Secara antrolopogis, hukuman mati merupakan salah satu bentuk hukuman yang sudah dikenal sejak lama diberbagai kebudayaan dan bangsa dan dapat dianggap sebagai bentuk hukuman berat yang paling tua. Hukuman mati juga dikenal dan diakui oleh berbagai agama. Walaupun demikian, dalam perkembangannya penafsiran terhadap hukuman mati termasuk dalam agama juga mengalami perubahan-perubahan.
Pemikiran filsafat sosial-politik dan hukum yang terus berkembang juga mendorong cara pandang terhadap hukuman mati. Landasan pemikiran yang bermuara pada ajaran agama, filsafat sosial-politik dan hukum tersebut pada akhirnya bercampur baur yang kemudian tercermin dalam berbagai aturan dalam hukum positif.
Salah satu landasan pemikiran yang utama dan mungkin tertua yang mendukung hukuman mati adalah teori pembalasan. Berdasarkan teori pembalasan, pidana mati dijatuhkan karena pidana hukuman mati merupakan upaya untuk mempertahankan dan menegakkan kesusilaan dan keadilan.
Secara universal, berlaku baik adalah ketika tidak merugikan orang lain, kasus hukuman mati sama sekali tidak merugikan orang lain kecuali ia yang tersangkut kasus dan dijatuhi hukuman mati.
Pidana dijatuhkan bukan karena mempromosikan suatu tujuan atau kebaikan namun semata-mata adalah untuk membalas kejahatan yang telah dilakukan oleh seseorang sehingga kesusilaan dan keadilan dalam bentuk keseimbangan yang mutlak tetap tercapai. Dalam perkembangannya, teori pembalasan ini mengalami tranformasi dan memasukkan tujuan-tujuan ideal lainnya seperti unsur upaya preventif dan efek jera dan menghilangkan sumber ancaman.
Setiap bentuk tindakan apapun, tidak boleh merugikan sesama, ciri-ciri tindakan bermoral adalah bahwa ia betapapun tidak menghasilkan manfaat kepada orang lain, minimal ia tidak melanggar dan tidak merugikan orang lain.
Cara padang ini berlaku secara universal di manapun dan kapanpun. Terkait dengan konsepsi ini, maka perbuatan membunuh jelas merupakan sebuah tindakan yang tidak bermoral karena telah merenggut dan merugikan hakikat dari diri manusia, yakni kehidupan.
Secara universal, berlaku baik adalah ketika tidak merugikan orang lain, kasus hukuman mati sama sekali tidak merugikan orang lain kecuali ia yang tersangkut kasus dan dijatuhi hukuman mati.
Dalam hal ini, memang ada pro dan kontra terhadap peristiwa dan tindak pidana hukuman mati, namun kedua belah pihak tersebut memiliki kekuatan dan landasan hukum yang sama –sama kuat dalam melegitimasi status hukum dan sahnya hukuman mati.
Pidana dijatuhkan bukan karena mempromosikan suatu tujuan atau kebaikan namun semata-mata adalah untuk membalas kejahatan yang telah dilakukan oleh seseorang sehingga kesusilaan dan keadilan dalam bentuk keseimbangan yang mutlak tetap tercapai.
Etika deontologi mengajarkan bahwa setiap bentuk tindakan kebaikan dilakukan atas dasar kebebasan individu tanpa ada intervensi oleh pihak manapun. Perilaku baik adalah fitrah dan ia merupakan sebentuk kewajiban alami yang telah dimiliki oleh setiap individu tanpa perlu diajari mana yang baik dan mana yang buruk. Etika deontologi memberikan penekanan kepada hak-hak asasi manusia dalam kebebasannya, tindakan baik adalah perilaku yang dapat dirumuskan melalui diri sendiri.
Pidana hukuman mati dirumuskan melalui asas-asas yang kompleks dan berangkat dari berbagai kemungkinan dan hukum. Sebagai contoh, agama memberikan legitimasi dan ada aturan tentang hukuman mati, adat-istiadat juga memiliki status hukum yang sama dalam persoalan hukuman mati, hanya keberatan-kebaratan yang melatari adanya hukuman mati adalah ia telah merampas hak hidup dengan mengilangkan seluruh harapan-harapan dan potensi hidup selanjutnya.
Namun, persoalan-persoalan penting tentang keberatan dan yang menghendaki adanya hukuman mati perlu diajukan, di antaranya sebagai berikut:
Hukuman mati tidak memberikan dampak jera maupun prevensif terhadap terjadinya tindakan kriminal. Hukuman mati tidak memberikan rasa keadilan yang sesungguhnya bagi korban. Hukuman mati tidak mungkin diperbaiki jika terjadi kesalahan dalam sistem peradilan yang akan selalu tidak sempurna. Hukuman mati dinilai bertolak belakang dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Sedangkan posisi yang menghendaki tetap adanya hukuman mati adalah sebagai berikut:
Hukuman mati merupakan tindakan pembalasan dan pembentukan keadilan. Hukuman mati merupakan upaya efek jera dan preventif terhadap terjadinya tindak pidana dan hukuman mati ditunjuk untuk menghilangkan ancaman terhadap keselamatan dan kepentingan umum.
Melihat kemungkinan pro dan kontra di atas, menjadi jelas bahwa persoalan hukuman mati sama sekali tidak mudah diputuskan diberi kesimpulan, karena ia tidak berkaitan dengan keputusan sederhana antara hitam dan putih, tetapi sebuah persoalan yang kompleks melingkupinya.
Etika deontologi mengajarkan bahwa setiap bentuk tindakan kebaikan dilakukan atas dasar kebebasan individu tanpa ada interevensi oleh pihak manapun.
Dalam hal ini, paling tidak argumen etika deontologi bisa dijadikan acuan bahwa segala bentuk keputusan yang berkaitan dengan kasus hukum, haruslah mengacu pada kemutlakan dari pentingnya status hukum itu ketika dibuat.
Pasalnya, etika deontologi mengandaikan bahwa setiap tindakan haruslah berlaku secara universal dan umum dapat diterima oleh siapapun, tanpa ada yang menentangnya, bahkan oleh agama sekalipun. Dalam hal ini, status hukuman mati apakah sudah mencapai standar itu.
Paling tidak, dua sistem etika deontologi dapat diajukan, pertama kaidah imperatif hipotesis, yakni perintah bersyarat, bahwa sesuatu dilakuakan berdasarkan tujuan dan kepentingan tertentu sehingga keputusan ini tidak mutlak bersifat netral tanpa bisa.
Sementara itu, yang kedua adalah imperatif kategoris, yakni perintah tak bersyarat. Perilaku dan bentuk tindakan moral ini mengandaikan adanya sebuah tindakan universal yang berlaku umum untuk siapapun dan dapat diterima tanpa ada tendensi kepentingan dan ini bersifat netral.
Agaknya, pidana hukuman mati jika ditinjau dari perspektif etika deontologi ia masuk dalam corak imperatif hipotesis yang masih terikat oleh hukum-hukum tertentu, kepentingan-kepentingan tertentu dan belum bisa dikatakan mutlak dan universal.
Pandangan ini mengacu secara khusus sebagaimana apa yang diungkapkan Kant bahwa berbuatlah sesuatu seakan-akan tindak itu berlaku sebagai hukum universal yang siapapun dapat menerima tanpa menolaknya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kasus dan tindak pidana hukuman mati tidaklah sesuai dengan kaidah-kaidah hukum moral dalam konteks etika deontologi, karena dengan jelas argumentasi dan landasannya tidak cukup kuat diterima oleh berbagai belah pihak.
Namun, bisa diungkapkan di sini bahwa keputusan hukum itu bersifat fleksibel dan tergantung konteks wilayah yang melingkupinya, jika hukuman mati belum sesusi dengan standar kepentingan dan kebaikan yang ingin diajukan oleh teori etika deontologi, namun barangkali pidana hukuman mati justru merupakan sebuah keputusan hukum yang lebih baik dilakukan dan sangat sesuai dengan kondisi tersebut. Mengingat bahwa kepastian hukum tidaklah selentur dan sefleksibel tindakan dan argumen moral.