CL: Pertanyaannya: Saat kita mengirim surat lewat kantor pos, harus pakai…?
A1: Perangko kan harusnya Pak. Tapi pasti bukan. Kami jawab transport. Saat kita mengirim surat lewat kantor pos, harus pakai transport.
CL: Jawabannya salah. Tim B, silakan menjawab
B1: Saat kita mengirim surat lewat kantor pos, harus pakai… nama kita. Kalau tidak pakai nama kita, jadi surat kaleng dong, Pak.
CL: Kita lihat apakah benar jawabannya? (suara jawaban benar) Jawabannya, benar!
A1: (Tim A memprotes) Bagaimana jika orang yang mengirim surat ke kantor pos itu kurir yang dimintai tolong oleh sang pengirim? (mencoba memperagakan kurir yang mengirimkan surat milik orang lain)
CL: Mudah saja. Saya akan panggil si pengirim surat untuk datang ke kantor pos (sambil memperagakan). Surat ini pakai nama siapa? Nama kita, kan? Selesai perkara.[i]
(Keterangan: CL= Cak Lontong, A= peserta kuis dari Tim A, B= peserta kuis dari Tim B)
Itulah cuplikan salah satu dialog yang terjadi dalam sebuah segmen “Teka Teki Sulit” (TTS) dalam acara Waktu Indonesia Bercanda yang ditayangkan NET.TV pada 8 Mei 2018. Acara yang tayang setiap hari ini dipandu oleh komedian Cak Lontong beserta beberapa artis bintang tamu sebagai peserta kuis TTS tersebut.
Kuis TTS sendiri sebenarnya tidak berbeda formatnya dari teka-teki silang yang sudah dikenal luas di masyarakat. Peserta diminta menjawab pertanyaan yang disediakan dengan cara mengisi kotak-kotak kosong dengan huruf-huruf tertentu hingga membentuk suatu kata. Perbedaannya, jawaban benar yang diharapkan tidak seperti pada umumnya dipikirkan orang. Contohnya seperti ilustrasi di atas. Alih-alih menjawab “perangko”, untuk pertanyaan “Saat kita mengirim surat lewat kantor pos, harus pakai…?” jawabannya adalah “nama kita”. Pola-pola serupa yang terjadi dalam setiap episode acara tersebut sering dikenal sebagai “logika Cak Lontong”.
Fenomena seperti ini menarik saya untuk membahasnya dengan salah satu teori filsafat bahasa menurut Herbert Paul Grice (1913-1988), yakni Teori Maksud Pengujar. Menurut saya, Teori Maksud Pengujar dapat digunakan untuk menganalisis fenomena “logika Cak Lontong” secara linguistik. Sebelum itu saya akan menguraikan isi teori maksud pengujar tersebut setelah sedikit memperkenalkan pencetusnya, Paul Grice. Kemudian saya akan menganalisis fenomena “logika Cak Lontong” yang ada dalam ilustrasi di atas dengan teori Grice. Akhirnya pada bagian akhir saya akan mengajukan evaluasi dan tawaran solusi untuk problematika teori Grice terkait dengan fenomena “logika Cak Lontong”.
Herbert Paul Grice: Selayang Pandang
Herbert Paul Grice atau H.P. Grice adalah seorang linguis cum filsuf bahasa yang lahir di Birmingham, Inggris pada 13 Maret 1913 dan wafat di Berkeley, California, Amerika Serikat pada 28 Agustus 1988. Sebagai alumni Universitas Oxford dan sempat mengajar di sana sebelum pindah ke Amerika, Grice banyak berkecimpung dalam kajian pemikiran bahasa sehari-hari sebagaimana para pemikir filsafat bahasa pragmatis Oxfordian lainnya, seperti Austin dan Searle. Selama hidupnya, ia tidak pernah menerbitkan buku. Namun, pemikiran, tulisan, dan kuliah-kuliahnya diabadikan dalam bentuk buku yang diterbitkan oleh para murid dan koleganya setelah Grice meninggal.[ii]
Pemikiran Grice yang paling terkemuka adalah Teori Maksud Pengujar. Secara ringkas, teori tersebut menyatakan bahwa makna suatu kalimat ditentukan oleh maksud atau intensi pengujarnya. Makna kalimat yang dapat ditemukan di dalam kalimat itu sendiri seringkali kurang tepat bila mengabaikan maksud pengujarnya. Pada bagian selanjutnya akan dibahas lebih detail lagi mengenai hal ini.
Teori yang dikemukakan Grice tidak dapat dilepaskan dari konteks filsafat bahasa pada zamannya. Secara umum, dapat dibedakan dua aliran pendekatan terhadap makna: (1) makna semantik kalimat atau makna kalimat pada dirinya dan (2) makna pragmatik kalimat atau makna berdasarkan maksud pembicara. Dua aliran tersebut merupakan perpanjangan dari dua aliran filsafat bahasa, yakni (1) teori bahasa formal yang menekankan arti literal kalimat dengan tokoh-tokohnya dari Universitas Cambridge seperti Frege, Russell, Wittgenstein I dan (2) teori bahasa sehari-hari yang mengutamakan kegunaan bahasa dan maksud pengujar dengan tokoh-tokohnya dari Universitas Oxford seperti Wittgenstein II, Austin, Searle, dan Grice sendiri.
Melalui Teori Maksud Pengujar, Grice hendak merespon dan mengkritik teori bahasa formal serta makna semantik kalimat. Menurutnya, mereduksi bahasa hanya pada bahasa formal akan mempermiskin kekayaan bahasa. Bahasa formal lalu hanya terbatas pada kalimat berita/deklaratif. Padahal, bahasa tidak hanya itu saja. Di mana posisi kalimat tanya dan perintah dalam bahasa kalau hanya kalimat berita saja yang diterima? Lebih lanjut, bagaimana dengan kalimat metaforis seperti dalam puisi? Bukankah itupun termasuk bahasa?
Sehubungan dengan Teori Maksud Pengujar, ada beberapa sumbangan pokok pemikiran Grice yang patut diakui. Pertama, Grice memisahkan antara (1) arti/makna suatu kalimat (X), (2) apa yang diucapkan oleh pengujar saat menyampaikan X, dan (3) apa yang dimaksud oleh pengujar saat X dikatakan. Kedua, Grice mengingatkan bahwa apa yang dikatakan oleh pengujar dan apa yang sesungguhnya dimaksudkannya bisa jadi berbeda. Ketiga, Grice mulai mengintroduksi konsep implikatur atau dampak (implikasi) yang ditimbulkan oleh suatu ujaran. Nantinya implikatur akan dikembangkan oleh Austin dan Searle dalam Teori Tindak Ujar (Speech Acts).[iii]
Maksud Pengujar dan Makna Kalimat
Pemikiran filsafat bahasa Grice mengenai makna kalimat diletakkan dalam konteks komunikasi. Secara garis besar, Grice menawarkan dua pokok pemikiran penting.[iv] Pertama, ia mengetengahkan maksud pembicara sebagai dasar makna ujaran. Ia mengaitkan makna ujaran pembicara dengan maksud, kepercayaan, dan kondisi psikologis/mental lainnya. Secara umum analisis pertamanya ini diterima validitasnya, kendati ada beberapa keberatan yang oleh Grice sendiri telah coba diatasi.
Grice memulai teorinya dengan mendefinisikan sesungguhnya apa itu kalimat. Kalimat adalah pelbagai bentuk tanda dan suara yang diproduksi oleh manusia dalam kesempatan tertentu untuk suatu tujuan. Biasanya ketika seseorang mengatakan sesuatu, tujuannya adalah untuk komunikasi. Ada pula yang mengartikan kalimat sebagai ekspresi atas proposisi (satuan makna). Grice yakin bahwa makna kalimat didasarkan pada kondisi mental atau psikologis manusia. Dengan demikian dapat ditangkap bahwa Grice berusaha mereduksi makna linguistik menjadi persoalan psikologi.[v]
Ada dua contoh kalimat ujaran untuk memperjelas pemikiran Grice di atas. Kalimat pertama, “Ini warnanya merah.” Kalimat ini tidak jelas pada dirinya. “Ini” menunjuk pada apa? Untuk kasus ini, kita perlu tahu si pengujar sedang memaksudkan apa dengan mengatakan “ini” agar kalimat itu bermakna. Kalimat kedua, “Kamu rajin sekali, Nak!” Sepintas, makna kalimat itu jelas pada dirinya, yakni pujian seseorang pada seorang anak bahwa ia rajin. Namun bisa jadi tidak demikian jika melihat konteksnya. Jika peristiwa yang melatarbelakanginya adalah ada seorang guru di kelas yang memergoki seorang muridnya belum mengerjakan PR dan guru tersebut hendak menegur sang murid, kalimat itu bukanlah suatu pujian melainkan sindiran sarkastik.Dua ilustrasi tersebut rasanya cukup jelas untuk menggambarkan pokok pertama pemikiran Grice. Pemikiran tersebut memang harus diterima kebenarannya karena dalam realitanya memang demikian. Pesannya adalah amat penting untuk mengetahui maksud pembicara dan konteks pembicaraan untuk mengetahui makna suatu ujaran kalimat.
Kedua, Grice mencoba melangkah lebih jauh dengan menganalisis makna standar kalimat yang ditentukan oleh makna ujaran pembicara. Pemikiran ini tergolong cukup ambisius karena berusaha memasukkan maksud pembicara sebagai penentu makna kalimat yang standar. Menurut Grice, sebuah kalimat dalam suatu bahasa memiliki makna x hanya jika semua pembicara dalam bahasa itu, atau setidak-tidaknya biasanya, memaksudkan x ketika mengatakan kalimat tersebut. Jadi makna x yang merupakan makna standar kalimat itu ditentukan oleh apa yang selalu atau setidak-tidaknya biasa dimaksudkan orang.[vi] Misalnya, kalimat “Saya sudah sarapan” hanya punya makna x (x=perut kenyang) karena setiap orang yang mengatakan “Saya sudah sarapan” selalu atau biasanya bermaksud untuk mengungkapkan rasa kenyang di perutnya.
Dalam perkembangannya, pokok pemikiran Grice yang kedua ini lebih banyak menghadapi kesulitan daripada kesesuaian sehingga kurang diterima secara luas.[vii] Perlahan akan tampak bahwa proyek ambisius Grice ini sarat akan kesulitan. Misalnya, apakah benar jika setiap orang yang mengatakan “Saya sudah sarapan” sebenarnya ingin selalu mengungkapkan bahwa perutnya kenyang? Persoalan yang paling besar dari pemikiran Grice ini adalah jika benar bahwa makna sebuah kalimat hanyalah terbatas pada apa yang biasanya dimaksudkan oleh semua pembicaranya ketika mengatakan kalimat itu, maka jenis makna lain seperti makna metaforik tidak mendapat tempat dalam bahasa.
Analisis “Logika Cak Lontong” dengan Teori Maksud Pengujar
Dengan ilustrasi “logika Cak Lontong” sebagai objek, secara khusus saya akan menganalisis keterkaitan pemikiran Grice dengan apa yang terjadi dalam realitas pemakaian bahasa. Kendati ada kesesuaian, ternyata ada pula permasalahan yang timbul.
Pertama, pemikiran Grice dapat ditemukan kebenarannya dalam “logika Cak Lontong” seperti dalam ilustrasi di awal tulisasan ini. Kalimat yang harus dilengkapi sudah jelas, “Saat kita mengirim surat lewat kantor pos, harus pakai…?” Secara spontan orang yang mendapatkan pertanyaan itu akan berpikir bahwa jawabannya “perangko”. Memikirkan apa jawaban atas pertanyaan itu sebenarnya sama dengan mencari apa yang dimaksud oleh pemberi pertanyaan, yakni Cak Lontong. Dalam hal ini, teori Grice benar bahwa makna kalimat dapat dicari pendasarannya dalam maksud pengujar.
Kedua, ternyata dalam kenyataannya, jawaban yang dimaksud Cak Lontong ketika mengajukan pertanyaan tersebut tidaklah sama dengan yang biasanya dipikirkan orang. Bila orang kebanyakan memikirkan jawabannya “perangko”, Cak Lontong memaksudkan “nama kita” sebagai jawabannya. Mengenai “logika Cak Lontong” ini, peserta kuis nampaknya telah mafhum. Ini terbukti dengan kata-kata seorang peserta, “Perangko kan harusnya Pak. Tapi pasti bukan.”
Analisis kedua ini juga menunjukkan bahwa makna suatu kalimat ditentukan oleh maksud pengujarnya. Makna kalimat pertanyaan TTS dalam ilustrasi, diukur dari benar tidaknya jawaban atas pertanyaan TTS tersebut yang ditentukan oleh maksud Cak Lontong. Maksud Cak Lontong adalah “nama kita” dan bukan “perangko”. Maka, untuk memenuhi kebenaran (makna) kalimat tersebut, peserta kuis harus berusaha memahami “logika Cak Lontong” atau dengan kata lain maksud pengujar. Lagi-lagi pemikiran Grice benar dalam kasus ini.
Namun, di samping ketepatan teori Grice dengan realitas tersebut, ternyata timbul pula permasalahan apabila pemikiran Grice kita terima seluruhnya. Problem pertama, mengetahui maksud pengujar tidak otomatis sama dengan mengetahui makna kalimat. Dalam ilustrasi di atas, peserta kuis dari Tim A telah mengetahui bahwa jawaban yang dimaksud Cak Lontong atas pertanyaan yang ia ajukan pasti bukanlah apa yang biasanya dipikirkan orang, yakni “perangko”. Entah apa itu, maksud Cak Lontong pasti bukan “perangko”.
Namun dengan mengetahui maksud Cak Lontong tersebut, apakah lalu peserta mengetahui jawaban yang benar alias makna kalimat? Ternyata tidak! Terbukti, toh jawaban peserta dari Tim A, yakni “transport”, salah. Maksud pengujar dengan demikian belum dapat ditangkap oleh peserta dari Tim A. Sebaliknya, Tim B berhasil menangkap maksud pengujar (Cak Lontong) dengan tepat dan menjawab “nama kita”. Lepas dari bagaimana caranya maksud Cak Lontong tersebut dapat ditangkap (sejujurnya, sulit sekali menangkap maksud Cak Lontong!), yang pasti ada kesesuaian antara maksud Cak Lontong dan tebakan Tim B.
Dari problem pertama ini, dapat disimpulkan bahwa setelah mengetahui maksud pengujar, belum tentu niscaya bahwa makna kalimat dapat ditangkap. Padahal, untuk mengerti maksud pengujar sendiri saja dalam kenyataannya tidak mudah. Ilustrasi berikut dapat dikemukakan untuk semakin memperjelas sulitnya menangkap maksud pengujar. Seorang ibu bersuku Jawa yang sedang menyapu halaman rumahnya berpapasan dengan tetangga barunya yang sedang berjalan melewati rumahnya. Ia menyapa si tetangga, “Mengapa tergesa-gesa? Mari mampir minum dahulu!” Merasa diundang, si tetangga yang baru pindah dari luar Jawa langsung menghentikan langkahnya dan menerima ajakan sang ibu untuk mampir ke rumahnya. Ibu itu terkejut melihat si tetangga masuk ke rumahnya. Si tetangga pun lebih terkejut lagi karena melihat di dalam rumah tersebut tidak ada apa-apa untuk diminum.
Tentu mudah menganalisis bahwa persoalan miskomunikasi tersebut disebabkan oleh perbedaan maksud pengujar dan penangkapan pendengar. Pengujar hanya ingin berbasa-basi tetapi pendengar menangkapnya sebagai undangan serius. Namun bukankah kejadian yang serupa dengan ini seringkali kita alami dalam kehidupan sehari-hari? Kita tahu akar persoalannya, tetapi mengapa kita masih terus mengalaminya? Begitulah gambaran akan betapa sulitnya menangkap maksud pengujar.
Problem kedua, maksud pengujar dapat berubah-ubah sehingga menyulitkan untuk ditangkap lawan bicara. Dalam contoh ilustrasi kuis Cak Lontong, bagaimana caranya menjamin bahwa maksud Cak Lontong saat mengajukan pertanyaan kuis TTS tersebut tetap sama dari awal hingga akhir? Apakah tidak mungkin jika Cak Lontong mengubah maksud pertanyaannya dengan berbagai kemungkinan motivasi (supaya semakin lucu, pola acara tidak monoton, dsb)?
Bila dibuat skema, sebut saja maksud Cak Lontong di awal kuis adalah jawaban “nama kita” (x). Namun supaya jenaka, dapat saja Cak Lontong mengubah maksud awalnya (x) dengan maksud lain, semisal mengembalikan jawaban pertanyaan itu ke jawaban yang biasanya dipikirkan orang, yakni “perangko” (y). Andaikata memang benar Cak Lontong mengubah-ubah maksud ujarannya, bukankah akan lebih sulit lagi menangkap maksud pengujar? Kalau demikian, apakah masih mungkin suatu kalimat dipahami maknanya jika Grice benar bahwa makna kalimat dapat didasarkan pada maksud pengujar?
Permasalahannya adalah sangat mungkin bagi pengujar untuk mengubah maksud ujarannya. Ilustrasi lain demikian. Katakan saja dalam suatu persidangan, Andi didakwa melakukan penghinaan bernuansa rasistik pada temannya yang berasal dari Suku Papua. Menurut tuntutan jaksa, Andi memang bermaksud menghina temannya tersebut. Namun, untuk membela dirinya, Andi bersaksi bahwa ia hanya bermaksud untuk bercanda. Jika pemikiran Grice benar-benar diterima, pengadilan akan serta merta mendasarkan dakwaannya pada kesaksian Andi bahwa ia hanya bermaksud untuk bercanda dengan mengatakan kalimat bernada rasistik itu. Bayangkan kalau itu terjadi, konsekuensinya bisa menjadi runyam. Pasalnya, lantas tidak ada pernyataan orang yang dapat didakwa karena setiap orang bisa menghindari dakwaan hanya dengan bersaksi, “Maksud saya bukan itu!”
Menerima pemikiran Grace secara utuh akan berpotensi menghasilkan “tirani pengujar” dalam bahasa dan komunikasi. Pengujar diberi otoritas mutlak untuk menentukan makna ujarannya tanpa ada mekanisme objektivasi atau check and balance pada elemen-elemen bahasa dan komunikasi lainnya. Dengan demikian keberhasilan komunikasi justru akan meleset karena segala-galanya ditentukan melulu oleh maksud pengujar. Inilah yang menurut saya menjadi dampak problematis dari pemikiran Grice.
Problem ketiga berkaitan dengan pemikiran Grice bahwa makna kalimat adalah apa yang selalu atau setidaknya biasa dimaksud orang ketika mengatakan kalimat tersebut. Kalau pemikiran Grice tersebut diterima sepenuhnya, komedi Cak Lontong tidak akan mendapatkan tempat karena kalimat-kalimat tersebut meaningless. Siapa yang akan berpikir bahwa jawaban dari soal TTS dalam ilustrasi tersebut adalah “nama kita”? Setiap orang yang biasa mengisi TTS akan menjawab “perangko”. Mungkin hanya Cak Lontong dan peserta kuis dari Tim B yang entah bagaimana berpikir dengan jenaka bahwa jawabannya adalah “nama kita”. Kenyataannya, jawaban dari soal itu adalah “nama kita”. Pengikut aliran Gricean boleh jadi akan berargumen, “Itu kan dalam rangka komedi supaya menimbulkan humor. Kalau dalam komunikasi yang serius, tentu saja orang akan berpikir jawabannya ‘perangko’, sebagaimana selalu atau paling tidak biasanya dipikirkan orang.” Kendati demikian, menurut saya, argumen tersebut masih belum memadai untuk membela pemikiran Grice.
Ketika diprotes oleh tim A yang menjawab salah, Cak Lontong mampu menjelaskan bahwa maksud ujarannya tetap masuk akal. Kalimat “Saat mengirim surat ke kantor pos, harus pakai nama kita,” tidak kalah masuk akal ketimbang “Saat mengirim surat ke kantor pos, harus pakai perangko”. Artinya tidak semua ujaran yang tidak biasa dipikirkan orang pasti tidak masuk akal atau nonsense.
Secara terheran-heran mungkin kita akan bertanya, lalu apakah komedi (ragam bahasa Cak Lontong) tidak termasuk dalam wilayah cakupan bahasa? Apakah komedi dilakukan tanpa menggunakan bahasa? Tentu saja tidak. Kendati punya bahasa yang berbeda dari bahasa formal, sebut saja “bahasa komedi”, komedi bagaimanapun tetap ada di bawah naungan bahasa dan dilakukan dengan bahasa.
Grice dengan pemikirannya berpretensi memformalisasikan bahasa dengan teori maksud pengujar. Padahal, jika merujuk pada konteks lahirnya teori tersebut, pada mulanya Grice ingin melawan teori bahasa formal dengan berargumen bahwa teori tersebut mempermiskin kekayaan bahasa. Akan tetapi dengan upayanya memformalisasikan bahasa, sesungguhnya ia jatuh dalam kritik yang dilontarkannya sendiri. Terbukti, pemikiran yang dicetuskannya mengandung konsekuensi eksklusi terhadap bahasa-bahasa yang “tidak biasa”, seperti metafor, puisi, dan tentu saja apa kita bahas di sini, “bahasa komedi”.
Dengan kata lain, terlihat inkonsistensi dalam pemikiran Grice. Di awal ia berangkat dari kritiknya terhadap teori bahasa formal atau makna semantik kalimat yang mempermiskin dan mereduksi kekayaan bahasa. Namun, ia sendiri menawarkan pemikiran yang reduksionistik pada kekayaan bahasa lewat teori makna standar kalimat berdasarkan apa yang biasanya dimaksudkan orang. Di sini Grice yang bermaksud membebaskan kekayaan bahasa dari belenggu bahasa formal justru tertangkap basah sedang membelenggu bahasa dengan jalan lain!
Solusi Kritis: Tiada Teori yang Absolut!
Setelah menganalisis ketepatan dan permasalahan pemikiran Grice melalui ilustrasi “logika Cak Lontong”, akhirnya harus dikemukakan solusi kritis untuk mengisi lubang yang ditinggalkan Grice. Untuk itu, saya mengajukan tiga poin solusi kritis atas persoalan pemikiran Paul Grice.
Pertama, kendati sudah ditolak dan dikritik habis-habisan oleh Grice, bahasa formal atau makna semantik toh terbukti tetap dibutuhkan. Makna semantik ujaran tetap harus diakui untuk menghindari terjadinya tirani maksud pengujar dalam bahasa dan komunikasi. Tanpa makna semantik, maksud pengujar dapat menguasai bahasa semaunya sendiri, sehingga seperti dijelaskan dalam bagian sebelumnya, ujaran bisa jadi tidak dapat ditangkap maknanya oleh pendengar. Kalau begitu, tidak tercapai proses komunikasi yang sesungguhnya diharapkan melalui ujaran. Meskipun demikian, bukan berarti maksud pengujar lalu dapat dinafikan begitu saja. Maksud pengujar tetap sangat penting untuk diperhitungkan dalam proses komunikasi. Telah diakui secara umum bahwa dalam beberapa poin, Teori Maksud Pengujar mesti diterima kebenarannya. Oleh sebab itu, dalam memaknai suatu ujaran, perlu ada kombinasi harmonis antara makna semantik dan maksud pengujar. Konkretnya, ketika suatu ujaran dengan pelbagai cara tidak dapat ditangkap maksud pengujarnya, makna semantik dapat menjadi jalan keluarnya.
Dalam ilustrasi “logika Cak Lontong”, bila dibawa ke konteks komunikasi yang lebih serius (dalam konteks ini, Cak Lontong memang ingin peserta dapat menjawab soal TTS dengan benar), baik Cak Lontong maupun peserta kuis akhirnya harus berpegang pada makna semantik. Kalau ingin menjawab soal TTS tersebut dengan benar, pertama-tama memang maksud Cak Lontong mesti ditangkap terlebih dahulu oleh peserta kuis. Namun ketika upaya itu gagal, kedua pihak mesti kembali ke makna semantik kalimat agar proses menjawab soal TTS tersebut dapat berhasil.
Kedua, pentingnya konvensi atau kesepakatan antara dua belah pihak yang melakukan komunikasi. Grice sendiri telah memberikan beberapa maksim (prinsip) komunikasi yang esensinya merujuk pada kerjasama antara komunikator dan komunikan.[viii] Sederhananya, antara dua pihak yang berkomunikasi perlu diandaikan ada itikad baik untuk saling membantu dalam komunikasi, ada ketulusan, tidak hendak saling menipu atau menjerumuskan.
Keberhasilan atau kegagalan komunikasi antara Cak Lontong dan peserta kuis dalam hal menjawab soal TTS sangat bergantung pada prinsip kerjasama antara dua pihak tersebut. Di satu pihak, jika peserta kuis telah mafhum bahwa jawaban dari soal TTS Cak Lontong memang lain dari biasanya, mereka pun akan berusaha menjawab secara tidak biasa. Memaksakan jawaban yang biasa sebenarnya melanggar prinsip kerjasama tersebut sehingga mengakibatkan soal tidak dijawab dengan benar. Di lain pihak, Cak Lontong sendiri harus konsisten dengan “logika Cak Lontong”nya supaya soal TTSnya dapat dijawab sebaik mungkin oleh peserta. Andaikata suatu hari dia nekat kembali ke logika umum dalam TTSnya, ia akan makin mempersulit peserta kuis yang sudah berusaha menaati prinsip kerjasama melalui penyesuaian diri dengan “logika” yang tidak mainstream tersebut.
Ketiga, penting sekali menyimak konteks komunikasi. Konteks “logika Cak Lontong” adalah komedi. Untuk konteks komedi, gunakanlah pola pikir komedi. Tidak tepat memaksakan jawaban TTS Cak Lontong berdasarkan apa yang selalu atau biasanya dimaksud orang, sebagaimana dikemukakan Grice, karena konteksnya komedi.
Makna ujaran ternyata tidak pernah tunggal. There is no single meaning in a speech. “Mengirim surat pakai perangko” dan “mengirim surat pakai nama kita” sama-sama bernilai benar, masuk akal, dan bermakna. Demikian pula, tidak ada teori yang mutlak dapat merepresentasikan realitas. Teori Grice sebagaimana teori-teori lainnya pun memiliki keterbatasan, sekalipun sumbangsihnya tidak perlu disangsikan lagi. Oleh sebab itu, hendaknya kita tidak melekatkan diri pada teori tertentu dalam memandang realitas, melainkan terbuka pada pelbagai perspektif yang kiranya tepat untuk membahasakan realitas tertentu.
Catatan akhir:
[i] Ditranskrip dari video “Gokil! Arie Kriting & Akbar Pecahin Rekor Jawab TTS Berturut-turut,” Youtube, https://www.youtube.com/watch?v=QedkKwF8E8s (diakses 8 November 2018, pkl. 17.50 WIB).
[ii] Stephen Neale, “H. P. Grice (1913—1988),” dalam Blackwell Companions to Philosophy: A Companion to Analytic Philosophy, A. P. Martinich dan David Sosa (eds.), (MA: Blackwell, 2001), hlm. 254.
[iii] Neale, “H. P. Grice (1913—1988),” hlm. 254-255.
[iv] William G. Lycan, Philosophy of Language: A Contemporary Introduction Second Edition, (NY: Routledge, 2008), hlm. 86.
[v] Lycan, Philosophy of Language, hlm. 86-88.
[vi] H. P. Grice, “Meaning,” dalam The Philosophy of Language (Third Edition), A. P. Martinich (ed.), (NY: Oxford University, 1996), hlm. 89-90. Tulisan aslinya dimuat dalam jurnal Philosophical Review, volume 66 (1957), hlm. 377-388.
[vii] Lycan, Philosophy of Language, hlm. 86, 92.
[viii] Ada empat maksim (prinsip) kerjasama menurut Grice. Untuk penjelasan lebih detil, lih. Neale, “H. P. Grice (1913—1988),” hlm. 258
Daftar Pustaka
Grice, H. P. “Meaning,” dalam The Philosophy of Language (Third Edition). A. P. Martinich (ed.). NY: Oxford University, 1996, hlm. 85-91. Dikutip dari tulisan aslinya di jurnal Philosophical Review, volume 66 (1957), hlm. 377-388.
Lycan, William G. Philosophy of Language: A Contemporary Introduction Second Edition. NY: Routledge, 2008.
Neale, Stephen. “H. P. Grice (1913—1988),” dalam Blackwell Companions to Philosophy: A Companion to Analytic Philosophy. A. P. Martinich dan David Sosa (eds.). MA: Blackwell, 2001, hlm. 254-273.