Sebagian besar kita dididik sejak usia dini untuk melihat dunia dengan sudut pandang oposisi biner: hitam atau putih; A atau bukan A (A ˅ ¬A); Boolean 1 atau 0. Banyak ilmu pengetahuan, logika, matematika, budaya, bahkan agama mengasumsikan dunia itu 1 atau 0, benar atau salah, terhingga atau tak terhingga, beriman atau kafir. Kita bertanya, apakah dunia memang demikian adanya? Apakah hanya ada A yang selalu menegasikan non A, menampik ada-nya selain A? Apakah hanya ada Islam yang teroris dan non-Islam yang kafir?
Memahami dunia dengan mereduksinya ke dalam kerangka oposisi biner—yang mengandaikan dua hal selalu saling bertentangan—sama saja kita menipu diri sendiri. Sebab, dunia ini senyatanya plural, cair dan tidak dalam sekat-sekat yang kejur. Kita tidak pernah diajarkan melihat kemungkinan lain selain dua hal—A atau non A, benar atau salah. Kita tertutup atas berbagai bentuk pertimbangan yang memungkinkan kita sampai pada banyak nilai (many-valued logics). Tanpa penegasan tautologi A=A, melainkan dialektika contingent ¬ (¬A→A), atau mungkin relatif pada interval antara 0 sampai 1, semisal 0,1; 0,25; 0,75; dan seterusnya hingga yang terdekat dengan 1 sebagai representasi kebenaran.
Kecenderungan menerapkan pola pikir biner yang dominan dapat kita lihat dalam bidang keilmuan logika khususnya dan matematika umumnya. Keduanya ibarat saudara kembar siam, meskipun sejak awal keduanya dianggap terpisah namun secara konseptual tidak. Dalam artian, bahwa keduanya tetap mengandaikan runtutan logis ‘benar atau salah’ dari setiap pernyataan, semisal X=8, itu hanya mungkin dapat terjadi apabila X merupakan bilangan prima yang menjadi faktor-faktor dari 8. Sama apabila dalam ekspresi logika kita andaikan (x = 2×4 dan p = 8), maka dapat disimbolkan (x ⊆ p) Þ (x = p) adalah benar (1) secara simbolis.
Berbicara soal logika, erat kaitannya dengan bahasan matematika. Maka dari itu, istilah “logika matematika” sesekali akan dipakai sesuai konteksnya, selebihnya keduanya akan tetap dipakai secara terpisah dan matematika hanya akan disisipkan apabila diperlukan. Melihat sekilas perkembangannya, awal tarik ulur keduanya dapat kita rujuk dari warisan tradisi logika Aristotelian: tiga asas aksioma logis ‘logika formal’, yang kemudian secara ilmiah kokoh dalam desain hukum Boolean dengan mengindikasikan tabel kebenaran pada dua nilai konstanta 1 (truth) dan 0 (falsehood).
Sekitar akhir abad ke-19, seiring tuntutan keilmiahan bidang ilmu logika, sekelumit persoalan internal pun menghantui para logikawan yang optimis berupaya mendefinisikan dunia secara logis, leksikal, dalam term-term yang terstruktur dan dengan batas-batas yang terukur. Untuk mengatasi persoalan ini, sederet tokoh logikawan seperti Jan Łukasiewics[1] mencoba melepaskan diri dari tradisi ‘tautologi’ logika Aristotelian yang dianggap tidak lagi representatif mendefinisikan realitas. Łukasiewics menawarkan kebaruan, yakni dengan ‘kontigensi’ (future contingents), yang sekarang kita kenal many-valued logic non-Chrisippen dan non-Aristotelian.
Awal tahun 1897, beberapa pemikir seperti Hugh MacColl juga mencoba melerai peliknya bidang keilmuan logika yang hanya terbatas pada dua bentuk variabel kebenaran (0 dan 1). Pemeriksaan lebih lanjut dilakukannya dengan menawarkan apa yang sekarang kita sebut three-dimensional logic. Dalam masa tenggang yang terbilang singkat, tahun 1909 Charles Pierce mempertimbangkan triadic logic sebagai sebuah dasar yang memungkinkan untuk “trichotomic mathematics”.[2]
Melihat catatan sejarahnya, logika dan matematika mulai menaruh posisi sejak otoritas Magisterium dari institusi kepausan di Roma sekitar abad XVII mengalami keruntuhan dan sejak revolusi Kopernikan digalakkan. Ilmu-ilmu yang bersandar pada temuan-temuan empiris, mekanistik dan logis-sitematis, perlahan tapi pasti menenggelamkan wacana teologi (ajaran iman gereja) yang secara spekulatif dirumuskan melalui argumen metafisis. Tak luput filsafat pun ikut terseret dalam arus sekulerisasi.
Jelas terlihat, dalam kurun waktu yang relatif bersamaan, ilmu pengetahuan semakin meneguhkan identitasnya dengan bersandar pada logika dan matematika.[3] Sekarang kita kenal dengan aliran positivisme logis; beranggapan bahwa pengetahuan yang benar harus datang atau berdasarkan pengalaman. Bahwa akal budi manusia merupakan syarat untuk mempertimbangkan benar salahnya pengalaman menurut aturan logika dan dengan pertimbangan matematika[4].
Selama ini kita diliputi rasa kekaguman, beranggapan bahwa logika merupakan salah satu keilmuan yang rumit dan terorganisir, sehingga kita lupa untuk bertanya: apakah logika mengajari kita bagaimana cara harus berpikir sesuai dengan realitas yang sifatnya bergerak (relatif-berubah) dan plural ini. Untuk menjawab pertanyaan ini mudah saja, sebab logika tidaklah membawa kita selangkah pun lebih maju, karena dengan simbol-simbol yang reduksionis itu, pada gilirannya, cepat atau lambat, harus diterjemahkan kembali ke dalam kata-kata dan konsep-konsep.[5]
Logikawan—sama halnya dengan Matematikawan—optimis berupaya memasung realitas ke dalam penjara teori dengan angka-angka yang kaku dan dengan premis-premis mekanis. Menanggapi hal ini, Einstein yang pesimis beranggapan bahwa “sejauh hukum matematika mengacu pada realitas, mereka tidak yakin. Dan sejauh mereka yakin, mereka tidak mengacu pada realitas.”[6] Tentu sikap Einstein yang pesimis itu semata karena ia optimis melihat realitas secara apa adanya—relatif tanpa penegasan A=A (sesuatu selalu identik dengan dirinya sendiri). Karena pada dasarnya, realitas seperti yang dianalogikan Engels dalam ‘Dialektika’ (1883), “perubahan bentuk atau gerak itu adalah seperti dengan kejahatan-kejahatan Heine; setiap orang jika sendirian bisa saja saleh, luhur-berbudi, karena untuk kejahatan-kejahatan selalu diperlukan dua orang.”
Hal ini jelas, karena dalam realitas tidak ada benda yang independen dan secara totalitas mampu menjelaskan dirinya sendiri tanpa membutuhkan adanya benda lain. Engels jauh sebelumnya telah menjelaskan, bahwa perubahan bentuk atau gerak selalu merupakan suatu proses yang terjadi di antara sedikitnya dua benda, yang satu kehilangan sejumlah gerak tertentu dari suatu kualitas (misalnya, panas), sedangkan yang satu lagi memperoleh kuantitas gerak dari kualitas lain yang bersesuaian (gerak mekanikal, listrik, dekomposisi kimiawi).
Hingga saat ini, dengan ‘logika matematika’ kita telah mampu mengamati kecenderungan tertentu dan hubungan yang tetap berlaku untuk jangka waktu yang tidak pernah kita tahu. Artinya, kita hanya bisa menduga-duga, memprediksi dengan logika, perhitungan matematika atau hukum-hukum ilmiah dari sesuatu yang tidak kita tahu akhirnya (∞). Sama seperti tradisi nenek moyang kita dahulu, yang juga menduga-duga sesuatu melalui argumen metafisis. Bedanya, sekarang berubah dari mitos ke logos. Semisal, kita tahu bahwa setelah siang akan datang malam dan begitu sebaliknya, tetapi kita tidak pernah tahu, entah besok atau lusa, siang mungkin tidak akan datang lagi dan malam akan selamanya malam seperti halnya hitam tidak lagi berbeda dengan putih dan MUI pun sama saja dengan Komunis.
Sudah menjadi rahasia umum, baik logika, matematika dan ilmu mekanis lainnya, hadir, salah satu alasannya untuk mengatasi persoalan-persoalan ketidakterbatasan (infinity) realitas dengan segenap sifatnya yang terkadang irasional, berubah dan bergerak. Ketakutan akan ketidakterbatasan (infinity) telah lama menghantui kita, sampai menyesakkan setiap hela nafas kita, sehingga pada suatu momentum kita pun merasa terasingkan. Terlempar jauh dalam lubang hitam (black hole) dan hanya menjadi penonton murni (kosmo theoros) dari percaturan semesta alam. Oleh karenanya kita pun meronta agar turut ambil bagian, menuntut dan menundukkan realitas, mereduksinya ke dalam pengasingan terjauhnya.
Teori-teori baru pun bermunculan dan konsep-konsep tentang dunia segera dikumpulkan, diseleksi sedemikian rupa, sehingga banyak klaim bermunculan, salah satunya dan yang dominan adalah pembela ‘teori induksi’. Merumuskan bahwa suatu inferensi bisa disebut induktif bila bertolak dari pernyataan-pernyataan partikular, seperti misalnya gambaran mengenai hasil pengamatan dan penelitian, yang diangkat sampai pada pernyataan-pernyataan universal (hipotesis).[7]
Kita dapat mengambil satu contoh pembahasan Hempel atas sistematisasi induktif. Semisal suatu teori T kita rumuskan dalam monadic logika predikat, yakni bahan-bahan seperti ‘soluble in ether’ (E), ‘bursts into flame‘ (F), ‘has a garlic-like odor‘ (G), ‘produces skin burns‘ (S), ‘soluble in turpentine‘ (T), ‘soluble in vegetable oils‘ (V). Dari olahan bahan tersebut, kita dapat menghasilkan suatu fosfor putih ‘white phosphorus‘ (P) dan juga temperatur panas 30°C’ (I). Bila aksioma T disimbolkan dengan ‘aturan korespondensi’ untuk menghasilkan fosfor putih (P) maka (x) [P(x)=>(E(x) & G(x) & Sex) & T(x) & V(x»] sehingga (P) juga dapat dinyatakan sama dengan (I), (x) (P(x) => I(x)).[8]
Teori induksi berdasar pada hasil-hasil penelitian dan dari percobaan sedemikian rupa, sehingga menghasilkan proposisi partikular yang kemudian diinduksikan menjadi proposisi universal. Untuk itu, kerangka pikir dengan logika induksi selalu mengandaikan proposisi-proposisi yang aksiomatis dan secara otomatis juga akan menghasilkan kesimpulan yang aksiomatis. Maka, anggapan kuat bermunculan, optimis mendebat realitas dengan mengganti semua pertanyaan ontologi, pertanyaan mengenai apa yang eksis “dalam realitas”, ke pertanyaan-pertanyaan tentang bahasa.[9]
Hubungan teori atau bahasa dan realitas menjadi perdebatan ajek dalam keilmuan filsafat, khususnya filsafat ilmu (philosophy of science) pada awal abad ke-19. Sebelumnya, gagasan tradisional yang menganggap bahwa bahasa atau teori dan realitas secara ontologis domainnya berbeda satu sama lain sangat dominan. Namun, akhir abad ke-19, upaya untuk menjembatani jurang antara realitas (ontologi) dan bahasa banyak dilakukan dalam bentuk deskripsi melalui bahasa proposisi (bahasa formal).
Tokoh positivisme logis Rudolf Carnap, misalnya, berupaya merepresentasikan realitas atau objek-objek material ke dalam pernyataan-pernyataan ontologis dengan konsep bahasa logika sintaksis (Logical Syntax of Language), yang kita tahu kemudian menjadi hukum ‘prinsip toleransi’ (principle of tolerance).[10] Lebih jauh, perkembangannya dapat kita lihat dari upaya Quine yang menganggap bahwa pandangan tradisional yang memisahkan secara ontologis domain realitas dan bahasa harus ditinggalkan, oleh karenanya perbedaan antara pernyataan analitik (analytic) dan pernyataan sintetis (synthetic) juga harus ditinggalkan.[11]
Realitas tidak lagi independen, karena demikian ia dependen terhadap segala keterbatasan bahasa. Sejauh keterbatasan bahasa kita, sejauh itu pula kita mengenal realitas dan sejauh bahasa terbatas, olehnya realitas pun juga terbatas. Sesuatu yang sangat sederhana, logis, absolut namun senyatanya imajiner dan menipu. Bahasa pada dasarnya absolut sebab sifatnya yang tetap dan tidak berubah, A tidak mungkin sama dengan non A pada satu waktu. Akan tetapi dalam realitas, A bisa saja sama dengan dirinya sendiri dan juga berbeda dari dirinya.
Melerai peliknya perdebatan mengenai dikotomi teori dan realitas, objektivitas ataukah subjektivitas, atau yang masih sengit adalah pandangan tentang definisi realitas secara realis atau tidak realis, salah satu kebaruan konsep yang ditawarkan filsafat adalah ‘logika dialektika’. Meskipun diakui, sebenarnya gagasan tentang dialektika, dari segi usia, terbilang cukup tua untuk sesuatu yang secara konsepstual baru populer dan berkembang pada abad ke-18 hingga sekarang.
Untuk pertama kalinya, tawaran keilmiahan hukum-hukum dialektika (logic of dialectic) secara konseptual oleh Hegel dipakai dengan ketat walaupun, dalam tulisannya, hukum-hukum itu muncul dalam bentuk yang idealis dan mistis (dialektika idealis). Namun, gagasan ini merupakan dasar antitesis dari lahirnya ‘dialektika materialis’ oleh Marx dan Engels yang keilmiahannya kokoh secara materialis. Dasarnya jelas, sebab dialektika adalah sebuah cara untuk melihat alam semesta, yang berangkat dari aksioma bahwa segala hal berada dalam kondisi yang selalu berubah dan mengalir.[12]
Logika dialektika selalu mengandaikan dua aspek fenomena yang sama, yakni perwujudan (realised) dan kemampuan (potential). A sebagai perwujudan fenomena adalah sama bagi dirinya, tapi pada waktu yang sama juga berbeda dari dirinya karena kemampuan substansialnya yang dapat berubah (exchange).[13] Dialektika menjelaskan bahwa perubahan dan pergerakan melibatkan kontradiksi dan hanya dapat terjadi melalui kontradiksi.[14] Untuk memahami hukum ini, kita harus dapat membedakan hukum logika bentuk kontradiksi ketakbermaknaan (meaningless contradictions) dan model kontradiksi dialektika (dialectical contradictions)`.
Guglielmo dalam Behind the Crisis: Marx’s Dialectics of Value and Knowledge (2011), sangat jelas merinci perbedaan kedua hal tersebut: meaningless contradictions dan dialectical contradictions. Menurutnya, jika kita menganggap perwujudan (realisations) dan kemampuan (potentials), disimbolkan [Ar=Ar dan Ar≠Ap], adalah sebuah kontradiksi ketidakbermaknaan, itu hanya karena Ap tidak terkandung sebagai sebuah kemungkinan dalam Ar. Dengan kata lain, karena Ap dianggap tidak eksis dalam realitas sebab bukan bagian ketentuan Ar.[15]
Berbeda hal dengan hukum kontradiksi dialektika (dialectical contradictions), jika kita menganggap perwujudan (realisations) dan kemampuan (potentials), disimbolkan [Ar=Ar dan Ar≠Ap], bukanlah suatu kontradiksi logika, itu hanya karena kemampuan kontadiktif Ap adalah berisi kemungkinan dalam Ar. Bahwa, jika Ap adalah kemungkinan riil olehnya termasuk ranah kemampuan realitas yang memuat Ar. Di sinilah letak mendasar perbedaan pemakaian makna ‘kontradiksi’ dalam logika dialektika dengan logika formal umumnya, logika dialektika pada satu waktu mengakui dua kemungkinan yang saling terkait; realisations dan potentials.
Dalam arti yang paling umum, kontradiksi dialektika merupakan sebuah kontradiksi antara apa yang sudah menjadi dengan apa yang dapat menjadi.[16] Semisal, kerja sembilan jam perhari berbeda dari kemungkinan sepuluh jam kerja perhari adalah sebuah kontradiksi dialektika, karena lama kerja per hari ‘sembilan jam’ dapat juga berubah ke ‘sepuluh jam’ kerja, demikian menjelaskan (kemungkinan) suatu perubahan.[17]
Dari uraian di atas, kita dapat mengambil satu pijakan kesimpulan dengan mengikuti usulan John Rosenthal dalam The Myth of Dialectics: Reinterpreting the Marx-Hegel Relation (1998) untuk mendefinisikan logika, yang berarti model dari sebuah proses pemikiran rasional jika ‘pengembangan’ dapat dibenarkan. Logika yang harus dapat memberitahu kita kapan dibolehkan untuk membuat pemotongan tertentu dan tidak pada lain waktu. Oleh karena itu, di sini kita dapat menempatkan logika dialektika materialis sebagai tawaran kerangka filosofis yang sangat maju, yang menerima aspek gerak atau pengembangan untuk menjelaskan mengapa dunia ini dalam keadaan berubah.
Namun dialektika bukanlah sihir dan tidak akan menghasilkan jawaban yang tepat sendiri. Tetapi apabila kita menganggap dialektika tidaklah logis, itu dapat benar, namun itu hanya karena tidak dalam arti sebuah sistem yang memperoleh kesimpulan dari premis-premis yang tetap. Karena hal seperti itu tidak memberitahu kita bentuk logika yang benar atau cara yang benar untuk model berpikir rasional. Logika formal, lainnya adalah alat yang dapat digunakan untuk menganalisis dan menjelaskan proses pertimbangan yang tetap. Untuk Marxis, logika dialektika yang berusaha menjelaskan bagaimana dunia bekerja dan bagaimana hal itu dapat mengubah sebuah formalitas proses penalaran yang kaku bukanlah perihal utama, melainkan hal yang paling mendesak dan esensial adalah aspek substansial dari suatu benda itu sendiri.[]
[1] Tokoh utama (founding father) penggagas teori modern many-valued logics, evaluasi gagasannya termuat dalam buku kecilnya “Die logischen Grundlagen der Wahrscheinlichkeitsrechnung” yang terbit pada tahun 1913.
[2] Lih. Jarosław Pykacz, Quantum Physics, Fuzzy Sets and Logic: Steps Towards a Many-Valued Interpretation of Quantum Mechanics, (London: SpringerBriefs in Physics, 2015), hal. 15.
[3] Lih. Karl Polanyi, The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time, dalam S. Poespowardojo dan A. Seran, (Jakarta: Kompas, 2015), hal. 13.
[4] Lih. Ibid.
[5] Lih. Alan Woods dan Ted Grant, Nalar yang memberontak: Filsafat Marxisme dan Sains Modern, (Resist Book & Wellred Books: Yogyakarta ,2015), hal. 121.
[6] Kosko, Bart. “Fuzzy Thinking: The New Science of Fuzzy Logic.” Hyperion. New York. 1993.
[7] Lih. Karl R. Popper, Logika Penemuan Ilmiah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 4.
[8] Lih. Ilkka Niiniluoto & Raimo Tuomela, Theoretical Concepts And Hypothetico-Inductive Inference, (Boston: D. Reidel Publishing Company, 1973), hal. 2-3.
[9] Lih. James F. Harris, Against Relativism: A Philosophical Defense of Method, (Chicago: Open Court, 1992), hal. 27-28.
[10] Lih. Pierre Wagner, History of Analytic Philosophy: Carnap’s Logical Syntax of Language, (London: Palgrave Macmillan, 2009), hal. 10-11.
[11] Lih. James F. Harris, Ibid., hal. 27.
[12] Lih. Alan Woods dan Ted Grant, Nalar yang memberontak: Filsafat Marxisme dan Sains Modern, (Resist Book & Wellred Books: Yogyakarta ,2015), hal. 41.
[13] Lih. Guglielmo Carchedi, Behind the Crisis: Marx’s Dialectics of Value and Knowledge, (Volume 26), (Brill: Boston, 2011), hal. 40.
[14] Lih. Ibid.
[15] Lih. Ibid., hal. 41.
[16] Lih. Ibid.
[17] Lih. Ibid.