Pram membuka ceritanya yang berjudul “Ikan-Ikan yang Terdampar” dengan nada cemas: keterlemparan, kejatuhan, dan tegangan eksistensial—antara kehendak untuk melawan atau menerima begitu saja apa yang digariskan kehidupan.
Idulfitri—tokoh utama dalam cerita itu—terdampar di Jakarta, dengan nasib yang sangat tidak beruntung bersama seorang kawannya yang bernama Namun. Mereka berdua hidup sengsara: tak punya pekerjaan, tak berpenghasilan, dan tentu saja setiap hari selalu kelaparan.
Dengan nasibnya yang demikian sengsara itu, mulanya ia amat naif berpraduga: semua ini beres sudah. Seolah ia sanggup menerima nasib hidup sengsara di Ibukota dengan sangat gagah. Namun, akhirnya ia berubah. Apabila ia menganggap bahwa semua ini beres sudah dan selama itu ia setia pada anggapannya, maka hari inilah baru ia memberontak pada buah pikiran dan anggapannya sendiri itu. “Tidak, semua ini belum beres,” bisiknya.
Idulfitri, dalam cerita itu, menggambarkan dirinya seperti “ikan yang terdampar”. Kalau banjir telah surut, hitunglah berapa banyak ikan terdampar di beting-beting. Dan binatang-binatang itu tidak berdaya karena mereka tercerai dari air. Dan aku—aku ini salah seekor di antara binatang-binatang itu.
Namun, barangkali bukan hanya Idulfitri yang serupa ikan yang terdampar sehabis banjir surut. Barangkali juga kita, manusia, sangat pantas berucap sebagaimana Idulfitri: Aku ini salah seekor di antara binatang-binatang itu. Ya, kita juga terdampar—begitu saja—di dunia, tanpa meminta.
Itulah sebenarnya struktur dasar manusia. Ia terlempar ke dunia, berada-dalam-dunia. Bahkan di dunia, ia mesti selalu berada di ruang tertentu, dalam konteks sejarah tertentu. Karena itu, maka muncul sebuah tesis bahwa manusia adalah makhluk yang menyejarah.
Manusia sebagai makhluk yang menyejarah ini inheren dalam pemikiran Martin Heidegger tentang manusia. Manusia yang dipahami oleh Heidegger bisa kita sebut “Manusia Heideggerian”. Dalam tulisan ini, saya akan melihat sejauh mana karakter sosok manusia Heideggerian itu menjiwai tokoh-tokoh dalam cerpen Pram, “Ikan-ikan yang terdampar”.
Manusia Heideggerian
Heidegger banyak menuliskan gagasan-gagasannya tentang manusia dalam karyanya yang sangat monumental, Sein und Zeit. Buku tersebut terbit pertama kali pada tahun 1927. Buku yang dipersembahkan untuk gurunya, Edmund Husserl, itu awalnya direncanakan terbit dalam dua bagian. Namun yang terselesaikan dan bisa diterbitkan hanya satu bagian, sementara bagian keduanya gagal dilanjutkan.
Sein und Zeit baru diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1962 oleh John Macquarrie & Edward Robinson dengan judul Being and Time. Pada tahun 1996, dengan berbagai pertimbangan, Joan Stambaugh menerjemahkan ulang Sein und Zeit ke dalam bahasa Inggris dengan judul yang sama. Dalam tulisan ini, saya merujuk pada terjemahan Joan Stambaugh.
Gagasan pokok Heidegger dalam Being and Time tentang manusia memiliki ciri yang sangat khas. Ia menyebut manusia dengan istilah “Dasein” (1996: 10). Dasein adalah istilah dalam bahasa Jerman—yang pada waktu itu masih belum begitu dikenal oleh orang Jerman sendiri karena memang dibuat sendiri oleh Heidegger. Da-sein berarti ‘ada’ (sein) ‘di sana’ (Da).
Penyebutan manusia dengan istilah tersebut jelas terdengar aneh. Manusia adalah ‘Ada-di-sana’. Tapi, bagi Heideggar penyebutan itu sangat nyata dan beralasan. Gregory Fried dan Richard Polt dalam kata pengantar buku Heidegger yang berjudul Being and Truth (2010) menyebutkan, bahwa Heidegger dengan istilah Dasein sebenarnya hendak menolak konsepsi filsafat yang memandang manusia sebagai subjek yang terlepas dari ruang dan waktu historis (hlm. xvii). Heidegger menekankan bahwa manusia selalu ada “di sana”; di dalam ruang dan waktu tertentu. Manusia adalah “Ada-di-sana”, maksudnya adalah “Ada-dalam-dunia” (In-der-Welt-sein/ Being-in-the-World). “Ada-dalam-dunia” ini adalah konsep kunci pemikiran Heidegger terkait manusia. “Ada-dalam-dunia,” demikian kata Heidegger “sebagai konstitusi fundamental dari manusia (Dasein),” (1996: 49).
Namun, perlu digarisbawahi bahwa manusia ada dalam dunia tidak sama dengan cara mengada benda-benda. Bila suatu benda dikatakan ada dalam sebuah tas, maka hal ini mengandaikan hubungan spasial. Namun, bila manusia yang dikatakan ada dalam suatu tempat, maka relasi manusia dengan tempat yang ditempatinya itu tidak mengandaikan hubungan spasial (Werner Brock dalam Existence and Being, 1949: 42). Semisal, manusia ada di dalam rumah, maka ini berarti bahwa manusia mendiami rumah itu. Manusia dengan rumah yang didiaminya “menyatu”.
Tidak adanya hubungan spasial antara manusia (Dasein) dengan dunia yang ditempatinya ini mengimplikasikan setiap ruang menjadi tidak netral. Dunia sudah selalu dipahami berdasarkan struktur ontologis Dasein yang mendiaminya. Semisal, ada ‘dunia penulis’ untuk Dasein yang bergelut dalam bidang kepenulisan; ‘dunia artis’ untuk Dasein yang berprofesi sebagai artis; ‘dunia olahraga’ untuk Dasein yang aktif dalam kegiatan olahraga, dan sebagainya.
Dalam pemahaman bahwa ruang yang ditempati manusia tidak pernah netral itulah, pemikiran Heidegger tentang manusia menunjukkan afirmasinya pada tesis bahwa manusia adalah makhluk yang menyejarah. Manusia tidak pernah bisa keluar dari konteks sejarahnya, sebab secara konstitutif struktur ontologis manusia adalah “Ada-dalam-dunia” (Being-in-the-World). Heidegger menyebut kondisi itu sebagai faktisitas manusia. Sebuah kepastian yang faktis.
Untuk memahami soal ketidaknetralan sejarah yang didiami manusia, penjelasan Hegel sedikit banyak dapat membantu kita. Hegel memandang sejarah atau dunia sosial-historis sebagai roh objektif (Objective Spirit). Dalam pengertiannya yang sederhana, roh objektif dapat diartikan sebagai objektivikasi dari dunia mental (roh subjektif) semua individu dalam sebuah kelompok yang dapat berupa produk-produk kultural, seperti gaya hidup, adat istiadat, dan hukum yang kemudian menjadi kesadaran bersama dalam kelompok tersebut (Inwood, 1992: 275). Dengan kata lain, roh objektif adalah hasil dari proses mental dan atau intelektual beberapa individu dalam sebuah kelompok yang kemudian diakui sebagai kesadaran bersama.
Ruang sejarah yang dimasuki oleh manusia tidak pernah dalam keadaan hampa dari roh objektif. Di situ selalu sudah ada kebiasaan, tradisi, adat istiadat, hukum, dan segala macamnya, sehingga—dalam bahasa Heidegger—manusia itu terlempar ke dunia. Manusia selalu sudah menemui dirinya berada dalam ruang sejarah yang memuat roh objektif tertentu.
Pada titik itulah muncul banyak kritik terhadap tesis bahwa manusia adalah makhluk yang menyejarah. Seperti dicatat Emanuel Prasetyono dalam Dunia Manusia-Manusia Mendunia, setidaknya ada dua kritik terhadap tesis historisitas manusia, yaitu determinisme historis dan relativisme historis (2013: 104-108). Dalam historisitas manusia, seperti yang sudah dijelaskan dari awal, manusia selalu sudah berada dalam konteks sejarah tertentu, dan ia juga memiliki kesadaran atas hal itu, sehingga karenanya ia hanya merupakan ‘produk’ atau ‘konstruksi’ dari konteks sejarah yang didiaminya. Oleh karena itu juga, manusia tidak memiliki kebebasan, karena konteks sejarah yang didiaminya memiliki peran yang determinan. Maka, dalam hal ini, kritik atas historisitas manusia adalah determinasi sejarah dan hilangnya kebebasan manusia.
Kritik yang kedua adalah relativisme historis. Dalam historisitas manusia, setiap generasi yang tumbuh berkembang dalam ruang-waktu yang berbeda pasti akan memiliki kebenaran, nilai, dan kebiasaan yang berbeda pula. Konsekuensinya, tidak ada nilai dan kebenaran universal yang berlaku pada semua orang yang mengatasi batasan spasio-temporal. Nilai dan kebenaran itu akan selalu terbatas hanya pada ruang dan waktu tertentu.
Sekalipun tampak menunjukkan adanya kebebasan manusia karena tiap manusia yang hidup dalam ruang dan waktu tertentu dapat berbeda dengan manusia lainnya yang berada di ruang dan waktu yang berbeda, namun historisitas manusia dalam pengertian ini pada akhirnya juga dapat jatuh pada sebuah “pengkotakan” yang arbitrer. Sejarah tetap memiliki peran determinan dalam hidup manusia. Karena manusia, dalam bentuk relativisme-historis, akan dikotak-kotakkan berdasarkan konteks sejarahnya. Pada titik itulah, sejarah yang seolah-olah terbuka dan relatif, senyatanya tertutup untuk tiap-tiap sejarah yang lain dan determinan di dalam dirinya sendiri. Maka, inti dari kedua kritik di atas adalah hilangnya kebebasan manusia dan kuatnya determinasi sejarah.
Untuk menjawab kritik di atas, korpus Heidegger memberikan sebuah pemahaman yang orisinil tentang historisitas manusia—tentang manusia yang dipahaminya sebagai “ada-dalam-dunia”. Kwasi Agyemang secara khusus dalam The Notion of Historicity in Heidegger (1983) mengeksplorasi gagasan historisitas dalam pemikiran Heidegger. Dalam disertasi doktoralnya di Universitas Ottawa, Kanada itu, Agyemang memahami historisitas dalam pemikiran Heidegger sebagai “become thyself“—menjadi diri sendiri (1983: 56-57).
Kemenjadian-diri (self-becoming) ini adalah bentuk penghadiran diri manusia bersama sang Ada di dalam temporalitas waktu (Agyemang, 1983: 58). Pemahaman historisitas manusia sebagai self-becoming itu tentu sangat tampak khas eksistensialis. Eksistensi manusia ada dalam waktu dan bahkan—meminjam bahasa Budi Hardiman—mewaktu. Manusia tidak hanya pasif berada dalam lingkaran waktu, tetapi juga aktif mewaktu (Hardiman, 2003: 108). Dalam kemewaktuan itulah, manusia adalah waktu. Waktu dalam hal ini bukan lagi waktu objektif yang dapat dihitung dengan hitungan detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun, melainkan waktu subjektif yang ada dalam diri manusia.
Heidegger berusaha mengatasi konsep waktu yang diobjektifkan—atau dalam bahasanya sendiri “vulgar concept of time“: waktu yang di luar sana, di luar diri kita; waktu yang bisa dihitung dengan angka. Bagi Heidegger, waktu objektif tersebut bersumber dari waktu primordial, yakni waktu yang ada dalam subjektivitas manusia. (1996: 405). Waktu primordial itu lebih otentik dari waktu objektif.
Dalam lazimya konsep waktu, ada tiga titik yang menjadi penanda atas perjalanan waktu: masa lalu, masa kini, dan masa depan. Ketiga titik tersebut hadir secara kronologis: masa lalu adalah apa yang telah ada sebelum masa kini; masa depan adalah apa akan ada setelah masa kini; dan masa kini adalah saat di mana kita bereksistensi. Namun, pemahaman Heidegger tentang waktu tidaklah demikian—dalam arti konsep waktu vulgar. Apa yang disebut kemewaktuan adalah kehadiran masa lalu, masa kini, dan masa depan secara serempak dalam satu kejadian. Masa lalu tidak mesti lebih dulu dari masa kini dan masa depan; begitu juga masa depan tidak mesti lebih belakangan dari masa kini dan masa lalu (Heidegger, 1996: 350). Manusia mengalami ketiga dimensi waktu tersebut secara sekaligus.
Untuk lebih mudah memahami hal itu, kita mesti merekonstruksi pemahaman Heidegger terhadap “alur” kehidupan manusia. Pertama, di masa lalu, manusia terlempar ke dunia yang sudah penuh dengan konteks sejarah. Di dunia itu manusia selalu sudah bertemu dengan pengada-pengada lainnya. Ini semacam “takdir” bagi manusia. Heidegger menyebut hal ini sebagai “faktisitas”. Kedua, di masa kini, manusia larut dalam kesehariannya bersama pengada-pengada yang lainnya, semisal benda-benda, alat, atau manusia lainnya. Hal ini oleh Heidegger disebut sebagai momen “kejatuhan”. Ketiga, dalam keterkaitannya dengan masa lalu dan masa kini, manusia selalu mengarahkan dirinya pada kemungkinan-kemungkinannya di masa depan. Kondisi ini oleh Heidegger disebut sebagai “eksistensialitas”.
Ketiga momen tersebut yang memungkinkan adanya temporalitas manusia. Sementara temporalitas adalah semacam dasar bagi historisitas manusia (Spiegelberg, 1994: 396). Pada titik inilah pemahaman Heidegger tentang historisitas manusia memiliki pemaknaan yang bercorak eksistensialis sehingga manusia tetap menemukan kebebasannya di tengah determinasi sejarah (faktisitas). Sebab, meskipun historisitas dipahami sebagai semacam “takdir” manusia untuk mewarisi sejarahnya, namun pada saat yang sama manusia selalu mengarahkan dirinya pada kemungkinan-kemungkinannya di masa depan. Karena itu, dalam temporalitas yang menjadi dasar bagi historisitas manusia, Hiedegger justru memberikan prioritas pada masa depan yang ia tafsiri—sesuai dengan makna literal kata bahasa Jerman “Zukunft“—sebagai “apa yang datang menghampiri kita” (Spiegelberg, 1994: 393-394). Di situlah, dalam keterarahan manusia pada masa depan, eksistensialitas manusia muncul, membuat ruang tegang antara apa yang faktis di masa lampau dan yang timbul-tenggelam dalam keseharian dengan keterbukaan pada berbagai kemungkinan di masa depan.
Dalam ruang tegang tersebut, Heidegger membedakan antara masa depan otentik dan inotentik. Masa depan ontentik, oleh Heidegger, disebut sebagai ‘antisipasi’. Artinya, dalam masa depan yang otentik, manusia menghadapi kemungkinan-kemungkinannya dengan sikap antisipasi. Karenanya, Heidegger juga menyebutkan bahwa masa depan otentik itu “is revealed in resoluteness“—ada dalam keteguhan hati (1996: 337). Sementara masa depan inotentik memiliki karakter menunggu-nunggu (awaiting). Artinya, kemungkinan-kemungkinan di masa depan tidak diantisipasi, melainkan ditunggu: manusia pasif.
Pada titik itulah manusia dalam historisitasnya dituntut untuk selalu memunculkan eksistensialitasnya; mengarahkan dirinya pada kemungkinan-kemungkinan yang datang menghampirinya; dan sekaligus melakukan antisipasi atas semua kemungkinannya. Maka, manusia otentik bukanlah apa yang oleh Heidegger disebut das Man: manusia impersonal yang tenggelam dalam rutinitas kesehariannya dan begitu saja hidup sebagaimana manusia-manusia lainnya (Heidegger, 1996: 114); melainkan manusia yang dapat merasa cemas dengan Adanya, sehingga selalu melakukan antisipasi dan membuka diri terhadap segala kemungkinan yang ada di depannya.
Pram dan Manusia Heideggerian
Bagi pembaca sastra Indonesia, usaha saya sejak awal untuk melihat sosok manusia Heideggerian dalam karya Pram mungkin akan dianggap sedikit janggal. Dalam silang-sengkarut aliran di jagat filsafat, Heidegger sering dianggap sebagai seorang eksistensialis—setidaknya seperti yang diklaim oleh Sartre. Di antara ciri pokok eksistensialisme adalah individualisme dan atau kebebasan individual—yang dalam sastra Indonesia prototipenya dapat kita lihat dalam karya-karya Chairil Anwar atau Iwan Simatupang.
Sedangkan Pram, dalam sengkarut ideologi sastra Indonesia, sering dikategorikan sebagai pengarang beraliran realisme sosialis. Hal ini secara tegas telah dijelaskan oleh Eka Kurniawan dalam Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis (2006). Realisme sosialis ini sering dipertentangkan dengan apa yang disebut “humanisme universal”: sebuah aliran yang menjadi pedoman kepengarangan dari lawan-lawan polemik Pram.
Hal yang ditentang oleh realisme sosialis dari humanisme universal itu adalah wataknya yang abstrak-universal—yang dapat menjadi kedok persembunyian lawan yang mesti diganyang. Realisme sosialis memiliki afinitas pada apa yang disebut “humanisme proletar”. Humanisme yang konkret yang sepenuhnya hanya berpihak kepada kaum proletar, kaum lemah, kaum tertindas, dan kaum kelaparan, untuk mendapatkan keadilan melawan kaum penghisap dan pemilik modal. Maka, dalam hal ini, humanisme yang dijunjung realisme sosialis adalah humanisme yang berwatak sosial dan komunal. Realisme sosialis berpandangan bahwa karya sastra memiliki tanggung jawab sosial untuk melawan ketidakadilan.
Dalam posisi itu, kompatibilitas manusia Heideggerian dalam karya Pram sangat mungkin dipertanyakan. Benarkah Pram yang disinyalir sebagai seorang realisme sosialis dalam karya-karyanya menampilkan sosok-sosok yang berwatak eksistensialis?
Pertanyaan itu mesti saya jawab sebelum lebih jauh menganalisis sosok manusia Heideggerian dalam “Ikan-ikan yang Terdampar”. Setidaknya ada dua alasan yang memungkinkan pembacaan Heideggerian atas karya Pram ini memadai. Pertama, dari sisi kepengarangan Pram. Seperti diakui oleh Eka Kurniawan, dalam karya-karya Pram, manusia memang menempati posisi yang amat sentral (2006: 133). Sesuai dengan misi realisme sosialis, manusia yang ditampilkan dalam karya-karya Pram tentu bukan sekadar manusia secara individual, melainkan manusia dengan segenap persoalannya di bawah struktur sosial-politik-ekonomi tertentu. Namun, saya kira, dengan manampilkan manusia yang menghadapi persoalan struktural, disadari atau tidak, Pram sekaligus juga telah memunculkan manusia yang memiliki kemelut personal-individual. Dengan kata lain, soal-soal personal-individual tetap inheren dalam sosok manusia yang ditampilkan Pram. Maka, pada titik itu pembacaan Heideggerian atas karya Pram tetap dimungkinkan—dan karenanya bisa tetap memadai.
Kedua, dari sisi korpus Heideggerian. Sekalipun sering dicap sebagai filsuf eksistensialis, namun Heidegger tidak memahami manusia sebagai sosok yang egois dan individualis. Hal ini yang membedakan Heidegger dengan filsuf eksistensialis lainnya, seperti Sartre misalnya. Sarte memandang perjumpaan manusia dengan manusia lain selalu dalam kondisi tegang, konfliktual—kesadaran subjek yang saling mengobjekkan. Maka, orang lain pun, bagi Sartre, adalah neraka. Namun, bagi Heidegger, relasi manusia (Dasein) dengan manusia lain (Mitdasein) terjalin lewat laku Füsorgen atau Concern (merawat/memelihara) (1996: 114). Artinya, perjumpaan manusia dengan sesamanya di dunia tidak dengan saling mengobjekkan sebagaimana dalam pertemuan manusia dengan alat (Zuhandenes), tetapi dengan saling memelihara dan saling menjaga. Sebab manusia selalu butuh kepada manusia lainnya—hidup di dalam dunia secara bersama.
Dengan pemahaman tersebut, manusia Heideggerian juga memiliki watak sosial dan komunal. Manusia Heideggerian selalu berada dalam ruang tegang antara yang-personal dan yang-sosial; antara keheningan dan keramaian; dan antara yang-otentik dan yang-inotentik. Manusia dalam karya Pram adalah representasi sempurna dari manusia Heideggerian—manusia yang hendak melawan represi struktural dengan disertai gejolak yang sifatnya personal. Dan Pram sendiri, jika dilihat dari esai-esainya, memanglah sosok yang keras kepala (untuk tidak menyebutnya seorang eksistensialis). Ia juga berusaha meninggalkan kebudayaan Jawa—yang melingkupinya sejak kecil selama hidup di Blora—karena dianggap dapat melanggengkan ketidakadilan. Dari sini, pembacaan Heideggerian atas karya Pram dapat dioperasikan.
Drama Eksistensi Manusia yang Terdampar
“Ikan-ikan yang Terdampar” adalah satu dari dua belas cerpen Pram yang terkumpul dalam Cerita dari Jakarta (1957). Secara umum, cerpen-cerpen dalam Cerita dari Jakarta itu menggambarkan kondisi dan mentalitas manusia Jakarta pasca-revolusi, di sekitar tahun 50-an. Sebuah gambaran atas kondisi poskolonial.
Ditulis pada tahun 1950, cerpen ini mengisahkan nasib dua orang pemuda yang hidup sengsara di Jakarta. Seperti pada cerpen-cerpen Pram lainnya, cerpen ini ditulis dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga. Keseluruhan ceritanya dikisahkan oleh sang narator (Pram) yang berada di luar cerita yang mahatahu atas segalanya.
Sebagai pengantar, narator membuka ceritanya dengan paragraf berikut:
“Dalam ceritera ini, Idulfitri akan mendapat ilham setelah menanggung kelaparan sebelas jam lamanya. Hampir seluruh cerita dimainkan olehnya, dan Namun—seorang pemuda yang kecil kurus tapi gesit—hanya menolongnya memainkan peran utama.” (Toer, 1957: 16).
Paragraf pembuka itu sebenarnya sudah merangkum secara garis besar cerita dalam cerpen ini. Namun selalu ada kejutan di setiap narasi yang dituturkan Pram. Dua tokoh dalam cerita ini, Idulfitri dan Namun, bertemu di tengah jalan menuju ke sebuah bioskop. Dari pertemuan itulah, dua pemuda yang sudah lama berteman, yang sama-sama sedang kelaparan, terus menghiasi keseluruhan cerita ini. Cerita berlangsung di jalanan, di bioskop, lalu kembali di jalanan lagi.
Kondisi “kelaparan” itulah yang dapat memungkinkan tokoh cerita ini menjadi manusia Heideggerian—manusia yang merasa cemas terhadap keber-ada-annya. Maka, sejak awal cerita, sebelum bertemu dengan Namun, Idulfitri sudah mulai berpikir-pikir tentang dirinya; tentang keberadaannya di dunia.
Perhatikan gumam Idulfitri berikut ini:
“Kalau saja dahulu aku tak ikut-ikut berjuang tapi turut-turut merampok kekayaan Jepang dan kemudian diam-diam berdagang, alangkah akan tenang hatiku sekarang ini. Apa sekarang? Aku kasih tahu, kau, diri: engkau ini pahlawan sesat! Engkau makhluk daif yang tak mendapat tempat di masyarakat merdeka yang dahulu engkau perjuangkan.” (Toer, 1957: 18).
Pada titik itu, Idulfitri merasakan adanya momen keterlemparan. Ia cemas dengan keberadaannya, menyesali masa lalunya, dan mengutuk masyarakat di lingkungannya. Alih-alih sebuah perlawanan struktural dalam lingkup komunal, yang tampak menonjol dalam momen itu justru sebuah tegangan eksistensial—sebuah penyesalan yang amat personal.
Apakah itu berarti Idulfitri adalah seorang eksistensialis yang sangat egois dan individualis? Jawabannya: iya dan tidak. Iya, sejauh Idulfitri dipahami hanya sebagai sosok personal, terlepas dari kaitan struktural. Ini semakin dipertegas lagi dengan pernyataan narator: “Sekarang ini… ia (Idulfitri) lebih peduli pada dirinya sendiri,” (Toer, 1957: 17). Tidak, sejauh Idulfitri dipahami tidak hanya sebagai sosok personal, tetapi juga sebagai representasi dari sebuah kelas dalam struktur sosial. Sebagai representasi kelas bawah, kelas yang tertindas, Idulfitri adalah personifikasi sempurna dari kehendak perlawanan masyarakat proletar—yang tak mendapatkan apa-apa pasca-revolusi di tahun 50-an. Revolusi yang ia sendiri turut perjuangkan.
Momen keterlemparan—setidaknya—muncul dua kali dalam kehidupan Idulfitri. Yang kedua adalah saat ia mendaftar masuk ketentaraan, namun ditolak mentah-mentah hanya karena berhaluan komunis. Dalam momen ini, Pram menunjukkan bahwa Idulfitri terlempar ke dalam ruang sejarah tertentu; ke ruang sejarah yang anti-komunis. Dalam ruang sejarah itu, Idulfitri dipaksa masuk ke dalam sebuah realitas historis yang—dalam bahasa Hegel—sudah memuat ‘roh objektif’: anti-komunis. Maka, dirinya yang seorang komunis terpaksa harus hidup tercampakkan; “tak mendapat tempat di masyarakat merdeka yang dahulu ia perjuangkan.”
Kondisi tersebut juga memperlihatkan posisi manusia di tengah determinasi sejarah yang melingkupinya. Tapi sayang, Pram membuat Idulfitri tidak berdaya di tengah determinasi sejarah yang demikian kuat itu. Tak ada perlawanan signifikan yang dilakukan Idulfitri. Hanya gerakan-gerakan sporadis: merampok, merampas, menodong, dan mencuri barang-barang kaum borjuis. Itupun hanya untuk makan, bukan untuk perubahan secara total. Sebab nyatanya, sampai akhir cerita ia tetap tercampakkan, dan keesokan harinya masih mungkin lagi kelaparan. Sejarah akan tetap berpihak pada kelas atas dan pemilik modal. Padahal, jika Pram mau kosisten dengan realisme sosialisnya, sejarah mesti berjalan dengan proses dialektika. Namun, Idulfitri sebagai representasi kaum lemah ternyata tak punya begitu banyak daya untuk menentang sejarah. Ia benar-benar terbatas dalam kungkungan faktisitasnya.
Namun, di luar itu, sisi eksistensialitas yang dimunculkan Pram dalam sosok Idulfitri ini ternyata sangat unik. Bukan dalam bentuk perlawanan frontal terhadap realitas historis, melainkan melalui apa yang disebutnya “ilham”. Idulfitri yang menanggung kelaparan selama sebelas jam mendapatkan ilham. Ilham itu ternyata bukan semacam wahyu dari Tuhan, melainkan apa yang oleh Heidegger disebut “proyeksi masa depan”. Ilham yang didapat Idulfitri itu adalah: “… aku harus masuk partai politik,” (Toer, 1957: 36). Dengan itu, Idulfitri berarti telah mengantisipasi masa depannya dengan keteguhan hati (resoluteness).
Tapi, lagi-lagi, sungguh sayang, ilham itu hanya sebatas ilham—kalau tidak mau dikatakan sebatas angan-angan. Entah apakah Pram memang sengaja menjadikannya demikian, namun yang pasti, sampai cerita ini selesai tak ada tanda-tanda Idulfitri akan masuk dalam sebuah partai. Malahan, ia kembali tenggelam dalam rutinitas keseharian yang biasa ia lakukan: mencari orang yang dapat membantunya memberi makan. Ia mengalami momen kejatuhan—larut dalam keseharian yang dapat menggagalkan proyeksinya di masa depan. Bahkan, di penghujung harapannya untuk menemukan orang yang dapat memberinya makan, ilham yang didapatnya justru sangat menggelikan. Ia memaksa kawannya, Namun, untuk menjual dompet kesayangannya ke tukang loak dengan harga murah. Dari hasil penjualan itu akhirnya mereka berdua bisa makan—walau nanti malamnya masih harus kembali mencari kurban.
Begitulah drama eksistensi manusia Heideggerian yang ditampilkan Pram melalui sosok Idulfitri. Ia mengalami momen keterlemparan (faktisitas), kajatuhan, dan proyeksi masa depan (eksistensialitas). Rangkaian temporalitas tersebut dinarasikan oleh Pram dengan cara yang amat subtil namun juga tegang. Subtil, karena ketiga titik temporal itu tidak secara eksplisit digambarkan—mungkin karena latar cerita yang hanya dalam waktu sehari (dari pagi sampai sore). Penuh dengan kondisi tegang, karena Pram membuat tokohnya berada dalam tarik-ulur ‘kenangan’ di masa lampau, ‘kekinian’ di masa sekarang, dan ‘harapan’ di masa depan.
Pram juga tampak ingin membuat kedua tokohnya melampaui waktu vulgar, waktu yang diobjektifkan, sebagaimana sosok manusia Heideggerian. Namun, saya kira, dalam hal ini usaha Pram sedikit gagal. Perhatikan cara kedua tokoh itu memahami waktu:
“…Kebiasaan mengembara membuat mereka mengerti, hari telah jam lima sore.” (Toer, 1957: 39).
Di situ, Idulfitri dan Namun seolah telah membuang konsep waktu vulgar. Sebab, meskipun tanpa penunjuk waktu (jam tangan, jam dinding, dsb.), mereka sudah tahu bahwa saat itu “hari telah jam lima sore”. Seolah mereka tak lagi terikat oleh waktu yang ada di jam tangan, jam dinding, dan sebagainya. Dengan “kebiasaan mengembara”, mereka dapat memahami waktu berdasarkan suasana dan peristiwa. Tanpa petunjuk angka.
Namun, andaian itu seketika terpental, tepat di saat Pram menyebut “jam lima sore”. Waktu yang dipahami oleh Idulfitri dan Namun, ternyata referennya tetaplah waktu yang diobjetifkan, waktu konstan—yang dapat dialami secara sama oleh semua orang. Bahkan, mereka berdua justru orang yang sangat akrab dengan waktu konstan tersebut, sebab dapat mengetahuinya tanpa petunjuk jam. Ironi bukan?!
Di luar soal rangkaian temporalitas dan soal waktu, Idulfitri (dan juga Namun) masih bergelut dengan soal otentisitas subjek. Dalam korpus Heideggerian, manusia otentik bukanlah manusia impersonal (das Man)—yang menghilangkan sisi-sisi personalitas dirinya; yang hidup menuruti orang lain atau kerumunan massa di sekitarnya. Manusia otentik adalah manusia yang memiliki keteguhan hati sendiri. Uniknya, Pram—dengan dua tokohnya—menggambarkan otentisitas subjek itu sebagai sesuatu yang ambivalen. Dengan kata lain, Pram seperti hendak menegaskan bahwa tidak ada subjek yang sepenuhnya otentik.
Sejak awal, memang sudah dijelaskan bahwa Namun dalam cerita ini hanya sebagai tokoh kedua. Hidupnya pun bergantung kepada Idulfitri. Bahkan ia mengakui sendiri: “Fitri, dalam hatiku yang bersih, selalu aku percaya engkau pemimpinku. Engkau adalah obor untuk hidupku yang gelap-gulita ini….” (Toer, 1957: 24). Dari pengakuan ini, jelas Namun bukanlah sosok manusia otentik. Ia tak punya keteguhan hati sendiri. Alur hidupnya digantungkan kepada Idulfitri.
Tapi, di lain kesempatan, narator secara mengejutkan justru menuturkan hal ini:
“Dalam suatu saat yang tertentu Idulfitri menyesali perjalanan hidupnya yang selama ini dikemudikan oleh Namun ke arah kejahatan. Ya, sampai ia tak segan-segan membunuh orang di malam hari. Ia tak suka. Selalu hatinya berteriak bahwa ia tak suka, bahwa ia benci pada perbuatannya. Tapi ia tak dapat menghindarkan diri dari pengaruh Namun.” (Toer, 1957: 31).
Dengan narasi tersebut, posisi otentisitas subjek berbalik 180 derajat. Mulanya kita akan menyangka Idulfitri sebagai subjek otentik karena menjadi gantungan hidup Namun. Akan tetapi, ternyata Namun lah yang justru banyak mengendalikan hidup Idulfitri sehingga mengarah ke kejahatan. Bahkan, dari saking kuatnya pengaruh Namun, Idulfitri tidak bisa mengelak dari pengaruhnya.
Di sini, gambaran Pram tentang subjek barangkali mirip dengan Lacan. Subjek yang terbelah, yang tak pernah utuh. Soal otentisitas pun juga begitu. Tak ada otentisitas yang penuh. Subjek itu selalu mengalami ambivalensi dalam dirinya: otentik dan sekaligus inotentik. Dengan ini juga, Pram mengandaikan subjek yang selalu butuh pada yang lain, pada Mitdasein. Dan karena hal inilah kita bisa tahu mengapa pertemanan Idulfitri dengan Namun tetap solid, sekalipun di antara keduanya kadang terjadi konflik.
Idulfitri sering memarahi Namun secara kasar, sementara Namun diam-diam menusuk Idulfitri dari belakang. Jirah, pacar Idulfitri, tak luput dari oportunisme Namun. “…Engkau ini betul-betul lintah yang menghisap darah kudukku tiap detik engkau sempat. Sudah tenagaku kau makan, duit mesti minta kebagian, sekarang pacarku diduainya,” kata Idulfitri pada Namun (Toer, 1957: 44).
Setelah adegan itu, mereka berdua pun duduk makan sate hasil menjual dompet ke tukang loak. Pram menutup ceritanya dalam kondisi ketika mereka sedang mesra; sedang makan bersama. Dengan hal itu, Pram seperti hendak membuat kesan bahwa bagaimanapun hubungan mereka berdua, tetap saja mereka sebagai manusia ber-ada dalam dunia dengan yang-lain (Mitdasein) secara bersama. Saling menjaga. Saling memelihara….
Kepustakaan
- Agyemang, Kwasi. 1983. The Notion of Historicity in Heidegger. University of Ottawa.
- Hardiman, F. Budi. 2003. Heidegger dan Mistik Keseharian. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- Heidegger, Martin. 1996. Being ang Time. [pen. Joan Stambaugh]. New York: State University of New York Press.
- Heidegger, Martin. 2010. Being and Truth. [pen. Gregory Fried dan Richard Polt]. Bloomington: Indiana University Press.
- Heidegger, Martin. 1949. Existence and Being. Great Britanian: Edward & Charles Straker Ltd.
- Inwood, M. J. 1992. A Hegel Dictionary: Blackwell Philosopher Dictionaries. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.
- Kurniawan, Eka. 2006. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
- Prasetyono, Emanuel. 2013. Dunia Manusia-Manusia Mendunia. Sidoarjo: Zifatama Publishing.
- Spiegelberg, Herbert. 1994. The Phenomenological Movement. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.
- Toer, Pramoedya Ananta. 1957. Cerita dari Jakarta. Jakarta: Hasta Mitra