Masyarakat kontemporer cenderung bersifat kompetitif. Persaingan disebutkan pertama kali, di antara faktor-faktor yang menyebabkan ketidakbahagiaan manusia. Bertrand Russell melihat posisi dominannya terkait dengan kemerosotan peradaban. Keyakinan bahwa menjadi pemenang dalam sebuah kompetisi adalah jalan menuju kebahagiaan, adalah sepenuhnya salah (Russell 1930: 50, 53). Untuk mencapai tujuan individu, masyarakat cenderung mencari banyak cara. Tak ayal, dengan pencarian itu masyarakat juga menemukan banyak penghalang yang membuat mereka harus memilih antara berhenti, istirahat, atau tetap menghadapi tanpa perlu pusing memikirkannya. Han menafsirkan bahwa stres dan kelelahan bukan hanya persoalan pengalaman pribadi, tetapi juga fenomena sosial dan sejarah. Jalan menuju kelelahan sosial adalah suatu keniscayaan, tetapi bagaimana kelelahan dapat dipahami dan dihayatilah, yang akan menentukan karakter masyarakat di masa depan. Namun demikian, perlu dicatat bahwa di luar kelelahan sebagai akibat, terdapat dasar egoisme dalam semua bentuk persaingan. Alasannya sederhana: bahwa yang penting diri sendirilah yang menang. Ini juga terjadi pada pemikiran sosio-biologis evolusionis yang populer dengan istilah Darwinisme sosial, yang memberikan penjelasan tentang bagaimana perlunya makhluk hidup untuk menerapkan “survival at the fittest” (sintasan yang tercocok)[1] untuk memenangkan seleksi alam.
Hubungan antarmanusia dihayati dalam kerangka ketegangan antara dimensi individu dan kolektif di dalam kehidupan manusia. Aspek individu manusia memiliki legitimasi dan kebutuhan yang jelas, tetapi individualisme dapat dipahami dalam berbagai kerangka kerja (Thorbjørnsen 2019: 350). Ketegangan antara kolektivisme dan individualisme tersebut kemudian menjadi fokus masyarakat modern-kontemporer. Namun, semua sepakat bahwa pada keduanya juga dapat menghasilkan kelelahan.
Ada berbagai “tipe” dari kelelahan, baik secara mental maupun fisik. Exhaustion adalah kelelahan yang disebabkan oleh stres dan frustrasi yang berkepanjangan. Sedangkan, fatigue lebih dari sekadar merasa sedikit lelah atau mengantuk. Pada bagian inilah kelelahan mental atau fisik individu menghambat kemampuan untuk bekerja secara efektif dan aman. Hal ini dapat disebabkan oleh rasa kantuk atau lelah yang dapat terjadi secara fisik, mental, atau kombinasi keduanya. Burnout adalah bentuk kelelahan jangka pendek yang dapat dialami secara emosional, mental, dan fisik, yang dapat dialami oleh siapa pun. Biasanya, periode kelelahan yang menumpuk dapat menyebabkan burnout menjadi lebih lama. Dilansir dari WHO, burnout termasuk dalam evisi ke-11 dari Klasifikasi Penyakit Internasional (ICD-11) sebagai fenomena yang ditimbulkan dari pekerjaan. Sesungguhnya, burnout tidak lagi diklasifikasikan sebagai kondisi medis. Burnout didefinisikan dalam ICD-11 sebagai berikut:
Burnout adalah sindrom yang dikonseptualisasikan sebagai akibat dari stres kronis di tempat kerja yang belum berhasil dikelola. Ini ditandai dengan tiga dimensi:
- perasaan kehabisan energi atau kelelahan;
- peningkatan jarak mental dari pekerjaan seseorang, atau perasaan negativisme dan sinisme yang terkait dengan pekerjaan seseorang; dan,
- berkurangnya profesionalitas saat bekerja.
Burnout mengacu secara khusus pada fenomena dalam konteks pekerjaan dan tidak boleh diterapkan untuk menggambarkan pengalaman di bidang kehidupan lain.
Byung-Chul Han (한병철) menanggapi fenomena sosial modern kontemporer dengan pendekatan psikologis yang filosofis dengan fenomena kesehatan mental. Rasa frustrasi, kelelahan, dan kecemasan diamati sebagai fase istirahat dengan sejenak bermain, dan setelah istirahat selesai, kompetisi kembali dimulai. Byung-Chul Han melihat bahwa penyakit neurologis seperti kecemasan (anxiety), depresi, attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), borderline personality disorder (BPD), dan burnout syndrome (BS) menandai lanskap patologi di awal abad ke-21. Dengan segala isu kesehatan mental di era kontemporer—sementara di masa lalu masyarakat diatur oleh disiplin kekebalan (immunological) sebagai pencapaian yang dimiliki masyarakat itu sendiri—ini menjelaskan bahwa penyakit psikologis dan penyakit saraf menjadi problem yang paling hangat di masa kontemporer. Han memberi contoh dalam Being and Time karya Heidegger, bahwa kecemasan terjadi di mana “di rumah-rumah publik, cara dalam berbagai hal telah diinterpretasikan secara publik pula”, yakni sebagai pola bangunan dari persepsi dan perilaku sehari-hari yang familier. Namun, hal tersebut kolaps dan memberi jalan kepada suasana “tidak-berada-di-rumah”. Ini menarik Dasein, yakni istilah ontologis Heidegger untuk manusia, untuk keluar dari “kehidupan sehari-hari” yang familier dan konformisme sosial.[2] Untuk memahami pembicaraan tentang Dasein yang melarikan diri dalam menghadapi dirinya sendiri, kita harus ingat bahwa Mengada-di-dunia adalah keadaan dasar Dasein, bahwa ketika di hadapan orang yang memiliki kecemasan [das Wovor der Angst] dengan demikian juga Mengada-di-dunia itu sendiri. Dalam kecemasan, Dasein dihadapkan dengan yang di luar kebiasaan, janggal, dan tidak normal (2018: bag. 4). Han menerangkan, “Ketika Dasein menjadi tenang, dan ‘memahami’ segala sesuatu, dengan demikian ia membandingkan dirinya dengan segalanya, kemudian hanyut menuju keterasingan, dengan hadirnya potensi-untuk-Mengada di sesuatu yang paling tersembunyi darinya.”[3] Pada akhirnya, karena situasi yang tidak familier tersebut justru Dasein menjadi autentik [Eigentlichkeit]. Menurut Han, “Mereka” [das Man] justru berusaha untuk mewujudkan kesesuaian sosial; yang mengatur bagaimana kita harus hidup, untuk bertindak, untuk melihat, untuk berpikir, dan untuk menilai. Kediktatoran Mereka mengasingkan Dasein dari “potensialitas-Mengada-nya” dan juga dari autentisitas. Fenomena di luar kebiasaan tersebut perlu dilihat sebagai hal yang baik demi melihat autentisitas Dasein.
Han membedakan dua bentuk kelelahan: yang Pertama, ia sebut sebagai “kelelahan soliter” atau “kelelahan yang memecah belah”, yakni kelelahan yang menyerang seseorang yang “bisu dan buta [mit Blickunfähigkeit]” ketika, “bahwasanya Aku [das Ich] yang terisolasi memenuhi seluruh bidang penglihatan” (2015a: 31), tidak dapat memberikan kemungkinan untuk melihat apa yang ada di luar subjek—kelelahan dari jenis ini terbukti dengan fenomena kekerasan karena menghancurkan semua yang umum, yang dibagi, seluruh kedekatan, dan bahkan bahasa itu sendiri. Pada situasi ini, dekonstruksi bahasa telah berperan dalam teori Han sebagai jawaban atas dampak kelelahan. Kedua, adalah yang ia sebut “kelelahan fundamental” sebagai bentuk “kepandaian berbicara, melihat, dan merekonsiliasi” (2015a: 31) dengan kemungkinan untuk melihat sesuatu yang terjadi di luar subjek. Maka dari itu, menurut Han, jika dianalogikan dalam “tangan”, bahwa ada bentuk kelelahan yang melumpuhkan tangan setelah bekerja, tetapi ada juga bentuk kelelahan yang membuat tangan berhenti bekerja dan mulai memanfaatkan waktu untuk bermain-main [Spiel-zeit].[4] Tangan yang bermain-main setelah kelelahan itu menjelaskan tentang keniscayaan masa depan yang lelah, suatu hal yang pasti dialami oleh masyarakat dan berlaku sebagai alternatif yang menguntungkan bagi perkembangan manusia—sebagai suatu subjek dan fenomena kolektif.
Han juga mengkritik buku dari Roberto Esposito—seorang filsuf kontemporer di bidang bio-politik berkebangsaan Italia—dengan karyanya, Immunitas: The Protection and Negation of Life yang secara garis besar menjelaskan tentang penghapusan apa yang aneh atau yang (hanya) berbeda dalam kerangka bio-politik dan sosial masa kontemporer. Han menjelaskan, bahwa paradigma imunologi terbukti tidak sesuai dengan proses globalisasi. Objek pertahanan dari kekebalan dalam suatu masyarakat adalah benda-asing-itu-sendiri. Sekalipun tidak memiliki niat untuk bermusuhan, bahkan jika tidak menimbulkan bahaya, ia dilenyapkan atas dasar Yang-Lain (Otherness). Yang-Lain adalah suatu keanehan, perbedaan, dan ketidakwajaran, yang akhirnya menciptakan suatu imun berdasarkan topologi tertentu. Pos-imunologis tidak seperti yang dikatakan oleh Esposito, bahwa dalam dunia posmodern, perbedaan tidak memerlukan imunoreaksi sehingga tidak membuat siapa pun menjadi sakit, melainkan berdamai dengan “virus” tersebut dan menjadikan virus sebagai “teman bermain”. Pembubaran suatu “batas” membuat posmodernisme tidak lagi bekerja sebagaimana mestinya. Baginya, Esposito tidak membahas persoalan sosial kontemporer, tetapi hanya persoalan masa lalu di mana manusia menganggap Yang-Lain sebagai ancaman yang membuat masyarakat menjadi “keracunan”.
Han membedakan antara masyarakat modern—dengan mengacu pada teori penjara Panoptikon dari Michel Foucault, yang memiliki kepatuhan penuh secara sadar atas suatu sistem pengawasan tunggal yang ia sebut sebagai masyarakat disipliner—dan masyarakat kontemporer—sebagaimana telah dirujuk, berlaku sebagai masyarakat berprestasi. Pergeseran paradigma ini dijelaskan oleh Han melalui masalah imun. Di matanya, masyarakat abad dua puluh satu bukan lagi masyarakat disipliner, melainkan masyarakat berprestasi [Leistungsgesellschaft] (2015a: 8). Han juga menjelaskan burnout society dengan menggunakan pisau analisis Freudian. Ia mengatakan bahwa ego adalah “kursi kecemasan” [Angstätte][5] seperti halnya yang dikatakan oleh Sigmund Freud, sebab Angstätte terjadi ketika manusia terkena sinyal ketakutan dari dunia luar, dorongan dari Id (berupa ketakutan neurotik [neurotische Angst]) serta ancaman terhadap Superego (berupa ketakutan hati nurani [Gewissensangst]). Sebaliknya, subjek pencapaian modern-kontemporer terkesan buruk dalam negasi. Ini adalah subjek dari afirmasi, jika alam bawah sadar selalu terkait dengan negativitas negasi dan represi [Verdrängung], maka subjek pencapaian modern akhir tidak lagi memiliki ketidaksadaran—itu justru akan menjadi ego pos-Freudian karena dapat membedakan antara keinginan atau ketakutannya sendiri (realitas internal) dengan peristiwa yang terjadi di dunia nyata (realitas eksternal). Ketidaksadaran Freudian bukanlah bentukan yang ada di luar waktu, melainkan eksis dalam waktu, karena hal itu merupakan produk dari masyarakat disiplin yang didominasi oleh negativitas larangan dan penindasan, yang telah lama kita tinggalkan (2015a: 36). Seperti masyarakat disipliner, perangkat psikis berusaha (atau bahkan hadir secara kodrati-tak-sadar) mulai membangun tembok, ambang batas, pagar, dan penjaga. Depresi pada akhirnya bukanlah konsekuensi dari represi yang berasal dari contoh dominasi seperti Superego. Untuk alasan ini, psikoanalisis Freudian hanya mungkin terjadi di dalam masyarakat represif yang menemukan komunitas atau organisasi mereka pada negativitas larangan serta perintah.
Han dalam The Burnout Society menjelaskan tentang vita activa (kehidupan aktif), yang dapat sepenuhnya menghancurkan kemungkinan yang saling melengkapi dengan vita comtemplativa (kehidupan kontemplatif)—dengan fenomena “absolutisasi vita activa” (2015a: 20). Namun, secara paradoksal absolutisasi vita activa justru menuntun manusia pada kepasifan—karena manusia akan dengan mudah berpikir untuk menjadi animal laborans.[6] Mengutip Arendt (1998), Han merujuk bahwa “semua aktivitas manusia, jika dilihat dari titik yang cukup jauh di alam semesta, tidak akan lagi muncul perbuatan melainkan proses biologis” (2015a: 17). Menurut Arendt, masyarakat modern—sebagai masyarakat yang “bekerja” [Arbeitsgesellschaft]—tidak memiliki kemungkinan untuk bertindak ketika merendahkan manusia menjadi pekerja hewan, sehingga menjadi binatang buas. Han berpendapat, bahwa pada akhirnya Arendt justru secara tidak sengaja mendukung vita contemplativa. Menurut Han, vita contemplativa dalam kerangka pemikiran Arendt telah luput dari perhatiannya, bahwa hilangnya kemampuan untuk berkontemplasi—yang antara lain mengarah pada absolutisasi vita activa—juga bertanggung jawab atas histeria dan kegugupan masyarakat kontemporer. Bahwa pada akhirnya, bukan kehidupan yang aktif, melainkan kehidupan kontemplatif yang membuat manusia menjadi apa yang seharusnya (2015a: 20).
Sintesis Han atas pembacaan berbagai filsuf berusaha untuk melihat masyarakat modern-kontemporer sebagai masyarakat kompetitif yang mudah untuk duduk dalam kursi kecemasan. Dengan duduk, meskipun merasa cemas, manusia menemukan tempatnya untuk sejenak pergi dari kebiasaannya yang buruk, yakni berlomba-lomba dan mengalahkan yang lain untuk mendapatkan sesuatu. Frustrasi, lelah, dan cemas dapat memengaruhi masyarakat kontemporer pula dalam lini keberlangsungan aktivitas. Ketidaknormalan dapat dianggap sebagai penghambat menuju suatu kesuksesan karena meskipun mungkin dan optimis, waktu yang dicapai tentu akan lebih lama. Namun, di masa kontemporer ini manusia perlu mengalami fase tersebut untuk beristirahat, walaupun istirahat akan dianggap berbahaya bagi kompetisi karena lawan akan dengan mudah berlari meninggalkannya. Masyarakat kontemporer akan terus berlomba-lomba dan juga beristirahat. Dalam hal ini, perlu adanya bimbingan psikologis bagi para “peserta lomba” di masa modern-kontemporer ini. Dari dalam diri, perlu ada kemauan untuk sembuh dan berjuang untuk bangkit serta melanjutkan hidup. Tidak hanya “menikmati” dalam suasana “istirahat”, tetapi juga bangkit dan melangkah menuju imunitas baru yang telah terbiasa dengan perlombaan dan tekanan.
Catatan akhir:
[1] “Ahli biologi evolusi biasanya menggunakan metafora ‘survival of the fittest’, yang memiliki arti yang tepat dalam konteks genetika populasi matematis, sebagai ungkapan singkat ketika menjelaskan proses evolusi.” Bdk. Matthew K.; Laubichler, Manfred D, Natural Enemies — Metaphor or Misconception? (Science, 2003). Hlm. 52.
[2] Konformisme adalah istilah dalam psikologi yang digunakan untuk menggambarkan penangguhan tindakan atau pendapat yang ditentukan sendiri oleh individu yang mendukung kepatuhan pada konsensus, atau penghormatan pada norma-norma yang dipaksakan dari otoritas tertentu yang mengawasi. Bdk. Martin Heidegger. (1962). Being and Time. (Terj. John Macquarrie dan Edward Robinson). New York: Harper & Row. Hlm. 233f.
[3] Ibid, hlm. 222.
[4] “After He created it, God declared the Seventh Day holy. That is, the day of in-order-to is not sacred, but rather the day of not-to, a day on which the use of the useless proves possible. It is a day of tiredness.
The interval is a time without work, a time of, and for, play [Spiel-zeit]; it also differs from Heidegger’s definition of time, which is essentially a matter of care and work” (2015a: 34). Ini menjelaskan tentang bagaimana Han melihat YHWH (Tuhan) dalam kitab Torah beristirahat di hari ketujuh, sebagai interval dari kesibukan yang telah, dan yang akan dijalani kemudian hari.
[5] Karena subjektivitas menyiratkan identitas individualisasi seseorang, yaitu individu yang memersepsikan dirinya secara keseluruhan. Bukan kebetulan bahwa Freud menempatkan kecemasan untuk tinggal di Ego, dan bukan di Id. Bdk. Sigmund Freud. (1990). The Ego and the Id. (terj. Joan Riviere, ed. James Strachey). New York: Norton. hlm. 59.
[6] Han menyebutkan bahwa animal laborans adalah hal yang buruk, sebab bagi manusia, menjadi animal laborans hanya akan membuat diri menjadi depresi dan secara langsung berusaha untuk mengeksploitasi dirinya sendiri—dan bahkan melakukannya secara sukarela, tanpa kendala eksternal. Manusia membuat dirinya sendiri menjadi predator dan mangsa sekaligus. Bdk. The Burnout Society. hlm. 12
Bibliografi
Arendt, Hannah. (1998) [1958]. The Human Condition. Chicago: University of Chicago Press.
Esposito, Roberto. (2011). Immunitas: The Protection and Negation of Life. Cambridge: Polity.
Fontaine, Philippe. (2009). L’angoisse de mort est-elle un frein à la créativité? CAIRN. Diakses pada 17 Desember 2020 dari https://www.cairn.info/revue-recherche-en-soins-infirmiers-2009-4-page-4.htm
Freud, Sigmund. (1990) [1923]. The Ego and the Id. (Terj. Joan Riviere, ed. James Strachey). New York: Norton.
Han, Byung-Chul. (2015a). The Burnout Society. Stanford: Stanford University Press.
___________. (2015b). The Transparency Society. Stanford: Stanford University Press.
___________. (2018). The Expulsion of the Other: Society, Perception and Communication Today. (Terj. W. Hoban). Cambridge: Polity Press.
Heidegger, Martin. (1962) [1927]. Being and Time. (Terj. John Macquarrie dan Edward Robinson). New York: Harper & Row.
Matthew K.; Laubichler, Manfred D. (2003). Natural Enemies — Metaphor or Misconception?
(4 Juli). Science. 301 (5629): 52–53, DOI: 10.1126/science.1085274. Diakses pada 27 Januari 2021 dari https://science.sciencemag.org/content/301/5629/52.full
Russell, Bertrand. (1930). The Conquest of Happiness. London: Allen & Unwin.
Santos, Sousa R. (2019). Between exhaustion and creativity: The Burnout Society of Byung-Chul Han. U3 – UrbanisticaTre, Università degli Studi Roma Tre. Diakses pada 10 Desember 2020 dari http://www.urbanisticatre.uniroma3.it/dipsu/?portfolio=between-exhaustion-and-creativity
Thorbjørnsen, Svein Olaf. (2019) What Happens to People In a Competitive Society: An Anthropological Investigation of Competition. (Terj. Brian McNeil). Switzerland: Springer, Palgrave Macmillan
WellteQ. (2019). Fatigue, Burnout and Exhaustion – What’s the Difference? WellteQ. Diakses pada 11 Desember 2020 dari https://www.wellteq.co/fatigue-burnout-exhaustion/
WHO. (2019). Burn-out an “occupational phenomenon”: International Classification of Diseases. WHO. Diakses pada 13 Desember 2020 dari https://www.who.int/news/item/28-05-2019-burn-out-an-occupational-phenomenon-international-classification-of-diseases