Cogito ergo Sum, sebuah kalimat yang sudah sangat familiar dalam dunia pemikiran dan filsafat. Setidaknya hingga saat ini kalimat itu telah mengukuhkan pentingnya rasionalisme di tengah eksistensi manusia. Namun, ada sesuatu yang cukup menarik yang disampaikan oleh Eric Weiner dalam The Socrates Express bahwa kegiatan berpikir itu juga merupakan bagian dari “memerhatikan”, sebuah pendapat yang didasari dari filsafat “perhatian” Simone Weil.
Sangat menarik ketika kebanyakan filsuf mempersoalkan permasalahan yang begitu kompleks dan terkadang melampaui imajinasi manusia, walaupun—dalam artian mendalam—beberapa aliran filsafat juga dekat dengan manusia. Hanya saja, gagasan Simone Weil ini menarik dan praktis untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Perhatian sebagai Fondasi Kehidupan
Perilaku dan karakter seorang anak terbentuk dari apa yang dilakukan orang tua pada masa kecilnya. Orang tua yang penuh perhatian dan menyayangi anaknya dengan tulus akan membentuk kepribadian yang peduli dan toleran. Hal ini tentunya akan berbeda dengan orang tua yang kurang memberi perhatian pada anaknya.
Kepribadian dalam diri manusia terbentuk dari pengalaman yang pernah ia alami semasa kecilnya. Kurang lebih inilah yang dicetuskan Freud dalam psikoanalisisnya. Terdapat dinamika id, ego, dan superego dalam membentuk sebuah kepribadian manusia. Dengan kata lain, perhatian juga merupakan faktor pembentuk kualitas hidup manusia
Perhatian sebagai Realitas Kehidupan
Selain makhluk rasional, manusia juga merupakan makhluk empiris yang selalu mengutamakan pengalaman indrawi sebagai tolok ukur. Realitas kehidupan saat ini merupakan bentuk dari perhatian manusia. Hal ini sangat berkaitan dengan gagasan Stephen Hawking mengenai realisme yang bergantung pada model.
Model realisme dalam gagasan Stephen Hawking juga bisa kita pahami sebagai bentuk dari apa yang kita perhatikan saat ini. Jika ada yang mengatakan “dunia ini ada karena manusia”, kita tentunya tidak bisa menyalahkan apa yang seseorang tersebut pikirkan. Perlu beberapa pertimbangan mendalam untuk sekedar menyanggah pandangan tersebut.
Dalam ilmu agama sudah dijelaskan bahwa dunia diciptakan oleh Tuhan. Lalu dalam sains, dunia tercipta akibat sebuah aktivitas kosmik. Kedua penyebab ini menjadi nyata karena ada dalam isi kepala manusia. Namun jika tidak ada manusia, apakah kesadaran terhadap sebuah “dunia” itu ada? Pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Bahkan selain konsep “ada” ketika tidak ada manusia, konsep “ketiadaan” itu juga sulit untuk dijelaskan.
Manusia memerhatikan dari apa yang sepatutnya dia perhatikan. Ketika sudah memperhatikan, manusia akan cukup sulit berpaling dari apa yang telah ia yakini. Sebuah ikatan terbentuk antara manusia dengan perhatian yang ia miliki saat ini. Realitas kehidupan yang telah menemani selama beberapa bulan, tahun, atau abad telah memiliki ikatan dengan realitas yang ada di dalam kepalanya.
Inilah implikasi dari perhatian manusia. Makhluk seperti kita cenderung memerhatikan sesuatu yang menarik bagi diri kita. Kita tidak bisa memperhatikan sesuatu hanya dengan mengatakan “ayo semua perhatikan!” Perkataan seperti ini bukanlah sebuah perintah untuk memerhatikan, melainkan perintah untuk berkonsentrasi pada suatu hal.
Perhatian dan Konsentrasi
“Attention please!”, sebuah kalimat yang sering terucap ketika seseorang ingin berbicara di depan umum. Menurut Eric Weiner dalam The Socrates Express, perhatian bukanlah konsentrasi karena tidak dapat dipaksakan. Konsentrasi bisa kita paksakan dengan fokus sehingga ia kemudian terpusat pada satu titik yang tengah dituju. Semisal ketika di dalam kelas, kita memaksa diri kita untuk fokus pada teman kita yang sedang memaparkan presentasi.
Terkadang konsentrasi itu melelahkan. Hal itu terjadi ketika kita sepenuhnya fokus hanya pada satu titik dan membatasi kita pada hal yang lain. Berbeda dengan perhatian yang meluaskan dan memudahkan kita. Menurut Simone Weil, “Yang terpenting adalah, pikiran kita mesti kosong, menunggu, tidak mencari apa-pun, tetapi siap menerima objek yang akan memasukinya dalam kebenarannya yang paling murni.”
Perhatian sejati yang diungkan oleh Simone Weil mirip dengan hubungan antar kekasih. Ketika seseorang memerhatikan kekasihnya, ia tidak hanya fokus pada sosok kekasihnya, melainkan ia juga akan memperhatikan kebiasaan, keluarga, dan interaksi kekasihnya dengan orang lain. Hal ini tidak melelahkan dan malah memperluas pandangan seseorang. Mereka menikmati dan menerima kebenaran yang paling murni dari kekasihnya.
Perhatian sebagai Cinta
Di fase ini perhatian tidak jauh berbeda dengan cinta. Menurut Simone Weil, “Mereka yang tidak bahagia tidak memerlukan apa-apa lagi di dunia ini selain orang yang mampu memberi mereka perhatian”. Kalimat ini menggambarkan bahwa memberikan perhatian pada seseorang yang menderita merupakan tindakan moral paling baik. Tidak hanya pada orang yang menderita, tetapi pada orang yang bahagia pun kita harus tetap memberikan perhatian.
Terkadang ketika kita mencintai seseorang tetapi dia menolaknya, hati kita tentu akan terasa sakit. Menurut Eric Weiner tidak hanya cinta yang tertolak, melainkan juga perhatian yang kita berikan dan perhatian yang akan kita dapatkan jika dia menerima cinta kita. Selain merasa sakit karena cinta dan perhatian kita telah dia renggut, kita merasa kehilangan apa yang kita perhatikan.
Dalam kasus lain, seseorang tidak menerima cinta kita. Dia hanya menunda keputusan untuk menerima atau menolak kita. Hal ini pun sama menyakitkannya. Tatkala dia memberi waktu—tetapi tidak sama sekali perhatiannya—ini termasuk salah satu penipuan terkejam. Contoh ini mirip dengan perhatian palsu yang diberikan orang tua pada anak semasa kecil.
Memang untuk memberikan suatu perhatian sejati tidaklah mudah. Perlu kesabaran dan penantian, karena sebenarnya hal paling baik akan kita peroleh jika menunggunya dengan sabar daripada tergesa-gesa oleh karena alasan hasrat semata. Bersabar adalah kebajikan yang paling mulia di dunia ini.
Akhir dari Perhatian
Semakin lama kita memerhatikan sesuatu, semakin lama juga kita memahami dan merasa hal tersebut adalah milik kita. Ketika seorang wanita telah menikah, ia akan tinggal bersama dengan suaminya. Dalam hati seorang ibu, ia tidak akan dengan mudah merelakan kepergian putrinya. Hal yang sebelumnya selalu kita beri perhatian akan sangat sulit untuk kita relakan pergi. Karena apa yang kita perhatikan adalah apa yang kita cintai dan rawat selama ini.
Memberikan perhatian tidaklah mudah, perlu kesabaran dalam memupuknya. Tidak secepat dentuman besar dan tidak pula selama pembentukan bumi dan planet lainnya. Perlu porsi yang tepat agar perhatian dapat menenangkan orang lain dan lingkungan sosial. Selain itu, kita perlu belajar mengikuti tahap-tahap memberikan sebuah perhatian karena akan sangat berguna dalam mengurangi emosi negatif dalam diri kita.