, dan apakah kita tidak yakin bahwa orang lain terkadang bertindak dengan cara yang sama? Ketika kita berbicara tentang seseorang yang bertanggung jawab atas tindakan buruk, bukankah kita menganggap bahwa ia melakukan tindakan itu dengan pengetahuannya atas kejahatan? Jika kita memiliki alasan untuk mengira bahwa ia sama sekali tak mengetahui keburukannya, kita tentu tidak menganggapnya bertanggung jawab secara moral.
Untuk menyelesaikan masalah ini, Socrates meyakini bahwa perilaku amoral (tidak terpuji) selalu saja berhubungan dengan ketidaktahuan. Artinya, ketika ada seseorang yang sudah dewasa dan mampu berpikir, tetapi ia masih saja berperilaku jahat, maka itu bukan soal kelemahan moral yang dimiliki seseorang tersebut, tetapi lebih pada ketidakmampuan orang tersebut untuk menangkap pengetahuan ideal tentang arti kebajikan. Bila orang betul-betul mengerti apa artinya menjadi baik, tentu saja ia tidak akan melakukan berbagai macam kejahatan.
Argumen ini juga perlu ditegaskan melalui pandangan Socrates bahwa tepatnya sebuah tindakan harus seturut dengan melayani fungsi sejati manusia, dalam arti menggalakkan kebahagiaan yang sejati. Semua orang tentu saja mencari kebaikannya sendiri. Sekarang ini, tidak setiap tindakan–betapapun menyenangkan–dapat menggalakkan kebahagiaan sejati manusia.
Sebagai contoh, mungkin menyenangkan bagi seseorang untuk terus-menerus mabuk, terutama bila ia menderita kesedihan yang luar biasa. Namun itu bukan kebahagiaan sejati manusia. Selain melukai kesehatannya, hal itu cenderung memperbudaknya hingga menjadi kebiasaan. Jika seseorang terus-menerus mabuk dan mempercayai bahwa ini adalah kebaikan sejati, maka ia keliru dengan keabaiannya, tak menyadari apa itu kebaikan sejati. Socrates berpendapat, bahwa jika seseorang tahu ini demi kebaikan diri sendiri yang sejati dan kondusif bagi kebahagiaannya untuk tidak mabuk, maka ia tak akan mabuk.