spot_img
More

    Kritik Mukjizat dari Skeptikus Empirisme Radikal

    Featured in:

    Doktrin agama memuat ajaran yang kebenarannya mutlak bagi suatu pemeluk agama tertentu. Doktrin merupakan aturan yang bersifat mengikat dan tidak boleh dibantah. Pemeluk agama diwajibkan untuk meyakininya tanpa harus melibatkan perasaan penyangkalan atau keraguan. Doktrin agama dapat berasal dari kitab dan teks-teks suci yang dipercaya sebagai wahyu dari Tuhan.

    Doktrin agama dapat berisi tuntunan laku beragama, kisah-kisah mukjizat utusan Tuhan dan firman-firman eskatologis; adanya surga, neraka dan lainnya. Beberapa kisah-kisah mukjizat dalam doktrin agama terkadang jauh dari kata rasional dan kesepakatan empiris. Artinya, mukjizat merupakan kejadian yang tidak masuk akal dan tidak diterima secara indra universal oleh semua orang.

    Mukjizat digambarkan sebagai peristiwa luar biasa yang terjadi di luar hukum alam. Mukjizat selalu dikaitkan dengan tokoh-tokoh tertentu dalam perjalanan sejarah keagamaan, misalnya utusan, nabi, rasul atau sejenisnya. Hal ini menggambarkan adanya intervensi dari Tuhan melalui manusia untuk membuktikan kekuasaan-Nya. Konsep mukjizat menjadi persoalan tersendiri dalam studi filsafat.

    Mukjizat digambarkan sebagai peristiwa luar biasa yang terjadi di luar hukum alam.

    Salah satu filsuf yang mengkritik konsep mukjizat adalah David Hume (1711-1776). Ia merupakan filsuf aliran empirisme; suatu aliran filsafat yang beranggapan pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi (a posteriori) (Barnett, 2022). Ia merupakan skeptikus radikal, ia hanya percaya pada objek yang dapat diindra saja. Baginya filsafat harus dibersihkan dari segala sesuatu yang bersifat substansial dan berbau metafisik.

    Hume mengajukan kritik terhadap mukjizat dalam karyanya Enquiry Concerning Human Understanding (Pertanyaan Mengenai Pemahaman Manusia) pada bab kesepuluh yang berjudul Of Miracles. Salah satu kutipan yang terkenal dari karya tersebut adalah “A miracle is a violation of the laws of nature…” (Mukjizat adalah pelanggaran terhadap hukum alam…). Kutipan itu menjelaskan mukjizat merupakan salah satu bentuk kejadian alam yang tidak semestinya.

    Memang mukjizat sangat jauh dari keteraturan hukum alam yang berlaku, seperti halnya mukjizat berjalan diatas air, membelah lautan, mengubah air menjadi anggur dan lain sebagainya. Bagi Hume, kejadian-kejadian tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti yang empiris. Lebih-lebih mukjizat hanya dilaporkan oleh segelintir orang, yang bagi mereka itu merupakan keajaiban. Tentu hal ini tidak terjustifikasi oleh pengalaman universal manusia.

    Bagi Hume, kejadian-kejadian tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti yang empiris.

    Menurut F. Budi Hardiman dalam Pemikiran Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche merangkum ada lima argumen Hume yang dilontarkan dalam kritik atas mukjizat (Hardiman, 2019). Pertama, sepanjang sejarah tidak pernah ada orang-orang cerdas secara kolektif menyaksikan mukjizat. Jika mukjizat itu benar adanya, seharusnya ada orang-orang cerdas yang mendokumentasikannya, misalnya dalam karya tulis. Sehingga dapat disepakati oleh banyak orang dan dapat dijadikan bukti sejarah yang konkret. Menurut Hume, harus ada pengalaman yang seragam terhadap setiap peristiwa ajaib (mukjizat). Jika tidak, kejadian tersebut (mukjizat) tidak akan pantas mendapat sebutan itu (Hume, 1748). Hume menekankan bukti pengalaman kolektif untuk membuktikan mukjizat itu benar adanya.

    Kedua, manusia cenderung meyakini mukjizat, tetapi hanya sampai pada taraf keyakinan. Tidak sampai pada taraf pembuktian, pun jika diminta untuk membuktikan, manusia saat itu tidak bisa. Bagi Hume, orang bijak membandingkan keyakinannya dengan bukti. Menurutnya, jika seorang memperoleh kesimpulan yang didasarkan pada pengalaman yang sempurna, dapat dikatakan peristiwa itu memiliki tingkat kepastian terakhir (Hume, 1748).

    Kecenderungan percaya terhadap mukjizat dijelaskan oleh argumentasi C. D. Broad dalam Hume’s Theory of The Credibility of Miracles yang mengatakan manusia saat itu memiliki motif yang kuat untuk percaya pada mukjizat. Kebanyakan orang menyukai apa yang indah dan tidak umum. Oleh karena itu, manusia memiliki kecenderungan alami untuk mempercayai kisah ajaib apapun walau dengan bukti yang sangat sedikit.

    Ketiga, secara historis, mukjizat hanya terjadi ketika zaman ilmu pengetahuan belum maju. Setelah adanya kemajuan ilmu pengetahuan, mukjizat malah menjadi persoalan. Sangat disayangkan mukjizat sering terjadi di zaman dahulu, di masa manusia biadab dan terbelakang. Tetapi, mukjizat semakin sedikit ketika orang-orang mulai lebih berpendidikan. Menurut Hume, hal ini menunjukan dugaan mukjizat disebabkan oleh kemudahan orang-orang terbelakang yang mudah ditipu. Selain itu, kurangnya pengetahuan manusia kala itu juga memengaruhi berkembangnya cerita-cerita tentang keajaiban mukjizat (Broad, 2016). Menurutnya, orang yang meyakini mukjizat hanyalah orang orang berpikiran sempit dan kekanak-kanakan.

    Kebanyakan orang menyukai apa yang indah dan tidak umum. Oleh karena itu, manusia memiliki kecenderungan alami untuk mempercayai kisah ajaib apapun walau dengan bukti yang sangat sedikit.

    Keempat, segala agama wahyu memiliki klaimnya sendiri atas mukjizatnya masing-masing. Maka tidak pernah ada kesepakatan empiris tentang mukjizat yang benar. Jika berbicara suatu mukjizat di agama A, belum tentu juga benar di agama B, begitupun seterusnya. Bahkan terkadang ada mukjizat yang saling bertentangan antar agama.

    Dapat dipastikan mukjizat merupakan argumen yang bersifat subjektif. Tergantung pada konteks kepercayaan dan tradisi keagamaan tertentu. Hume percaya mukjizat tidak dapat dijadikan landasan kebenaran universal, karena klaim tersebut dapat saling bertentangan dan hanya berlaku pada pemeluk agama masing-masing. Bukti-bukti yang disampaikan oleh agamawan dirasa tidak konsisten dan hanya disandarkan pada doktrin agama semata.

    kurangnya pengetahuan manusia kala itu juga memengaruhi berkembangnya cerita-cerita tentang keajaiban mukjizat (Broad, 2016).

    Kelima, semakin ilmiah penelitian sejarah maka sejarawan akan semakin ragu terhadap peristiwa-peristiwa mukjizat. Sejarawan bahkan menemukan mukjizat hanyalah tafsiran para nabi memperkenalkan ajaran keimanan. Pendekatan historis sulit untuk memverifikasi klaim-klaim mukjizat karena mukjizat bernuansa supranatural. Selain itu, pendekatan kritis ilmiah dengan bukti empiris juga menjadi tantangan dalam penelitian sejarah.

    Lagi-lagi, bukti teks kisah tentang mukjizat yang dijadikan sumber dalam penelitian, merupakan firman-firman yang kebenarannya bersifat lokal, bukan universal. Pengumpulan arsip-arsip dokumenter terhambat pada sumber-sumber yang terbatas. Sehingga tidak dapat menjadi bukti afirmatif yang kuat atas kejadian mukjizat tersebut.

    Setelah periode Hume, kecenderungan kritis atas agama dan metafisika menemui puncaknya kala itu. Ilmu pengetahuan yang dilandaskan pada rasionalisme dan empirisme semakin berkembang dan paham humanisme serta sekularisme merajalela di Eropa pada abad ke-18. Zaman itu disebut zaman Pencerahan.

    Pengumpulan arsip-arsip dokumenter terhambat pada sumber-sumber yang terbatas. Sehingga tidak dapat menjadi bukti afirmatif yang kuat atas kejadian mujkizat tersebut.

    Persoalan mukjizat masih menjadi pembahasan yang pelik hingga saat ini. Perdebatan antara ilmuwan, sejarawan dan petinggi agama masih terus berlanjut. Meskipun kritik atas mukjizat mendapatkan balasannya pada tahun baru-baru ini, argumentasi Hume tetap dijadikan senjata bagi orang-orang yang berseberangan dengan kaum agamawan. Dengan demikian, membuktikan skeptisisme radikal Hume masih berperan penting dalam perjalanan ilmu pengetahuan.

    Daftar Pustaka

    Barnett, Brian C. 2022. Pengantar Filsafat: Epistemologi. Yogyakarta: Antinomi.

    Broad, C. D. 2016. “Hume’s Theory of The Credibility of Miracles.” (X): 77–94.

    Hardiman, F. Budi. 2019. Pemikiran Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Sleman: PT Kanisius.

    Hume, David. 1748. “An Enquiry Concerning Human Understanding David Hume.” Philosophy: 1–121.

     

    Author

    • Hilmy Harits Putra Perdana

      Saya adalah mahasiswa S1 UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah, Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam. Saya adalah penulis pemula yang memiliki hobi menulis dengan tema kefilsafatan.

      View all posts

    Find us on

    Latest articles

    spot_img

    Related articles

    Menyingkap Keterasingan Manusia Lewat Banalitas Keseharian

    Tidak dipungkiri lagi, mahasiswa erat dengan jadwal padat yang selalu menghampirinya setiap saat. Pagi hari, sekitar pukul...

    Post-Truth: Konsekuensi atas Keruntuhan Modernitas

    Seperempat paruh awal abad ke-21 ini, manusia dihadapkan kepada pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendisrupsi masyarakat....

    Hausu dan Hauntopoanalisis

    Rumah bukanlah sekadar bangunan fisik yang memiliki wujud konkret, melainkan ruang metafisik yang abstrak dan memiliki agensi...

    Sebuah Hikayat dari Tanah Para Pencari Kebenaran Dunia

    Tulisan ini merupakan potongan dari Laporan Pertanggungjawaban Pemimpin Redaksi LSF Cogito 2022 yang disampaikan pada 11 Februari...

    Ampun, Romo Bertens: Argumen Absolutis Anda Bermasalah

    Buang semua asumsi moral dan pengetahuan yang kita dapat dari peradaban modern ini untuk sementara. Mari bayangkan...

    Polemik Hermeneutis Gadamer dan Habermas

    “Kalau Anda ingin mendengarkan Heidegger dengan lebih mudah, bacalah (tulisan) Gadamer.” Begitulah ucapan Fransisco Budi Hardiman saat...