Reminisensi delapan tahun kematian Onghokham
Indonesia masuk gelangang perang dunia kedua pada 10 Mei 1940 bertepatan dengan serbuan tentara Jerman ke negeri Belanda. Ratu Belanda mengungsi ke London pada 14 Mei 1940, selanjutnya 15 Mei Belanda menyerah pada Jerman. Amsterdam diduduki Jerman.
Kini nasib Hindia Belanda tergantung dan ditentukan oleh konteks global kala itu. Sementara, sejak akhir abad 19 Jepang tumbuh sebagai kekuatan imperial baru di Asia. Jepang mulai melakukan invasi-invasinya ke negera tetangga yang masih dalam kekuasaan kolonial bangsa-bangsa eropa. Salah satu sasaran invasi Jepang adalah Hindia Belanda yang sedang terpuruk akibat pusat kekuasaanya di Eropa mengalami kekalahan.
Maret 1942 dan bulan-bulan sebelumnya Hindia Belanda melakukan politik bumi hangus. Jika pada waktunya Belanda harus menyerah pada Jepang. Maka, jangan sampai semua fasilitas publik yang dibangun pemerintah kolonial baik-baik saja. Rusak semuanya. Brugmans, Seorang perwira cadangan Belanda menulis dalam catatannya:
Semarang, Maret 1942. Tiga jembatan kereta api diledakkan. Jembatan Demak meledak. Bunyi ledakan hebat. Tanah pasir menyelimuti matahari dan menjadikan semuanya gelap.
Onghokham telah merintis historiografi yang menjangkau banyak tema mulai dari gerakan petani, sejarah etnis tionghoa, sejarah rokok kretek, makanan penyajian makanan(ristafel), posisi tempe dalam sejarah Indonesia, seksualitas, sejarah lukisan, sampai soal mahluk ghaib, dari Tuyul sampai Nyai Blorong. Walaupun RHB adalah sejarah dengan pendekatan kolonial, tetapi lewat cara itu Ong malah bisa terhindar dari pemahaman nasionalitik-emosional yang beku.
Akhir kekuasan kolonial berlangsung seram, Gotterdammerung, seperti kiamat. Begitu kenang sejarwan peranakan Tionghoa Onghokham pada 1967. Peristiwa itu dicecapnya 25 tahun lalu. Ketika itu dia masih seorang bocah 9 tahun yang lugu. Keluarganya anggota Indische Burgerij, elit non-pribumi yang cukup diistimewakan birokrasi kolonial Hindia Belanda.
Jelas, waktu itu menjadi seorang Tionghoa tak begitu merugikan. Garis keluarganya adalah Han Hoo Tong, dinasti juragan gula yang menguasai monopoli di wilayah Pasuruan dan Surabaya (1850-1909). Tapi, sejarah tak statis dan bisa berbalik. Tiada tata yang selamanya tata.
Saya rasa Onghokham paham benar soal itu. Olehnya, dia bisa menulis bagian paling kelam bagi keluarganya di episode awal sejarah Indonesia modern. Episode kekalahan yang seharusnya mencuatkan rasa marah, atau mungkin kekecewaan mendalam.Kekalahan Belanda atas Jepang yang kemudian diikuti gelombang kebangkitan pergerakan nasional Indonesia, sama sekali tak menguntungkan bagi Onghokham dan keluarganya.
Runtuhnya Hindia Belanda karya Onghokham memotret masa akhir kolonial yang kelam bagi dirinya. Akan tetapi, sedikit mengembirakan bagi pergerkan nasional. Karya itu adalah bukti Onghokham sebagai sejarawan yang cerdas dan penting. Runtuhnya Hindia Belanda adalah tulisan akademis yang bisa dibilang langka dari segi format dan gaya penulisan. Tuturan naratifnya prosaik, dibandingkan dengan umumnya tulisan akademis yang kaku, taksonomis, dan ndak asik.
Tulisan ini akan mencoba menerka dan meneroka kiprah Onghokham dalam historiografi Indonesia. Pandangan-pandangannya soal historiografi dan ilmu sejarah yang implisit dalam beberapa karya, dan tentu kehidupannya. Bagi saya ini adalah reminisensi saya untuk Pak Ong, catatan kecil di samping halaman sebuah buku, untuk menginggat.
Sebagai catatan samping, saya tidak berpretensi untuk menuliskan secara lengkap, dan memerikan semua jawaban. Hanya mengingat, semacam in memoriam untuk orang hebat yang pernah hidup di Indoningnut. Berlebihan menyebutnya orang hebat, tepatnya orang kalah yang menolak menyerah: cina, dekat ke ide-ide kiri, mantan NAPI Orbus (orde busuk)nya pak Harto, Gay, dan agnostik.
Tradisi Jawa punya kebiasaan, slametan, kondangan mayit, memperingati hari kematian orang terkasih. Tulisan ini sebagai wujud perayaan kepergian Onghokham 30 Agustus 2007, juga 83 tahunnya pada bulan Mei lalu. Sayang, tanpa Babi Hong, Whisky, dan pesta mabok-mabok seperti masa ketika Onghokham bergembira merayakan ulang tahun bersama sahabat dan murid-muridnya.
“ Mari kita bersulang dari jauh saja yaa..pak Ong..ting..glegek…”
***
Di awal abad ke-21 tidak gampang mengkonsep kerangka keilmuan untuk mencatat sejarah bangun dan tengelamnya bangsa pascakolonial. Memberi tempat untuk orang-orang –dipaksa- kalah memaknai sendiri pengalaman masa lalunya dalam kerangka negara modern. Bersamaan dengan pembentukan negara modern di wilayah bekas koloni, dunia di penghujung abad ke-19 mengalamai apa yang disebut Benedict Anderson, “globalisasi perdana”.
Penemuan telegraf, kabel bawah laut, peresmian persatuan pos dunia pada tahun 1876, penemuan kapal uap, jalinan rel kereta yang kian menebal. Kesemuanya itu mengkondisikan proses pembentukan negara modern dalam iklim kapitalisme cetak. Pergerakan surat, buku, majalah, koran, foto, dan pergerakkan orang, komoditas dalam dan keluar batas nasional-kolonialnya[1]. Setelah realitas yang bergerak meng-global itu, kini bagaimana cara mempertahankan sejarah nasional, sejarah kebangsaan, sebagai conceptual framework penulisan sejarah?
Pada tahun 2012, Gayatri Cakravorty Spivak menyampaikan Commemorative Lecture di acara penganugrahan Kyoto Prize. Dua puluh empat tahun setelah penerbitan esai Can the Subaltern Speak (1988), esai yang memancing perdebatan. Merangsang perubahan, bukan hanya pada studi historiografi pascakolonial, tapi juga teori ilmu sosial dan studi kebudayaan. Spivak mengatakan: “Democracy in the subaltern is a fearful thing”[2].Hal itu terjadi persis ketika, gagasan nasionalisme pascakolonial yang mencuatkan imajinasi tentang identitas subjek native (asli) ditantang oleh berbagai perubahan politik –demokrasi, globalisasi dll-. Diikuti alihragam (transformation) pemahaman tentang identitas politik –individual, kolektif-, interaksi antar manusia, dan posisi politik bangsa-bangsa bekas jajahan.
Pada akhirnya bukti-bukti historis mengiring kita pada kesimpulan bahwa imajinasi tentang identitas asali (nativisme) –dalam berbagai farianya,nasionalisme, lokalisme, provinsialisme, chauvinisme- , hanya imajinasi ilusif. Sejenis lamunan di siang bolong, alih-alih satu bentuk konstruksi imajiner yang bertopang pada fakta-fakta historis. Kesimpulan ini memang agak menyesakkan subjek kolonial.
Setelah kolonialisme ditengarai mengkonstruksi habis-habisan identitas subjek koloni. Setelah kekalahan yang datang bertubi-tubi akibat represi dan introduksi perangkat-perangkat kekuasaan kolonial. Setelah perjuangan mencapai kemandirian pascakolonial dicapai dalam bentuk upaya melepaskan diri dari kekuasaan kolonial. Subjek pascakolonial digiring pada kesimpulan, bahwa justru sebab kolonialisme, dan segala perlawanan setelahnya, terhapuslah segala bentuk bayangan romantisis soal “keaslian”. Sejak lama lokalistas tenyata bergerak bertopang di atas silang daya global. Kemandirian pascakolonial –kemerdekaan- justru dikondisikan akibat proses hebat rambatan global daya-daya yang mencuatkan perlawanan anti-kolonial.
Sejarawan Thai, Tongchai Winichakul pada tahun 2003 menulis sebuah esai menarik; Writing at the Interstices: Southeast Asian Historians and Post-National Histories in Southeast Asia[3]. Tongchai menegaskan bahwa, kepercayaan pada nativisme identitas nasional dalam historiografi diam-diam menggiring seseorang untuk melihat proses sejarah bangsanya dengan kaca mata kuda historis (historical tunnel vision). Kacamata yang menutup segala kenyataan tentang perkembangan silang budaya sosial-politik global.
Jika dengan keras kepala, para sarjana tetap mendaku bahwa sejarah nasional atau sejarah kebangsaan adalah studi sejarah tentang peneguhan subjek native dalam wilayah geopolitik pascakolonial. Maka, niscaya tiada lain selain kejumudhan. Menulis sejarah tak selamanya aktivitas senyap menyusun narasi dari gulungan dan tumpukan arsip. Menulis sejarah adalah mencari jeda dalam ketegangan emosional antara tata nalar keilmuan dan ambisi politik –dalam berbagai bentuknya- . Sejarawan bergelayut diantara dua hal yang ditulis Antonio Gramsci dalam sunyi bui yang mengigit: “I’m a pessimist because of intelligence, but an optimist because of will.”
Posisi Onghokham berdiri dalam tegang dilematis di atas. Hal itu terlihat dalam dokumen mini autobiografi yang ditulisnya untuk terapi akibat guncangan jiwa di awal 1966. Sebelumnya Onghokham berkunjung ke Jawa Timur, bertepatan dengan tragedi pembunuhan masal simpatisan PKI 65-66. Ong melihat kekacauan, depresi sosial yang mengerikan. Setelah itu Ong dipenjarakan Orbus tanpa alasan jelas pada Maret-September 1966. 4 Desember 1967 Ong menulis demikian:
Awalnya saya berencana menyaksikan kekerasan di jalanan hanya dengan melihat sebagai seorang “sejarawan”. Namun hal itu mencengkram saya secara emosional dan membiarkan perasaan-perasaan saya berjalan dengan berharap seandainya saja peristiwa-peristiwa tersebut tidak terjadi pada saat ini (saya mungkin tidak dapat berbicara sebagai orang Indonesia). Dalam beberapa hal, ketidakpastian, kebimbangan dan kebingungan muncul dalam diri saya. Saya sulit mempercayai apa yang saya lihat dapat terjadi di sini[4].
Sejarawan bukan lagi ilmuwan -dalam definisi ketatnya- yang sibuk bertaruh narasi sejarah siapa paling objektif. Lantas, menafikkan dampak sosial-politik keputusan ilmiah dan hasil spekulasinya, yang kerapkali bersandar pada elemen-elemen subjektif yang membangun ilmu. Kesukaan personal, kenyamanan perhitungan, kemudahan mencapai kesimpulan dan postulat metodologis yang salah kaprah soal objektivitas, orisinalistas identititas, dan sifat-sifat emosional-nasionalistik soal bangsa.
Pilihan sejarawan atas fakta masa lalu yang mesti dituliska lahir dari praandaian metodologis (postulat eksternal, internal). van Frassen menyebutnya sebagai penjelasan pragmatik dalam ilmu[5]. Penjelasan pragmatik melihat persoalan keilmuan, yang tercermin dari pertanyaan-pertanyaannya sebagai persoalan dalam konteks dan mempunyai praandaian.
Frassen mengatakan bahwa menjelaskan suatu gejala atau peristiwa memang melibatkan pemaparan kejadian-kejadian yang menghasilkan gejala itu. Akan tetapi, putusan terhadap pilihan kejadian yang dimaksud sepenuhnya merupakan persoalan pragmatik. Sebab itu, kepentingan dan latar belakang pengetahuan pengaju pertanyaan-mengapa, tidak dapat diabaikan. Penyelidikan dimensi pragmatik ilmu memahami setiap pertanyaan keilmuan sebagai persoalan dalam konteks dan memiliki praandaian.
***
Runtuhnya Hindia Belanda ditulis Onghokham sebagai narasi sejarah dengan sudut pandang kolonial. Alasanya, bahwa Belanda pernah memerintah Indonesia, dengan itu Belanda menjadi bagian penting dalam sejarah Indonesia. Apa yang dihadapi pemerintah kolonial mungkin sekali juga dihadapi oleh pemerintah Republik Indonesia. Bagi Ong, Indonesia adalah successor state, negara pengganti dari Hindia Belanda[6]. Alasan Ong tersebut penting digaris bawahi kaitanya dengan dekolonisasi historiografi. Betapa-pun Belanda adalah bagian dari masa lalu (sering dinilai emosional, sebagai masa kelam, penjajah, penjahat) Indonesia, posisinya harus tetap diakui secara objektif.
Onghokham pernah membuat satu artikel panjang yang dengan bernas menunjukkan kemampuan Ong untuk fokus pada satu lokalitas, tapi sekaligus menembus batas-batas lokal geopolitik nasional. “Bentuk Negara Indonesia dan Aspek Interasionalisasi”. Ong menelusuri aspek-aspek sosial-kebudayaan dari berbagai belahan dunia yang ikut membentuk konsep negara Indonesia dari masa monarkhi di Nusantara hingga kolonialisme. Onghokham dalam bagian pengantar juga menegaskan pentingnya persoalan sejarah didekati dengan perspektif transnasional[7].
Terlihat bagaimana Onghokham menwarkan satu pendekatan alternatif juga perspektif baru. Nasion ilihat dari dimensi-dimensi kultural yang ada akibat persilangan internasional (international relations) antar kawasan yang niscaya terjadi. Selain itu, juga cermin kesadaran transnasional untuk mengeksplorasi berbagai macam tema, konsepsi, yang mencerminkan kehendak untuk melintas batas nasional (across national boundaries/denationalize). semua sejarah adalah sejarah manusia (human history), tugas sejarawan adalah melakukan eksplorasi atas eksistensi proses-proses (re)produksi dan (re)definisi keindahan, kebenaran, keadilan sosial, kebebasan, kekuasaan dalam semangat perjuangan memelihara kelangsungan pertukaran memori yang terjadi lintas kawasan sebagai wujud “world cultural outlook” dalam berbagai momen[8].
Onghokham mengkritik nasionalisme Indonesia sebagai nasionalisme yang dipengaruhi madzab Mooi Indie kolonial (Hindia Molek) dengan kecenderungan romantisisnya lewat pengambaran sosok dan konsepsi nasionalisme yang diutarakan Soekarno. Mooi Indie pada awalnya adalah madzab dalam seni lukis kolonial yang mengambarkan desa-desa yang bergolak dan resah, dalam lukisan suasana pedesaan yang tenang dan damai. Kenyataan di negeri jajahan digambarkan secara cantik-molek. Madzab ini kemudian menyatu dengan proyek kolonialisme secara keseluruhan, maujud dalam denyut romantis sarjana Barat ketika mengambarkan Timur sebagai kawasan eksotik sekaligus menguntungkan.
Onghokham menjelaskan bahwa pergerakan nasionalis, khususnya dalam diri Soekarno sebenarnya berkebalikan dengan konsepsi Mooi Indie. Dalam Indonesia Mengugat Sokerano banyak mengunakan kata-kata yang tidak indah-molek. “bom”, “dinamit”, “revolusi sekalipun tanpa sepucuk senjata”, “segengam amunisi”, bahkan “ organisasi revolusioner”. Tetapi Soekarno, seorang pengangum lukisan Mooi Indie kembali menjadi seorang romantis-mooi ketika melukiskan Marhaen yang menjadi dasar konsepsi politik nasionalisnya. Marhaen dilukiskan Soekarno sebagai orang Indonesia yang tidak bermajikan, hidup pas-pas-an, namun mandiri. Soekarno bertemu Marhaen di alam indah Parahiyangan, di atas sebuah Cikar. Olehnya, nasionalisme Soekarno adalah sebuah romantisme, tegas Onghokham.
Menurut Ong antara Mooi Indie dan nasionalime memiliki persamaan dalam tataran mudahnya dua hal itu menyebar-menerobos garis batas tradisional, merekatkan hubungan manusia dalam kondisi ruang-waktu terpisah. Bahkan dengan tegas Ong menyatakan bahwa, Hindia Belanda memang runtuh, tetapi Mooi Indie tetap hidup, dan malah berubah menjadi moii Indonesia. Hal itu mewujud dalam konsepsi ilmu-ilmu sosial yang melukiskan kehidupan di Indonesia sebagai penuh harmoni, berjiwa gotong royong, arif-bijaksana, penuh kedamaian, tanpa dedemit-dedemitnya –bayangkan kuliah kearifan lokal di filsafat UGM-.
Salah satu masalah yang diderita Mooi Indie juga nasionalisme kita adalah bahwa konsepsi ini beku, tidak melihat, dan menolak perkembangan masyarakat dan sejarah, keduanya lebih menekankan faktor geografis ketimbang historis. Nasionalisme kita sering menggunakan gambaran stereotip yang statis, bukti bahwa konsepsi Mooi Indie terus hidup. Konsep negara integralistik dan ”puncak-puncak kebudayaan daerah”. Itu semua merupakan pengagungan dan pembekuan gambaran masa lalu. Padahal kini komunikasi kita dengan New York dan Singapore lebih mudah ketimbang komunikasi antara “puncak-puncak kebudayaan daerah”.[9]
***
Sejauh membaca Runtuhnya Hindia Belanda dan karya-karya lainya, kita akan tersihir dengan narasi Ong yang detail, walaupun rumit. Alih-alih analisisnya deduktif-nomologis, taksonomis dengan kategori dan konsep ketat untuk menjaring gejala. Merampatkan masa lalu pada stuktur yang telah diandaikan ada terlebih dahulu sebelum penulisan. Struktur dan konsep yang didaku sebagai jaring untuk menapis setiap kejadian dalam kerangka analisis post-factum yang jernih, kausal, dan objektif. Ong malah memadatkan dan merajut masa lalu dan fakta-faktanya sebagai deskripsi naratif prosaik yang lentur.
Deskripsi yang tak melulu soal stuktur, institusi dan orang-orang “besar”. Elite yang kerapkali diduga dengan amat berlebihan –jika tidak malah lucu- sebagai pengerak sejarah. Elite seolah diandaikan memiki keswasembadaan menangkal segala bentuk “kemungkinan” dan “kebetulan” dalam sejarah. Analisis seperti itu bergerak dalam waktu yang diandaikan linear, dengan runtutan periodesasi episodik-kausal yang padat dan ketat.
Akibatya, historiografi tidak menyediakan celah bagi cerita-cerita dalam alur sejarah individu biasa, orang yang sedang dalam tekanan, kaum yang dilemahkan dll. Cerita individual itu barangkali bisa dianggap tidak penting, tetapi bukankah itu, satu jalan yang membuat kita tahu bagaimana seorang menyikapi setiap peristiwa. Bagaimana orang bertahan, dan bagaimana kekonyolan yang manusiawi itu ada dalam sejarah.
Misalnya dalam Runtuhnya Hindia Belanda, kita akan dihadapkan pada kondisi kota Bandung pada tahun-tahun terkahir Hindia Belanda. Kota ini dikepung Jepang dan semua organ politik kolonial ada di sana. Kekacauan terjadi di mana-mana sebab Belanda tindak kunjung menyerah, dan malah melakukan politik bumi hangus.
Di sebuah Hotel di Bandung, semua organ politik kolonial berkumpul, mulai dari tentara, wanita sampai anak-anak. Hotel penuh sesak, ada kabar Jepang mulai mendekat, pegawai hotel berlarian, orang-orang Belanda yang biasa makan dilayani jongos harus antri mengambil makanan sendiri. Di tengah kisruh itu ada seorang yang mengisi penuh piringnya dengan kue tart, sehingga yang dibelakang tidak kebagian apa-apa. Ada seorang kapten yang marah-marah sebab seorang serdadu mendapatkan makanan dan sempat dilayani pegawai hotel lebih dulu dari dia.
Onghokham bisa dikatakan sejarawan anti-metodologi (dalam arti ketatnya), tapi, bukan berarti Ong menulis sejarah tanpa metodologi. Onghokham pernah mengatakan bahwa sejarah adalah cerita, history=story[10]. Ong memahami sejarah dalam arti purbanya sebagai cerita yang memukau.
Kemampuan Ong mengiring pemahaman tentang satu persoalan lewat fakta-fakta yang dipaparkan secara naratif, menjadikan karya sejarahnya sebagai cerita analitik yang memukau. Alih-alih pertunjukkan konsep-konsep lewat istilah dan kategori analisis yang membuat sejarah terkesan sosiologis. Sejarah yang berisi sistem kategori, analisis dan persilangan konsep memang bisa membuat orang paham tentang aspek kausalitas suatu peristiwa. Tetapi, sejarah seperti itu jarang mampu memberikan pengaruh psikologis, juga bagaimana sejarah menjalaskan rupa-rupa kemungkinan dan dan ragam kejadian yang tak mesti masuk dalam struktur yang menopang narasi utama:
History is about people, not structures, systems or institutions. He said that human experience is rich, too rich to be handled by a single methodology. Increasingly he said: ‘Take a significant individual who is under stress. Follow what happens to that person. That is history’[11].
Onghokham telah merintis historiografi yang menjangkau banyak tema mulai dari gerakan petani, sejarah etnis tionghoa, sejarah rokok kretek, makanan penyajian makanan(ristafel), posisi tempe dalam sejarah Indonesia, seksualitas, sejarah lukisan, sampai soal mahluk ghaib, dari Tuyul sampai Nyai Blorong. Walaupun RHB adalah sejarah dengan pendekatan kolonial, tetapi lewat cara itu Ong malah bisa terhindar dari pemahaman nasionalitik-emosional yang beku. Dan yang paling penting bisa dengan objektif/jujur mengakui bahwa Belanda pernah ada di masa lalu bangsa Indonesia, dan masa kini Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Belanda.
Menulis sejarah adalah melukis sebuah gambar, sebab proses itu tak melulu berdasar nalar logis. Layaknya pelukis sejarawan perlu mendayakan kemampuan mengeram emosi, agar sejarah tidak hanya menjelaskan konsep dan berisi klaim moral-nasionalistik, tapi juga mampu memberi impresi psikologis dan membuka rupa-rupa kemungkinan baru. Tanpa itu, akan banyak realitas historiografis yang hilang, dan sejarah akan jatuh pada history without people, people without history. Padahal, melampaui analisis struktural, sejarah adalah misi mencari manusia. History is about people, not structures, systems or institutions. Human experience is rich, too rich to be handled by a single methodology.
***
30 Agustus 2007, sebuah pagelaran teater sedang di gelar di satu sudut Australia. Pentas kali itu menampilkan pertunjukan hasil pertemuan beberapa unsur seni pertunjukan dari Indonesia dan Australia. Di senyap jeda antara sesi penampil pertama dan kedua, telepon genggam David Revee berdering. Nomor dari Indonesia. David keluar gedung untuk mengangkat telpon. Dari kejauhan suara yang terkesan berat berkabar: “Onghokham meninggal dunia”.
Pertemuan terakhir David dengan Ong terjadi beberapa bulan sebelumnya. David membawakan makanan dan whisky kesukaan Ong. Waktu itu Ong sudah terkena strouke. Ong hanya duduk di kursi roda dengan badan yang mulai melemah. Tapi soal kegemaran Ong makan enak dan minum alkohol tidak bisa dijeda. “This is your life, enjoy your life”, begitu kata David ketika mengenang pertemuan terakhir dengan sahabatnya Onghokham.
Sejarawan Onghokham sohor sebagai jago masak, suka makan, juga pemabuk kelas berat. Rumahnya selalu ramai dengan acara jamuan makan, dan terkenal sebagai tempat berkumpulnya setiap ilmuwan yang sedang atau akan mengkaji tentang Indonesia. Ada semacam aturan tak tertulis bahwa setiap Indonesianis yang datang ke Indonesia harus mampir ke rumah Ong, makan, pesta dan berdiskusi soal rencana-rencana risetnya. Pergaulan Ong amat luas, manusia kosmopolit dalam artinya yang paling radikal.
Kini setelah 8 tahun kepergian Onghokham, banyak hal telah berubah. Ilmu sejarah berkembang. Historiografi semakin canggih. Lebih dasar dari soal di atas, -yang sebenarnya saya tak terlalu otoritatif memberikan penialain- sedang terjadi perubahan dalam banyak cara sejarawan mengeksplorasi tema-tema baru.
Setelah kepulangan Onghokham dari menyelesaikan program doktoral di Yale AS. Ong sering mengatakan bahwa ada dua hal yang dia bawa pulang dari Amerika. Pertama Ph.D sejarah, kedua keahlian memasak. Diantara keduanya kata Ong, lebih penting yang nomor dua. Semoga tulisan ini bisa gagal, sebab menginggat Ong sebagai sejarawan dan bukan juru masak handal. Tapi Onghokham adalah bukti telak seorang juru masak yang ahli menulis sejarah.
Mari bersulang….. Ting !
Tulisan ini pernah diterbitkan di kalatida.com
[1] Lih, Benedict Anderson, Under Three Flags: Anarchism and the Anti-Colonial Imagination (New York: Verso, 2006), hal. 3.
[2] Lih, Gayatri C Spivak, “Many Voices”,dalam kuliah penerimaan Kyoto Prize 2012, http://www.kyotoprize.org/wp/wp-content/uploads/2016/02/28kC_lct_EN.pdf.
[3] Lih, Winichakul, Thongchai, “Writing at the Interstices: Southeast Asian Historians and Post-National Histories in Southeast Asia”, dalam Abu Talib Ahmad, Tan Liok Ee, (eds), New Terrains in Southeast Asian History (Athens: Ohio University Press, 2002), hal. 3-29.
[4] Lih, Onghokham, “Statement by Onghokham, Djakarta 4 Desember 1967”, dalam Jurnal Indonesia Southeast Asia Program Cornell University, no.85, April 2008, hal. 125-136 . Dokumen ini adalah mini Autobiografi yang ditulis Onghokham untuk terapi akibat guncangan jiwanya atas saran psikiater dr. Kusumanto Setyonegoro yang menanggani Ong kurang lebih satu tahun. Dokumen ini kemudian dikirimkan kepada Benedict Anderson, untuk kepentingan luas, salinan dokumen ini diberi catatan pengantar oleh Ruth.Mc.Vey diterbitkan dalam salah satu no jurnal Indonesia Cornell University. Secara umum dokumen ini selain mengambarkkan momen-momen traumatik dan berpengaruh dalam perjalanan Onghokham, juga mengambarkan beberapa episode dalam sejarah Indonesia modern yang Onghokham sendiri terlibat dan hidup di dalamnya.
[5] Lih, Bas van Frassen, “ The Pragmatic Explanation” dalam Boyd, Gasper, J.D Trout (eds), The Philosphy of Science (Massaachussets: MIT Press, 1991), bab 17.
[6] Lih, Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda, op.cit, p.viii.
[7] Lih, Onghokham, “Bentuk Negara Indonesia dan Aspek Interasionalisasi” dalam Prisma, No.8.1984. pp 19-33.
[8] Lih, Akira Iriye, Global and Transnational History, the Past, Present, and Future, (New York: Palgrave Macmilan, 2013), pp. 2-5.
[9] Lih, Onghokham, “Hindia yang Dibekukan, Mooi Indie dalam Seni Rupa dan Ilmu Sosial” dalam J.J Rizal, (eds.), Raden Saleh, Anak Belanda, Mooi Indie dan Nasionalisme, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), pp. 163-180.
[10] Lih, Andi Achdian, Sang Guru dan Secangkir Kopi, Sejarawan Onghokham dan Dunia Baru Bernama Indonesia, (Jakarta: Eterna, 2013), p.42.
[11] Lih, David Revee, Draft Biography Onghokham, pp. 26-27.