Masih teringat di benak saya ketika seorang pengajar paruh baya menyuguhkan representasi doktrin Aristoteles di layar pembesarnya. Jika ingatan saya belumlah pudar, maka dia menggambarkan doktrin substansi tersebut seperti struktur isi kayu. Jika kita membelah sebuah kayu menjadi dua, maka akan terlihat bahwa strukturnya terdiri dari lapisan-lapisan yang berbentuk lingkaran yang saling menumpuk. Sketsa tersebut biasa dianalogikan sebagai struktur substansi dan aksidensi. Substansi sebagai inti dari segala inti ber-ada di lingkaran tengah, kemudian lingkaran luar berikutnya menunjuk aksidensinya. Begitu terus hingga sampai lingkaran ke sepuluh. Abstraksi, kemudian, dipahami sebagai proses mengangkat aksidensi-aksidensi tersebut sehingga substansi per se dapat dimengerti.
Sebagai seorang mahasiswa “biasa-biasa saja”, di kampus yang “biasa-biasa” juga, hal itu tentu cukup membantu saya untuk menganggukkan kepala, namun tidak lagi saat semester saya sudah menginjak enam. Di saat berbagai pemikiran dan persoalan kekuatan argumen filosofis tidak lagi dipahami sebagai teori buntu tanpa pintu, gambar yang dibuat bapak paruh baya tersebut menjadi nampak tidak memuaskan. Karena itulah, mari sekarang kita mencoba menjelajah sedikit ke persoalan tersebut: antara substansi dan aksidensi. Apakah substansi dapat dipahami dengan melepas aksidensinya? Namun, sayangnya, atau beruntungnya, bukan Aristoteles yang ingin saya bahas di sini, melainkan bapak Filsafat modern, René Descartes (1596-1650), karena dia memiliki konsep dan contoh yang cukup komprehen untuk dibahas.
Elaborasi terhadap konsep Descartes ini akan sangat penting bagi saya, atau mungkin juga sidang pembaca lsfcogito.org karena tanpa memahami secara jelas tentang konstruksi substansi dalam pemikiran Descartes, hal itu akan menyulitkan kita untuk memahami konsep-konsep filsuf kekinian yang sangat berperan penting dalam dunia filsafat.[i] Ada-Dalam-Dunianya Martin Heidegger (1889-1976), dan interaksi jiwa-badanya Maurice Merleau-Ponty (1908-1961) akan sulit dipahami dengan jelas tanpa mengobrak-abrik rumah pemikiran bapak satu anak ini, karena seperti yang disarankan Lavine[ii], kita mungkin boleh tidak setuju, tapi kita harus mengkajinya, karena dia lah sang Bos Besar! Namun karena fokus kita adalah substansi dan aksidensi, maka saya menyarankan agar pembahasan diarahkan fokus ke konsep keluasannya saja, untuk mempermudah pembahasan.
Memahami pemikiran keluasan Descartes, terutama hubungannya tentang substansi dan aksidensi bukanlah hal mudah. Namun memahami keluasannya akan sangat membantu siapapun untuk masuk pada sebuah dunia baru. Dunia yang jelas dan terpilah-pilah. Sebelum berangkat, mari diperjelas dahulu, apa yang disebut dengan keluasan? Dalam Principles I, 53 Descartes menggambarkan keluasan sebagai kodrat substansi fisik (The nature of corporeal thing). Sehingga, dalam pandangan Descartes, apapun yang ada di dunia material adalah keluasan. Setiap keluasan terdiri dari panjang, lebar, dan tinggi (atau kedalaman, depth)[iii].
Keluasan ini sering dilawankan dengan pikiran (mind atau cogitan) yang tidak memiliki ciri-ciri fisik tersebut. Aku yang berpikir tidak memiliki keluasan. Kata kunci keluasan adalah: Selama sesuatu ada di luar pikiran, sebagai contoh: meja di depan anda, kursi yang anda duduki, komputer tempat anda mengetik, dan orang lain di hadapan alis anda, semuanya adalah keluasan. Semua yang ada di luar akal kita adalah keluasan. Karena mereka meluas dalam ruang, dan memiliki sifat-sifat yang cocok dengan ruang itu sendiri. Bahkan, pernyataan itu dapat dibalik, apakah ada yang tidak meluas di ruang? Tentu tidak ada! Karena, titik pun meluas. Dia menempati ruang dan dapat dibagi, yang berarti dia memiliki keluasan. Bahasa kerennya: apapun yang mengada dalam ruang, dan dalam dunia materi, selalu meluas. Hal ini diungkapkan oleh Descartes dengan kata-katanya yang terkenal di Meditaion Sixth bahwa:
… Aku mengamati bahwa ada sebuah perbedaan besar antara pikiran dan tubuh, dalam konteks ini, bahwa tubuh dalam kodratnya selalu dapat dibagi, sedangkan pikiran tidak sama sekali.[iv]
Dengan kriterium tersebut kita dapat melihat bahwa semua yang berada di luar pikiran dan akal adalah keluasan. Keluasan adalah substansi yang membentuk dualisme substansi Descartes. Bersama dengan substansi satunya, yaitu pikiran atau cogitan, keluasan membentuk struktur dunia independen yang terlepas dari aku berpikir. Jadi, sebab atas peristiwa fisik selalu fisik dan tidak pernah persitiwa mental begitu juga sebaliknya, jelas Keeling[v] sang komentator Descartes. “Mereka adalah substansi yang independen”. Karena itulah metafisika yang dibangun oleh Descartes sering disebut Dualisme Psikofisik.
Dunia dibagi menjadi dua secara jelas oleh dua substansi yang berbeda: psiko dan fisik. Bolehlah jika dikatakan yang cogitan atau psiko itu immaterial, sedangkan yang keluasan adalah yang material. Sehingga, pembedaan tersebut sering dikatakan oleh komentator kontemporer bahwa kesadaran yang dibangun oleh konstruksi aku berpikirnya Descartes tertutup. Sekali lagi, karena keduanya independen. Jadi agak sulit untuk menjustifikasi bahwa kesadaran Descartes adalah kesadaran terhadap sesuatu, seperti yang dilontarkan Husserl. Namun, uniknya, karena mereka independen, dunia keluasan dibangun oleh prinsip-prinsipnya sendiri, begitu juga dengan dunia pikiran.
Tapi bagaimana hal tersebut dapat berkaitan? Jawaban akan hal tersebut tidak akan saya jawab. Silahkan tunggu artikel oleh teman saya, Danang Tp. sang pujangga Kaliurang, dalam artikel lain di blog ini juga. Namun di artikel ini, yang perlu dipertanyakan adalah, sebagai lanjutan dari cerita pembuka di atas, apakah ada perbedaan antara keluasan (substansi) dan benda yang meluas (aksidensi)? Apakah benda yang meluas adalah cipratan dari keluasan itu sendiri ataukan dia benda yang lain, atau apakah substansi dapat dipahami tanpa aksidensi? Mengapa hal itu perlu dipertanyakan, karena tanpa membuat landasan yang tepat antara substansi dan aksidensi, takutnya, hal itu dapat mengantar kita malah untuk menemukan substansi yang lain. Untuk itu mari berusaha masuk pada buku Descartes: Principles of Philosophy.
Tentang hubungan persoalan dalam keluasan, Descartes mempunyai klaim yang sangat kuat terhadap hal tersebut. Descartes menegaskan bahwa keluasan tidak dapat dipahami tanpa substansi yang meluas. Konsekuensinya, pemahaman tentang tubuh sebagai substansi yang meluas dan keluasan bukanlah hal yang terpisah. Tubuh bukanlah keluasan atas sesuatu, melainkan dialah keluasan itu sendiri. Keluasan dengan ini cukup dipahami sebagai mode atas substansi, atau cara substansi hidup.
Tanpa mode bagaimana substansi menjadi mungkin? Oleh karena itu, sekali lagi, artinya, keluasan dan substansi yang meluas adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisah. Menurut Descartes, jika ada seseorang yang tidak memahami kesatuan tersebut, dapat dikatakan mereka tidak memahami maksud dari substansi itu sendiri. Bukankah substansi adalah sesuatu yang independen? Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, Jika Descartes membagi substansi hanya dua, yaitu keluasan dan pikiran, dan jika substansi yang meluas itu adalah berbeda dengan keluasan, maka dia seharusnya adalah substansi juga, sehingga dalam Principles I, 64 dia mengatakan:
Jika kita berusaha untuk mempertimbangkan pikiran dan keluasan terpisah dari substansi di mana mereka melekat –substansi yang memiliki mereka– kita akan melihat mereka sebagai sesuatu yang hidup sendiri, dan akan membuat rancu ide tentang modus dan substansi.[vi]
Pemisahan keluasan dan sesuatu yang meluas menurut Descartes, merupakan kesalahan yang dibuat oleh filsafat abad pertengahan dalam menafsirkan Aristoteles. Untuk mempermudah hal tersebut, dalam Principles II, 8 Descartes mengatakan bahwa hubungannya persis seperti angka dan yang diangkakan. Hal ini lah yang biasa disalahpahami tentang konsep substansi dan aksidensi sebagai pemisahan yang rigid. Padahal hal tersebut tak bisa dipisahkan. Tidak akan ada keluasan tanpa sesuatu yang meluas, atau tidak ada substansi tanpa aksidensi.
Saat seseorang melihat konsep Aristoteles tentang substansi dan aksidensi, maka akan terlihat bahwa ada aksidensi yang krusial terkait dengan persoalan ini yaitu kuantitas. Dalam lapisan substansi, kuantitas adalah aksidensi dari substansi, bersamaan dengan kualitas dan relasi. Sehingga, saat ada pemahaman bahwa, jika menurut Descartes, substansi kenyataan ada dua, yaitu pikiran dan keluasan, maka benda yang meluas sebagai kuantitas karena mereka plural, yang ada dimana-mana, adalah aksidensinya, sehingga jika kita menghilangkan aksidensinya, kita akan mendapatkan keluasan itu sendiri.
Hal itu cukup konsisten, namun menurut Descartes tentu saja itu menjadi sulit diterima. Karena, sekali lagi, substansi tidak dapat dipahami tanpa aksidensinya. Dengan jelas, dalam principles II, 9 dia mengatakan bahwa persoalan itu adalah karena indikasi tidak adanya pemikiran yang jelas dan terpilah-pilah terhadap persoalan substansi, mode, dan atribut:
Saat mereka memisahkan substansi dari keluasan atau kuantitas, mungkin mereka tidak tahu apapun dengan term substansi, atau maksud mereka hanya sebuah kerancuan konsep atas substansi ghaib, karenanya mereka membuat kalimat jenis itu.[vii]
Sekarang mari bayangkan ada sebuah pohon. Anggap pohon adalah hal yang ingin kita cari substansinya. Pisahkan kuantitasnya. Maka pohon akan hilang karena sudah tidak ada kuantitasnya lagi. Lalu apa yang akan dicari substansinya? Dan tentu saja, usaha untuk memahami apa substansi dari pohon itu sendiri akan gagal. Karena itulah pemisahan itu adalah hal yang mustahil.
Saat melacak pemikiran Descartes tersebut, akan terlihat bahwa hal itu memiliki akarnya dalam pemikiran abad Tengah, entah sebagai kritik atau penyempurna[viii]. Memang ini sangat cocok, mengingat Bertrand Russell[ix] pernah bercerita bahwa saat Descartes pergi ke Belanda hanya membawa beberapa buku, yang salah satunya adalah Bibel dan buku Thomas Aquinas.
Dalam diskurus abad tengah, persoalan substansi dan aksidensi cukup krusial. Ada dua pandangan yang melihat posisi kuantitas. Pertama, kuantitas sebagai pembawa sifat-sifat, dan kedua kuantitas sebagai substansi. Aquinas berada pada posisi pertama. Dia melihat bahwa setiap aksidensi untuk dipisahkan membutuhkan subjek, namun kuantitas dapat eksis tanpa subjek dan dapat berjalan bersama kualitas. Eksistensi kuantitas kemudian, agar menjadi mungkin, ditopang oleh keajaiban Tuhan. Di pihak lain, Okcham berada pada posisi kedua, tidak ada kuantitas yang lepas dari kualitas dan substansi. Dan sepertinya Descartes cenderung mengarah ke gagasan Okcham.
Untuk mempermudah memahami hal tersebut, dalam Mediation II[x] tentang percobaan lilinnya dia memberikan contoh tentang konsep keluasan ini. Anggap saja ada lilin di depan mata saya. Lilin tersebut memiliki bentuk, panjang, lebar, dan tinggi, dan oleh karenanya dia memiliki keluasan. Namun saat lilinnya meleleh, kita dapat melihat bahwa lilin mulai berubah bentuk. Mulai menyerang keluasan yang lain, berubah, dan seperti menyatu. Sehingga dapat ditarik bahwa yang berubah hanyalah ukurannya dan bukan keluasannya. Keluasannya tetap. Walaupun lilin meleleh, kita masih tetap membedakan lilin dan non-lilin. Namun tanpa semua itu, proses-proses tersebut, substansi keluasan tidak akan dapat dipahami.
Descartes percaya bahwa cogitans itu bersifat individual yang berarti ada banyak jiwa di dunia ini, ada banyak benda berpikir yang memiliki otonomi masing-masing. Begitu juga dengan substansi yang meluas. Ada banyak substansi yang meluas. Dan hal ini ternyata cukup untuk membuat kita berpikir bahwa walaupun substansi yang meluas itu banyak, mereka tetap satu dan bisa hidup dalam kesatuan keluasan. Dengan banyaknya substansi yang meluas tersebut, mereka tetap hidup dalam satu substansi keluasan.
Untuk melihat hal tersebut lebih mudah, sepertinya kita harus kembali pada Principle I, 56, saat dia membedakan (dan bukan memisahkan) antara substansi, mode, kualitas dan atribut:
Term mode yang dimaksud di sini adalah sama dengan atribut atau kualitas, tapi mereka digunakan secara berbeda. Kita menggunakan mode saat berbicara tentang sebuah substansi yang dipengaruhi atau diubah (air yang dipanaskan menguap). Kita menggunakan kata kualitas saat berbicara fakta tentang sebuah substansi yang membuatnya memiliki sifat jenis tertentu (air itu cair). Dan kita munggunakan kata atribut saat berbicara secara lebih umum tentang apa yang seharusnya dimiliki substansi (air yang meluas dalam ruang).[xi]
Dan dilanjutkan dalam principle I, 58,bahwa
Dengan cara yang sama, angka, saat dipikirkan secara abstrak atau umum, dan tidak pada benda, adalah mode dari berpikir, dan memiliki kegunaan yang sama dengan hal universal lainnya.
Dengan kriterium tersebut akan terjawab bahwa semua mode, atribut, dan juga kualitas adalah kesatuan yang tak dapat dipisahkan walaupun dapat dibedakan. Bagaimana mungkin kita memahami substansi air sebagai contoh tanpa mode (tanpa sifat bahwa air jika dipanaskan menguap), kualitasnya (cair), dan atributnya (meluas dalam ruang)? Memang dalam posisi tertentu kita dapat mengatakan H2O, namun hal yang perlu dipahami jika H2O tidak memiliki sifat-sifat tersebut, mereka bukan H20 lagi. Dan tanpa properti tersebut kita tidak akan dapat mengidentifikasi H20. Hal ini jika dirujuk sama seperti persoalan keluasan dan jumlahnya.
Sekali lagi Descartes memberikan pemahaman baru (tapi sekarang tidak lagi) dalam melihat substansi dengan kriteria jelas dan terpilahnya, bahwa substansi akan sulit dilihat tanpa aksidensinya. Tanpa wujudnya, tanpa bendanya, dan tanpa relasinya. Descartes sendiri mengartikan substansi sebagai sesuatu yang independen, tidak tergantung dengan apapun, untuk menunjang eksistensinya, walaupun, jika ditarik ke akarnya, substansi yang benar-benar tidak tergantung adalah Tuhan. Sehingga ini memperlihatkan bahwa substansi dan aksidensi, walaupun itu ada, tapi tidak dapat dihilangkan salah satunya. Jika kita berusaha menghilangkan mode, atribut, atau kualitasnya, maka hal tersebut dapat menghilangkan substansinya juga. Atau lebih tepatnya, membuat substansi tak terpahami.
Lalu bagaimana dengan usaha-usaha abstraksi yang berusaha untuk mencari sebuah substansi dengan memisah inti dengan aksidensinya dan bukannya dengan memahaminya secara menyeluruh dengan kriterium jelas dan terpilah-pilah? Saya ingin mengatakan pada bapak paruh baya itu dan siapapun yang punya pemikiran yang sama dengannya, yang memiliki pemikiran bahwa substansi dapat dipahami dengan melepas segala aksidensi, atau atribut, mode, dan kualitasnya: “mari memahami secara keseluruhan.” (Banin Diar S., Mahasiswa Filsafat UGM ’12, PimRed LSF Cogito)
***
Catatan
[i] Tulisan ini mengikuti uraian C. G. Normore, “Descartes and the Metaphysics of Extension”, dalam Janet Broughton dan John Carriero (USA, Blackwell, 2008), hal. 271-287.
[ii] Lih. T.Z. Lavine, Petualangan Filsafat; Dari Socrates ke Sartre, Terjemahan Andi Iswanto dan Deddy Andrian Utama (Yogyakarta: Jendela, 2002), hal. 120.
[iii] Lih. René Descartes, Principles of Philosophy, Terjemahan Jonathan Bennett, 2008.
[iv] Lih. René Descartes, Meditation on First Philosophy, Terjemahan Michael Moriartry (Oxford, Oxford University Press, 2008), hal. 60-1.
[v] Lih. S.V. Keeling, Descartes, (Oxford: Oxford Unviersity Press, 1968), hal. 154.
[vi] Lih. René Descartes, Principles of Philosophy.
[vii] Lih. Ibid.
[viii] Lih. Normore, Op.Cit., hal. 275.
[ix] Lih. Bertrand Rusell, Sejarah Filsafat Barat, Terjemahan Sigit Jatmiko, Dkk. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007), hal. 735.
[x] Lih. René Descartes, Meditation on First Philosophy, Op. Cit., hal. 17-24.
[xi] Lih. René Descartes, Principles of Philosophy.