Televisi beberapa tahun belakangan selalu menjadi pihak yang bersalah. Kotak pandora yang kerap dituding mendoktrin generasi muda dengan kekerasan, pelecehan seksual, rasa jijik akan politik, dan segudang dakwaan lainnya. Kehadirannya seolah menjadi penyebab utama kelahiran generasi digital native yang lebih mementingkan “citra” segala sesuatu ketimbang “substansi” yang bisa didapatkan.
George Gerbner di dalam karyanya, Living with Television: The Violence Profile (1976) menjelaskan tentang dampak dari menonton televisi. Menurut penelitian yang memunculkan teori kultivasi ini, televisi menjadi sarana untuk belajar tentang kondisi lingkungan dan kebudayaan masyarakat. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan keadaan per-televisi-an kita saat ini. Alih-alih menjadi sarana edukasi, televisi malah menghamba pada para korporat dan menjadi alat propaganda politik si empunya media yang seharusnya menjadi ruang publik.
Televisi memang telah menjadi alat interaksi yang dapat membuai penonton seolah memahami dunia dan orang-orang di dalamnya. Jean Baudrillard, filsuf postmodern asal Prancis, mengatakan bahwa televisi merupakan medan di mana manusia ditarik ke dalam sebuah kebudayaan sebagai black hole. Baudrillard menyebutnya simulacra, di mana realitas yang ada adalah realitas semu, realitas buatan (hyper-reality). Senada dengan Baudrillard, Gerbener menyebutnya heavy viewers, guna menyebut manusia yang kecanduan televisi. Heavy viewers akan menganggap apa yang terjadi di televisi sama dengan yang terjadi dunia nyata.
Pernyataan ekstrim pun dikemukakan oleh Neil Postman. Dalam buku Amusing Ourself to Death (1985), ilmuwan cum aktivis dari Amerika Serikat ini bahkan menuduh televisi telah melahirkan budaya yang memperlemah rasionalitas manusia dalam menafsirkan dunia. Televisi didakwa telah menghancurkan budaya membaca yang telah dibangun media cetak. Lalu, televisi hadir dengan hiburan sebagai supra-ideologi yang menumpulkan kesadaran kritis publik. Padahal secara tidak langsung televisi atau pun media memiliki tanggung jawab untuk menyuarakan suara-suara rakyat yang tidak terdengar, dan mengasah nalar kritis rakyat.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah problem politik apa saja yang dihasilkan oleh dunia per-televisi-an kita? Lalu, keberpihakan yang seperti apa yang bisa kita tawarkan guna mengimbangi kekuasaan politik kita?
Problem Politik Dunia Per-televisi-an
Wisnu Prasetya Utomo dalam buku Suara Pers Suara Siapa? menjabarkan beberapa permasalahan yang dialami oleh dunia per-televisi-an. Permasalahan yang mencangkup kampanye politik terselubung, entertaiment, kekerasan di depan publik, hingga permasalahan instrumen vital media tersendiri, yaitu jurnalis. Dalam kata pengantar bukunya, Wisnu mengambil kesimpulan mengapa jurnalis atau awak media saat ini berada di dua persimpangan. Pertama, jurnalis tidak bebas dari kekangan modal sehingga menimbulkan kesimpulan kedua, bahwa jurnalis dihadapkan pada posisi yang rentan. Ada berbagai faktor yang memengaruhi apa yang bisa dan apa yang ia tidak bisa kerjakan.
Banyak hal yang berpengaruh mulai dari stuktur politik sampai bias-bias ideologi media yang kompleks dan memengaruhi kesadaran seorang jurnalis. Laku jurnalistik tak sesederhana memberitakan masyarakat miskin, memantau aktivitas selebritis, atau mengutip perkataan para elite politik semata. Kembali ke masalah per-televisi-an, saya akan memulai tulisan ini dari perspektif politik di televisi yang menjadi perbincangan di khalayak luas.
Tentu kita tak merasa heran ketika banyak kekerasan yang diperlihatkan di dunia per-televisi-an kita. Para elite politik kita toh mencontohkannya di televisi. Tentu saja hal tersebut ironis karena televisi menggunakan frekuensi publik milik rakyat. Sebut saja perdebatan di acara ILC, TV One berapa kali kita melihat adegan adu jotos di acara yang seharusnya menambah perspektif baru bagi rakyat terhadap permasalahan yang ada di Indonesia. Pada peristiwa adu jotos tersebut kita dapat mengkritisinya bahwa sikap tidak menghargai pendapat orang lain menjadi cermin bagi buruknya demokrasi kita.
Douglas Kellner berpendapat dalam The Television and The Crisis of Democracy (1990), bahwa televisi pelan-pelan sedang mencabut khalayak dari peran demokratis yang sesungguhnya. Maksudnya adalah televisi telah menjadi anti-tesis bagi demokrasi. Beberapa konten televisi menggerus nilai-nilai ideal dalam demokrasi. Contoh sederhananya, sering ada pemberitaan yang memihak dan menjatuhkan ideologi tertentu.
Peran jurnalisme yang baik diperlukan pada masalah ini. Jurnalisme seharusnya mampu menghadirkan forum publik yang sehat. Forum publik yang sehat dan kondusif tentunya tidaklah mudah. Perkembangan teknologi juga meningkatkan disinformasi baik berupa penyesatan atau pun pemutarbalikan fakta. Rumor dan kebohongan menyebar dengan hitungan menit, bahkan detik. Tentu kita sering mengalami banyaknya berita hoax dari broadcast yang kita dapat dari media sosial.
Dalam banyak kasus, orang-orang justru lebih percaya pada rumor yang mereka inginkan menjadi kebenaran. Atau mungkin, orang-orang ingin memenuhi hasrat untuk mendengar berita yang lebih buruk. Brendan Nyhan dan Jason Reifler dalam Misinformation and Fact-checking (2012) menjelaskan bahwa kesalahan persepsi sebagai konsekuensi dari informasi yang salah kerap sulit diperbaiki. Sebut saja kasus doktrin komunisme yang kerap dianggap tidak bertuhan, dan sederet cap buruk lainnya.
Hal tersebut memang terjadi karena evaluasi masyarakat terhadap sebuah informasi yang dipengaruhi oleh believe and experience. Ketika kita berjumpa dengan informasi yang bertentangan dengan sudut pandang kita, otak merespons guna mengimbangi informasi yang tidak diinginkan. Ruang publik yang sehat berperan pada ranah ini. Ia berusaha menampilkan berbagai ekspresi maupun pendapat masyarakat seekstrim apa pun, namun tetap mengedepankan argumentasi rasional dan akal sehat.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam karyanya Sembilan Elemen Jurnalisme (2006) mengungkapkan, forum publik yang kuat semestinya dibangun di atas prinsip-prinsip seperti yang diterapkan dalam jurnalisme yaitu kejujuran, fakta, dan verifikasi. Kita pun tahu bahwa di televisi, forum publik kerap muncul dalam acara talk show atau pun debat yang membahas isu-isu tertentu. Ironisnya, tayangan-tayangan tersebut justru lama-kelamaan mengabaikan publik. Hal inilah yang menjadi anti-tesis demokrasi. Demokrasi yang bertujuan menghasilkan titik temu dari silang-sengkarut gagasan yang muncul. Artinya, acara tersebut berusaha menjembatani pertikaian yang muncul sambil berupaya mencari solusi yang ditawarkan pihak-pihak yang bertikai.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2006) memberikan beberapa alasan yang menyebabkan mengapa acara talk show dengan banalitas yang ada di dalamnya menjadi kian populer. Alasan utama, karena acara tersebut murah ongkosnya (talk is cheap). Awak per-televisi-an lebih memilih menggelar acara debat atau pun talk show dari pada melakukan liputan investigasi secara mendalam yang ongkosnya lebih mahal.
Alokasi dana untuk liputan ini tentunya beralih ke strategi pemasaran. Berusaha mendulang pundi-pundi uang sebanyak mungkin menggunakan rasio untung-rugi. Otomatis berita-berita yang beredar berusaha menduai rating tinggi, dan mengesampingkan prinsip verifikasi. Sebut saja berita-berita dengan judul sensasional di TV One atau Metro TV. Hal tersebut mengafirmasi bahwa televisi memang tidak sungguh-sungguh dalam meningkatkan ‘kualitas demokrasi’ melalui ruang publik yang ia ciptakan.
Dualisme Keberpihakan: Korporat atau Rakyat?
Istilah pers harus netral, objektif, berimbang, memberitakan dua sisi, dan tidak berpihak, berangkat dari kecenderungan positivistik yang mengandaikan objektivitas dari luar diri media dan wartawan. Karena ada realitas objektif, maka berita diposisikan menjadi sebuah cermin dari realitas yang ada. Tugas media adalah menampilkan realitas tersebut tanpa ada efek dramatisasi atau sebagainya.
Konsekuensi logis dari konteks itu, wartawan dianggap hanya sebagai pelapor peristiwa dengan asumsi media merupakan saluran netral dan bebas dari segala embel-embel kepentingan. Wartawan dituntut mampu menyederhanakan jalin-kelindan realitas yang rumit dan kompleks dalam bahasa sederhana yang kemudian disampaikan kepada publik. Ditilik lebih jauh, perilaku media dan wartawan dalam kegiatan produksi berita selalu dipengaruhi oleh nilai-nilai, norma-norma, sampai keyakinan tertentu. Artinya, mustahil bahwa berita adalah cermin dari suatu realitas (mirror of reality) sepenuhnya (Wisnu, 2016: 114).
Dalam kajian komunikasi, ihwal objektivitas dan subjektivitas ini sebenarnya merupakan permasalahan klasik. Everette E. Dennis dan John C. Merril dalam bukunya yang berjudul Basic Issues in Mass Communication (1984) menawarkan sebuah perdebatan ihwal objektivitas dan subjektivitas. Dennis mengajukan tesis objektivitas dalam jurnalisme dapat dicapai melalui standar-standar objektifnya sendiri. Standar-standar yang dimaksud misalnya seperti pemisahan antara opini dan fakta, cover both sides, fairness, dan sebagainya.
Namun, Merril membantahnya. Professor jurnalisme di Univesitas Missouri ini berpandangan bahwa objektivitas jurnalisme adalah hal yang tidak mungkin atau dengan kata lain, mustahil. Dari seleksi peristiwa atau isu yang akan diberitakan, pemilihan narasumber, penentuan diksi dalam berita, sampai strategi penulisan berita adalah sebuah tindakan ideologis yang didasari oleh subjektivitas wartawan dan media. Apalagi, realitas yang coba diangkat dan diterjemahkan wartawan ke dalam sebuah berita selalu bersifat dinamis, plural, dan dialektis. Proses penyeleksian suatu kejadian dalam berita ini berlangsung melalui mekanisme yang disebut framing berita, yaitu proses menyeleksi dan menonjolkan bagian tertentu dari sebuah peristiwa.
Mengacu pada Robert Entman dalam Framing: Toward Clarification of a Fractured Paradigm (1993: 52) ada empat fungsi pembingkaian. Pertama, defining problem (memetakan masalah berdasarkan pertimbangan umum). Kedua, diagnosing causes (mendiagnosis akar masalah dengan mengidentifikasi kekuatan-kekuatan yang terlibat). Ketiga, making moral judgment (memberi penilaian moral terhadap masalah). Keempat, suggesting remedies (menawarkan solusi dengan menunjukkan apa yang seharusnya ada).
Mengenai keberpihakan media, kita bisa mengacu pada koran Medan Prijaji yang diprakarsai Titro Adhi Soerjo. Dalam edisi pertamanya, Tirto merumuskan delapan pedoman bahwa surat kabar (pers) harus: memberi informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum, menjadi tempat pengaduan orang tersia-sia, membantu orang mencari pekerjaan, menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi atau mengorganisasi diri, membangun dan memajukan bangsanya, serta memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan (Toer, 1985: 46).
Medan Prijaji secara gamblang menjelaskan ke mana seharusnya media berpihak. Kedelapan pedoman tersebut sekiranya cukup bagi kita bahwasanya media harus menjadi corong-corong kepentingan rakyat yang tertindas. Soekarno menyebut pers sebagai alat revolusi yang bertugas untuk memobilisasi opini publik. Karena itu wartawan memiliki tanggung jawab moral membangkitkan kesadaran rakyat dalam melawan kekuatan-kekuatan kontra-revolusioner. Bahkan pada tahun 1960 pemerintah memerintahkan semua surat kabar untuk berafiliasi secara resmi dengan partai politik, kelompok fungsional, atau organisasi massa.
Ironisnya media kita saat ini cenderung berpihak pada kepentingan-kepentingan korporat. Bisa ditelusuri sendiri ke mana arah framing pemberitaan media dalam menanggapi isu-isu kontemporer. Aksi-aksi pergerakan buruh sering dikemas keburukannya saja, penyuaraan hak-hak kaum miskin kota seringkali dipelintir sehingga banyak bermunculan stigma negatif bagi orang miskin, pemberitaan aksi mahasiswa yang cenderung normatif atau formalitas belaka, dan sederet pemberitaan yang menyudutkan lainnya.
Paradoks dalam Paradoks
Media memang penuh dilema, di satu sisi ia harus memegang etika jurnalistik dan di sisi lainnya media terpaksa menjadi institusi sosial. Strategi pembangunan yang dicanangkan oleh negara berorientasi pada dualisme keberpihakan, pertama menciptakan sistem ekonomi pasar yang kondusif bagi arus modal global. Sedangkan yang kedua adalah tindakan-tindakan politik represif terhadap masyarakat dengan dalih stabilitas nasional sebagai landasan dari pembangunan.
Dalam orientasi ini, penguasa berusaha mengambil kesempatan untuk mendapat kemanfaatan untuk pribadi dan kroninya. Media sebagai “cermin bagi publik” adalah mitos yang menyesatkan. Fakta bahwa media mampu memainkan peran dalam menetapkan agenda-agenda pemberitaan mengenai politik, menentukan apa berita politik yang akan dibahas hari ini, berapa banyak, dalam konteks apa dan untuk kepentingan siapa. Framing dalam berita yang dimuat tentunya bisa menjadi gambaran keberpihakan media. Pengaruh yang dihasilkan oleh media tentu berdampak besar pada masyarakat. Tanggapan publik yang agresif terhadap komunisme merupakan dampak yang terasa gaungnya sampai sekarang.
Lalu, apakah ada yang salah dengan apresiasi publik yang agresif? Tentu, sekilas, tidak, namun ilusi publik adalah problem tersendiri. Di sini ada masalah yang serius dengan negeri ini. Pertama, borjuasi dengan senjata utama media yang mereka miliki akan terus mengilusi rakyat, membodohi dan mengeksploitasinya – sebagai komoditas politik; kedua, carut-marut perpolitikkan Indonesia yang dimainkan oleh para politisi borjuis pascareformasi, sebagai memori kolektif, belum mampu mengembalikan kesadaran kritis rakyat, akan tetapi justru menjadikan sikap publik yang lebih skeptis dengan jargon-jargon yang sangat menyesatkan.
Dalam perspektif Marxis, masyarakat kapitalis sebagai suatu keberadaan, diciptakan dan didominasi oleh sebuah kelas. Penciptaan dan dominasi atas struktur masyarakat oleh sebuah kelas ini (dalam hal ini kelas borjuis), tentu tidak hanya pada sebagian lini, tetapi pada keseluruhan entitas. Kelompok pluralis liberal dengan pemikiran superfisialnya, masih melihat media mampu menjadi alat kontrol dan pioner dalam memperjuangkan kebebasan berbicara. Tetapi faktanya tidak demikian, dengan mudah media bisa dipaksa untuk berada di arena ideologis di mana kelas-kelas (juga kelompok-kelompok) tengah bertarung untuk berebut kekuasaan politik.
Media dapat menjadi senjata politik bagi yang menciptakan atau yang membiayainya. Di sini media berperan mengintegrasikan tendensi kultural masyarakat dengan jargon-jargon politik – menjadikannya sebuah ilusi yang sempurna. Dalam teori Marxis, basis struktur sangat berpengaruh terhadap bangunan suprastruktur. Marxisme memandang bahwa basis ekonomi sangat menentukan corak sosial, kesadaran politik dan corak intelektual. Teori yang juga sering disebut sebagai teori materialis ini menegaskan bahwa relasi-relasi ekonomi sebagai penyebab utama dari munculnya fenomena-fenomena sosial. Hal ini juga menandaskan adanya determinisme teknologis terhadap bangunan model politik, sebagaimana telah dikatakan oleh Marx: “The windmill gives you society with the feudal lord: the steam-mill, society with the industrial capitalist” (The Poverty of Philosophy, 1847).
Media massa, hari ini, terkait dengan kecanggihan format teknologi media, telah menjadi industri budaya yang mampu menggiring perspektif politik publik ke arah yang diinginkan. Secara teoritik menegaskan bahwa konten dan makna-makna yang dibawa melalui media ditentukan oleh basis ekonomi dari organisasi yang menciptakan – atau yang membiayai mereka. Akibatnya, organisasi media komersial harus melayani keperluan pengiklan (pemilik modal) dan harus memproduksi penonton yang maksimal. Mau tidak mau lembaga media yang dikendalikan oleh organisasi-organisasi politik dominan tersebut cenderung akan mendorong publik bersifat pragmatis atau menggiring publik ke arah “konsensus” yang akan menguntungkan mereka.
Di sini kesesatan mitos dari ilmu-ilmu sosial – yang “percaya” bahwa suara media massa adalah suara yang “bebas nilai – harus diekspos”. Marxisme, dalam perspektifnya mengenai media massa, jelas akan terus mendekonstruksi mitos ini. Marxisme menyuguhkan sebuah perspektif yang faktual, bahwa ada kepentingan ekonomi dan politik dalam lembaga media. Hal yang menyolok ini telah terjadi di Metro TV akhir-akhir ini, yakni ketika menyorot kesenjangan sosial yang kemudian diarahkan untuk mengekspos “kearifan” Surya Paloh untuk menjadi sebuah diskursus baru dalam politik.
Sama persis dengan TV One yang dimiliki oleh Abu Rizal Bakrie, di tengah situasi politik nasional sedang riuh dengan banyaknya dugaan kasus suap dan korupsi, Abu Rizal Bakrie dan kader partai yang dipimpinnya nyaris tidak tersentuh sama sekali dengan pemberitaan miring mengenai hal tersebut. Sehubungan dengan keberhasilan dan perilaku represif media dalam membangun diskursus baru yang ilusif, – yang juga telah dilakukan oleh para politisi lain di banyak momentum politik, politik media terbukti bisa menjadi jalan instan menuju kekuasaan, atau setidaknya, untuk membangun posisi tawar politik dalam rangka membangun kekuasaan modal.
Langkah-langkah dari kelas sosial tertentu untuk menguasai media dan menguasai interpretasi penonton terhadap teks-teks media terbukti telah menjadi pergerakan politik yang trendy. Politik media juga telah berhasil mengilusi publik, mengganjal kesadaran kritis publik mengenai ada tidaknya kesatuan antara frase dan realitas. Sampai kapan politik media menjadi pergerakan yang trendy? Di sinilah, secara bersamaan, bisa dimunculkan juga pertanyaan yang serupa: sampai di mana kekuatan-kekuatan politik revolusioner mampu dan mau membongkar kebobrokan cara-cara ini?
Sebenarnya untuk memahami langkah-langkah politik dari para politisi borjuis yang menipu dan membodohi publik bukanlah pekerjaan yang perlu keterampilan atau analisa tinggi. Ketidaksesuaian antara frase dan realitas dari para politisi borjuis mulai pascareformasi hingga sekarang adalah bukti nyata, hal tersebut seharusnya menjadi sesuatu yang mampu meningkatkan kesadaran kritis publik. Kita semua tahu bahwa proses pemberitaan media massa yang cenderung mengangkat dan menjatuhkan kelompok tertentu tidak pernah bergerak ke mana-mana kecuali menuju ke proses “demokratisasi” yang becek dan licin.
Tentu banyak hal yang bisa kita lakukan guna mengimbangi keberpihakan media, mulai dari memanfaatkan media yang dikelola mahasiswa sampai membuat slogan-slogan propaganda. Menjadi tugas kita semua dalam mengelola pers agar berpihak pada rakyat. Pada akhir tulisan ini hendaknya kita bertanya, mampukah kita menjadikan pers sebagai corang-corong rakyat dalam mengoreksi para elite politik kita?