Penulis : Mochtar Lubis
Penerbit : Yayasan Idayu
Tahun Terbit : 1981
Tebal Halaman : 136 halaman
Sekilas membaca judul “Manusia Indonesia” (sebuah pertanggungjawaban) membuat saya menebak-nebak isi keseluruhan buku ini. Ternyata memang benar, buku yang sebelumnya berupa makalah dalam ceramah Mochtar Lubis di Taman Ismail Marzuki pada tanggal 6 April 1977 ini memaparkan beberapa ciri-ciri yang kebanyakan merupakan ciri-ciri negatif dari manusia Indonesia. Saat membacanya saya mengangguk-angguk mengiyakan pernyataan Mochtar Lubis. Mungkin memang cenderung subjektif, namun tak dipungkiri itu benar-benar saya rasakan dan terjadi di keseharian manusia Indonesia.
Buku ini terdiri dari beberapa bab dan tanggapan-tanggapan. Masing-masing setiap bab menjelaskan ciri-ciri manusia Indonesia. Berikut ciri-ciri manusia menurut Mochtar Lubis.
Pertama, manusia Indonesia mempunyai ciri-ciri Hipokritis atau munafik. Bagaimana tidak, manusia Indonesia seringkali mengatakan sesuatu hal yang berbeda dari apa yang dipikirkanya. Entah hanya mencari aman atau karena mendapat tekanan sehingga takut berkata jujur. Menurut Mochtar Lubis sumber dari sikap hipokrisi ini terlihat dari sistem feodal di masa lalu yang menekan inisiatif rakyat. Bahkan sampai sekarang sikap munafik ini masih marak dimana-mana seperti gerakan anti korupsi yang ternyata anggota dari gerakan itu sendiri melakukan korupsi. Adapun kalimat “ABS” (asal bapak senang) yang merupakan sikap bawahan kepada penguasa yang rela melakukan apapun demi kesenangan penguasa terjadi karena adanya tekanan dan rasa takut terhadap penguasa. Sikap-sikap seperti itulah yang memupuk jiwa munafik manusia Indonesia.
Kedua, ciri-ciri yang sering kita jumpai yaitu manusia Indonesia enggan bertanggung jawab. Jika ada suatu kesalahan maka akan saling lempar tanggung jawab atau saling menyalahkan. “Yang diatas tidak mau bertanggung jawab, yang di bawah juga tidak bertanggung jawab atas kesalahan dan keburukan yang terjadi, karena “bukan saya” dan “itu perintah atau putusan atasan” mengimbangi satu terhadap yang lain.” Begitulah menurut Mochtar Lubis. Begitu pula sebaliknya saat ada kesuksesan manusia Indonesia dengan bangganya tampil di depan khalayak menerima penghargaan. Padahal orang itu (Mochtar Lubis menyebutnya “bapak-bapak”) tidak berhak menerima penghargaan yang seharusnya lebih pantas diberikan pada rakyat atau pengusaha kecil yang mengalami kesukaran hidup.
Ketiga, manusia Indonesia berjiwa feodal, bahkan bertahun-tahun setelah penjajahan, feodal masih hidup di dalam sistem pemerintahan Indonesia. Jiwa feodal ini tercermin dalam hubungan antara penguasa dan rakyatnya. Sikap feodal ini akan terus mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia selama rakyat enggan melontarkan kritik kepada penguasa dan penguasa enggan mendengarkan kritik dari rakyat.
Keempat, manusia Indonesia percaya takhayul. Ciri-ciri yang satu ini membuat saya heran, betapa luar biasa masyarakat Indonesia yang religius namun bisa berdampingan dengan mitos-mitos. Entah ini sifat yang buruk ataupun baik. Bukankah hebat saat rakyat Indonesia menjalankan solat 5 waktu namun dia juga menyiapkan sesajen pada malam jumat kliwon atau hari-hari tertentu. Apakah ini wujud sinkretisme atau manusia Indonesia yang tidak bisa lepas dari kebudayaan aslinya. Hal yang menarik dari pernyataan Mochtar Lubis adalah manusia Indonesia adalah tukang bikin simbol. Mereka pandai membuat jimat, mantra dan membuat sesaji yang bahkan berbeda-beda di setiap daerah. Hingga zaman modernisasi, manusia Indonesia masih mempercayai takhayul. Takhayul ini hadir dalam wujud baru. Manusia Indonesia masih pandai menciptakan simbol-simbol. Mochtar Lubis berharap bangsa ini bisa menjadi bangsa yang tidak hanya bisa membuat mantra atau simbol saja, tetapi juga bisa bergerak dan bertindak.
Kelima, manusia Indonesia adalah manusia Artistik, yang memiliki jiwa seni tinggi. Dari keenam ciri-ciri manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis mungkin berjiwa artistik adalah ciri yang paling baik. Sikap manusia Indonesia percaya pada alam yang memiliki roh ,sukma ,dan jiwa membuatnya dekat dengan alam. Mereka sangat sensitif dalam menarik keindahan alam lalu dituangkan dalam sebuah karya seni. Tak jarang karya seni di Indonesia dipamerkan di museum-museum luar negeri. Ciri Artistik inilah yang menjadi satu-satunya harapan demi menjadi bangsa yang lebih baik.
Keenam, manusia Indonesia berwatak lemah. Artinya manusia Indonesia mudah sekali goyah terhadap sesuatu. Tidak berpegang teguh pada apa yang dirasa benar dan sangat mudah terpengaruh hingga meninggalkan apa yang diyakininya. Bahkan sikap seperti ini tercermin pada jaman Soekarno yang tidak mempermasalahkan inflasi selama demi kebaikan “revolusi Indonesia”. Manusia Indonesia bersikap seperti ini tak lain untuk “survive”. Untuk menyenangkan hati rakyat Indonesia sikap seperti ini disebut “tepa slira” yang sebenarnya tak lain adalah berwatak lemah.
Selain keenam ciri diatas, Mochtar Lubis juga mengungkapkan beberapa ciri-ciri manusia Indonesia lainya. Diantaranya manusia Indonesia cenderung boros, tidak suka bekerja keras, tidak sabar, mempunyai sifat iri dengki, dan masih banyak keburukan lagi.
Selain mengungkapkan analisisnya mengenai ciri-ciri manusia Indonesia, Mochtar Lubis juga mengkritik habis-habisan sikap negara-negara maju di dunia ini. Negara-negara maju dengan seenaknya membuat teknologi yang memang memudahkan pekerjaan manusia namun disisi lain juga merusak alam. Negara-negara berkembang pun dibuat bergantung pada negara maju. Contohnya Indonesia yang membukakan pintu selebar-lebarnya terhadap perdagangan bebas dan menerapkan sistem pembangunan seperti negara-negara maju. Kapitalisme menjamur dimana-mana. Negara Indonesia mencoba mengikuti modernisasi, hal itu sah-sah saja namun langkah bangsa ini sudah terlampau jauh. Sikap yang seharusnya diambil rakyat Indonesia adalah menghidupkan kembali teknologi yang bersumber dari alam tanpa merusak alam itu sendiri dan tidak serakah. Sikap bangsa Indonesia terlalu berkiblat pada budaya barat dan berambisi bisa menjadi negara-negara maju yang bisa membuat nuklir, menjadi negara-negara industri yang merusak alam dan materialis. Yang harus kita lakukan sebenarnya adalah menjaga kearifan lokal dan alam Indonesia yang berlimpah ini serta meningkatkan sumber daya manusia ,juga menciptakan teknologi yang ramah lingkungan.
Kelemahan buku ini adalah tingkat subjektivitas penulis yang sangat tinggi dan tidak menuliskan lebih lanjut karakteristik manusia Indonesia yang baik. Mochtar Lubis membahas hal-hal sensitif yang bisa saja membuat pembaca tersinggung. Namun saya sebagai rakyat Indonesia tidak bisa mengelak pernyataan dari Mochtar Lubis karena menurut saya itu memang benar jika melihat kegoyahan di negara ini yang semakin memprihatinkan. Mochtar Lubis memang cerdas dalam memberikan argumen dan ia tidak hanya asal mengkritik tetapi juga memberikan saran untuk rakyat Indonesia bagaimana seharusnya kita bertindak. Mau tidak mau, sebagai manusia Indonesia membaca buku ini memaksa kita bercermin dan introspeksi diri, bahka di tahun 2015 ini. [Dea Dezellynda, Redaksi LSF Cogito, Mahasiswa Filsafat 12′]