spot_img
More

    Kidung Cinta Ibn ‘Arabî

    Featured in:

    maxresdefault

    ركا ئبه فالحب دينى وإيما نى # أدين بدين الحب اين توجهت

    I follow the religion of Love/ whatever way Love’s camels take, that is my religion and my faith

    Aku beragama dengan agama cinta/ ke manapun ia bergerak, maka cinta adalah agama dan keyakinanku

    Ia yang pecinta. Ia yang perindu. Dan ia yang tak tahu apa itu cinta dan apa itu rindu. Ia benar-benar tidak tahu apa itu semua. Ia hanya bisa merasakannya. Tapi tak tahu bagaimana harus mengatakannya. Ia selalu menemui kebuntuan ketika harus mengungkapkan hakikat cinta.

    Al-hubbu dzauqun wa lâ tudrâ haqîqatuhu/ Cinta adalah sejenis perasaan yang tidak diketahui apa esensinya. Demikian ia segera menyerah takluk di hadapan kuasa cinta. Ia tak mampu mendefinisikannya. Dan barangkali karena itulah cinta selalu tampak mempesona. Ia dibiarkan hadir dengan kerumitannya, dengan ketakterdefinisiannya.

    Ibn ‘Arâbi—yang sekali lagi—adalah pecinta dan perindu, namun tak tahu apa itu cinta dan rindu. Ia hanya hidup dalam alunan cinta yang syahdu. Cinta yang membuat dirinya mabuk rindu.

    Jejak Sang Sufi

    Tahun 1165, awal Ibn ‘Arabî terlempar ke dunia. Tepatnya di Murcia, Spanyol bagian tenggara. Tepat pada hari kelahirannya, tanggal 28 Juli, seorang sufi besar Syekh ‘Abdul Qadir al-Jilani meninggal dunia. Spekulasi pun muncul, bahwa Ibn ‘Arabî memang dilahirkan untuk menggantikan posisi spiritual Syekh ‘Abdul Qadir al-Jilani—yang banyak dikenal sebagai seorang wali. Entah! Itu hanya spekulasi. Tapi yang jelas Ibn ‘Arabî punya kekhasan tersendiri.

    Ibn ‘Arabî dikenal sebagai seorang tokoh tasawwuf-falsafi—disiplin yang menjadi arena persinggungan mistisisme Islam dengan filsafat. Karya-karyanya selalu menggambarkan persentuhan mistisisme dengan wacana filsafat—khususnya filsafat abad tengah.

    Ibn ‘Arabî kecil hidup dalam keluarga yang terpandang. Ayahnya adalah seorang pejabat tinggi di istana dinasti al-Muwahhidun. Sedangkan dari jalur ibunya, Ibn ‘Arabî memiliki seorang paman bernama Yahya ibn Yughan al-Shanhaji yang juga menjadi penguasa di Tlemcen. (Addas, 2004: 43)

    Dengan latar belakang keluarga terpandang, Ibn ‘Arabî memiliki peluang besar untuk mendapatkan jabatan politik. Namun, Ibn ‘Arabî ternyata bukan tipikal orang yang suka hura-hara politik. Ia menyukai jalan sunyi. Ia lalu memilih untuk menjadi seorang sufi.

    Sejak jalan sunyi itu dipilihnya, ia banyak berkelana ke berbagai penjuru dunia. Dalam perjalanan itulah Ibn ‘Arabî bisa menemui orang-orang yang kelak menjadi gurunya. Ia berjalan ke Afrika Utara, Maroko, Alcazaquivir, Sevilla, Kordoba, Granada hingga kembali lagi ke kampunya sendiri, Murcia.

    Tidak berhenti sampai di situ perjalanan Ibn ‘Arâbi. Ia masih meneruskan perjalanannya ke Almeria, kemudian kembali lagi ke Maroko, dan menuju Marrakech. Di Marrakech, Ibn ‘Arabî bertemu dengan Muhammad al-Marrakusyi, seorang sufi yang dikaguminya. Dari Marrakech, Ibn ‘Arabî kemudian mendatangi Maroko kembali, dan menemui sahabat lamanya Muhammad al-Hashshar, serta mengajaknya untuk menemani perjalanannya.

    Dari Maroko, Ibn ‘Arabî beranjak menuju ke Timur. Tujuan utamanya adalah Mekkah dengan niat untuk menunaikan ibadah haji di sana. Namun, dalam perjalanan menuju Mekkah, Ibn ‘Arabî sering singgah di berbagai tempat. Tempat persinggahan pertamanya adalah Cairo. Dari Cairo ia masih menuju ke Palestina, dan baru ke Madinah, sebelum akhirnya menginjakkan kaki di Mekkah.

    Sepanjang perjalanan itu, Ibn ‘Arabî banyak menjumpai tokoh-tokoh sufi. Semisal, ‘Abdul ‘Aziz al-Mahdawi, Abu ‘Abdillah al-Daqqaq, Ibn Hirzihim, Muhammad Ibn ‘Abdurrahman al-Tamimi al-Fasi, Abu al-‘Abbas al-‘Uryabi, dan Abu Yahya Ibn Abi Bakr al-Shanhaji. [Tentang detail perjalanan Ibn ‘Arabî bisa dilihat dalam Mencari Belerang Merah: Kisah Hidup Ibn ‘Arabî (Claude Addas, terj. Zaimul Am.: 2004)].

    Puncak perjalanan Ibn ‘Arabî adalah di Mekkah. Di tempat ini, Ibn ‘Arabî akhirnya bermimpi dinobatkan sebagai Pewaris Nabi Muhammad. Dengannya, Ibn ‘Arabî menjadi mengerti rahasia-rahasia ajaran Nabi Muhammad. Dan oleh karena itu, dalam Fushûs al-Hikam, Ibn ‘Arabî menulis satu bab khusus berjudul “Hikmah Fardiyah fî Kalimat Muhammadiyah”. Di situ, Ibn ‘Arabî banyak menjelaskan tentang haqîqah muhammadiyah: masalah pokok ajaran Nabi Muhammad.

    Selain itu, Mekkah juga menjadi titik balik ajaran sufisme Ibn ‘Arabî. Di tempat bersejarah ini, Ibn ‘Arabî bertemu dengan gadis jelita bernama Nizham. Ibn ‘Arabî dibuat kagum olehnya. Atas kekaguman terhadap gadis jelita itu, Ibn ‘Arabî terdorong untuk menulis sekumpulan syair yang diberi judul Tarjuman al-Asywaq (“Penafsir Kerinduan”). Kini, kumpulan syair itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Reynold A. Nicholson dengan judul A Collection of Mystical Odes.

    Selain dalam karya terbesarnya, Futûhat al-Makkiyah (“Pencerahan-pencerahan Mekkah”), dalam Tarjuman al-Asywaq inilah Ibn ‘Arabî juga banyak menuangkan perenungannya tentang ‘cinta’: cinta kepada Nizham yang cantik jelita; dan akhirnya cinta yang melampaui kata-kata. Atas dasar ini pula, Ibn ‘Arabî dituduh mengajarkan erotisme oleh sebagian ulama Aleppo waktu itu, namun ia segera menyanggahnya.

    Segitiga Cinta

    Cinta selalu dekat dengan kegilaan, namun tak semua kegilaan adalah cinta. Miguel de Cervantes dalam Don Quixote de La Mancha secara menarik menggambarkan pertautan cinta dan kegilaan. Don Quixote, tokoh utama dalam novel itu, adalah seseorang yang gila baca.

    Ia membaca kisah-kisah legenda di abad tengah: Amadis de Gaula. Karena bacaannya itu, ia terobsesi untuk menjadi seorang ksatria seperti yang dibacanya dalam kisah legenda. Ia jatuh hati pada figur ksatria, sehingga ingin menirunya.

    Untuk menyamai sosok kesatria, namanya ditambah: Don Quixote de La Mancha (Tuan Quixote, sang penguasa La Mancha). Barang-barang perlengkapan sebagai seorang ksatria pun sudah didapatkan. Ada jubah, perisai, tombak, dan kuda. Itu semua barang-barang miliki keluarganya yang dicurinya.

    Petualangan Don Quixote ditemani oleh seorang budak bernama Sancho Paza. Ia menjadi seorang budak yang lugu dan sangat setia menemani perjalanan tuannya. Sebagai seorang kesatria, kurang lengkap jika tidak didampingi seorang wanita. Namun, karena Don Quixote dari dulu kerjaannya hanya membaca, maka tak ada satu pun wanita yang dikenalnya. Akhirnya, dibuatlah sendiri wanita pendamping itu di dalam pikirannya: seorang wanita imajiner yang cantik jelita bak bidadari dari surga, Lady Dulcinia de Tobaso.

    Petualangan dimulai. Kegilaan Don Quixote semakin tampak ketika mencoba melawan kincir angin yang dikiranya raksasa jahat. Sebagai seorang kesatria, pikirnya, harus berani melawan kejahatan. Hasilnya, ia babak beluk diputar-putar kincir angin.

    Itu tindakan konyol. Memalukan. Namun bagi Don Quixote itu justru sangat membanggakan. Sebab tindakannya sangat beralasan: ia ingin menjadi seperti seorang kesatria yang tak pernah gentar melawan kejahatan.

    Don Quixote “jatuh cinta” kepada sesosok ksatria yang ingin ditirunya. Tapi ia tidak tahu wujud fisik kesatria yang jadi dambaannya. Ia hanya tahu lewat kisah legenda.

    Ini menandakan bahwa cinta, hasrat selalu berbentuk segitiga, dan itu bisa membuat seseorang benar-benar ‘gila’. Ketika Don Quixote “jatuh cinta” pada sosok kesatria—yang tidak diketahui wujud fisiknya—ia juga sekaligus menghasrati sesuatu yang di luar dirinya: keberanian, kekuatan, kejantanan, dan keperkasaan yang diidealkan. Sejenis “hasrat metafisik” dalam Renè Girard (1961).

    Syair-syair Ibn ‘Arabî dalam Tarjuman al-Asywaq juga tampak menggambarkan cinta yang berbentuk segitiga. Mari kita coba simak alunan syairnya:

    ونظام ومنبر وبيان # طال شوقى لطفلة ذات نثر
    من أجل البلاد من أصبهان # من بنات الملوك من دار فرس
    وأنا ضدها سليل يمانى # هى بنت العراق بنت إمامى
    أكوسا للهوى بغير بنان # لو ترانا برامة نتعاطى
    أن ضدين قط يجتمعان # هل رأيتم يا سادتى أو سمعتم
    طيبا مطربا بغير لسان # والهوى ببيننا يسوق حديثا
    يمن والعراق معتنقان # لرأيتم ما يذهب العقل فيه

    Betapa rinduku begitu panjang/

    Kepada gadis kecil penulis prosa/

    Nizham, mimbar, dan bayan//

    Dialah putri raja-raja Persia/

    Negeri megah dari Ashbihan//

    Putri Irak, putri imamku/

    Sementara aku sebaliknya, hanyalah keturunan orang Yaman//

    Andai kalian tahu betapa kami berdua/

    Saling menghidangkan cawan-cawan cinta

    Meski tanpa jari-jemari//

    Apakah kalian tahu, wahai tuan/

    Dua tubuh yang berbeda dapat bersatu//

    Cinta kami berdua yang menuntun kami bicara/

    Dengan manis, dengan indah, meski tanpa kata-kata//

    Nicaya kalian tahu meski hilang akal/

    Bahwa orang Yaman dan Irak bisa berpelukan

    (Tarjuman al-Asywaq, hlm. 24)

    Syair itu ditulis di Mekkah oleh Ibn ‘Arabî untuk dipersembahkan kepada Nizham. Sekilas, memang tampak adanya nuansa erotisme dalam syair itu. Ibn ‘Arabî menyukai gadis Irak atas kecantikannya. Karena hal inilah Ibn ‘Arabî dikecam oleh beberapa ulama sezamannya.

    Namun, cinta Ibn ‘Arabî nyatanya melampaui kata-kata. Bahasa sudah tidak bisa menjamahnya. Satu-satunya pilihan, Ibn ‘Arabî mengungkapkan rasa cintanya dengan figur seorang wanita. Di luar penggambaran itu semua, Ibn ‘Arabî sejatinya menghasrati “Yang-Metafisik”: yang di luar bahasa, ‘Yang Negatif’.

    Jadilah cinta Ibn ‘Arabî berbentuk segitiga: dirinya, Nizham, dan Yang-Metafisik. Hal ini menyerupai model persahabatan (yang merupakan bagian dari cinta) Platonik. Platon, dalam dialog bejudul Lysis, melalui tokoh Sokrates menggambarkan bahwa persahabatan yang sejati selalu mengandaikan adanya “pihak ketiga”. Di luar dua orang yang saling bersahabat, yang saling mencintai, ada satu hal yang diinginkan bersama, yaitu ‘kebaikan’. ‘Kebaikan’ itulah yang menjadi dasar persahabatan, dasar percintaan, dan dasar kasih sayang.

    Gambaran cinta Ibn ‘Arabî kepada Nizham itu persis seperti cinta Platonik. Cinta yang menghasrati Yang-Ideal. Cinta yang bisa jadi non-resiprokal. Pertanyaanya: kenapa pilihan Ibn ‘Arabî itu dijatuhkan kepada Nizham yang merupakan seorang perempuan?

    Hal itu terjawab dalam teks Ibn ‘Arabî yang lain, yaitu Fushûs al-Hikam. Di dalam bab Hikmah Fardiyah fî Kalimat Muhammadiyah, Ibn ‘Arabî menulis: “Fasyuhûduhu li al-haqqi fi al-mar-ati atammu wa akmalu. Menjumpai Tuhan dalam diri seorang perempuan itu cara yang paling sempurna. Kenapa? “Liannahu yusyâhidu al-haqqa min haytsu huwa fâ’ilun wa munfa’ilun. Karena dengan cara itu, seorang lelaki dapat menjumpai Tuhan dengan cara aktif sekaligus reseptif.” (hlm. 217).

    Ibn ‘Arabî menggambarkan bahwa perempuan adalah simbol jiwa yang aktif (fâ’il) dan sekaligus reseptif (munfa’il). Sementara jiwa laki-laki melulu bersifat aktif, namun tak memiliki kemampuan reseptif. Atas alasan itulah, cinta Ibn ‘Arabî kepada Yang-Metafisik dijembatani oleh kehadiran seorang perempuan bernama Nizham.

    Nizham semata-mata hanya sebagai jembatan, yang apabila Ibn ‘Arabî sudah sampai kepada Yang-Dituju jembatan itu bisa tidak dipakai. Nizham bisa hilang, ketika Ibn ‘Arabî sudah ‘terbakar’ (fana’). Cinta yang tadinya berbentuk segitiga, akhirnya lenyap, dan hanya akan tinggal berdua: Ibn ‘Arabî dan Sang Kekasih Sejati.

    Akhirnya…

    Cinta sejati tak pernah punya akhir. Nizham-fisik boleh tiada, tetapi Nizham-Metafisik akan selalu hadir demikian ‘nyata’. Ke manapun Ibn ‘Arabî melangkah, Nizham-Metafisik akan selalu mengirinya. Ia sudah manunggal dalam kesatuan wujud (wahdat al-wujud).

    Sebait syair yang mengawali tulisan ini menjadi bukti bahwa Ibn ‘Arabî hidup dalam balutan cinta. Ia beragama dengan “agama cinta”, beriman dengan “iman cinta”. Seolah dengan syair itu ia hendak menegaskan bahwa dirinya adalah cinta, dan seluruh jagat raya ini juga merupakan cinta.

    Akhirnya… dialah Sang Pencinta Sejati (fedele d’amore), yang kematiannya hingga kini masih menjadi misteri. Karena barangkali cinta memang penuh misteri. Bukan untuk diketahui, tetapi hanya untuk dijiwai, dinikmati. Selamat menikmati cinta, Ibn ‘Arabî! Kami selalu mengharap tetesan cintamu dari sini. Lahu al-Fâtiah…! [Taufiqurrahman, anggota redaksi LSF Cogito, tulisannya banyak dimuat di koran internasional Seperti Kompas dan Jawa Pos, Mahasiswa Filsafat UGM 14′)

    Author

    • Taufiqurrahman

      Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM, penikmat sastra, fokus belajar pemikiran Martin Heidegger dan metafisika. Sesekali menulis untuk media cetak nasional.

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Hausu dan Hauntopoanalisis

    Rumah bukanlah sekadar bangunan fisik yang memiliki wujud konkret, melainkan ruang metafisik yang abstrak dan memiliki agensi...

    Sebuah Hikayat dari Tanah Para Pencari Kebenaran Dunia

    Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari...

    Ampun, Romo Bertens: Argumen Absolutis Anda Bermasalah

    Buang semua asumsi moral dan pengetahuan yang kita dapat dari peradaban modern ini untuk sementara. Mari bayangkan...

    Polemik Hermeneutis Gadamer dan Habermas

    “Kalau Anda ingin mendengarkan Heidegger dengan lebih mudah, bacalah (tulisan) Gadamer.” Begitulah ucapan Fransisco Budi Hardiman saat...

    Metalearning? Di Balik Cognitive Load Theory

    Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari keberadaan seorang guru dalam melakukan pengajaran. Isu tentang pentingnya keberadaan seorang...

    Kultur Toksik Pengabdian Kampus: Mempertanyakan Kembali Makna Keberlanjutan

    Pengabdian kepada masyarakat merupakan serangkaian pola pikir dan tindakan dengan dasar sukarela untuk membantu korban dari...