(Diskusi buku Time Without Becoming [Ed. Anna Longgo : 2014] karya Quentin Meillassoux)
L’affaire de la philosophie n’est pas l’être, mais le peut- être.
Serunya dunia Pasca-Modern. Dalam kejayaan dan riuhnya penerimaan yang selalu melepas dan pelepasan yang selalu menerima. Dalam situasi di mana “semuanya boleh” hampir memenangkan sebagian pertandingan debat. Sebuah nama muncul. Quentin Meillassoux. Salah seorang murid dari Alain Badiou—nama yang mungkin tidak akan saya kenali jika Martin Suryajaya tidak pernah mengulasnya di Materialisme Dialektis (2012).
Dia bertanya: “Mungkinkah mengakses yang absolut?” Yang terlupakan kembali dilirik.
Tulisan ini akan berusaha mencermati argumen Meillassoux dalam salah satu bukunya, Time Without Becoming (2014). Teks kuliah yang disampaikan Meillassoux pada tahun 2008 di Universitas Middlesex dan berisi ringkasan argumen dari buku pertamanya yang kontroversial, Après la finitude (2006).[1]
Seberapa berhasil Meillassoux menjawab pertanyaannya sendiri adalah tujuan dari diskusi ini. Tapi ingat, jika pun dia dalam benak kita masih kurang berhasil, jangan anggap dia gagal. Meillassoux masih muda (1967-…). Buku ini mungkin hanya secuil dari proyek masa depan filsafatnya. Lihatlah ini sebagai harapan. Masa depan filsafat, yang terus bergerak, sebagai kritik.
1
Apa itu waktu tanpa kemenjadian? Jika kita mengingat slogan Herakleitos, semuanya mengalir, maka waktu itu selalu menjadi, dan tidak mungkin waktu bisa hidup tanpa suatu kemenjadian. Menjadi di sini berarti tidak ada yang persis sama. Semuanya mengalir dari X ke Y sejauh dipahami dalam rentangan ruang dan waktu. Segala sesuatu mengalir. Karenanya, kaki kita dalam sungai tidak pernah dialiri air yang sama.
Namun, jika dilihat lebih dalam, sebenarnya waktu Herakleitos memiliki asumsi ontologis yang bertolak belakang dari gagasan deskriptifnya. Apa?! Ketetapan. Benar! Walaupun ada terus berubah, ada terus menjadi, kemenjadian itu sendiri tidak pernah berubah. “Time is becoming (atau mungkin becoming without time?),” bagi Herakleitos. Kemenjadian adalah suatu hal yang niscaya.
Meillassoux menolak waktu tersebut. Baginya, waktu tidaklah tetap. Tetap dalam artian terus menjadi. Waktu adalah suatu semesta yang Gila-Kacau[2] (Hyper-Chaos). Dia dapat berubah sewaktu-waktu. Tapi bukan berubah dengan menjadi, melainkan berubah dengan bisa menghancurkan kemenjadian. Bahkan juga dengan yang tetap. Waktu tersebut adalah suatu kontingensi. Bukan sembarang kontingensi, tapi super-kontingensi. Bagaimana bisa? Karena baginya, “waktu yang dengan-tetap-selalu-menjadi, model Herkleitos, hanyalah fakta. Dan sebagai fakta, kita tidak dapat menarik kesimpulan bahwa mereka niscaya” (hlm. 26).
Ini mengingatkan kita pada Hume. Keniscayaan adalah tema sentral dalam argumen Meillassoux, dan baginya, selama ini kita kurang radikal dalam membahas keniscayaan.
2
Klaim kontroversial Meillassoux terkait sejarah filsafat adalah tentang korelasionisme sebagai penyakit yang harus diberantas. Apa itu korelasionisme? Korelasionisme adalah iman filosofis yang percaya bahwa “Tidak ada objek, peristiwa, hukum, (dan) ada, yang tidak selalu telah terkorelasi dengan sebuah perspektif, dengan sebuah akses subjektif (hlm. 10).”[3]
Korelasionisme dapat dibagi menjadi dua model. Pertama, model transendetal, diwakili oleh Immanuel Kant; dan kedua, model postmodernis. Perbedaan fundamental dua model tersebut adalah: jika Kant masih percaya bahwa benda-dalam-dirinya, benda yang terpisah dari subjek itu masih ada, terpikirkan walaupun tak-terketahui, para postmodernis membuang ‘objektivitas’ tersebut. Konsekuensinya, tidak ada yang dapat diketahui lepas dari korelat afeksi, persepsi, konsepsi, atau bentuk subjektivitas dan intersubjetivitas tanpa terjebak dengan pengabsolutan hal tersebut sebagai yang niscaya.
Jika kita cermat, tentu akan terlihat jelas bahwa paradigma korelasionisme ini adalah bentuk perlawanan terhadap paradigma Cartesian yang masih membedakan antara kualitas primer sebagai segala kualitas yang dapat dimatematisasi, dan kualitas sekunder sebagai kualitas yang hadir sebagai relasi antara ada dan pikiran. Karenanya, penerimaan atas paradigma Kantian adalah hilangnya kualitas inheren objek. “Bagaimana kualitas inheren objek dapat diketahui jika objek saja tidak terdeteksi?” Kurang lebih seperti itulah objeksi para korelasionis.
Dalam Après la finitude, Meillassoux mengurai beberapa kelemahan korelasionis, dari tataran matafisika hingga etika, dengan berbagai kemungkinan balasannya, namun dalam Time Without Becoming, Meillassoux hanya mengajukan satu keberatan tanpa membalas terlalu jauh, yaitu: “Bagaimana para korelasionis menjawab problem fakta purba?” Karena baginya, memahami fakta purba dalam kerangka korelasionis adalah hal yang non-sense. Tapi, apa itu fakta purba? Fakta yang menyatakan, dengan bantuan sains, bahwa alam semesta tercipta, semisal, 14 milyar tahun yang lalu. Namun, bukankah ini adalah pertanyaan biasa? Bagaimana bisa menjadi masalah bagi para korelasionis? Mari kita lihat!
Segala sesuatu, bagi korelasionis, harus terkorelat dengan subjek. Artinya, waktu, juga adalah korelat dari subjek. Contoh hal ini dapat dilihat dari konsepsi Kant tentang waktu sebagai intuisi a priori, dan karenanya subjektif, atau paling banter, seperti dalam Husserl, menjadi intersubjektif. Konsekuensinya, waktu sebelum subjek dan ‘waktu’ terkorelat menjadi tidak dapat terpikirkan. Namun, jika waktu yang tidak terkorelat dengan subjek menjadi tidak terpikirkan, bagaimana mereka memahami fakta purba?
Jawaban yang diberikan para korelasionis begitu diplomatis: Iya dan Tidak. Iya, karena pernyataan tersebut objektif, melalui prosedur kesekarangan yang dimediasi oleh subjek, atau dapat dikatakan bahwa fakta purba dalam pandangan korelasionis hanya dapat sah jika kita menambahkan tambahan kata dalam fakta tersebut, yaitu: bagi kita. Namun dengan berkata demikian, mereka secara langsung, sebenarnya, juga mengatakan Tidak pada fakta purba. Mengapa? Karena rujukan asli dari pernyataan itu ditolak. Meillassoux berkata bahwa jika kita “mengatakan sesuatu ada sebelum kamu hanya untukmu, hanya pada kondisi bahwa kamu ada untuk sadar atas yang lalu, sama dengan mengatakan bahwa tidak ada yang ada sebelum kamu: Ini bertentangan dengan apa yang ingin dikatakan fakta purba (hlm. 15)”.[4] Apa yang ingin dikatakan fakta purba adalah adanya referen tentang kejadian tersebut yang lepas dari segala bentuk relasi korelasi ada dan pikiran. Suatu dunia saat manusia belum ada (terhubung dengan dunia). Artinya, ini bukan persoalan ketakpersepsian dan ketakadaan saksi.
Saya adalah pembaca Heidegger dan Husserl. Dan memang, harus diakui, tuduhan tersebut tepat (Heidegger, BT 251/207; Husserl, Ideas 108 & 194). Abstraksi hipotetis fenomenologis, sebagai usaha untuk memahami konsep ketakadaan saksi, dan ketakpersepsian indera, tidak dapat menjawab problem kepurbaan secara ontologis, karena abstraksi hipotetis hanya berangkat sejauh dalam problem ketidakadaan pengamat dalam problem ruang dan waktu (temporal), atau pada keterberian kesadaran, dan juga sebagai intersubjektifitas.
Oleh karena itulah, bagi Meillassoux, agar dapat memahami fakta purba, dalam makna literalnya, menjadi realis yang naif (dalam arti Cartesian literal) juga bukanlah langkah yang tepat. Meillassoux tidak ingin kembali ke dunia pra-kritis. Justru kritik dari filsafat transendetal dan postmodernis harus dilanjutkan. Sehingga, jalan keluarnya kemudian, adalah menjadi materialis, namun spekulatif. Artinya, korelasionisme hanya ditolak sejauh tidak diradikalkan. Strategi Meillassoux adalah meradikalkan konsep korelasionisme, dan peradikalan itu membuatnya harus bertemu dengan satu prinsip: prinsip faktialitas. Prinsip yang menolak hukum logika kecukupan alasan (sufficient reason) dan mengabsolutkan prinsip non-kontradiksi.
3
Mari mendefinisikan ulang korelasionisme. Korelasionisme, menurut Meillassoux, dapat dibedakan dengan dua iman lainnnya. Pertama, para realis pra-kritis, gerombolan orang yang memercayai yang absolut dengan argumen kecukupan alasan. Kedua, para idealis, atau subjektivis, yang percaya bahwa karena tidak ada yang kita ketahui selain korelasi, maka korelasi harus diabsolutkan. Jika kita mengkotakkannya dalam ruang sejarah filsafat, maka korelasionis adalah bukan Descartes (realis pra-kritis) dan bukan Hegel (idealis). Problemnya sekarang adalah, bagaimana korelasionis dapat tetap menolak para realis[5] tanpa terjebak sebagai idealis. Karena sepertinya, jika kita tidak mengetahui Benda-Dalam-Dirinya, maka hanya membuang yang di luar korelatlah jawabannya. Namun para korelasionis memiliki jalan lain: faktisitas (hlm. 21).
Dengan faktisitas, atau ketiadaan alasan untuk memberikan dasar yang paling ultimate, para korelasionis melawan idealisme. Objeksinya cukup sederhana, bagaimana, misalnya, para idealis tahu bahwa tidak ada x selain korelat sehingga membuang yang-x selain korelat? “Tidak ada jaminan!” jawab para korelasionis. Tidak bisa kita mengklaim yang absolut, karena kita sebagai manusia adalah mahluk yang terbatas (dengan berbagai varian kategorinya di setiap filsuf). Terbatas oleh ada-dalam-dunia, ketidaksadaran, text, proposisi, dll. Akhirnya kebenaran absolut seakan ditinggalkan. Dibiarkan tergeletak tanpa ada yang mau mencarinya lagi. Menjadi misteri. Tertumpuk dalam peti-peti, dan dicampakkan sendiri.
Pandangan tersebut, jika kita melihat tren setelah PD II, seakan menjadi tren yang masif. Namun, walaupun bagitu menyakinkan, dan diiyakan oleh banyak orang, harga afirmasi atas korelasionisme ini cukup mahal. Karena tidak ada yang absolut, semuanya menjadi boleh. Dan karena semuanya boleh, tidak ada hal yang salah. ISIS bisa benar, FPI bisa benar, dan Nina Hamida pun bisa benar. Jika ditarik ke ranah ilmiah, tidak ada satu pun pernyataan yang sungguh benar secara epistemik. Artinya destruksi atas idealisme, kemudian digeser menjadi sekadar persoalan tafsir (hermeneutics). Lebih jauh lagi, hanya bisa ditangkap dengan menjadi fideis. Jika Nietzsche tidak mengabsolutkan “Kehendak Untuk Berkuasa”, maka dia tidak boleh menyalahkan moral budak. Tepat pada titik ini, sebagai contoh, kita dapat melihat, orang-orang yang menghindari idealisme, seperti Heidegger, dengan bijaksana membagi tema eksistensial menjadi asli dan tidak asli, dan dua-duanya tidak ada yang memiliki hierarki lebih tinggi. Dengan kata lain, seperti yang sudah kita ketahui (karena sudah terkenal), para korelasionis, atau boleh dikatakan para post-modernis, lebih suka mendeskripsikan (baca: menelanjangi) keadaan, dan tidak menariknya pada suatu postulat akhir tertentu. Mengapa? Karena manusia itu faktis, dan karena faktis, maka tidak ada “eternal principle(s)”.
Bagi Meillassoux, berbeda dengan para humanis yang menyerang korelasionis dengan argumen moral, dengan argumen praktis-etis, kesalahan korelasionis tidak berada pada kesimpulannya, tapi dalam taraf keradikalannya (sehingga nanti juga berdampak pada kesimpulannya). Para korelasionis kurang radikal! Seharusnya (semoga penyederhanaan ini tidak mereduksi): jika kita tidak tahu bahwa mana di antara X (realis), Y (idealis), atau Z (yang-lainnya), yang benar, atau dengan kata lain X bisa benar, Y bisa benar, dan apapun bisa benar, berarti kesimpulannya bukan kita tidak tahu mana yang absolut, melainkan segala kemungkinan itulah yang absolut. Tidak ada suatu entitas niscaya, kecuali pengetahuan akan faktisitas kita. Dibahasakan secara lain, dengan mengetahui bahwa kita ini faktis, hanya ada satu prinsip yang absolut, dan itu yang memungkinkan adanya argumen faktisitas dan yang paling konsisten dengan faktisitas kita: yakni prinsip tanpa alasan (unreason), dan bunyinya: “Ketiadaan absolut dari alasan untuk setiap kenyataan”. Dengan kata lain, lanjut Meillassoux: “Kemampuan efektif untuk setiap entitas yang tertentukan, apakah itu sebuah perisitwa, sesuatu, atau hukum, muncul dan menghilang tanpa alasan untuk adanya atau ketiadaannya (hlm. 23).”[6] Dengan hilangnya prinsip kecukupan alasan, X besar, suatu entitas yang niscaya juga hilang.
Prinsip tersebut dengan demikian memiliki konsekuensi yang tidak kecil. Pertama, kita harus setuju bahwa hanya kontingensi yang niscaya. Apa itu kontingensi? Kontingensi dapat diartikan dengan keadaan yang dapat berubah menjadi apapun tanpa alasan apapaun tanpa terdeteksi. Dia adalah kemungkinan murni (pure possibilities). Implikasinya tidak ada entitas yang niscaya, atau jika ada itu tidak mungkin. Kedua, kita harus percaya bahwa faktisitas tidak lagi sebagai ‘sekadar’ fakta, melainkan sebagai keniscayaan. Pemahaman faktisitas sebagai keniscayaan inilah, yang memiliki konsekuensi kontingensi, yang dinamakan dengan faktialitas (factualié). Dan dalam porsi inilah kita dapat memahami waktu tanpa kemenjadian.
Mengapa waktu Herakleitos ditolak? Karena waktu Herakleitos mengandaikan adanya keniscayaan. Hukum transformasi yang stabil. Sedangkan dia mengambil kesimpulan itu dari fakta. Padahal, tidak ada fakta yang niscaya selain faktisitas.[7] Dan karenanya, tidak ada hukum yang niscaya selain kontingensi. Namun, semuanya dapat berubah menjadi apapun tanpa alasan apapun. Waktu, yang asli, adalah, dan hanyalah, waktu Gila-Kacau. Suatu kontingensi super. Waktu yang dapat menghancurkan keniscayaan kemenjadian, dan bahkan ketetapan itu sendiri. Dari penarikan itu Meillassoux berkata dengan penuh percaya diri tentang tugas baru filsafat:
Waktu gila-kacau ini, bahkan, mampu untuk menciptakan dan menghancurkan kemenjadian, memproduksi tanpa alasan yang tetap atau berubah, pengulangan atau penciptaan. Itulah mengapa saya berpikir bahwa tugas akhir filsafat adalah bukan ada ataupun menjadi, penggambaran atau kenyataan, tapi sebuah kemungkinan istimewa, yang bukan kemungkinan formal, tapi sebuah kemungkinan yang nyata dan kokoh, yang saya menyebutnya… yang-mungkin… perhatian utama filsafat bukanlah ada tapi yang-mungkin. (hlm. 27) [8]
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bagaimana konsepsi tentang kekacauan tersebut dapat menjadi alternatif untuk menjawab problem fakta purba? Atau lebih dalam lagi, bagaimana ilmu dapat dimungkinkan dengan konsepsi seperti itu? Tanpa kestabilan dan kesatuan?
Untuk menjawab pertanyaan pertama, Meillassoux menjelaskan bahwa waktu Gila-Kacau tidak boleh dipahami dalam prinsip kontradiksi. Itu tidak mungkin bagi Meillassoux, dan, sebaliknya, prinsip non-kontradiksilah yang mungkin. Penjelasannya sederhana: jika ada entitas yang kontradiktif, maka dia menjadi niscaya. Bagaimana bisa? Karena apa yang dimaksud dengan kontradiski adalah dalam A ada kualitas yang non-A. Artinya, dia tidak bisa berubah (tidak kontingen), karena di dalamnya sudah tersedia semuanya.
Ini mengingatkan kita dengan sistem dialektika Hegel, di mana setiap tesis selalu berelasi internal dengan anti-tesisnya, hingga pada akhirnya, kesimpulannya adalah memahami X secara keseluruhan (argumen Hegel ini juga ditolak oleh Russel dalam Sejarah Filsafat Barat, karena secara langsung juga tidak memahamkan apa-apa!). Namun, seperti yang kita tahu, Gila-Kacau, adalah prinsip yang dapat berubah tanpa alasan, sehingga argumen kontradiktif perlu ditolak. Mengapa? Karena dengan berpegang pada prinsip tersebut, tidak akan pernah ada perubahan yang kontingen. A tetap menjadi A karena A berkontradiksi dengan A, yang adalah non-A, sehingga menjadi non-A adalah tetap menjadi A. Hal tersebut memperlihatkan bahwa prinsip non-kontradisksi adalah salah satu syarat—bukti aksesibilitas rasio terhadap—waktu Gila-Kacau.
Konsekuensi dari penolakan terhadap hukum kontradiksi adalah afirmasi atas prinsip tanpa alasan. Sehingga dua prinsip yang pasti adalah prinsip non-kontradiksi dan tanpa alasan. Dengan prinsip itulah kita dapat, bagi Meillassoux, mengakses yang absolut, yang mandiri dari pikiran. Dikatakan secara lain, bertolak belakang dari metafisikus yang berusaha menjawab bahwa mungkin untuk menjelaskan apa yang harus ada atau mengapa sesuatu harus secara niscaya berubah dan hancur, Meillassoux mengatakan bahwa: “Saya percaya pada kebalikannya bahwa rasio harus menjelaskan mengapa sesuatu dan menjadi itu sendiri dapat selalu berubah apa yang bukan mereka dan mengapa tidak ada alasan akhir untuk permainan ini (hlm. 29).”[9] Jadi tugas filsafat selanjutnya adalah menjelaskan bagaimana suatu Gila-Kacau tetap menjadi Gila-Kacau dan tidak menjadi yang lain (non-kontradkisi). Rasionalisme kemudian adalah satu-satunya jalan. Namun bukan rasionalisme lama, melainkan rasionalisme baru yang berusaha menjelaskan bagaimana sesuatu harus menjadi tanpa alasan, dan bagaimana mereka dapat menjadi tanpa alasan.
Hal tersebut, bagi Meillassoux sudah cukup memperlihatkan bahwa, kita dapat menalar batas ketiadaan nalar. Namun, dia juga sadar bahwa perjalannnya belum selesai. Ada persoalan yang masih menghantui Meillassoux untuk mempertahankan tesis ini, yang kita formulasikan di atas sebagai pertanyaan kedua: bagaimana memahami ilmu tanpa kestabilan tapi dengan kontingensi radikal? Meillassoux menjawab dengan matematika. Karena matematikalah, dengan asumsi bahwa Hyper-Chaos tunduk pada hukum non-kontradiksi, kita dapat mengakses kualitas primer dari objek yang tidak terelasi dengan pikiran, yang dalam hal ini fakta purba. Namun matematika seperti apa, itu akan menjadi proyek filosofisnya. Kita harus rela menunggu:
Akankah mungkin untuk mendapatkan, mengambil dari prinsip faktialitas, kemampuan ilmu-ilmu alam untuk mengetahui, dengan diskursus matematika, realitas dalam dirinya, yang dengannya saya maksudkan sebagai dunia, dunia faktual sebagaimana diproduksi oleh Gila-Kacau, sesuatu yang ada mandiri dari subjektivitas? (hlm. 29)[10]
4
Time Without Becoming tidak seluas pembahasan Après la finitude. Beberapa hal ada yang hilang. Walaupun Meillassoux bertanya dalam Time Without Becoming, matematika seperti apa yang cocok, dalam Après la finitude dia menyinggung beberapa hipotesis sementaranya. Baginya pembahasan matematika dimungkinkan karena, seperti komentar yang diberikan Longgo, matematika cocok dengan hukum kontingensi. Matematika tidak mengasumsikan suatu keniscayaan. Ini dapat dilihat dari persamaan matematika bahwa satu fungsi dan lawannya dapat dipikirkan sebagai mungkin dan tidak ada alasan untuk mengklaim bahwa salah satu harus lebih aktual daripada yang lain (lih. perseteruan geometri euklid dan non-euklid). Ini juga dapat dilihat dengan membuktikan ketidakadaan kausalitas yang niscaya dalam matematika (dalam artian keniscayaan sebenarnya adalah representasi yang non a priori[11]), seperti dalam himpunan Cantour. Sehingga hipotesis Meillassoux adalah mungkin dan logis memikirkan fungsi matematis sebagai kontingensi.[12] Dengan demikiran, hukum alam yang kontingen sangat kompatibel bagi pengetahuan ilmiah. Anna Longgo memberikan komentarnya tentang hal ini sebagai berikut:
Gila-Kacau, kemudian, adalah kekacauan rasional yang aktualisasinya dapat digambarkan secara matematis karena mereka tidak kontradiktif, dan ini mengapa sebuah ilmu mampu untuk menggambarkan dunia kita dengan jalan yang mandiri dari subjek, seperti tidak ada kehidupan (makhluk hidup) dan subjek di dalamnya. (hlm. 44)[13]
5
Pertanyaan di atas kembali diucapkan. Apakah Meillassoux berhasil? Ini saya kembalikan kepada pembaca (saran saya, jangan menyimpulkan sebelum membaca buku babonnya!). Tapi bagi saya, sebagai harapan, dan sebagai kemungkinan dan kondisi, Meillassoux sudah berhasil memberikan angin cerah tentang adanya suatu dunia yang independen dari manusia, dan juga (walau masih dalam harapan, atau hipotetis) aksesnya. Sumbangan besar Meillassoux adalah mengembalikan tempat prinsip non-kontradiksi dalam filsafat dan ketiadaan alasan dalam ilmu. Dengan dua prinsip ini kita tetap dapat berpikir tentang yang akhir tanpa terjebak pada entitas yang niscaya. Dalam satu sisi dia menolak para korelasionis, namun dia juga mengiyakan mereka. Kontribusi besar Meillassoux adalah jalan baru memahami dunia dengan sains, bahwa sains tidak perlu mengandaikan kestabilan.
Ada banyak titik serang untuk tulisannya. Salah satunya, sebagai pembaca Heidegger, saya melihat bahwa Meillassoux justru melepaskan kritik Heidegger terhadap cara pikir logis yang memiliki batasan metafisisnya dalam ada-dalam-dunia. Ada-dalam-dunia dengan demikian seharusnya tidak dijadikan musuh, namun dipertimbangkan dengan matang: karena keterjebakan kita dalam dunia tidak hanya bisa diselesaikan dengan penalaran logis tentang yang faktis.
Setiap relasi kepada referen selalu penuh dengan distorsi dan ketersembunyian, dan jika masuk dalam medan problematik Heidegger, hal tersebut akan mengantarkan kita pada batas dari logika, yaitu: ketakterakhiran penarikan asumsi pada premis universal! Premis universal selalu berasal dari premis universal yang lain, begitu terus hingga tak terbatas, kecuali memahami hal tersebut sebagai keterbukaan manusia terhadap totalitas ada sebagai jaring kemenduniaan. Namun bukan berarti bahwa Heidegger menolak ilmu, yang dia tolak hanya sikap scientisme, dan oleh karenanya, justru Heidegger memberikan suatu landasan ontologis bagaiamana suatu proposisi ilmiah itu menjadi mungkin, yaitu keterbukaan manusia dalam dunia pra-reflektif (kesadaran) (Heidegger, BT: 325-6).
Konsekuensinya memang, bagi Heidegger, matematika hanyalah salah satu cara bagaimana alam menampakkan dirinya. Ada banyak cara dan memang mustahil dimatematisasi dan ini, bukan pembatasan rasio, namun pembatasan dari wujud bahasa matematis itu sendiri dalam menangkap pengungkapan dan penyembunyian alam (Heidegger, WCT: 8). Dibahasakan dengan lebih halus: keterbatasan sains itu sendiri berada dalam batas cakrawala manusia membuka dan menangkap jaringan totalitas ada yang dihayati. Tentu ini memang kembali pada posisi hal yang dikritik oleh Meillassoux, tapi bagi saya kritiknya belum begitu menyakinkan mengapa akhirnya sains dapat menjawab segalanya dengan segala masalah bahasa, kesadaran, dan hasrat kita.
Tap masalah utama Meillassoux adalah kebelumselesaian sistem filsafatnya. Kritik kita akan mental dengan perkataan bahwa filsafatnya belum selesai. Jika Meillassoux sudah memberikan jawaban final dalam salah satu tulisannya, saya rasa, debat tersebut menjadi lebih menarik. Namun sekarang, masalahnya masih tetap sama dengan filsuf realis yang lain. Meillassoux masih berada dalam posisi penganjur. Dengan suatu sistem X dan kritik terhadap Y, dia menganjurkan kita untuk melakukan Z. Namun dengan Z yang masih hipotetis, kita masih boleh mencari makna Ada, lepas dari proposisi matematis. Tapi juga ingat, kita juga masih boleh berharap dengan faktialitas. Sekarang pertanyaannya, untuk skripsi, mana yang lebih cocok?
Abreviasi
AF: After Finitude: The Essay on The Necessity of Contingency.
BT: Being and Time.
WCT: What is Called Thinking.
Ideas: Ideas Pertaining to A Pure Phenomenology and to A Phenomenological Philosophy: Book I, General Introduction to A Pure Phenomenology.
[1] Edisi bahasa Inggrisnya telah diterjemahkan oleh Ray Brassier dengan judul After Finitude: an Essay on Necessity of Contingency, New York, Continuum, 2008. Rujukan ke Après la finitude mengikuti versi bahasa Inggrisnya. Disingkat dengan AF.
[2]Hyper saya terjemahkan dengan gila. Alasannya sederhana, kekacauan yang dimaksudkan oleh Meillassoux benar-benar tanpa batas dan sekaligus mempermainkan batas karena dapat menjadi apa saja tanpa alasan. Persis seperti kegilaan.
[3]“There are no objects, no events, no laws, no beings which are not always already correlated with a point of view, with a subjective access.”
[4] “To say that something existed before you just for you, just on condition that you exist to be conscious of this past, it is to say that nothing existed before you: it is to say the contrary of what ancestrality means.”
[5] Penolakan korelasionisme terhadap realis adalah dengan menggunakan argumen lingkaran (hlm. 10). Selain itu, korelasionisme seperti Kant juga menolak realisme naive seperti Descartes dengan problem predikat dalam pernyataan yang absolut (AF 32-34).
[6] “The absolute absence of reason for any reality, in other words, the effective ability for every determined entity, whether it is an event, a thing, or a law, to appear and disappear with no reason for its being or non being”
[7] Masalah penarikan ini adalah apa yang disebut dengan masalah Hume. Titik serang Hume adalah: kita secara epistemologis terbatas untuk menarik kesimpulan tentang yang a priori. Problem ini diradikalkan oleh Meillassoux dengan bantuan pemikiran Vernes bahwa penyimpulan a priori sebenarnya adalah perluasan tentang yang tertotalitasi dalam rangka waktu yang lama. Secara ontologis, ini tidak dapat menyimpulkan apapun tentang keniscyaan kausalitas sehingga kontingensi tetap alternatif terbaik.
[8]“This hyper-chaotic time is able to create and destroy even becoming, producing without reason fixity or movement, repetition or creation. That’s why I think that ultimately the matter of philosophy is not being or becoming, representation or reality, but a very special possibility, which is not a formal possible, but a real and dense possible, which I call the … the “may be”…. philosophy’s main concern is not with being but with may-be.”
[9]“I believe on the contrary that reason has to explain why things and why becoming itself can always become what they are not, and why there is no ultimate reason for this game.”
[10] “Would it be possible to derive, to draw from the principle of factiality, the ability of the natural sciences to know, by way of mathematical discourse, reality in itself, by which I mean our world, the factual world as it is actually produced by Hyper-Chos, an which exist independently of our subjectivity?”
[11] Meillassoux membahas masalah ini dengan cukup rinci, tentang penolakan kausalitas sebagai keniscayaan, dalam Après la finitude (AF 90-111).
[12] Semoga ada umur, saya akan membahas ini di lain artikel.
[13] “Hyper-Chaos, then, is a rational chaos whose actualizations can mathematically described since they are non-contradictory, and this is why a science is able to describe our world in a subject-independent way, as if there where no living being and subjects in it.”