Dalam pandangan konvensionalisme yang menjadi salah satu wacana dominan dalam Sosiologi Ilmu, kebenaran ilmiah selalu ditautkan dengan proses sosial tempat sains itu berada.[1] Artinya, tidak ada kebenaran ilmiah yang objektif yang kalis dari intervensi sosial. Di sisi lain, Marxime sebagai sains juga berpandangan bahwa pengetahuan ilmiah mesti punya basis sosial yang objektif (dalam arti: berada di sana, di luar kesadaran subjek)—sehingga, karenanya, Marxisme juga memungkinkan analisis pengetahuan ilmiah secara sosiologis. Namun, jika sains Marxisme itu mengafirmasi beberapa pandangan konvensionalisme, maka ia akan menghadapi setidaknya dua problem.
Pertama, terkait dengan landasan ontologisnya. Marxisme, secara ontologis, adalah materialisme. Posisi materialisme, dengan mengabaikan beberapa persoalan, jika ditarik ke ranah perdebatan yang lebih luas, menjadi bagian dari dari posisi realisme—yang di sisi seberangnya terdapat anti-realisme. Inilah titik problematiknya: di satu sisi, sains Marxisme kompatibel dengan realisme yang secara niscaya mengandaikan objektivitas ilmiah dan, di sisi lain, konvensionalisme—saat mengklaim objektivitas ilmiah selalu bertumpu pada praksis ilmiah—kompatibel dengan antirealisme yang dengan tegas menyatakan tak ada kebenaran ilmiah yang absolut (bebas) dari korelat (inter)subjektivitas manusia.
Jika sains Marxisme menerima klaim konvensionalisme, berarti harus mengingkari prinsip ontologisnya sendiri (materialis) dan, dengan itu, juga mengasumsikan bahwa objektivitas ilmiah adalah hasil konstruksi intersubjektif dalam komunitas ilmiah. Padahal, aspek objektivitas itulah yang justru memungkinkan tujuan utama sains Marxisme tercapai, yaitu pembebasan manusia dari penindasan dan ketidakadilan.
“Klaim ontologis Marxisme adalah independensi dunia eksternal atau realisme.”
Problem objektivitas dan pembebasan itu kemudian memunculkan persoalan yang kedua: bagaimana sains Marxisme, jika menerima asumsi konvensionalisme, bisa mencapai tujuannya untuk melawan kapital sementara pada saat yang sama basis material yang mengondisikan kerja-kerja ilmiah dikuasai oleh para kapitalis? Mengikuti asumsi konvensionalisme, jika basis material kerja-kerja ilmiah dikuasai oleh para kapitalis, maka segala andaian ilmiah yang dibuat pasti merupakan hasil kesepakatan untuk semakin memperkokoh posisi kapitalis—dan itu berarti semakin melemahkan proletariat.
Oleh karena dua problem itulah, saya akan mengangkat sains Marxisme vis-a-vis konvensionalisme untuk memungkinkan sains yang punya daya emansipasi dan pembebasan. Tesis yang akan saya pertaruhkan dalam artikel ini adalah bahwa Marxisme sebagai materialisme mesti menolak andaian epistemologis konvensionalisme dan mengafirmasi corak epistemologis realisme ilmiah. Dengan posisi tersebut, sains Marxisme memungkinkan objektivitas ilmiah yang menjadi prasyarat bagi pembebasan manusia.
Artikel ini, dengan demikian, akan mencakup tiga pokok bahasan. Pertama, membahas pokok soal objektivitas dari dua sudut pandang: sudut pandang realisme (yang merepresentasikan pandangan materialisme) dan sudut pandang konvensionalisme. Kedua, membahas genealogi dan ontologi materialisme serta kritiknya terhadap corak epistemologi konvensionalisme. Ketiga, berdasarkan asumsi ontologis dan epistemologis materialisme, akan dijelaskan materialisme dalam diskursus pengetahuan ilmiah. Pada bagian ini juga akan dijelaskan bagaimana sains Marxisme bisa punya daya emansipasi dan pembebasan.
Memahami Objektivitas Ilmiah
Ada dua sudut pandang tentang objektivitas ilmiah yang akan coba dipertentangkan dalam bagian ini. Pertama, sudut pandang realisme yang saya elaborasi dari pandangan Andrew Collier; dan kedua, sudut pandang konvensionalisme yang juga saya elaborasi dari pandangan tokoh terkemuka konvensionalisme: Henri Poincaré. Kedua sudut pandang tersebut dalam bagian berikutnya akan dibedah asumsi-asumsi ontologis dan epistemologisnya untuk mendasari pembahasan tentang materialisme serta kritiknya terhadap konvensionalisme.
Kita mulai dari pandangan realisme. Andrew Collier memahami problem objektivitas dengan dua cara: secara positif dan secara negatif. Pemahaman kedua itu sebenarnya untuk lebih menjelaskan pemahaman yang pertama. Namun, secara umum, Collier sejatinya memahami objektivitas sebagai satu kebenaran yang independen dari subjek yang menilai kebenaran itu sebagai benar.[2] Artinya, keberadaan kebenaran ilmiah tidak bergantung pada sang ilmuwan ataupun komunitas ilmiah yang menilai kebenaran tersebut sebagai benar. Semisal, kebenaran teori gravitasi. Nilai kebenaran teori gravitasi tidak bergantung pada Newton yang menemukan dan sekaligus membenarkan teori gravitasi tersebut. Sebelum Newton menemukan teori gravitasi, gravitasi sudah ada secara objektif di alam semesta dan, karenanya, ia benar bahkan sebelum Newton melihat buah apel jatuh ke tanah.
“…materialisme mengandaikan adanya satu asumsi epistemologis bahwa teori, konsep, ataupun hukum ilmiah merupakan salinan dari, atau setidaknya mendekati, realitas objektif.”
Penemuan ilmiah hanyalah momen penyingkapan epistemologis atas dunia yang secara ontologis ada di luar dan tak bergantung pada pikiran manusia[3]. Oleh karena itu, Collier memahami objektivitas dengan pertama-tama memberikan spesifikasi ontologis berupa independensi dunia serta nilai kebenarannya dari manusia. Dari prinsip independensi tersebut, Collier lebih lanjut menyatakan bahwa sebuah putusan ilmiah bisa dikatakan objektif apabila putusan tersebut didasarkan pada objeknya, bukan pada subjek yang membuat putusan tentangnya.[4] Dalam pengertian ini, Collier juga memahami objektivitas sebagai sikap manusia di hadapan dunia.[5] Artinya, ketika manusia membuat sebuah klaim objektif, ia memurnikan klaimnya itu dari seluruh tendensi subjektifnya.
Namun demikian, meskipun objektivitas menuntut penyingkiran (decentering) seluruh tendensi subjektif manusia, Collier justru menolak untuk menyamakan objektivitas dengan netralitas.[6] Bersikap objektif, bagi Collier, tidak berarti bahwa kita harus bersikap imparsial di hadapan realitas. Semisal, pernyataan “Nazi membunuh jutaan orang Yahudi yang tak bersalah”. Jika pernyataan itu benar secara objektif bukan berarti kita harus menolak memberikan simpati pada orang-orang Yahudi dan tetap bersikap dingin terhadap kejahatan Nazi. Justru dengan fakta objektif yang diungkapkan oleh pernyataan itulah, kita mesti mengambil sikap imparsial. Objektivitas dalam konsepsi realisme, dengan demikian, masih memungkinkan adanya keberpihakan, sehingga sains, sebagaimana cita-cita materialisme Marxis, dimungkinkan untuk memiliki daya emansipasi dan pembebasan.
Berdasarkan klaim independensi dunia, objektivitas ilmiah juga bukan berarti tidak dapat salah.[7] Orang sering memahami bahwa klaim yang (dianggap) objektif tidak dapat salah. Bagi Collier, itu adalah kesalahpahaman umum. Ketika prinsip pokok objektivitas adalah independensi dunia eksternal, maka segala putusan tentang realitas—sejauh ia berbicara tentang dunia eksternal, tentang dunia yang ada di luar pikiran manusia—dapat salah dan berkontradiksi dengan putusan-putusan lainnya. Objektivitas, dengan demikian, bukan berarti kebenaran mutlak atau seperti keyakinan religius yang tak dapat diperdebatkan. Ia dapat terus-menerus disanggah dengan temuan-temuan ilmiah yang lebih bisa dipertanggungjawabkan dan yang paling mendekati kenyataan.
Berikutnya penjelasan tentang objektivitas dalam sudut pandang konvensionalisme. Dalam pengertiannya yang paling sederhana, konvensionalisme bisa kita pahami sebagai pendasaran kebenaran pada konvensi. Oleh karena itu, sebagai salah satu contoh pemahaman konvensionalisme terhadap objektivitas, Evandro Agazzi mencirikan objektivitas ilmiah sebagai intersubjektivitas[8] dengan berdasarkan pada klaim ontologis (yang sebenarnya diapropriasi secara epistemologis) bahwa objek dalam sains adalah konstruksi intelektual dari komunitas ilmiah[9].
Henri Poincaré, sebagai tokoh terkemuka konvensionalisme, menjelaskan dengan jernih bagaimana intersubjektivitas bisa mendasari kebenaran objektif. Menurutnya, objektivitas itu dimungkinkan oleh adanya fakta bahwa dunia yang kita hidupi sama bagi kita semua. Dengan dasar demikian, apa yang objektif menurut Poincaré mesti tampak sama bagi semua orang dan, karenanya, dapat ditransmisikan dari satu ke lain orang.[10] Artinya, dunia yang hendak kita pahami pada dasarnya adalah satu dan, karenanya, pemahaman objektif tentangnya bisa ada sejauh ada pemahaman intersubjektif di antara kita. Poincaré, oleh karena itu, dengan tegas menyimpulkan bahwa “Hal yang objektif tak lain adalah apa yang identik bagi kita semua […]. Oleh karenanya, tidak ada yang dapat memiliki nilai objektif kecuali ia dapat ditransmisikan dengan jelas (intelligible) melalui ‘diskursus’.”[11] Sederhananya, bagi Poincaré, objektivitas itu bersandar pada intersubjektivitas.
Kesimpulan tersebut, oleh Poincaré, diperoleh dari pengamatannya terhadap problem geometri. Bagi Poincaré, aksioma dan teorema geometri tidak menyatakan kebenaran a priori ataupun kebenaran empiris. Apa yang dinyatakan dalam aksioma dan teorema geometri adalah apa yang disebut Poincaré sebagai “konvensi”.[12] Mengapa demikian? Hal itu karena bagi Poincaré, sebagaimana bagi Kant, ruang tidak bisa diakses dengan penyelidikan empiris—dalam arti: pemahaman tentangnya tidak dapat diperoleh dengan cara sintesis a posteriori. Namun tidak sepenuhnya mengafirmasi Kant, Poincaré juga menyebut teorema geometri bukan sintesis a priori.[13] Artinya, pemahaman kita atas ruang bukanlah hasil sintesis fakta spasial yang dikondisikan oleh prasyarat a priori pikiran.
Pertanyaannya: dari mana aksioma dan teorema geometri itu muncul jika ruang tidak bisa diakses secara empiris dan juga tidak bisa dipahami secara a priori? Jawaban Poincaré: dari kesepakatan! Implikasinya: tak ada perbedaan substansial di antara berbagai macam bentuk geometri, sebab ia hanya berbeda cara dalam mengekspresikan objeknya, tetapi objeknya itu sejatinya sama.[14] Semisal, geometri Euclid dan non-Euclid itu hanya berbeda formula bahasanya karena dibentuk oleh konvensi yang berbeda, tetapi senyatanya objek yang dibicarakan tetaplah ruang yang sama. Oleh karena itu, aksioma-aksioma geometri non-Euclid dapat direkonstruksi ke dalam kerangka geometri Euclid tanpa harus mengorbankan konsistensinya.
Corak pemahaman Poincaré, meskipun dalam beberapa hal ia tidak setuju dengan Kant, masih bercorak Kantian. Di situ tampak bahwa Poincaré mempostulatkan inaksesibilitas ruang, sebagaimana das Ding an sich dalam Kant, sehingga pemahaman kita atas ruang selalu dibentuk berdasarkan epistemologi konvensionalis. Hal tersebut sama dengan menyatakan bahwa ruang dalam dirinya tidak dapat diketahui, sehingga ketika kita hendak membicarakan soal ruang, kita perlu aksioma-aksioma tertentu yang telah disepakati.
Tendensi Kantian dalam konvensionalisme itu semakin dipertegasi oleh Evandro Agazzi ketika menjelaskan soal objek ilmiah. Apa yang dibicarakan oleh sains, menurutnya, bukanlah benda-dalam-dirinya, melainkan benda yang sudah diberi kualitas-kualitas abstrak berdasarkan hasil kesan indrawi kita.[15] Pemberian kualitas abstrak terhadap objek sains itu, dalam konsepsi Poincaré, dapat didasarkan pada konvensi. Artinya, dalam konteks geometri seperti dibicarakan Poincaré, oleh karena ruang tidak dapat diakses dengan sintesis a posteriori ataupun sintesis a priori, maka geometri perlu membentuk aksioma dan teorima berdasarkan kesepakatan bersama yang dibangun di atas intersubjektivitas antarmanusia. Oleh karena itu, konvensionalisme sejatinya tidak beranjak terlalu jauh dari epistemologi Kantian.
Materialisme sebagai Realisme
Bagian ini akan membahas konteks kemunculan materialisme Marxis, ontologinya, serta kritiknya terhadap konvensionalisme. Pandangan materialisme Karl Marx tidak muncul dari ruang hampa. Ia disituasikan oleh konteks pemikiran yang berkembang di masanya. Dalam pembacaan yang umum dipahami, materialisme Karl Marx sering disebut sebagai respons terhadap tradisi idealisme dalam filsafat Jerman, terutama idealisme Hegelian. Namun, dalam pembacaan ini, saya berusaha mencari akar problematik materialisme Marx yang lebih dalam—dan akhirnya sampai pada pokok pemikiran Immanuel Kant.
“Ketika sains berhasil membuat salinan objektif tentang realitas eksternal, maka di situlah keberpihakan dan pembebasan dimungkinkan.”
Immanuel Kant membelah dunia menjadi dua, yaitu fenomena dan nomena. Fenomena adalah dunia sebagaimana ia tampak (as it appears) kepada kita. Nomena, berbeda dari fenomena, adalah dunia sebagaimana ia ada (as it is) dalam dirinya.[16] Prasyarat pengetahuan kognitif manusia tidak memungkinkan untuk menjangkau benda-dalam-dirinya (das Ding an sich) atau nomena. Pikiran manusia hanya mampu mengetahui cara di mana benda itu menampak kepada manusia melalui konstitusi subjektifnya.[17] Dengan kata lain, manusia hanya bisa mengetahui fenomena dunia; sementara nomena dunia tetap berada di luar jangkauan pengetahuan manusia.
Berdasarkan pembelahan dunia itulah, David-Hillel Ruben menyebut pemikiran Kant memiliki dua klaim pokok, yaitu klaim interpretatif (KIT) dan klaim independensi (KID). Dua klaim tersebut, oleh Ruben, dirumuskan sebagai berikut:
KIT: Membuat sebuah putusan atau mengklaim adanya sebuah pengetahuan secara niscaya mengandaikan adanya aktivitas pemikiran interpretatif. [18]
KID: Ada objek yang secara esensial independen dari semua pemikiran, atau dari semua aktivitas interpetatif mental.[19]
KIT adalah bentuk klaim epistemologis Kantian. Artinya, pengetahuan manusia tentang suatu objek tidak pernah secara langsung menjangkau objek dalam dirinya, tetapi selalu dikonstitusikan oleh dimensi-dimensi subjektif manusia—yang terdiri dari: konsep a priori ruang dan waktu, 12 kategori a priori, dan apersepsi transendental.[20] Tanpa ada konstitusi dari dimensi-dimensi subjektif manusia atau—dalam bahasa Ruben—tanpa ada aktivitas interpretatif pemikiran, maka pengetahuan manusia tentang suatu objek adalah mustahil. Asumsi epistemologis Kant, dengan demikian, adalah antirealis.[21]
Namun, meskipun semua klaim pengetahuan mengandaikan adanya pengaruh subjektif melalui tindakan interpretatif, bagi Kant, masih tetap ada objek yang independen dari semua pemikiran. Objek itu mandiri dari segala aktivitas intepretatif pikiran. Itulah yang di awal tadi disebut sebagai nomena atau benda-dalam-dirinya (das Ding an sich). Klaim independensi tersebut jelas sekali menampakkan posisi realisme ontologis. KIT dan KID, dengan demikian, membawa Kant pada posisi yang bimbang: antirealis secara epistemologis, tapi realis secara ontologis.
Terhadap posisi Kant yang bimbang itulah, para filsuf pasca-Kant memberikan dua respons utama. Respons pertama, diwakili oleh idealisme Hegel, menolak KID dan menerima KIT.[22] Penolakan terhadap KID didasarkan pada pandangan Hegel bahwa dunia adalah kreasi pikiran. Artinya, antara pikiran dan dunia, antara aspek subjektif dan aspek objektif, terdapat relasi internal, sehingga keduanya saling mengandaikan. Ruben membahasakannya: objek adalah subjek dalam kelainannya (the subject in its otherness).[23] Oleh karena itu, tidak ada objek yang mandiri dari subjek. Berhubung objek dalam dirinya dinegasikan, sebab ia hanya dianggap sebagai ciptaan pikiran, maka tak ada pengetahuan yang tidak bercorak interpretatif yang selalu dikonstitusi oleh dimensi subjektif. Penolakan terhadap KID, yang adalah klaim ontologis, berimplikasi pada afirmasi KIT yang merupakan klaim epistemologis.
Respons kedua, yang diwakili oleh Ludwig Feuerbach, menandai titik transisi dalam filsafat Jerman dari tradisi idealisme ke materialisme. Feuerbach menerima KID dan menolak KIT.[24] Ia dengan tegas menyatakan: “Saya tidak mengasalkan objek dari pemikiran, tetapi pemikiran lah yang muncul dari objek; dan saya beranggapan bahwa objek itu sendiri memiliki eksistensi yang berada di luar (beyond) pikiran manusia.”[25] Menolak klaim independensi, bagi Feuerbach, berarti menerima doktrin teologi: bahwa dunia bergantung pada Tuhan yang menjelma lewat pikiran. Oleh karena itu, agar pengetahuan tentang dunia tidak bias teologis, maka formasi epistemik harus sepenuhnya bergantung pada objek, bukan pada subjek.
Formasi epistemik Kantian, yang menyesuaikan objek dengan prasyarat kognitif subjek, adalah bentuk konsepsi pengetahuan yang bercorak teologis. Pada titik ini, Feuerbach memiliki posisi tegas terhadap konsepsi epistemologis Kant. Ia menolak KIT sebagai konsekuensi logis dari penerimaannya terhadap KID.
“Idealisme Kantian yang menyesuaikan objek pada pemahaman dan bukan menyesuaikan pemahaman pada objek, oleh karena itu, tidak lain dari realisasi konsepsi teologis atas pikiran, yang alih-alih pikiran itu dideterminasi oleh objek, tetapi pikiran itulah yang mendeterminasi objek.”[26]
Di antara dua respons utama terhadap Kant tersebut, Marx membangun proyek filsafatnya dengan mengikuti trajektori yang telah dibuka oleh Feuerbach.[27] Artinya, Marx bekerja dalam kerangka ontologi realis.[28] Materialisme Marxis sebagai realisme beranggapan bahwa ada dunia eksternal yang eksis secara mandiri dari pikiran manusia, dari seluruh aktivitas subjektifnya[29]; dan bahwa ada lebih utama daripada pikiran[30]. Pada titik itulah, materialisme Marxis mengafirmasi kebenaran ilmiah yang objektif dalam pengertian realisme, bukan konvensionalisme.
Untuk mengelaborasi lebih lanjut pandangan objektivitas dalam materialisme Marxis, saya akan masuk ke dalam analisis teks V.I. Lenin yang berjudul Materialism and Empirio-Criticism. Lenin dikenal sebagai tokoh Marxis yang pendekatan filsafatnya sangat naturalistik. Ia sangat optimis bahwa ilmu alam dapat mewartakan kebenaran objektif tentang suatu dunia yang ada di seberang pikiran, yang mandiri dari pikiran. Berikut saya terjemahkan kutipan penting dari Lenin yang menggambarkan pandangan ontologis dan epistemologisnya yang bercorak naturalistik:
Sama sekali tak ada keraguan dalam ilmu alam terkait klaimnya bahwa bumi eksis sebelum manusia adalah sebuah kebenaran. Ini sepenuhnya sesuai dengan teori pengetahuan materialis: bahwa eksistensi sesuatu yang direfleksikan independen dari yang merefeleksikannya (independensi dunia eksternal dari pikiran) adalah prinsip fundamental materialisme. Pernyataan yang dibuat oleh sains bahwa bumi eksis sebelum manusia adalah sebuah kebenaran objektif. Proposisi ilmu alam tidak kompatibel dengan filsafat Machian dan doktrin kebenarannya: jika kebenaran adalah bentuk pengorganisasian pengalaman manusia, maka pernyataan bahwa bumi eksis di luar pengalaman manusia tidak dapat menjadi benar.[31] (Lenin, 1972: 136-137).
Secara umum, pandangan yang naturalistik dipahami secara peyoratif: bahwa ia adalah pandangan yang reduksionis, positivistik, dan mekanistik. Namun, satu hal yang perlu diakui dari naturalisme: ia telah menyelamatkan sains dari solipsisme teologis. Kebenaran ilmiah sepenuhnya bertumpu pada alam yang eksternal dari pikiran manusia, bukan pada determinasi pikiran subjektif manusia. Ketika kebenaran ilmiah ditumpukan pada subjek, bukan pada objek, maka saat itulah gelombang religus dapat merasuk ke dalam sains. Persis itulah yang dikhawatirkan Lenin ketika mengkritik pandangan Bogdanov tentang objektivitas yang lebih cenderung pada konvensionalisme daripada materialisme.
Dalam bukunya yang berjudul Empirio-Monism sebagaimana dikutip Lenin[32], Bogdanov menulis:
“Dasar objektivitas mesti terletak pada ruang pengalaman kolektif. Kita menyebut data pengalaman itu objektif jika data itu punya makna penting yang sama bagi kita dan juga bagi orang lain […]. Ciri objektif dunia fisikal terdiri dari fakta bahwa ia eksis tidak hanya bagiku secara personal, tetapi juga eksis bagi setiap orang dan ia juga memiliki satu makna tertentu bagi setiap orang, sebagaimana juga bagiku. Objektivitas seri fisikal adalah signifikansi universalnya.”[33]
Bogdanov, sebagaimana kaum konvensionalis, menyebut dasar objektivitas terletak pada ruang pengalaman kolektif. Artinya, sesuatu disebut objektif jika dan hanya jika ia memiliki makna penting yang sama bagi satiap orang. Dalam istilah Bogdanov sendiri, objektivitas adalah nilai signifikansi universal—dalam arti: ia benar sejauh ada sekumpulan pengalaman subjektif yang menganggapnya benar. Pandangan ini memberikan satu aspek sosiologis bagi kebenaran ilmiah—bahwa kebenaran bergantung pada relasi intersubjektif dari pengalaman individu dalam memahami dunia.
Kritik Lenin terhadap Bogdanov (dan demikian juga terhadap konvensionalisme) adalah bahwa konsepsi objektivitas mereka dapat kompatibel dengan fideisme. Jika kebenaran objektif adalah kebenaran yang punya “signifikansi universal”—dalam arti: pengalaman subjektif yang terorganisasi secara sosial—maka doktrin religius seperti Katolisisme pun juga dapat menjadi kebenaran objektif karena memiliki “signifikansi universal” yang bahkan lebih besar daripada doktrin ilmiah.[34] Oleh karena itu, memahami objektivitas berdasarkan aspek sosiologisnya (dengan kriteria pengalaman yang terorganisasi secara sosial), menurut Lenin, keliru secara fundamental. Pemahaman tersebut sama saja dengan menganggap tidak ada kebenaran objektif, karena merelatifkan kebenaran pada bentuk pengorganisasian pengalaman manusia. Doktrin apa pun, betapapun ia misalnya tidak masuk akal atau dapat melanggengkan penindasan, jika bertopang pada pengalaman manusia yang terorganisasi secara sosial, juga dapat bernilai benar.
Materialisme dalam Diskursus Pengetahuan Ilmiah
Dalam dua bagian sebelumnya, telah dijelaskan pandangan objektivitas realisme vis-a-vis konvensionalisme. Marxisme dengan klaim independensinya kompatibel dengan realisme, sedangkan konvensionalisme diam-diam masih menjadi bagian dari varian epistemologi Kantian. Jika berdasarkan pendekatan historis Marxisme adalah penolakan terhadap Kant, maka dapat dipahami bahwa Marxisme juga kontra konvensionalisme. Apa implikasinya dalam diskursus pengetahuan ilmiah (sains) jika Marxisme kontra konvensionalisme?
Lazimnya, diskursus sains lebih banyak didominasi oleh diskursus epistemologi beserta turunannya: soal metodologi. Namun, pengandaian epistemologis tidak bisa lepas, atau bahkan dibangun, dari asumsi ontologis. Bagaimana model sains Marxisme kontra konvensionalisme, itu bergantung pada model epistemologinya yang dibangun dari asumsi ontologisnya. Klaim ontologis Marxisme adalah independensi dunia eksternal atau realisme. Klaim independensi dalam Marxisme itu, menurut Ruben, meniscayakan adanya pengandaian epistemologis tentang teori pengetahuan korespondensi atau ‘refleksi’.[35]
Pendapat Ruben tersebut menemukan justifikasi tekstualnya dari pernyataan Lenin: The recognition of theory as a copy, as an approximate copy of objective reality, is materialism.[36] Artinya, materialisme mengandaikan adanya satu asumsi epistemologis bahwa teori, konsep, ataupun hukum ilmiah merupakan salinan dari, atau setidaknya mendekati, realitas objektif. Dengan demikian, formasi epistemik sains Marxisme tidak berdasarkan pada pengalaman (inter)subjektif yang terorganisasi secara sosial sebagaimana konvensionalisme, tetapi berdasarkan pada objek yang hendak dipahaminya. Kerja ilmiah sains Marxisme, karenanya, bukanlah kerja memahami pengalaman sosial sebagaimana konvensionalisme, melainkan kerja mencerminkan atau merefleksikan realitas objektif ke dalam suatu konsep, teori, ataupun hukum ilmiah. Jika formasi epistemik konvensionalisme berangkat dari pengalaman sosial, maka formasi epistemik sains Marxisme bermula dari pengertiannya tentang objek eksternal.
Kerja ilmiah sains Marxisme yang demikian itu sama sekali tidak berarti hendak menjauhkan sains dari problem sosial yang dialami secara objektif oleh masyarakat. Tujuan utama kerja sains Marxisme yang bercorak realis itu justru untuk menghindari bias kuasa sosio-politik dalam setiap rumusan epistemik. Sebaliknya, jika sains Marxisme berdasarkan pada formasi epistemik konvensionalisme, maka objektivitas ilmiah yang diharapkan dapat mendorong keberpihakan pada kaum tertindas dapat dimanipulasi, sebab dalam konvensionalisme objektivitas tidak lagi terletak pada objek eksternal, tetapi pada pengalaman sosial. Pada titik ini, sains Marxisme, berdasarkan asumsi ontologis dan epistemologisnya, berarti juga realisme ilmiah.
Realisme ilmiah, sebagaimana dipahami Ruben, berpandangan bahwa “Teori-teori ilmiah dapat merujuk pada objek-objek tak-terobservasi, yang, sebagai ‘objek intransitif sains’, objek-objek tak-terobservasi itu secara esensial independen dari usaha teoretis manusia untuk memahaminya.”[37] Pengertian tersebut merangkum sekaligus asumsi ontologis dan epistemologis materialisme Marxis. Pertama, bahwa teori ilmiah dapat merujuk pada objek yang tidak bisa diobservasi (unobservable) adalah klaim epistemologis. Dengan kata lain, teori ilmiah punya kemampuan untuk mencerminkan “objek intransitif sains”[38], betapapun kemampuan inderawi manusia tak mampu untuk mengobservasinya. Kedua, klaim ontologis bahwa objek teori ilmiah (intransitive) independen dari setiap usaha teoretik ilmuwan untuk memahaminya. Artinya, oleh karena teori ilmiah itu mencerminkan objek intransitif yang independen dari aktivitas ilmiah, maka kebenaran ilmiah pun bersifat objektif dan tidak bergantung pada formulasi teoretik yang diusahakan oleh manusia.
Dengan demikian, dalam sains Marxisme yang bercorak realis, terdapat keterpilahan yang jelas antara ranah ontologi dan epistemologi. Di situ tidak ada apa yang oleh Bhaskar disebut “epistemic fallacy” atau reduksi ada pada pengetahuan.[39] Dengan kata lain, keberadaan suatu dunia tidak mensyaratkan keberadaan pengetahuan tentangnya. Namun sebaliknya, pengetahuan tentang suatu dunia meniscayakan bahwa dunia itu sendiri mesti ada. Dengan demikian, formasi epistemik sains Marxisme tidak bergantung pada sensasi inderawi manusia sebagaimana empirisme dan positivisme, atau pada pengalaman intersubjektif manusia sebagaimana dalam konvensionalisme. Sains Marxisme sepenuhnya berpijak dari realitas objektif dunia, karena dari sanalah sains punya kekuatan untuk menyingkap selubung ideologis yang dapat mengaburkan pemahaman manusia.
Penutup
Berangkat dari kritik atas Kantianisme, pandangan materialisme Marxis akhirnya bertemu pada posisi yang berseberangan dengan konvensionalisme. Pada titik itu, materialisme tidak memahami objektivitas ilmiah sebagai intersubjektivitas sebagaimana konvensionalisme, melainkan sebagai salinan yang mendekati (an approximate copy) realitas eksternal yang independen dari manusia. Ketika sains berhasil membuat salinan objektif tentang realitas eksternal, maka di situlah keberpihakan dan pembebasan dimungkinkan. Sains, dengan demikian, bisa bebas dari bias ideologis yang—terorganisasi secara sosial—dapat memalsukan kesadaran dan menggagalkan keberpihakan.
Catatan Akhir
[1] Tulisan ini diadaptasi dari paper yang saya tulis untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Sosiologi Ilmu. Terima kasih banyak untuk Ibu Dr. Sonjoruri Budiani Trisakti, M.A. yang sebagai dosen pengampu telah banyak memberikan kritik dan saran dalam pengerjaan tulisan ini. Walau dalam banyak hal saya tak sependapat dengan beliau, tapi kuliah satu semester dengannya memberi saya banyak tambahan pengetahuan.
[2] Lih. Andrew Collier, In Defence of Objectivity and Other Essays, London: Routledge, 2003, hlm. 134.
[3] Kelompok anti-realis biasanya memang sering merancukan ranah ontologi dengan ranah epistemologi. Dunia eksternal yang secara ontologis mandiri dari pikiran diapropriasi sedemikian rupa sehingga menjadi tak terbedakan dengan pikiran yang mengapropriasinya. Gejala ini, dalam istilah Bhaskar, disebut sebagai “deontologisasi dunia”. Lih. Jolyon Agar, “Towards Objectivity: from Kant to Marx,” Margaret S. Archer dan William Outhwaite [eds.], Defending Objectivity: Essays in Honour of Andrew Collier, London: Routledge, 2004, hlm. 163.
[4] Lih. Andrew Collier, Op.Cit., hlm. 135.
[5] Lih. Ibid., hlm. 137.
[6] Lih. Ibid., hlm. 139.
[7] Lih. Ibid., hlm. 140.
[8] Lih. Evandro Agazzi, Scientific Objectivity and Its Contexts, Heidelberg: Springer, 2014, hlm. 57.
[9] Lih. Ibid., hlm. 98.
[10] Lih. Henri Poincare, The Value of Science, terj. George Bruce Halsted, New York: Dover Publications, Inc., 1958, hlm. 135-136.
[11] Lih. Ibid., hlm. 137.
[12] Lih. Yemima Ben-Menahem, Conventionalism, Cambridge: Cambridge University Press, 2006, hlm. 41.
[13] Lih. Ibid., hlm. 46.
[14] Lih. Ibid., hlm. 58.
[15] Lih. Evandro Agazzi, Op.Cit., hlm. 99.
[16] Lih. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj. Paul Guyer dan Allen W. Wood, Cambridge: Cambridge University Press, 1998, hlm. 347.
[17] Lih. Ibid., hlm. 348.
[18] “To make a judgment or claim to knowledge necessarily presupposes the activity of interpretive thought”. Lih. David-Hillel Ruben, Marxism and Materialism: A Study in Marxist Theory of Knowledge, Sussex: The Harvester Press Limited, 1979, hlm. 14.
[19] “There are objects essentially independent of all thought, or of all interpretive mental activity”. Lih. Ibid., hlm. 19
[20] Terkait dengan keterbatasan ruang, maka tidak mungkin jika saya harus menjelaskan secara detail bagaimana peran ketiga dimensi subjektif tersebut dalam proses formasi pengetahuan ala Kant. Penjelasan tentang ketiga konsep tersebut dalam bahasa Indonesia yang, menurut saya, sangat baik dan jernih adalah penjelasan Martin Suryajaya dalam Materalisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer (2012, 27-39).
[21] Pada titik itulah, Kant memantik adanya Revolusi Kopernikan II. Jika sejak Kopernikus mencetuskan heliosentrisme posisi subjek pengamat yang berada di bumi dipinggirkan (decentered) dari formasi epistemik, maka Kant ingin menarik kembali posisi subjek dengan memasukkan pengaruh dimensi-dimensi subjektif. Revolusi Kopernikan II, karenanya, dapat dipahami sebagai perubahan radikal dari “Up to now it has been assumed our cognition must conform to the objects” menjadi “[…] let us once try whether we do not get farther with the problems of metaphysics by assuming that the objects must conform to our cognition,” (Kant 1998, 110).
[22] Lih. David-Hillel Ruben, Op.Cit., hlm. 56.
[23] Lih. Ibid., hlm. 43.
[24] Lih. Ibid., hlm. 56.
[25] “I do not generate the object from the thought, but the thought from the object; and I hold that alone to be an object which has an existence beyond one’s own brain.” Lih. Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity, New York: Frederick Ungar Publishing Co., 1957, hlm. 2.
[26] “Kantian idealism in which the objects conform to the understanding and not the understanding to the objects, is therefore nothing other than the realisation of the theological conception of the divine mind, which is not determined by the objects but rather determines them.” Lih. Ludwig Feuerbach, Principles of the Philosophy of the Future, terj. Manfred H. Vogel, Indianapolis: The Bobbs-Merrili Company, 1966, hlm. 28.
[27] Lih. David-Hillel Ruben, Op.Cit., hlm. 63
[28] David-Hillel Ruben memang sengaja sering mempertukarkan penggunaan istilah realisme dengan materialisme. Dalam konteks Feuerbach, menurut Ruben memang tak ada pembedaan antara realisme dan materialisme, karena dua istilah itu sebenarnya memiliki satu tesis pokok yang sama, yaitu independensi dunia dari pikiran. Hanya saja, klaim materialisme labih detail lagi, dengan asumsi ontologis bahwa dunia tidak hanya independen dari pikiran, tetapi juga bahwa dunia dalam strukturnya yang paling fundamental adalah materi.
[29] Lih. Ibid., hlm. 65.
[30] Lih. V.I. Lenin, Materialism and Empirio-Criticism, Peking: Foreign Languages Press, 1972, hlm. 86.
[31] Lih. Ibid., hlm. 136-137.
[32] Lih. Ibid., hlm. 137.
[33] “The basis of objectivity must lie in the sphere of collective experience. We term those data of experience objective which have the same vital meaning for us and for other people […]. The objective character of the physical world consists in the fact that it exists not for me personally, but for everybody and has a definite meaning for everybody, the same, I am convinced, as for me. The objectivity of the physical series is its universal significance.”
[34] Lih. Ibid. hlm. 138-139.
[35] Lih. David-Hillel Ruben, Op.Cit., hlm. 64
[36] Lih. V.I. Lenin, Op.Cit., hlm. 317.
[37] “Scientific theories can refer to unobservables, are sometimes about such unobservables, which, as ‘the intransitive objectives of science’, are essentially independent of man’s theoretical attempts to cognise them.” Lih. David-Hillel Ruben, Op.Cit., hlm. 189.
[38] Istilah tersebut berasal dari Roy Bhaskar saat ia membagi aspek pokok sains menjadi dua, yaitu: aspek transitif dan aspek intransitif. Jika aspek transitif sains terkait dengan proses sosio-historis dari produksi pengetahuan ilmiah, maka aspek intransitifnya adalah objek pengetahuan ilmiah yang keberadaannya tidak bergantung sama sekali pada sains. Artinya, sains ada atau tidak ada, objek intransitif sains ini akan tetap ada. Lih. Roy Bhaskar, Scientific Realism and Human Emancipation, London: Routledge, 2009, hlm. 16.
[39] Lih. Ibid.,, hlm. 15.