Berdasarkan catatan arkeologi, manusia modern sebagai nenek moyang manusia sekarang telah muncul sekitar 20.000 tahun silam pada masa holosen.[1] Tak dapat dipungkiri, hingga kini perdebatan sekitar asal-usul munculnya manusia masih berlangsung. Meski banyak pihak menganggap perdebatan tersebut telah usai dengan ditinggalkannya dalil Charles Robert Darwin: “There is no creation, but evolution”, namun kenyataannya, dunia dikejutkan oleh lahirnya generasi “Atheis-Baru” (The New Atheists/TNA)[2] yang memiliki pengaruh cukup luas seperti Richard Dawkins, Christopher Hitchens, Sam Harris, Bill Maher, Lawrence M. Krauss (Savage, 2014; Ruse, 2015; Schaeffer, 2015), dan seorang lucasian professor yang cenderung berdiri sendiri dengan pikiran-pikiran besarnya: Stephen Hawking.
TNA tak ubahnya keripik renyah yang mengelaborasi apik beragam kompetensi tokoh-tokoh di dalamnya. Dawkins sang biolog evolusioner, Hitchens dan Harris keduanya merupakan penulis, Maher seorang komedian sekaligus aktor, dan Krauss fisikawan kosmologi; setiap mereka melancarkan ide-idenya secara simultan pada bidang yang digelutinya masing-masing. Di tengah kebisingan arus informasi dan media Barat, pemikiran TNA layaknya parasit yang tak dapat digerus, terus lestari dalam alam liberal yang mendewakan kebebasan berpikir. Memang, TNA bukanlah arus pemikiran dominan dalam wacana keseharian masyarakat Barat, namun peran mereka dalam penciptaan kultur agnostik Eropa-Amerika Serikat yang kian meningkat dari tahun ke tahun tak dapat disepelekan. Dawkins dan Maher misalnya, yang memiliki acara sendiri di stasiun televisi swasta, begitu pula dengan Krauss yang masih rajin menjadi pembicara di seminar-seminar, juga memberikan kuliah umum. Agaknya, Dawkins dengan berbagai publikasinya yang telah diakui dunia internasional didapuk sebagai avant-garde dalam gerakan ini.
Akan tetapi tak dapat dipungkiri, “gong” terbesar dari gerakan TNA yang menuai respon paling serius hadir melalui suara sang Lucasian Professor Stephen Hawking. Dalam buku terbarunya, The Grand Design (2010), terdapat pernyataan Hawking yang menjadi sangat terkenal: “Tuhan tidaklah menciptakan semesta, melainkan gravitasi”. Pernyataan Hawking itu pun seketika menuai respon keras Vatikan yang balik mengajukan pertanyaan pada Hawking lewat Kepala Biro Observatorium Vatikan, Jose Gabriel Funes: “Bisakah Anda (Prof. Hawking) menjelaskan mengapa segala sesuatunya ada, dan bukannya tiada?”. Di lain kesempatan, Gabriel Funes sempat berkata jika Hawking menggunakan nama lain untuk Tuhan, yakni gravitasi. Hanya saja, ia bersikukuh menambahkan moralitas di dalamnya (Roberts, 2010; Hoffmann, 2010; Horn, 2013). Pernyataan yang cukup rancu mengingat gravitasi tak memproduksi nilai ataupun moralitas; lantas, dari manakah datangnya nilai dan moralitas itu?
Berkenaan dengan perdebatan di atas, sesungguhnya jauh sebelumnya telah ditemui tafsir yang cukup menarik dan berpotensi mengatasi vis-à-vis yang terhelat, yakni pemikiran Pierre Teilhard de Chardin, seorang Imam Yesuit sekaligus filsuf dan paleontolog. Pemikirannya dinilai banyak pihak mendamaikan agama dengan ilmu pengetahuan modern, khususnya teori evolusi Darwin. Bagi Chardin (2007: 14, 71-72, 149), sejarah dunia adalah sejarah Tuhan, dan Tuhan mengambil porsi yang sedetail-detailnya dari proses “kemenjadian” dunia, juga semesta: “Evolusi manusia sedari kera hingga mencapai bentuknya yang paripurna sekarang ini merupakan kuasa-Nya untuk menyempurnakan manusia”, demikianlah argumen yang diajukan Chardin dalam buku monumentalnya, The Phenomenon of Man (1955). Memang, sekilas pemikiran Chardin memiripkan bentuknya dengan nalar sejarah Hegel (2005: xxv): “Ide yang berkembang dalam waktu adalah sejarah; ide yang berkembang dalam ruang adalah alam”; namun proses kemenjadian yang dimaksud Chardin selalu mengarah kepada Tuhan. Patut disayangkan, pemikiran-pemikiran orisinal Chardin dibreidel oleh Ordo Yesuit, buku-bukunya dilarang terbit, sementara Chardin sendiri diasingkan ke Amerika Serikat.
Ihwal yang tersirat dari rangkaian perdebatan ini mensahihkan ungkapan Protagoras tentang eksistensi manusia sebagai homo mensura, yakni manusia sebagai tolak ukur segala sesuatu; bagi yang ada (being) untuk keberadaannya, dan bagi yang tiada (non-being) untuk ketiadaannya. Baik Hawking dan Vatikan sesungguhnya berada pada posisi yang sama, mereka sama-sama menafsir eksistensi Tuhan berikut penciptaan semesta. Bagi Vatikan terutama, entah disadarinya atau tidak, mengutip ucapan Pascal (dalam Hammond [ed.], 2003: 138) jika saat ini kita berhadapan dengan deus abscondictus; Tuhan yang bersembunyi dan membiarkan manusia bertanya-tanya; hal inilah yang kemudian melahirkan beragam tafsir mengenai Pencipta dan penciptaan, termasuk yang dilakukan Vatikan, apa yang mereka tafsirkan sesungguhnya tak kalah radikal ketimbang Hawking. Meskipun kanonisasi lembaga gereja telah lama dianggap memegang otoritas atas teks (kitab suci), namun dalam ranah filologi-filsafat, ia—teks—dapat kembali dipertanyakan. Kita kerap kali terlambat menyadari jika senyatanya yang “bermain” di arena sains dan agama adalah regimes of significant, ‘rezim-rezim penafsir’ yang membentuk berikut mengarahkan kesadaran kita.
Pertanyaannya, apakah eksistensi manusia sebagai homo mensura lantas menjadikannya tragedi di dunia ini? Atau dengan kata lain, kemunculan manusia menandai kelahiran tragedi? Hal ini mengingat, kemampuan setiap manusia dalam menafsir lewat pikiran dan perasaannya secara otonom, cepat atau lambat, disukai atau tidak; pastilah bakal melahirkan perpecahan, pun yang terparah: pertumpahan darah. Memang, kita telah membaca narasi-narasi Nietzsche (1844-1900) dalam The Birth of Tragedy (1872), namun akan terlalu jauh jika kita buru-buru menyentuhnya dalam pembahasan ini. Kemunculan tragedi sebagaimana dimaksudkan Nietzsche (dalam Sedgwick, 2009: 3-4) berkaitan dengan bangkitnya tradisi apollonian yang meluluhlantah tradisi dyonsian; tradisi puisi yang menggantikan kevulgaran, tradisi teori yang menggantikan praktik. Konsep Nietzsche yang berkaitan erat dengan pengkajian ini adalah pemikirannya tentang ubermensch, ‘manusia super’ dalam Thus Spoke Zarathustra (1883-1885).
Ubermensch[3] atau manusia super sebagaimana dimaksudkan Nietzsche (dalam Sedgwick, 2009: 111) bukanlah “manusia baja”, atau jika kita menyaksikan film Superman yang serba kuat lagi tangguh; konsep manusia super Nietzsche tidaklah demikian. Manusia super adalah mereka yang mampu mengatasi konstruksi nilai, norma, dan budaya di eranya; mereka adalah orang-orang yang memiliki “mentalitas tuan” di tengah ramainya “mentalitas budak”. Menjadi wajar bagi Nietzsche, mereka yang memiliki pikiran dan pandangan jauh ke depan (baca: mentalitas tuan) yang berbeda dari masyarakatnya secara otomatis bakal dimusuhi atau dikucilkan, sedang sesungguhnya mereka inilah agen-agen pembaharu sosial yang sebenarnya. Kita dapat memisalkan hal ini dengan selalu diingkarinya nilai-nilai profetik. Apabila kita menilik sejarah Nuh, Ibrahim, Musa, atau Muhammad; pada mulanya mereka adalah manusia-manusia yang didustakan kaumnya, namun kemudian berhasil merombak dan membuat peradaban yang sama sekali baru. Dalam hal ini, begitu pula dengan Yesus, meski pandangan Nietzsche (dalam Sedgwick, 2009: 25-26) atasnya begitu negatif: “Apa yang dilakukan Yesus tak lebih dari upaya mencapai kekuasaan dengan cara membalikkan nilai dan norma”. Namun demikian, baik Nuh, Ibrahim, Musa, Muhammad, maupun Yesus dapat diposisikan sebagai ubermensch mengingat sekadar merekalah yang mampu mengatasi “narasi besar” di zamannya. Oleh karenanya, pengkajian tradisi profetik dalam perspektif nietzschean bakal menghasilkan keluaran yang unik; bahwa sesungguhnya seorang Kristen hanyalah satu, yakni Yesus; begitu pula, seorang Islam hanyalah satu, yakni Muhammad itu sendiri. Sekali lagi, hal ini mengingat, hanya merekalah yang mampu mengatasi narasi besar di zamannya, sedang manusia-manusia yang hadir setelahnya—kita misalkan—hanyalah pengikutnya; kita bukanlah seorang Kristen atau Islam yang paripurna karena tak turut mengatasi narasi besar kala itu; kita sekadar ikut-ikutan.
Pertanyaannya, di manakah letak tragedi dari ubermensch? Apabila kita mengikuti kelanjutan pemikiran Nietzsche dalam Beyond Good and Evil (1886), maka ditemui bahwa sedari awal ubermensch telah menyimpan tragedinya sendiri, yakni motivasi setiap manusia yang semata-mata beresensi pada will to power, ‘kehendak akan kuasa’. Dalam hal ini, Nietzsche begitu terpengaruh akan pemikiran Arthur Schopenhauer (1788-1860) bahwa segala tindakan dan tujuan manusia baik theis maupun atheis adalah upaya untuk mencapai kekuasaan. Itulah mengapa, Nietzsche ajeg melihat secara suspicious ‘penuh prasangka’ pada hal-hal yang berbau pious ‘agamis’, bahkan ia tak segan menggunakan kata-kata seperti “picik”, “kepicikan”, atau “kepalsuan”, pada manusia-manusia yang berlaku agamis. Lewat pandangan nietzschean inilah, manusia seagung Mahatma Gandhi pun dapat didaulat lebih kejam ketimbang Adolf Hitler.
Lebih jauh, untuk “menyempurnakan” pandangan tragis mengenai manusia, marilah kita beralih pada pemikiran sosiologi manusia Ali Syariati, materialisme Thomas Hobbes, serta konsep kesadaran manusia Martin Heidegger. Syariati sebagai salah satu pemikir ulung nan langka yang dimiliki negeri Syah, mengawali pandangan distopia-nya mengenai manusia dengan membuka kembali kisah putra Adam yang termaktub dalam teks suci umat Islam. Dikisahkan, Adam dan Hawa memiliki sepasang putra-putri kembar; Qabil dan Iqlima, serta Habil dan Lubuda.[4] Ketika tiba saat menikahkan keempat anaknya yang telah dewasa, Qabil menolak rencana Adam yang hendak menikahkannya dengan Lubuda dikarenakan parasnya tak secantik adiknya, Iqlima. Mengetahui penolakan Qabil, Adam pun menyerahkan keputusan ini kepada Tuhan. Ia meminta Habil dan Qabil untuk memberikan pengorbanan kepada Tuhan di sebuah puncak bukit, dan barangsiapa kurbannya diterima, maka ia berhak menikahi Iqlima.
tak peduli seberapa besar kesalahan yang dibuat manusia, dan meskipun berbahaya bagi kemanusiaan itu sendiri; tak jadi soal. Hal ini mengingat, segala tindakan tersebut berasal dari, oleh, dan untuk manusia itu sendiri—human all to human. Dengan demikian, kita justru dapat menemukan dimensi kemanusiaan yang paripurna di situ; sebentuk pernyataan tegas bahwa kita memanglah bukan robot atau Tuhan yang tak pernah berbuat salah. Kita mengakui kemanusiaan kita yang tak sempurna; yang justru karena di setiap sendinya dibangun oleh manusia, maka kita dapati kemanusiaan yang sempurna: kesempurnaan bagi manusia itu sendiri.
Bergegaslah kedua putra Adam mempersiapkan persembahan bagi Tuhan; Habil yang seorang peternak memberikan kambing (domba) terbaik, sedangkan Qabil yang seorang petani memberikan sekarung gandum. Namun, gandum yang diberikan Qabil bukanlah gandum terbaik, sebagian besar gandum yang terdapat di karungnya telah rusak. Baik Adam dan kedua putranya pun menanti dari kejauhan (kaki bukit) untuk menyaksikan apa yang akan terjadi di puncak bukit: pengorbanan siapakah yang bakal diterima Tuhan? Sejurus, kilatan api pun menyambar persembahan Habil dan membuatnya hilang tak berbekas, sedangkan sekarung gandum milik Qabil tetap berada di posisi semula tak tersentuh sama sekali. Menjadi jelas kemudian siapa yang berhak menikahi Iqlima, yaitu Habil. Kendati tampak menerima keputusan Tuhan, senyatanya dalam hati Qabil menolaknya dan menyimpan dendam terhadap Habil. Tatkala Qabil memiliki kesempatan, yakni ketika Adam harus pergi meninggalkan rumah untuk beberapa hari, dibunuhlah Habil. Ali Syariati (2011: 143) menggarisbawahi tindakan Qabil sebagai “pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia”, ia turut mengatakan jika kisah Habil-Qabil di awal kemunculan manusia ini akan menjadi gambaran kondisi umat manusia ke depannya yang penuh pertumpahan darah.
Jauh sebelumnya, senada dengan Syariati, Thomas Hobbes (dalam Hardiman, 2004: 71) mengatakan bahwa kondisi alami manusia adalah homo homini lupus, ‘manusia makan manusia’.[5] Dikatakan pula olehnya jika naluri kodrati masyarakat adalah berperang, atau dengan kata lain, jika masyarakat dibiarkan begitu saja, maka yang terjadi adalah peperangan: bellum omnes contra omnia, ‘perang semua melawan semua’. Hobbes (dalam Losco & Williams, 2005: 83) mengidentifikasi sumber kegarangan sosial tersebut lewat keegoisan individu-individu di dalamnya—perang yang terjadi sebenarnya adalah perang antarindividu, oleh karenanya, ia begitu membenci anarkisme, suatu tata kehidupan sosial di mana tak terdapat aturan di dalamnya. Persoalannya, bagaimana Hobbes dapat menemukan keegoisan dalam diri individu? Ini tak terlepas dari basis epistemologi materialisme yang diusungnya, bahkan Hobbes sendiri didaulat sebagai “bapak materialisme modern” (Hardiman, 2004: 68). Pandangan materialisme Hobbes menyebabkannya secara langsung memandang manusia tak lebih sebagai “materi”, atau jelasnya, tubuh manusia sebagai mesin, sedang perasaan dan pikiran yang dimiliki manusia tak ubahnya sebagai reaksi kimia yang menggerakkan keseluruhan tubuh mekanik. Layaknya mesin yang ditujukan bagi hal-hal bersifat material, begitu pula manusia dalam pandangan Hobbes yang bermisikan utama mencari kesenangan dan kenikmatan (materi). Oleh karenanya bagi Hobbes (dalam Losco & Williams, 2005: 78), dibutuhkan finis ultimus atau “kekuasaan tertinggi” untuk mewujudkan bonum publikum, ‘kebahagiaan bersama’. Finis ultimus tersebut termanifestasi lewat hadirnya monarkisme absolut di mana raja sarat memiliki kekuasaan mutlak atas rakyat. Pemikiran-pemikiran Hobbes ini terangkum dalam bukunya berjudul Leviathan (1651) yang menggambarkan penguasa sebagai raksasa penggenggam manusia-manusia kecil.
Dalam konteks pemikiran kontemporer, baik pemikiran Syariati maupun Hobbes diamini oleh Samuel P. Huntington yang meyakinkan terjadinya konflik dan benturan antarperadaban dari masa ke masa, bahkan hingga detik ini. Argumen Huntington yang terangkum padat dalam jurnal Foreign Affairs (1993) dan kemudian tersempurnakan dalam sebentuk buku yang menjadi salah satu teks penting bagi studi hubungan internasional, The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order (1996), sesungguhnya ditujukan untuk mendebat karya Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man (1992) yang menyatakan bahwa dunia telah berada di akhir sejarah dengan kapitalisme sebagai ideologi pemenangnya. Secara meyakinkan, Fukuyama (2004: 1) berkata, “…ia (kapitalisme) menaklukkan ideologi-ideologi pesaingnya seperti monarki turun-temurun, fasisme, dan baru-baru ini komunisme”. Menanggapi pernyataan tersebut, Huntington (2006: 567-568) berucap, “Masyarakat yang merasa dirinya di akhir sejarah, justru masyarakat yang berada di ambang kehancurannya”. Pandangan Huntington ini didukung oleh Derrida (dalam Sim, 2002: vi) yang melalui Specters of Marx (1993) yang menyatakan bahwa ideologi-ideologi di dunia tidaklah pernah benar-benar mati, melainkan sekadar bersembunyi dan melatenkan diri.
Apabila kita menggunakan perspektif hobbesian tentang perang antarmasyarakat sebagai perang antarindividu, maka ditemui bahwa sesungguhnya bentuk-bentuk konflik (baca: perang) hingga wujudnya yang telah mencapai peradaban, merupakan perang antar penafsir, yakni mereka yang betul-betul memahami eksistensi ideologi—bukan masyarakat awam—berikut mengetahui arah kepentingan dunia. Hal ini dapat kita temui dalam pernyataan Huntington ihwal peradaban Barat yang terancam oleh Islam dan Confusionisme, sedangkan menurut Fukuyama demokrasi liberal yang menuai ancaman serius oleh Islam dan Yahudi Ortodoks. Mengapa kedua pakar tersebut menganggap tiga “ideologi” di atas sebagai ancaman? Hal ini tak lain dikarenakan baik Islam, Confusionisme, maupun Yahudi Ortodoks memiliki sistem pemerintahan dan ekonominya sendiri sehingga selalu ditempatkan secara vis-à-vis terhadap demokrasi dan kapitalisme; dan, apabila kita menilik pendapat Derrida tentang musykilnya kematian ideologi, maka pertempuran di atas pun takkan pernah berakhir.
Tegas dan jelasnya, nyaris tak mungkin mengharapkan kondisi manusia (baca: masyarakat) selalu dalam keharmonisan. Di sini kita dapat mengutip tulisan Fukuyama (2004: 483-499) tanpa terjebak pada pendefinisiannya tentang “akhir sejarah”. Dipaparkan olehnya bahwa dunia memang sempat terjebak pada pengulangan sejarah dikarenakan kebosanan “manusia akhir” akibat isothymia[6] yang segera bertransformasi menjadi megalothmia[7]. Sebagai misal, munculnya pemerintahan Shogun Hideyoshi pada abad ke-15 di mana Jepang kala itu memasuki era penuh kedamaian selama beratus tahun yang memiripkan bentuknya dengan postulat akhir sejarah Hegel, namun faktual “perang besar” kembali terjadi. Begitu pula, Perancis di bawah kepemimpinan Jendral De Gaulle menjadi negara paling bebas dan paling makmur di dunia, namun nyatanya masih juga tak luput dari upaya pemberontakan mahasiswa untuk melengserkannya. “Peristiwa 1914” pasca seratus tahun perdamaian Eropa sejak konflik terbesar yang dihentikan oleh Konferensi Wina juga menjadi contoh apik, faktual petaka kembali terulang lewat Perang Dunia I (1914-1918), dan berlanjut dengan Perang Dunia II (1939-1945) yang jauh lebih masif. Tentu, berbeda halnya dengan Fukuyama, apabila kita menggunakan perspektif Huntington dan Derrida, konflik berikut pengulangan sejarah tersebut takkan pernah terputus, atau jika kita menggunakan istilah Nietzsche: eternal resurrance ‘pengulangan kekal’.
Pandangan distopia selanjutnya mengenai manusia hadir melalui Martin Heidegger. Lewat refleksi mendalam tentang dimensi kesadaran yang dimiliki manusia, Heidegger (1977: xxix, 100) membangun pandangan yang sistematis tentang bagaimana manusia memperlakukan dunia. Baginya, kesadaran yang dimiliki manusia membuatnya memandang segala sesuatu sebagai obyek. Lewat kesadaran ini pulalah, manusia menempatkan dirinya sebagai satu-satunya “ada”, sementara entitas lain di luar dirinya sebagai “pengada”. Dalam hal ini, ada menunjuk pada eksistensi manusia yang bekesadaran, sedangkan pengada ditempatkan sebagai “pelengkap” bagi keberadaan ada (baca: manusia). Kita dapat memisalkan pemikiran Heidegger melalui contoh eksistensi “singa bukan singa”. Faktual, singa yang terdapat di kebun binatang bukanlah singa yang sesungguhnya. Hal ini dikarenakan, singa yang sesungguhnya selayaknya berada di belantara Afrika sana, akibat intervensi bernama ada; singa ini dicerabut dari totalitas kehidupannya dan berada di kebun binatang. Heidegger (1977: 13) mengistilahkan serangkaian hal di atas sebagai “pola pikir teknologi”, yakni pola pikir manusia yang selalu hendak menundukkan dan menaklukkan.[8]
Lebih jauh, pola pikir ini tak sekadar menyasar binatang, melainkan pula alam sebagai induk seluruh makhluk hidup. Tak berbeda halnya pada binatang, pola pikir teknologi sekadar menempatkan alam sebagai obyek, pelengkap keberadaan manusia, bukan entitas yang memiliki kehidupannya sendiri. Inilah yang menyebabkan manusia seakan dapat mengeksploitasi alam dengan sekenanya. Sekali lagi, hal ini disebabkan pola pikir teknologi yang mengakibatkan manusia menganggap keberadaan alam sepenuhnya diperuntukkan bagi dirinya. Pada perkembangannya, pemikiran Heidegger diamini pula oleh Theodor W. Adorno dan Max Horkhemier. Sekaligus mengkritik Marx, dalam Dialectics of Enlightenment (1972), Adorno dan Horkheimer (2002: 218, 232) mengingatkan lalainya Marx akan problem yang diistilahkan keduanya sebagai “dominasi”, yakni kegemaran manusia melihat dunia dan seisinya sebagai obyek yang sarat dikuasai bagi kemanfaatan manusia. Kiranya, baik pola pikir teknologi Heidegger maupun pemikiran dominasi Adorno berikut Horkheimer merangkum jawaban kemunculan manusia sebagai katasrofa[9] mendunia.
“…there is no non-human situation.” [“…tidak ada situasi yang tidak manusiawi.”], bahkan perang sekalipun; perang adalah situasi yang sangat manusiawi. Demikianlah tragedi dirayakan secara romantis.
Merespon Tragedi, Merayakan Tragedi?
Mungkin kita masih ingat salah satu cuplikan adegan film I, Robot (Alex Proyas, 2004) yang dibintangi Will Smith. Tatkala manusia memasuki era robot, yakni ketika robot mulai diproduksi massal oleh korporasi, hidup berdampingan dengan manusia, dan ditujukan untuk membantu aktivitas manusia; faktual ditemui satu robot yang mengalami anomali. Berbeda halnya dengan robot lain yang memiliki ketertundukan dan kepatuhan buta terhadap manusia, robot ini memiliki kesadaran independen yang terbebas dari program (baca: perintah) manusia. Melalui kalkulasi matematisnya yang canggih, robot yang kemudian dikenali berseri NS-5 ini mengatakan jika umat manusia berada dalam bahaya—human in danger—bila tak melakukan pencegahan-pencegahan. “Beberapa perilaku manusia harus dihilangkan, beberapa bentuk kesenangan harus ditahan”, demikian kurang-lebih ucap NS-5. Ia pun mulai bertindak secara mandiri guna menyelamatkan manusia dari kepunahan. Tindakan-tindakannya itulah yang kemudian bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, atau dengan kata lain, ia menginjak-nginjak nilai-nilai kemanusiaan untuk menyelamatkan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Film ini ditutup dengan ditangkap dan dihancurkannya NS-5 beserta robot-robot yang telah ada sebelumnya sehingga kehidupan manusia kemudian benar-betul ternetralisir dari campur tangan robot. Pesan romantis yang disampaikan film ini adalah, tak peduli seberapa besar kesalahan yang dibuat manusia, dan meskipun berbahaya bagi kemanusiaan itu sendiri; tak jadi soal. Hal ini mengingat, segala tindakan tersebut berasal dari, oleh, dan untuk manusia itu sendiri—human all to human. Dengan demikian, kita justru dapat menemukan dimensi kemanusiaan yang paripurna di situ; sebentuk pernyataan tegas bahwa kita memanglah bukan robot atau Tuhan yang tak pernah berbuat salah. Kita mengakui kemanusiaan kita yang tak sempurna; yang justru karena di setiap sendinya dibangun oleh manusia, maka kita dapati kemanusiaan yang sempurna: kesempurnaan bagi manusia itu sendiri.
Kita dapat mengulas lebih jauh pesan romantis film terkait melalui perspektif eksistensialisme Jean Paul Sartre, di mana menurut Sartre (1956: 553-555), “tidak ada kondisi yang tidak manusiawi bagi manusia”. Sartre memisalkannya dengan Perang Dunia II yang kala itu tengah melanda Perancis. Ia berkata, “…this war is my war; it is in my image and I deserve it.” [“…perang ini adalah perangku; semua ada dalam bayanganku, dan aku pantas menerimanya.”]. Sependapat dengan J. Romains, Sartre pun menelurkan pernyataan kontroversial yang kemudian menuai kecaman luas publik Perancis: “There are no innocent victims.” [“Tidak ada korban yang tak bersalah (dalam perang)”]. Menurutnya, hal ini disebabkan manusia sendirilah yang bertanggung jawab atas situasi dan kondisinya. Bagi Sartre, realitas selalu sama, yang berbeda adalah bagaimana cara manusia memaknai dan memanipulasinya. Terkait perang misalnya, manusia dengan pilihan bebas yang dimilikinya dapat merespon perang tersebut lewat beragam cara; mengikutinya, menjauh, atau bahkan menghindarinya. Kata “menjauh” dan “menghindar” di sini memuat kadar pilihan bebas sedari moderat hingga ekstrem. “Menjauh” dalam arti berhijrah secara spasial untuk menghindari perang, atau “menghindar” dalam arti mengakhiri hidup agar bayangan perang tak merasuk ke dalam diri manusia. Dalam pandangan Sartre, bagi mereka yang tak mendayagunakan totalitas kebebasan berikut pilihan bebasnya; merekalah subjek-subjek yang bersalah. Oleh karenanya ia menegaskan, “…there is no non-human situation.” [“…tidak ada situasi yang tidak manusiawi.”], bahkan perang sekalipun; perang adalah situasi yang sangat manusiawi. Demikianlah tragedi dirayakan secara romantis.[]
[1] Sementara manusia purba pertama muncul ratusan ribu tahun silam pada masa plestosen.
[2] Disebut juga new atheism ‘atheisme baru’—sebagai sebentuk gerakan.
[3] Disebut juga overman.
[4] Dalam Bibel disebut; Adam and Eve, Cain and Abel, serta Seth and Awan.
[5] Dapat pula diterjemahkan: “Manusia adalah serigala bagi sesamanya”.
[6] Hasrat fanatis untuk memperoleh pengakuan yang sama.
[7] Hasrat untuk mendominasi dan menuai pemujaan.
[8] Sebagaimana karakter utama teknologi yang dibuat manusia: untuk menaklukkan atau menundukkan sesuatu.
[9] Bencana atau malapetaka besar yang muncul secara mendadak.
Referensi;
Chardin, Pierre Teilhard de, 2007, Gejala Manusia, Oey’s Renaissance.
Fukuyama, Francis, 2004, The End of History and The Last Man: Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Qalam.
Hammond, Nicholas [ed.], 2003, The Cambridge Companion to Pascal, Cambridge University Press.
Hardiman, F. Budi, 2004, Filsafat Modern, Gramedia.
Hegel, G. W. F., 2005, Nalar dalam Sejarah, Teraju.
Heidegger, Martin, 1977, The Question Concerning Technology, Garland Publishing, Inc.
Horkheimer, Max & Theodor W. Adorno, 2002, Dialectic of Enlightenment: Philosophical Fragments, Stanford University Press.
Huntington, Samuel, 2006, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, Qalam.
Losco, Joseph & Leonard Williams, 2005, Political Theory Volume II, Rajawali Pers.
Sartre, Jean Paul, 1956, Being and Nothingness: An Essay on Phenomenological Ontology, New York Philosophical Library.
Sedgwick, Peter R., 2009, Nietzsche: The Key Concepts, Routledge.
Syariati, Ali, 2011, Sosiologi Islam, Rausyanfikr Institute.