Rumah bukanlah sekadar bangunan fisik yang memiliki wujud konkret, melainkan ruang metafisik yang abstrak dan memiliki agensi atas orang-orang yang tinggal di dalamnya. Lagu Amigdala Kukira Kau Rumah (2023) menggambarkan rumah sebagai hal abstrak yang diasosiasikan dengan suatu keadaan (state). Rumah bukan hanya dipandang sebagai tempat fisik, melainkan juga keadaan yang mampu memberikan suasana familiar dan kepercayaan seseorang untuk mengekspresikan dirinya yang paling privat. Lagu Amigdala tersebut mengisahkan tentang kondisi putus cinta, ketika kepercayaan seseorang terhadap orang lain kandas, padahal orang yang dipercaya itu telah diasosiasikan sebagai rumah, sebagai tempat berlindung, tempat yang dipercaya dan intim. Rumah metafisis yang digambarkan sebagai kondisi relasi seseorang dengan tempat telah dikonsepsikan oleh Gaston Bachelard (1884-1962) melalui konsep topoanalisis. Topoanalisis merupakan permainan kata-kata (pun) dari psikoanalisis, suatu mazhab psikologi yang populer pada zaman Bachelard. Berbeda dengan psikoanalisis Freud yang menjadikan jiwa atau psyche sebagai kesadaran dalam tripartit id, ego, dan superego sebagai objek sentral dalam kehidupan manusia, Bachelard memosisikan rumah sebagai objek yang tidak kalah penting dalam memengaruhi kehidupan manusia, terutama cara pandang manusia atas dunia (Casey, 2013).
Pemahaman atas rumah mendahului pemahaman atas dunia.
Relasi antara manusia dan rumah membentuk subjektivitas individu yang khas. Subjektivitas yang terbentuk dalam relasi manusia dengan rumah berorientasi kepada keintiman (intimacy) dan kepemilikan (belongness) (Bachelard, 2014). Rumah merupakan teritori pertama yang menampung manusia dan menjadi saksi bisu dalam perjalanan manusia memahami faktisitasnya untuk pertama kali. Rumah menaungi keluarga, sebuah suprastruktur yang menjadi tempat belajar anak sebelum melangkahkan kaki menuju dunia yang lebih luas sehingga sentralitas rumah sama pentingnya dengan keluarga. Bachelard menempatkan rumah sebagai padanan “dunia” karena, bagi Bachelard, tidak mungkin seseorang mengetahui dunia tanpa mengetahui rumah. Pemahaman atas rumah mendahului pemahaman atas dunia. Sebaliknya, pandangan manusia atas rumah memengaruhi cara pandang manusia atas dunia (Seamon, 2010). Norma dan etika, misalnya, dipahami melalui kedekatan dan repetisi antara subjek dengan keluarga dan rumah. Rumah memiliki ruang-ruang terpisah dengan aturan berbeda yang menunjukan bahwa rumah memiliki agensi dalam “mendisiplinkan” tubuh penghuninya melalui derajat keintiman tersebut. Anak akan lebih ekspresif di dalam kamarnya sendiri daripada di kamar orang tuanya, walau kamar-kamar tersebut berada dalam rumah dengan derajat kepemilikan yang sama.
pandangan manusia atas rumah memengaruhi cara pandang manusia atas dunia (Seamon, 2010).
Hubungan antara manusia dan tempat tinggalnya merupakan fenomena historis. Keintiman merupakan hasil dari kemenjadian manusia. Rumah adalah saksi bisu kejadian-kejadian dan pergulatan batin paling privat yang dialami oleh individu. Ekspresi hal-hal yang paling privat tersebut hanya dimungkinkan oleh suatu hubungan yang telah terjalin secara dalam dan intim. Sama seperti hubungan manusia dengan hal lain, keintiman dari suatu hal yang dianggap rumah dapat berubah dan hilang sama sekali. Nostalgia merupakan suatu kondisi kemewaktuan yang memisahkan manusia dari derajat keintiman tersebut: suatu tempat memiliki kesan terhadap hal-hal yang telah terjadi, tetapi hal-hal tersebut tidak mampu dialami kembali; menyisakan memori-memori lama. Bangunan yang sama memiliki kesan berbeda di dalam garis waktu tertentu menunjukkan bahwa derajat keintiman bersifat temporal. Pada tahap inilah, rumah menjadi spektralitas. Hauntopoanalisis merupakan analisis hauntologis, yaitu analisis mengenai cara fenomena-fenomena yang telah terjadi dan akan terjadi memengaruhi dan menghantui cara pandang manusia yang dihantui oleh hal-hal yang sudah terjadi (not longer) dan hal-hal yang mungkin/belum terjadi (not yet) (Fisher, 2012). Momen hauntologis tidak membutuhkan kehadiran suatu hal, tetapi hal tersebut juga dapat absen karena hal-hal yang subsislah yang mampu memberi ruang untuk mendisrupsi dan menghantui hal yang mapan (Rahimi, 2021). Hal yang sudah terjadi identik dengan masa lalu. Peristiwa-peristiwa masa lalu sudah selesai, tidak lagi terjadi, tetapi memiliki pengaruh terhadap fenomena-fenomena masa kini. Di sisi lain, hal-hal yang belum terjadi mereferensikan tentang masa depan yang belum teraktualisasi, masih berada dalam ranah virtual dan abstrak, serta berbentuk imaji yang juga memengaruhi tindakan-tindakan di masa kini.
Hauntopoanalisis merupakan analisis hauntologis, yaitu analisis mengenai cara fenomena-fenomena yang telah terjadi dan akan terjadi memengaruhi dan menghantui cara pandang manusia yang dihantui oleh hal-hal yang sudah terjadi (not longer) dan hal-hal yang mungkin/belum terjadi (not yet) (Fisher, 2012).
Hausu (1977) merupakan film horor karya Nobuhiko Obayashi yang berlatar kondisi Jepang pascaperang. Film ini mengisahkan tentang bangunan rumah yang hidup dan menghantui orang-orang yang singgah ke dalamnya. Kondisi pasca perang digambarkan melalui pemulihan ekonomi, kondisi sosial, dan kemajuan pendidikan. Kondisi-kondisi tersebut terlihat dari alur cerita tentang perempuan yang duduk di bangku SMA bernama Gorgeous (Oshare) yang menjalani masa-masa SMA dengan ceria dan dikelilingi teman-teman yang bersahabat. Gorgeous digambarkan memiliki kondisi ekonomi kelas atas melalui pengisahan bahwa ayahnya merupakan seniman berbakat yang baru pulang dari Italia serta penggambaran kondisi rumah yang megah. Tragedi dalam film dimulai ketika Gorgeous mengunjungi rumah tantenya. Momen mencekam di tengah penggambaran ingar-bingar pembangunan pascaperang kemudian tersingkap, menampilkan memori masa lalu tentang kekejaman perang yang merenggut segalanya dari tante Gorgeous, seolah menggambarkan bahwa masa lalu tidak pernah benar-benar usai, tetapi selalu menghantui zaman setelahnya. Tokoh tante Gorgeous digambarkan sebagai seorang perawan tua yang tidak bisa beranjak dari kenangan traumatik masa lalu ketika kekasih si tante meninggal karena bom atom Hiroshima. Seperti kebanyakan tokoh perempuan dalam film klasik Jepang, tokoh tante digambarkan tetap setia menunggu kekasihnya walau tidak mungkin bisa bertemu lagi. Bayangan masa lalu kekasih yang seharusnya sudah berakhir masih menghantui kehidupan tokoh tante hingga memengaruhi Gorgeous dan teman-temannya yang berkunjung. Tante dan rumah kemudian menjadi hantu yang senantiasa meneror Gorgeous dan teman-temannya.
masa lalu tidak pernah benar-benar usai, tetapi selalu menghantui zaman setelahnya.
Film Hausu memiliki alur yang kompatibel untuk dikaji dengan topoanalisis ataupun hauntologi. Secara topoanalitis, Hausu menggambarkan rumah yang telah kehilangan keintimannya. Tokoh tante mengasosiasikan laki-laki yang dicintainya sebagai rumah di samping rumah fisik yang berfungsi sebagai tempat tante menunggu pujaan hatinya. Rumah fisik tante yang digambarkan dalam film tersebut memiliki kesan yang indah dengan banyak tanaman hias dan pernak-pernik lain, mengisyaratkan suatu suasana sukacita yang terjalin antara tante dan pria yang dicintainya. Suasana tersebut berubah ketika perang terjadi: pria yang dicintai tante tidak pernah kembali. Tante menolak takdir yang diberikan tersebut dan tetap menunggu pujaan hatinya kembali, sama halnya dengan rumah yang senantiasa kokoh berdiri, menunggu untuk ditempati kembali oleh pemiliknya. Pada momen ini, terdapat agensi antara tante dan rumah yang saling memengaruhi. Rumah yang telah kehilangan keintiman dan kepemilikan dilukiskan dengan keterputusan antara tante dan pujaan hatinya. Kehilangan sosok “rumah” mendisrupsi kondisi psikis tante, terlebih rumah fisik itu berada di tempat terpencil, seolah-olah memprakondisikan tubuh tante agar terisolasi dari dunia luar. Sukacita pembangunan Jepang pascaperang tidak dapat membendung spektralitas tragedi yang mendahuluinya. Spektralitas tersebut menubuh dan bersemayam dalam diri tante dan rumah tersebut menjadikan kedua entitas tersebut tidak dapat dipisahkan.
Gorgeous dan teman-temannya merupakan saksi dari spektralitas rumah dan tante. Saat pertama kali sampai ke rumah tante, keadaan rumah ditampilkan dengan indah, mereferensikan kondisi waktu ketika anggota rumah masih lengkap. Keadaan rumah yang merujuk pada masa lalu tersebut menunjukkan bahwa rumah tersebut dihantui oleh kejadian yang sudah tidak lagi eksis, tetapi kejadian tersebut terperangkap menjadi nostalgia: suatu kondisi yang kembali diidamkan si tante yang kemudian memengaruhi pikiran dan tindakannya. Keanehan dan teror yang terjadi di dalam rumah merepresentasikan kondisi tante setelah kejadian traumatik tersebut: rumah yang sebelumnya indah kini menjadi mencekam dan memakan korban, menunjukkan bahwa keterputusan tante dengan keintiman dan perasaan ditinggalkan memengaruhi kondisi rumah tersebut. Amarah dan kebencian dilampiaskan rumah kepada Gorgeous dan teman-temannya. Pada klimaks film, rumah tersebut tidak hanya menunjukan bahwa rumah tante berperan sebagai saksi kelam kejadian di masa lalu, tetapi juga agen yang siap mencari korban dari elemen nostalgia dan kebencian karena keterputusan keintiman dan kepemilikan. Hal ini secara tersirat mereferensikan hubungan antara Gorgeous—yang dari awal merasa tidak dapat menaruh kepercayaan dan hubungan keintiman—dengan ibu tirinya.
rumah tidak hanya memungkinkan kejadian sukacita, tetapi juga tragedi.
Hausu menunjukkan bahwa rumah memiliki agensi yang gaib dan aneh. Di satu sisi, rumah bertindak sebagai agen yang mengakomodasi ekspresi keintiman manusia yang paling privat. Selain mengakomodasi, rumah juga memengaruhi subjektivitas orang di dalamnya (tante). Di sisi lain, keintiman dan kepemilikan dalam relasi rumah-manusia bergantung kepada fenomena-fenomena yang terjadi di dalamnya sehingga derajat keintiman dan rasa memiliki tersebut dapat berubah dan tergerus oleh waktu. Hal ini menyebabkan rumah juga dapat membangun subjektivitas yang berbahaya karena rumah tidak hanya memungkinkan kejadian sukacita, tetapi juga tragedi. Pada kehidupan sehari-hari, terdapat banyak kasus dan pengalaman individu yang justru menjadikan rumah sebagai suatu tempat yang mengerikan, seperti kematian anggota keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, pemasungan, dan penyiksaan. Rumah merupakan ruang terbuka yang memiliki pengalaman subjektif yang bersifat temporal sehingga spektralitas atas momen-momen yang telah terjadi tidak bisa dihindarkan. Momen tersebut mewujud dalam memori nostalgia yang merujuk kepada kejadian-kejadian bahagia atau berkesan yang tidak dapat terulang atau traumatik, seperti pengalaman keterpisahan yang disampaikan dalam lagu Amigdala. Pada akhirnya, anggapan rumah sebagai tempat yang paling privat dan dipercaya oleh orang merupakan anggapan yang parsial karena rumah juga mampu mengakomodasi kejadian teror dan menyeramkan, bahkan yang paling dihindari oleh orang-orang sekalipun. Hauntopoanalisis mencoba mendekonstruksi rumah yang hanya identik dengan kedekatan dan kepercayaan dengan mencoba membangkitkan kembali elemen-elemen yang luput ataupun absen, yaitu nostalgia dan tragedi.
Hauntopoanalisis mencoba mendekonstruksi rumah yang hanya identik dengan kedekatan dan kepercayaan dengan mencoba membangkitkan kembali elemen-elemen yang luput ataupun absen, yaitu nostalgia dan tragedi.
Referensi
Bachelard, G. (2014). The poetics of space. Penguin.
Casey, E. (2013). The fate of place: A philosophical history. University of California Press.
Fisher, M. (2012). What is hauntology?. Film Quarterly, 66(1), 16-24. https://doi.org/10.1525/fq.2012.66.1.16
Rahimi, S. (2021). A hauntology for everyday life. Springer International Publishing.
Seamon, D. (2010). Gaston Bachelard’s topoanalysis in the 21st century: The lived reciprocity between houses and inhabitants as portrayed by American writer Louis Bromfield. Phenomenology 2010, 5(2), 225-243. https://doi.org/10.7761/9789731997766.12