Pada masa kini, manusia hidup di sebuah dunia manakala imajinasi akan jampi-jampi para penyihir telah tergantikan oleh bangunan pencakar langit hasil kerja para insinyur, peralatan sapu terbang yang tergantikan oleh pesawat, dan ritus magis tergantikan oleh ritus matematis—sebuah dunia yang, dalam peristilahan Max Weber, mengalami disenchantment (Entzauberung), yakni penelanjangan dunia dari unsur-unsur magis dan metafisisnya. Dunia itu kemudian kita sebut sebagai dunia modern, dan ia telah terwartakan tepat semenjak Descartes pertama kali mengungkapkan frasa yang amat melegenda: “cogito ergo sum”. Artinya sebagaimana telaah Descartes, manusia melalui pijakan rasionya sudah sepantasnya menjadi pusat realitas tanpa pengecualian. Dorongan untuk melepaskan diri dari gelapnya selubung magis dan metafisis menuntun manusia menuju sebuah proses rasionalisasi dunia yang kita kenal sebagai gerakan Pencerahan (Aufklärung) melalui pergantian tradisi, nilai, dan cara pandang menuju bentuknya sebagaimana yang telah kita saksikan dalam satu-dua abad terakhir. Immanuel Kant pun mengatakan: “sapere aude!”, beranilah menggunakan akalmu!, dan kemandirian manusia untuk berpikir rasional itupun kelak menjadi semboyan modernitas. Mitos telah digantikan oleh rasio, dan seiring dengan itu, gagasan-gagasan mulia seperti kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan pun merekah.
Namun pada abad ke 20, Theodor Adorno dan Max Horkheimer—salah dua dari para pionir intelektual Mazhab Frankfurt dan berikut pula para penerusnya—melihat kenyataan yang justru sebaliknya. “Mitos sendiri seudah merupakan pencerahan, dan pencerahan berbalik menjadi mitologi”1. Kebangkitan negara-negara totaliter seperti Jerman Nazi, Uni Soviet, serta berbagai tragedi kemanusiaan yang mengiringinya layaknya dua Perang Dunia beserta peristiwa Holocaust adalah pertanda yang tak terelakkan. Visi pencerahan telah menjelma tak lebih layaknya mantra para penyihir atau warta para Rasul, atau dengan kata lain: rasionalitas pencerahan yang menyatakan diri bersih dari selubung metafisis-magis ternyata hanyalah omong kosong, berikut pula gagasan-gagasan mulia yang ia bawa. Modernitas diam-diam menyimpan sebuah dialektika jahat di balik visi kemajuan manusia, dan kemajuan pun berakhir menjadi sebuah proses dehumanisasi dan bukannya emansipasi. Rasio telah menjadi mitos dalam bentuk baru.
SETELAH MARX
Dalam salah satu risalah terbesarnya, The German Ideology (1846), Marx pernah mengungkapkan tesisnya bahwa masyarakat kapitalis akan mengalami keruntuhan dengan sendirinya oleh karena problem konsentrasi kapital yang terlampau berlebih pada hanya segelintir pihak (pemilik modal) di masyarakat. Over-konsentrasi kapital tersebut kemudian menciptakan ketimpangan dan distabilitas sosio-politik dalam skala masif yang berujung pada upaya kolektif untuk menggulingkan keseluruhan tatanan yang ada. Dengan demikian, keruntuhan tersebut bersifat niscaya oleh karena kontradiksi-kontradiksi internal dalam sistem kapitalis itu sendiri—setidaknya bagi sebagian besar kalangan Marxis kala itu. Namun kemudian, sejarah berbicara—setidaknya sampai pada hari ini—bahwa ramalan Marx tersebut belum dapat terbuktikan kebenarannya, dan dengan demikianlah beragam tafsir atasnya lahir. Beranjak dari problem ini, upaya kaum Marxis untuk mewujudkan penghapusan tatanan kapitalistik tersebut kemudian mewujud dalam berbagai bentuk yang berbeda-beda. Sebagian berusaha untuk menggerakan roda sejarah perkembangan masyarakat secara sadar—sesuatu yang diwujudkan oleh Vladimir Lenin dalam Revolusi Oktober 1917 di Rusia; yang berkatnya lah strain ajaran Marxisme Soviet kemudian menjadi basis bagi salah satu entitas kekuatan dan gagasan sosio-politik terbesar dalam konstelasi politik global di sepanjang abad ke-20, dan bukannya berakhir berdebu di dalam lemari museum sejarah pemikiran filsafat. Ada pula yang hanya tinggal menunggu “hukum alamiah” sejarah memainkan perannya—yakni dengan meyakini bahwa keruntuhan tatanan kapitalisme sama niscayanya dengan jatuhnya sebuah bola ke tanah oleh karena hukum alam yang mengikat alur sejarah. Pandangan deterministik ini kemudian dikecam oleh Lenin dalam Berbuat Apa? (1902) berikut juga oleh kaum Marxis di bawah Komintern Moskow sebagai pandangan “ekonomisme”, dengan dalih bahwa peran subjek dalam mengubah alur sejarah melalui laku politik emansipatoris-revolusioner adalah perlu. Akan tetapi, terdapat satu kesamaan di antara berbagai paham Marxis yang berkembang sampai pada paruh awal abad ke 20 tersebut: memandang Marxisme secara ideologis, dan hal itu berarti menyakralkan ajaran tersebut layaknya ajaran agama dan melakukan upaya pemahaman ajaran bukan melalui telaah kritis melainkan secara dogmatis dan terberi begitu saja (taken for granted). Hal ini tampak paling kentara dalam pembakuan ajaran Marxisme-Leninisme oleh Stalin sebagai ideologi resmi Uni Soviet di bawah pemerintahan Josef Stalin. Corak aliran Marxisme yang demikian kemudian dikenal sebagai Marxisme ortodoks.
Ortodoksi dalam perkembangan tradisi Marxis menginspirasi generasi pertama Mazhab Frankfurt—utamanya Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse—di bawah Institut für Sozialforschung, Jerman untuk mengambil jalur yang berbeda, yaitu dengan mengintegrasikan ajaran Marxisme dengan berbagai tradisi filsafat serta disiplin ilmu lainnya untuk melahirkan sebuah filsafat kritis yang mampu menganalisis dan mengkritik relasi-relasi sosial dalam keadaan masyarakat nyata dan bukannya imajinasi teoritis belaka—dengan kata lain, melepaskan Marxisme dari belenggu ortodoksinya. Upaya ini kemudian menjadi sumber inspirasi bagi gerakan Kiri Baru (New Left) yang tersebar di mulai dari Amerika Serikat hingga Jerman Barat yang mengambil bentuk berbeda dengan garis besar paham Marxisme-Leninisme di Uni Soviet kala itu. Tujuan dari dari proyek filsafat kritis tersebut adalah—sebagaimana yang diungkapkan oleh Horkheimer—untuk menciptakan sebuah teori yang telah dimulai dalam tradisi filsafat kritis semenjak Marx dan Hegel untuk mengatasi permasalahan “teori tradisional” dalam ilmu-ilmu sosial-budaya yang telah terjangkit positivisme.2 Sifat positivistik dalam ilmu sosial-budaya tersebut dapat terlihat dalam anggapan-anggapan yang telah mengakar kuat di benak masyarakat dan komunitas keilmuan kala itu—dan barangkali, hingga kini—utamanya bahwa ilmu-ilmu tersebut bersifat bebas nilai (value-free) dan oleh karena itu terlepas dari tanggungjawab sosial serta moral, sehingga hanya menyisakan aspek instrumentalnya saja, semisal melalui fungsi prediksi dan rekayasa. Dengan kata lain, positivisme berupaya menekankan objektivitas dalam domain sosial-budaya selayaknya ilmu-ilmu alam yang telah terlebih dahulu lahir dan menunjukkan kesuksesannya.
Namun pada kenyataannya, objektivitas ilmu-ilmu sosial-budaya dan filsafat adalah semu, sebab apa yang sesungguhnya bersembunyi di balik selubung objektivitas keilmuan tersebut tak lain adalah struktur-struktur kepentingan kekuasaan yang beroperasi untuk menjaga status quo dan tak ingin diganggu gugat. Hal ini dikarenakan, “teori tradisional” pra-kritis hanyalah bersifat kontemplatif, dalam arti sekadar memandang dan merenungkan realitas tanpa ingin ataupun bisa untuk mengubahnya; sehingga teori tersebut menjadi afirmatif, dalam arti hanya membenarkan apa yang telah terjadi dan maka dari itu tidak dapat memahami ketidakadilan yang menjangkiti suatu masyarakat. Hal ini ditambah dengan anggapan-anggapan di atas yang berlandaskan pada kepercayaan buta terhadap metode ilmu-ilmu alam sebagai satu-satunya metode ilmiah yang absah dan kredibel. Hal ini semua tak lain merupakan warisan positivisme. Dengan bersifat positivistik, ilmu-ilmu tersebut hanya dapat melihat dan menerima fakta-fakta terberi (positif) dan menolak kemungkinan-kemungkinan yang melampaui fakta yang terberi (negatif) tersebut, sehingga menutup usaha untuk membongkar ketidakadilan dan menyikapinya. Setiap aktivitas ilmiah hanya berakhir sebatas sebagai upaya untuk menyalin tanpa menyikapi kenyataan, sehingga adalah tepat apabila dikatakan bahwa ilmu-ilmu sosial-budaya telah lumpuh dan terbutakan—kita tak lagi mampu melihat melampaui fakta di mana ketidakadilan tidaklah eksis dan bukannya takdir yang tak terhindarkan.
ANTARA ILMU PENGETAHUAN DAN POSITIVISME
Semenjak Francis Bacon (1561-1625), pengetahuan empiris-analitis yang kemudian menjadi embrio ilmu-ilmu alam telah mulai direfleksikan sebagai sebuah pengetahuan yang sahih tentang kenyataan, menggantikan pengetahuan metafisik-spekulatif yang diproduksi secara berabad-abad oleh institusi gereja. Deskripsi tentang hukum-hukum alam telah menjadi narasi yang kredibel untuk memahami cara kerja kenyataan. Puncak perkembangan ilmu empiris-analitis tersebut adalah dengan dilahirkannya paham positivisme oleh Auguste Comte (1798-1857) dan kemudian sedikit banyak dilanjutkan oleh Ernst Mach (1838-1916). Mereka berupaya mencitakan sebuah teori murni yang bebas dari spekulasi metafisik. Dalam hal ini, positivisme menganggap bahwa pengetahuan mengenai fakta objektif-inderawi sebagai pengetahuan yang sahih, dan maka dari itu lah ia sekaligus mengakhiri metafisika, sebab metafisika sendiri selalu berusaha menelaah melampaui fakta inderawi—sesuatu yang menjadi akar perdebatan selama berabad-abad di kalangan intelektual-filsuf. Perdebatan metafisik untuk memahami segala yang melampaui fakta ini lah yang kelak diakhiri oleh kaum positivistik.
Dengan demikian, era modern adalah masa manakala pengetahuan telah diganti dengan ilmu pengetahuan, filsafat pengetahuan (epistemologi) telah diganti dengan metodologi berikut filsafat ilmu, dan rasionalitas nalar yang komprehensif telah diamputasi menjadi serangkaian prinsip-prinsip metodologis.
Namun pada kenyataannya, ilmu-ilmu positivis tetap mewarisi metafisika. Bagaimana bisa? Hal ini sebab, ilmu-ilmu tersebut mewarisi asumsi-asumsi dasar yang tidak lagi ditelaah secara kritis dalam bangunan fondasional teoritisnya untuk kemudian diterima begitu saja, sehingga ilmu pengetahuan melalui positivisme menjelma menjadi sebatas prosedur metodologis belaka.3 Kesuksesan metode ilmu-ilmu alam melalui nama-nama seperti Galileo, Kopernikus, dkk. kemudian melahirkan suatu dominasi metodologis yang berimplikasi pada munculnya kepercayaan kuat terhadap sains (dibandingkan dengan teologi, filsafat, dan warta-warta mistik). Fenomena ini disebut oleh Habermas sebagai saintisme, yaitu sebuah kondisi manakala kita tak lagi dapat memahami ilmu pengetahuan atau sains (positivistik) sebagai salah satu bentuk pengetahuan yang mungkin, melainkan menyamakan pengetahuan dengan sains.4 Dengan kata lain, terjadi suatu bentuk stratifikasi pengetahuan secara naif yang berimplikasi pada dominasi sains di ranah metodologis. “Sains hanyalah satu-satunya yang mungkin”, demikianlah barangkali ungkap kaum positivistik
Melalui cita-cita Comte untuk menciptakan suatu ilmu pengetahuan terpadu (Einheitswissenschaft), metode ilmu-ilmu alam kemudian diterapkan pula pada ilmu-ilmu sosial-budaya dengan pengandaian-pengandaian yang dimodel berdasar ilmu-ilmu alam. Pengandaian-pengandaian tersebut adalah sebagai berikut: Petama, subjek mengambil sikap distansi penuh terhadap objek. Kedua, gejala subjektif manusia (kepentingan dan kehendak) tidak mengganggu objek pengamatan sehingga realitas sosial-kemasyarakatan disamakan dengan realitas alamiah. Ketiga, bahwa subjek dapat memanipulasi objeknya untuk mendapatkan pengetahuan menurut model kausalitas. Keempat, hasil penelitian dapat dirumuskan dalam hukum-hukum universal layaknya hukum alam. Kelima, (ilmu-ilmu) pengetahuan yang dihasilkan bersifat instrumental, universal, dan bebas dari kepentingan (disinterested)5. Pemahaman positivistik atas ilmu-ilmu sosial-budaya kemudian—sebagaimana telah dipaparkan di awal—berimplikasi pada pelanggengan status quo masyarakat, sehingga melestarikan konfigurasi sosial masyarakat yang bersifat represif oleh karena upaya ilmu tersebut untuk hanya sebatas berhenti pada proses penyalinan fakta, lebih-lebih lagi bahkan menjadi alat kontrol sosial! Hal ini menjadi mungkin melalui perandaian bahwa realitas masyarakat adalah persis seperti realitas alam yang dapat dimanipulasi dan dikuasai—bahwa manusia tak jauh berbeda layaknya partikel sub-atomik maupun tikus lab. Dengan demikian, era modern adalah masa manakala pengetahuan telah diganti dengan ilmu pengetahuan, filsafat pengetahuan (epistemologi) telah diganti dengan metodologi berikut filsafat ilmu, dan rasionalitas nalar yang komprehensif telah diamputasi menjadi serangkaian prinsip-prinsip metodologis.
RASIONALITAS INSTRUMENTAL
Melalui telaah historis terhadap metodologi positivisme ilmu pengetahuan, kita dapat memahami bahwa dalam perkembangannya, model teori yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan positivistik pada akhirnya menjadi beku oleh selubung ideologis. Hal ini sebab, dengan anggapan bahwa teori tersebut bersifat ahistoris, teori positivistik melupakan realitas konkrit masyarakat yang coba ia pahami melalui aktivitas ilmiah. Pelupaan atas kenyataan konkrit ini membuat teori-teori tersebut melewatkan kemungkinan bahwa ia dapat saja terlepas dari- atau tidak lagi sesuai dengan kerangka sosial-epistemiknya tatkala ia pertama kali diformulasikan—teori-teori tersebut kemudian berhenti untuk berkembang dan bersentuhan dengan kenyataan. Sedangkan di sisi lain, dengan bersifat universal, ilmu pengetahuan itu sendiri senyatanya melakukan penipuan! Hal ini sebab: ia sendiri merupakan produk dari masyarakat konkrit yang partikular—bahwa teori yang ia hasilkan pada kenyataannya lahir dari perdebatan ilmiah yang tersituasikan dalam ruang-waktu tertentu dalam sejarah. Selain itu, dengan bersifat netral, teori positivistik atau teori tradisional pra-kritis justru berdiam diri terhadap masyarakat yang menjadi objeknya, membenarkan keadaan tanpa mempertanyakan, dan berakhir melestarikan kenyataan tersebut. Dengan memisahkan diri dari praksis—dengan murni mengejar teori demi teori itu sendiri—teori positivistik tidak lagi memikirkan implikasi praktisnya, dan maka dari itu kehilangan tujuan untuk mengubah keadaan masyarakat yang menjadi objek investigasinya.
Adorno dan Horkheimer dalam karyanya Dialectic of Enlightenment (1972) menjelaskan bahwa dalam penyelidikan historisnya, positivisme berakar pada “pencerahan budi” yang tidak hanya dipahami dalam konteks kurun waktu sebuah abad yang kini kita kenal sebagai abad pencerahan (Aufklärung), melainkan segala usaha manusia untuk membebaskan diri dari ketakutan serta menegakkan kedaulatannya atas alam dan masyarakat. Dalam perjalanannya, positivisme yang terlahir dari rahim Pencerahan dan menolak segala bentuk mitos dan dogma (yang terlihat dalam bagaimana positivisme sangat memusuhi metafisika) tersebut justru berakhir menjadi mitos baru (sains) yang menggantikan mitos lama (metafisika kuno dan agama).
Masyarakat modern, ungkap Marcuse dalam kesempatan lain, adalah “rasional dalam detail, namun irasional dalam keseluruhan”.
Konsep rasionalitas yang dihasilkan oleh pencerahan itu sendiri disebut rasionalitas instrumental—atau meminjam istilah Weber, rasionalitas bertujuan (Zweckrationalität). Rasionalitas instrumental tak lain adalah rasionalitas yang telah diinstrumentalisasi atau dijadikan alat yang tak berbeda layaknya kalkulator atau mesin ketik. Dalam ranah kerjanya untuk memahami kenyataan, rasio instrumental mencapai hasil melalui formalisasi cara berpikir yang mengosongkankan dirinya dari isi atau materi sehingga hanya meninggal bentuk atau forma saja, yang terejawantahkan dalam logika formal dan matematika. Oleh karena kehilangan isi dan tujuan pada-dirinya, rasio menjadi netral dan dapat dipakai oleh tujuan di-luar-dirinya—atau dengan kata lain, rasio menjadi instrumen belaka.6 Instrumen bagi siapa? Tak lain adalah bagi struktur-struktur kekuasaan yang beroperasi di balik kenyataan. Manusia tidak lagi mempedulikan konsekuensi praktis dari aktivitas penggunaan rasionya, sehingga ia menundukkan dirinya di bawah tujuan eksternal, seperti politik, ekonomi, dan ideologi yang melaluinya kekuasaan bekerja. Rasionalitas manusia yang sedemikian instrumentalnya lah yang memungkinkan negara-negara otoriter dan totaliter seperti Jerman di era-Nazi dan Uni Soviet di era-Stalin mengambil tempat dalam panggung sejarah. Kita dapat mengingat kasus Adolf Eichman, sang arsitektur Holocaust, yang membela dirinya dari segala tuduhan kejahatan kemanusiaan dalam sidang di Tel Aviv, Israel, bahwa ia hanya melakukan semua itu sebatas dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai anggota partai Nazi.
Dalam konteks masyarakat kapitalisme akhir (Spätkapitalismus), manusia-manusia rasional-instrumental tidak lagi mempedulikan atau bahkan menyadari bahwa aktivitas rasional-keilmuan mereka dipergunakan untuk tujuan represi atau kontrol sosial. Kesadaran teknokratis yang telah mengakar sedemikian kuat membuat daya kontrol struktur kekuasaan atas individu masyarakat modern menjadi begitu mendominasi. Standar tingkat rasionalitas suatu hal kini diukur dari sejauh mana hal tersebut dapat diperalat, dimanipulasi, dimanfaatkan, atau diperhitungkan secara matematis-ekonomis. Pada akhirnya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang seharusnya eksis untuk mengabdi kepada umat manusia justru berbalik menundukkan manusia—bahwa manusia lah yang kini tunduk pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Marcuse pun mengungkapkan: “Dewasa ini, kekuasaan melestarikan dan memperluas dirinya tidak hanya melalui teknologi, melainkan sebagai teknologi, dan teknologi menyediakan legitimasi yang kuat bagi kekuasaan politis yang sedang meluas, yang mengabsorsi segala bidang kebudayaan.”7 Maka dari itu, kontrol atas realitas sosial-budaya melalui ilmu-ilmu sosial-budaya positivistik bersifat satu tarikan nafas dengan kontrol atas manusia itu sendiri. Masyarakat modern, ungkap Marcuse dalam kesempatan lain, adalah “rasional dalam detail, namun irasional dalam keseluruhan”.
Namun, pada titik ini lah perumusan teori kritis generasi pertama Mazhab Frankfurt justru mengalami kebuntuan. Hal ini sebab, rasionalitas instrumental dalam sistem masyarakat modern telah begitu mengakar—dengan kata lain, bahwa penindasan atas kemerdekaan manusia telah berjalan sedemikian total. Setiap praksis emansipatoris hanya akan berakhir sebagai perbudakan dan penguasaan dalam bentuk baru, sebab rasio kritis telah tergantikan oleh rasio instrumental, dan dengan demikian pula bahwa dalam setiap upaya emansipasi telah selalu tersimpan suatu pengandaian sikap dominasi. Segala penelusuran di atas tak lain telah selalu merupakan bagian dari totalitas selubung kekuasaan—siapa yang menjamin bahwa segala kritik ini dapat menjadi solusi bagi segala persoalan ketidakadilan yang ada, dan bukannya malah, secara disadari maupun tidak, justru melanggengkan kekuasaan tersebut? Pada akhirnya, segala upaya pemerdekaan manusia akan berakhir sebagai bagian dari keseluruhan mekanisme operasi penguasaan oleh sistem masyarakat kapitalistik-modern—atau setidaknya, demikianlah anggapan yang berlaku hingga Habermas merehabilitasi proyek teori kritis para pendahulunya.
PARADIGMA KOMUNIKASI
Dalam menghadapi pesimisme para pendahulunya, Habermas melakukan pendekatan yang berbeda. Melalui gaya berfilsafatnya yang jauh lebih sistematis dan teliti, ia mencoba untuk melakukan rekonstruksi dan kritik terhadap banyak tradisi pemikiran yang berupaya ia integrasikan dalam bangunan sistem pemikirannya. Pertama-pertama, salah satu persoalan paling utama adalah mengenai “praksis”, yang dalam hal ini dipahami sebagai laku dasariah bagi manusia sebagai spesies dalam mengorganisasikan kebutuhan fisik-alamiahnya (ekonomi), dan demikian pula bangunan atas masyarakatnya yang lebih kompleks (sosial, politik, budaya, agama, dsb). Habermas mencoba untuk meredefinisikan ulang konsep mengenai praksis yang berakar pada materialisme historis Marx, manakala “praksis” disama-artikan dengan “kerja”. Menyikapi ini, Habermas membagi praksis secara tegas menjadi dua, yaitu “kerja” dan “komunikasi”—bahwa transformasi atas alam melalui kerja manusia tak dapat terpisahkan dalam proses mengorganisasikan kehidupan bersama dengan manusia lain melalui komunikasi. Kedua jenis praksis tersebut sejatinya telah dipahami oleh Marx sendiri dalam bangunan materialisme historisnya, sebagaimana yang tampak dalam skema kekuatan produksi atau means of production (kerja) dan hubungan produksi atau relations of production (komunikasi)8. Namun hanya saja, Marx kemudian mengabaikan praksis komunikasi dalam bangunan epistemologisnya karena memberikan atensi terlalu berlebih terhadap praksis kerja. Reduksi terhadap konsepsi praksis ini kemudian membuat bidang interaksi-sosial lenyap ke dalam bidang kerja. Hal ini pula yang kemudian memberi tempat bagi rasionalitas instrumental dalam kerangka paradigmatis materialisme historis Marx.9 Sebagai konsekuensinya, Marx akhirnya memberi penekanan total pada basis material-ekonomi dalam skema formasi sosialnya (basis-superstruktur) sebagai domain penentu yang mempengaruhi superstruktur kesadaran dan politis masyarakat. Habermas juga menekankan, bahwa relasi antara dua bangunan masyarakat tersebut tidaklah bersifat deterministik-satu arah yang tersimplifikasi sedemikian rupa, yang pada akhirnya melupakan kondisi “subjektif manusia”. Subjektivitas manusia tersebut lah yang—melalui rasio—justru menjadi titik tolak perubahan emansipatoris di dalam diri masyarakat.
Penaruhan atensi berlebih pada praksis kerja daripada komunikasi juga berlaku pada para jajaran pemikir mazhab Frankfurt generasi sebelumnya. Hal ini sebab, kritik yang mereka lakukan mengalami jalan buntu oleh karena paradigma yang terbangun dalam upaya mereka memperjuangkan kepentingan emansipatoris masihlah terbatas pada paradigma kerja yang menjadi embrio bagi tumbuhnya rasionalitas instrumental. Maka dari itu, secara sadar ataupun tidak, upaya emansipasi yang dibangun dalam perumusan teoritis dan praksis para pendahulunya masihlah berada pada logika dominasi dan saling menguasai dalam pola interaksi yang asimetris. Hal ini dapat pula terlihat semisal dalam bagaimana para tokoh generasi pertama Mazhab Frankfurt berupaya merumuskan proyek teori kritis tanpa melibatkan kaum pekerja yang seharusnya termasuk sebagai salah satu subjek emansipasinya. Perluasan konsepsi praksis dan upaya memperjuangkan kepentingan emansipatoris ke dalam ranah komunikasi memiliki konsekuensi yang amat besar terhadap pengembangan metodologi ilmu-ilmu sosial-budaya yang berbeda dengan paradigma positivistik-kerja ilmu-ilmu alam.
Habermas menjelaskan sebagaimana berikut. Di dalam ilmu pengetahuan sosial-budaya, relasi antara subjek pengamat dengan objek yang diteliti tidaklah bersifat asimetris, melainkan sejajar, dengan kedua subjek sama-sama bersifat historis disertai interaksi yang bersifat dialogis. Sifat historis artinya, bahwa subjek pengamat dalam upayanya mendapatkan pengetahuan dari interaksi tersebut tidaklah berada di sebuah dunia luar sejarah yang tak terikat waktu juga pengalaman sosial. Sebaliknya, subjek berada di sebuah realitas dunia sosial yang sama sebagaimana dunia dari objek yang diamati tersituasikan. Artinya, sisi subjektifitas subjek pengamat maupun objek yang diamati memiliki pengaruh signifikan terhadap proses penghasilan pengetahuan dari interaksi tersebut. Sifat dialogis berarti, interaksi antara subjek pengamat dengan objek yang diamati tidaklah bersifat satu arah (nomologis), melainkan dua arah (dialogis), yang dijembatani oleh medium sosial berupa bahasa dan bukannya kerja. Pendekatan humanistis-interpretatif pada ilmu-ilmu sosial-budaya yang diajukan oleh Habermas kemudian membentuk kepentingan kognitif tersendiri—yang berbeda dengan kepentingan kognitif ilmu-ilmu alam yang bersifat teknis-instrumental—, yaitu kepentingan praktis-komunikatif. Dalam terang kepentingan kognitif tersebut, tujuan aktivitas keilmuan (dan secara lebih mendasar, interaksi subjek-objek) adalah bukan untuk menguasai dan memanipulasi objek yang diamati sebagaimana manusia menguasai dan memanipulasi alam, melainkan menghasilkan sebuah pemahaman timbal-balik antara subjek pengamat dan objek yang diamati. Dengan demikian, pengetahuan reflektif (Reflexionswissen) melalui pemahaman timbal-balik mendapatkan tempatnya dalam ilmu-ilmu sosial-budaya, dan bukannya pengetahuan untuk menguasai (Verfügungswissen).10Perlu dicatat, bahwa Habermas sendiri tidak justru terjatuh pada reduksi atau penaruhan perhatian berlebih yang sebaliknya pada praksis komunikasi daripada kerja. Apa yang sebenernya diupayakan dalam proyeknya adalah pemberian domain masing-masing bagi ilmu alam dan ilmu sosial-budaya melalui perumusan paradigma, kepentingan kognitif, dan pola interaksi yang tak dapat digantikan satu sama lain
Dengan menerapkan paradigma komunikasi dalam bentuk praksis tindakan komunikatif di domain sosial-kemasyarakatan, masyarakat modern dapat terhindar dari aktivitas saling mendominasi dan menguasai—sebagaimana yang tampak dalam negara-negara otoriter dan totaliter melalui mekanisme kontrol sosial, serta objektifikasi manusia melalui reduksi dimensi individu hingga hanya sebatas sebagai gejala-gejala ilmiah yang tak jauh berbeda dengan partikel sub-atomik maupun tikus lab dalam realitas sosial-kemasyarakatan. Sebaliknya, tindakan komunikatif dalam domain sosial-kemasyarakatan justru dapat menjadi titik emansipasi setiap individu manusia dalam sistem masyarakat modern, bahkan melampaui batas-batas tradisional kelas sebagaimana dikotomi borjuasi-proletariat Marxisme klasik! Dengan demikian, kita tidak justru terjebak pada tindakan kontra-dominasi serta saling menguasai—emansipasi adalah pemerdekaan bagi seluruh manusia tanpa terkecuali.
PENUTUP
Habermas berhasil menunjukkan dengan bertolak dari tradisi teori kritis, bahwa cita-cita kebebasan masihlah ada dan upaya penyelamatannya dari jantung peradaban modern sangatlah memungkinkan, sedangkan pesimisme para pendahulunya tidaklah membantu. Upaya penguraian, rekonstruksi dan sistematisasi teori kritis Habermas dengan brilian mampu membuka harapan bagi proses rasionalisasi masyarakat modern yang mengalami ketimpangan karena berpangku pada rasionalisasi instrumental semata, dengan mengacu pada aktivitas dasariah manusia yang sama sekali luput dari cakrawala pandang para pendahulunya, yaitu praksis komunikasi.
Perluasan lingkup teori kritis pada ranah komunikasi memungkinkan manusia untuk memperjuangkan kepentingan emansipatoris yang mampu menembus jauh batas-batas kelas sosial, ras, budaya dan agama dalam realitas masyarakat modern yang kini semakin plural sehingga emansipasi atas seluruh manusia menjadi mungkin, terlebih mengingat melalui perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat, manusia telah tiba pada suatu masa di mana garis pemisah antar kelompok masyarakat menjadi semakin kabur dan persentuhan antar individu menjadi semakin intens, tidak lagi begitu terikat oleh keterbatasan ruang dan waktu. Melalui tindakan komunikatif, manusia dapat mencapai proses saling kesepemahaman antar satu sama lain dan bukannya saling menguasai dan mendominasi, meskipun—meminjam ungkapan Gadamer yang olehnya Habermas juga mendapat pengaruh—jurang tradisi yang memisahkan antara dua orang atau lebih manusia, apalagi dalam skala masyarakat global, begitu luas dan dalam.
Maka bagi Habermas, dalam memandang dominasi rasionalitas instrumental masyarakat modern, tantangan proyek Pencerahan yang telah dimulai semenjak hampir dua-tiga abad lalu dapat diatasi justru dengan cara melanjutkan proyek tersebut dan bukannya menghentikannya. Dengan kembali ke semangat awal Pencerahan, harkat dan martabat rasionalitas manusia dapat dikembalikan sebagaimana bentuknya di awal dahulu: pembebasan manusia dari berbagai belenggu. Belenggu ketidakmandirian, belenggu kebodohan—dan Habermas beserta para pendahulunya melangkah lebih jauh—belenggu dominasi dan penindasan antar sesama, bahkan dalam tingkat paling dasar yaitu komunikasi antar individu, serta belenggu-belenggu yang lain.
Catatan Akhir:
1 “Myth is already enlightenment, and enlightenment reverts to mythology.” Max Horkheimer & Theodor W. Adorno, Dialectic of the Enlightenment diterjemahkan oleh Edmund Jephcott (California: Stanford University Press), 2002, hlm. xviii.
2 Irfan Safrudin, “Etika Emansipatoris Jurgen Habermas: Etika Paradigmatik di Wilayah Praksis” dalam MediaTor, Vol. 5 No. 1, 2004, hlm. 4.
3 F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepenting Bersama Jurgen Habermas (Yogyakarta: PT Kanisius), 2009, hlm. 141.
4 “”Scientism” means science’s belief in itself: that is, the conviction that we can no longer understand science as one form of possible knowledge, but rather must identify knowledge with science.” Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests diterjemahkan oleh Jeremy J. Saphiro (Boston: Beacon Press), 1972, hlm. 4.
5 F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas (Yogyakarta: PT Kanisius), 2003, hlm. 22.
6 Hardiman, Kritik Ideologi, hlm. 71-72.
7 “Today, domination perpetuates and extends itself not only through technology but as technology, and the latter provides the great legitimation of the expanding political power, which absorbs all spheres of culture.” Jürgen Habermas, Toward a Rational Society (Cambridge: Polity Press), 1987, hlm. 84.
8 Hardiman, Kritik Ideologi, hlm. 93-95.
9 Ibid., hlm. 101.
10 Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, hlm. 29-30.
Referensi
Habermas, J. (1972). Knowledge and Human Interests diterjemahkan oleh Jeremy J. Saphiro. Boston: Beacon Press.
Habermas, J. (1987). Toward a Rational Society. Cambridge: Polity Press.
Horkheimer, M. & Theodor W. Adorno. (2002). Dialectic of the Enlightenment diterjemahkan oleh Edmund Jephcott. California: Stanford University Press.
Pussey, M. (2011). Habermas: Dasar dan Konteks Pemikiran. Yogyakarta: Resist Book.
Hardiman, F. B. (2009). Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepenting Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: PT Kanisius.
Hardiman, F. B. (2003). Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta: PT Kanisius.
Safrudin, I. (2004) “Etika Emansipatoris Jurgen Habermas: Etika Paradigmatik di Wilayah Praksis”. MediaTor, Vol. 5 No. 1.